Wednesday 8 December 2010

TEATER__MENEROBOS SUNYI----

MENEROBOS SUNYI
(Untuk Sang Sahabat)

By : Kiky Jura & Aloy Men
Efrata Gere, Medio Januari -100 AJ-


(Musik sendu - Tears in Heaven - dilantukan perlahan, dibacakan secara perlahan, mengiringan langkah Sang Pengembara)

Pengembara : Sahabatku....
Kemarin Engkau duduk menemaniku. Ketika Kau selesaikan tulisanku.
Pendar mata-Mu bagaikan bulan dalam remang-remang mimpiku tuk menjadi pewarta cinta-Mu
Narator : Sahabatku...
Pada sudut dinding yang retak, dalam remang cahaya Tabernakel
Tergugat rasa tak berdaya
Hasratkan hangat dekap-Mu kini,
Ku rindu bisik lembut pada kuping yang kalut oleh perang berkecamuk, dendam kesumat, penindasan, penganiayaan, keserakahan, dan...ohh...betapa kian menggurita... kuping-ku tak kuat lagi, seperti hendak lepas....
Ku cari Engkau...
Sahabatku...
Jauh sudah jalan yang kutempuh ini
Terbentur malam yang sia-sia
Ke setiap pelosok dunia ku jejaki
Beragam bukit-lembah ku lalui, pun tebing-ngarai ku takluki
Aku ditolak bahkan dibunuh, tetapi aku belum lagi mati...
Harapan seakan luruh
Engkau menjadi figur yang terlalu banyak untuk kupilih.
Sahabatku...
Dimanakah Engkau Kini?

(seorang berjalan dari belakang panggung dengan lentara di tangan seakan hendak mencari sesuatu)

Pengembara : Guru besar, katakan kepadaku di manakah sahabatku?
Guru besar : Pengembara...kita bersama berjalan jauh menuju langit tak terjangkau. Tentang Dia aku hanya bisa bertanya tetapi tidak punya jawaban final. Mungkin para rabi mengetahuinya.

(seorang yang berjubah masuk ke panggung dengan kitab suci di tangannya)

Pengembara : Salam bagimu Sang pewarta Firman. Tolong katakana padaku dimanakah sahabatku sekarang?
Rabi : Aku bukan nabi! Pewarta Sabda hanyalah suara yang beseru-seru di padang gurun. Siapkan jalan bagi-Nya. Luruskan lorong-lorong-Nya. Aku belum melihat wajah sahabatmu. Dia adalah cahaya yang memijari matahari dan menyinari lubuk hati. Ia menuntun orang buta, membimbing langkah pengembara, sedang mata kita tak mampu menangkap cahayanya.

(Seorang masuk sambil mengisap Rokok, dengan kertas dan pena ditangannya, gaya seorang penyair)

Pengembara : Penyair...katakan padaku dimanakah sahabatku...
Penyair : Pada mulanya adalah sunyi..... Sunyi itu melahirkan kata, kata itu menciptakan alam semesta dan alam semesta melahirkan madah.... Semua madah kembali kepada sunyi....(hening)...... maaf aku tak sanggup untuk melanjutkanya lagi...



Narator : Sahabatku....
Aku menanti dalam kegelapan yang terakhir, bagai kepompong dalam dahan yang kesepian. Aku berdiam dalam masa peralihan.
Antara hidup dan mati, terang dan gelap.
Tergantung tak berdaya...
Sahabatku....
Aku melawan kekosongan dan berjuang melawan kegagalan.
Ajari aku untuk menunggu sampai sayap-sayapku kuat
Tuk menjadi misionaris sejati-Mu....


(Saat narator membaca, pengembara berlutut penuh kepasrahan. Seorang berpakaian serba putih (Yesus) berjalan masuk dan berdiri di samping pengembara. Kemudian kembali keluar panggung tanpa disadari sang pengembara. Lagu “perjalanan ini...”

Narator : (mengiringi pengembara ke luar panggung):
Sunyi itu syahdu...
Sunyi itu ketenangan...
Sunyi itu kedamaian...
Sunyi itu keabadian...
Sahabat-ku ada dalam sunyi
Ia tidak bersembunyi pada kesunyian,
Karena Ia juga adalah kesunyian itu...


Selesai..........

Teks ini Terinspirasi dari puisi
P. Leo Kleden, SVD “ Surat Untuk Tuhan”
Share:

0 comments:

Post a Comment