Kata bukan hanya apa yang tertulis dan yang terucap tetapi apa yang dihidupi. Semakin ada kesesuaian antara apa yang ditulis atau yang diucapakan dengan apa yang dihidupi maka kata akan lebih bermkna dan memiliki kekuatan dalam dirinya sendiri. Dengan ini mau menegaskan bahwa kata berbeda dengan bicara. Atau dengan kata lain berbicara banyak belum tentuk mengatakan sesuatu. Saya, anda dan kita sekalian seringkali mengunakan kata, baik lisan maupun tulisan untuk menyampaikan pesan, kata hati atau pikiran kita kepada orang lain. Semakin sederhana dan jelas kata kata yang digunakan maka semakin mudah pesan tersebut dipahami dan dimengerti orang lain. Sebaliknya semakin luas, rumit dan berbelit-belit kata yang dipakai maka sangat besar peluang adanya interpretasi beragam, multi tafsir dan bukan tidak mungkin berujung pada kesalahapahaman dan konflik. Akhir-akhir ini, dalam arena politik kata-kata kehilangan kekuatannya. Kata-kata bukan lagi membantu orang untuk menyatukan perbedaan pendapat, mengeratkan relasi dan membangun rasa persaudaraan dan solidaritas tetapi dijadikan sebagai sarana untuk membalikkan banyak fakta dan kebenaran. Lebih parah lagi ketika banyak calon pemimpin atau pemimpin yang mudah memilih kata-kata biblis untuk membenarkan dan mendukung banyak tindakan korup dan manipulatif. Melihat semua kenyataan ini apakah kita masih mempersalahkan keberadaan sebuah lidah yang tidak bertulang?
Penginjil Matius menampilkan kecaman Yesus atas beberapa kota yang tidak mau bertobat sekalipun di situ Yesus melakukan banyak mukjizat. Yesus mengunakan kata “celakalah” untuk mewakili rasa kecewa mendalam atas keangkuhan dan kepongahan manusia yang makin lupa diri dan bahkan tidak tahu diri. Kata “celaka” adalah kata kutukan yang dalam arti lebih ringan berarti tidak mendapat berkat, selalu mendapat nasib malang, tidak pernah sukses dalam tugas dan karya serta tidak mendapat tempat dalam kerajaan Allah. Selain itu celaka berarti mendapat kemalangan atau mengalami nasib sial serta kematian tragis. Mungkin kita bertanya, bukankah Yesus seorang utusan Allah yang berkelimpahan dalam hal pengampunan dan kesabaran. Mengapa IA justru mengutuk manusia yang seharusnya diselamatkan karena sudah merupakan tujuan tunggal kehadiran-Nya. Atas pertanyaan ini tentunya kita harus kembali pada konteks yang lebih konkrit dan manusiawi. Kota Korazim dan Betsaida bisa saja gambaran sebuah hati yang terlanjur kaku dan keras sehingga sulit untuk dilunakkan lagi. Tidak ada cara yang paling tampan selain menggetarkannya dalam satu bentuk seperti nasib sial dan malang. Dengan demikian setiap pengalaman pahit dalam hidup bukan tanda ketidakhadiran Allah atau sisi lain dari kebaikan Allah tetapi bentuk penyadaran agar kita mengenal kata tobat. Kata celaka, tobat dan berbahagia sebenarnya satu garis lurus yang saling bersinggungan.
Tidak terhitung, berapa banyak dan jenis kata yang tertulis dan terucap dari bibir kita setiap hari. Terkadang kita berbicara banyak tetapi hampir tidak mengatkan sesuatu. Artinya kata-kata yang kita lontarkan tidak memiliki dampak lebih bagi orang lain. Kata-kata kita bisa saja menjadi suara hambar yang tak bermakna, bisa juga menjadi melodi penuh arti atau bisa berupa pedang yang siap menusuk kalbu. Kata-kata kita menjadi tawar ketika apa yang kita ucapkan tidak sepadan dengan apa yang kita lakukan. Orang yang plin-plan, cari muka dan munafik akan masuk dalam kategori ini. Selain itu kata-kata bisa berubah dalam bentuk sebuah pedang yang menusuk dan mengoyakkan nurani dan akal sehat. Orang yang mendengar kata-kata kita terluka, kecewa dan bisa saja menjadi beringas dan sadis. Tetapi kata-kata akan menjadi sebuah melodi indah saat kita tahu memuji, meneguhkan, memberi rasa aman dan tenang. Banyak yang mengatakan”Mulutmu adalah harimaumu” tetapi mulut tetap merupakan salah satu bagian tubuh yang lugu dan biasa selama tetap diam dan tidak mengatakan apa-apa. Yang membuat mulut itu menjadi harimau adalah kata-kata yang kita ucapkan. Ketahuilah kata-kata adalah manifestasi dari sebuah suasana jiwa, nurani dan akal budi. Semakin terampil dalam menulis dan peka dalam menyampikan sesuatu maka semakin jernih dan jelas isi hati dan pikiran seseorang. Gunakanlah kata-kata seperlunya sesuai kebutuhan, situasi dan konteks sosial masyarakat agar kat-akata tetap memiliki kekuatan yang mampu merangkul, memberdaya dan memberi isnpirasi kepada orang lain tentang perdamaian, persaudaraan dan solidaritas. Semoga dihadapan terang Sabda Allah dan Roh pemberi karunia lenyaplah kegelapan dosa dan kebutaan manusia tak beriman dan semoga hati Yesus hidup dalam hati semua orang. Amin