Semua orang mempunyai nama dan seharusnya mempunyai nama. Nama adalah tanda (nomen is omen). Sebagai sebuah tanda, nama adalah gambaran diri seseorang. Nama juga berhubungan erat dengan sistem kekerabatan. Kita bisa mengenal asal-usul seseorang, entah soal suku, agama maupun tempat asal dari nama yang disandangnya. Dengan demikian, apapun nama yang dimiliki seseorang adalah baik dalam dirinya sendiri khususnya bagi yang bersangkutan. Implikasi lanjutnya yakni kita tidak berhak untuk mengantikan nama seseorang atau bergonta-ganti nama. Dalam arus zaman yang serba anonim, kecenderungan untuk bergonta-ganti nama sangat tinggi dan dilihat sebagai sebuah trend baru yang sangat digandrungi. Seseorang bisa memiliki beberapa nama sekaligus. Di satu tempat misalnya dipanggil Peter dan ditempat lain dipanggil Mahmud, atau di satu kota dipanggil mas Joko dan di kota lain dipanggil bung Nadus. Singkatnya nama bukan lagi tanda tetapi gaya. Di lain pihak banyak orang yang sibuk mencari nama. Nama akhirnya bukan hanya tanda atau gaya tetapi juga soal popularitas, harga diri dan kehormatan. Tidak heran ada yang berani mempertaruhkan segala yang dimilikinya hanya untuk sebuah nama agar dikenal oleh sebanyak mungkin orang.
Penginjil Matius hari ini menampilkan cerita Yesus tentang bagaimana Yesus memanggil orang-orang pilihannya seturut nama yang dimilikinya. Petrus, Andreas, Yokobus anak Zebedeus, Yohanes, Filipus, Bertolomeus, Thomas, Matius, Tadeus, Simon, Yokobus anak Alfeus dan Yudas Iskariot. Kedua nama ini adalah figure-figur pilihan yang kemudian disebut kedua belas rasul. Mereka dipanggil dalam sebuah nama yang bersifat unik, khas dan asli. Kepada mereka Yesus menitipkan pesan agar jangan menyimpang ke jalan bangsa lain melainkan pergi untuk mendapatkan domba-domba yang hilang dari umat Israel. “Pergilah dan beritakanlah, kerajaan Surga sudah dekat”.
Mungkin pertanyaan lanjut yakni mengapa hanya dua belas orang untuk sebuah tugas yang sangat besar yakni memberitakan kerajaan Allah ke seluruh dunia? Mengapa harus memilih Yudas Iskariot yang kemudian terbukti mengkhianati gurunya sendiri? Mengapa dipilih nama-nama dari kalangan bawah yang minim dan terbatas dalam hal akademis dan management? Pertanyaan-pertanyaan ini dinilai wajar dan lumrah. Dua belas nama yang dipilih Yesus dapat mewakili dua belas suku Israel dan pengkhianatan Yudas iskariot dapat dilihat sebagai simbol kerapuhan dan ketidaksetiaan manusia pada rencana dan kehendak Allah. Yesus memilih nama-nama dari kalangan bawah mau menujukkan bahwa dihadapan Allah semua orang sama. Keunggulan dalam bidang akademis dan kelimpahan harta kekayaan bukanlah jaminan untuk terlaksananya tugas yang diberikan Yesus untuk mewartakan kasih dan cinta Tuhan. Hanya dalam hati yang rendah dan mau berkorban, Tuhan hadir dan meraja sehingga yang kecil dan hina dimata manusia menjadi indah dan luhur di mata Allah.
Intisari dari cerita Yesus hari ini yakni bagaimana nama hendaknya mampu mewakili sebuah pribadi. Dengan demikian pribadi itulah yang justru mendapat penekanan dan bukan nama yang hanyalah sebuah tanda. Dengan demikian pribadi manusia harus mendapat tempat yang pantas dan wajar dari sebuah nama yang berwujud status, pangkat, kekayaan, ketenaran dan sebagainya. Nama yang indah dan menawan seyogianya mampu mewakili kepribadian yang menarik, penuh rasa persaudaraan dan rela berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Persoalan selalu muncul ketika orang lebih menekankan nama yang dirangkai dalam bergama bentuk seperti pangkat, kekayaan, kecerdasan dan popularitas ketimbang pribadi yang sabar, bijaksana dan murah hati. Yesus memanggil kita seturut nama kita masing-masing untuk berkarya dan berusaha menjadikan Tuhan dan sesama sebagai tujuan pengabdian kita. Ketahuilah nama yang kita miliki tidak diberikan untuk kita gagal tetapi kita sendiri yang justru gagal merancang sebuah nama agar tetap harum dan dikenang semua orang.