Tuesday 7 December 2010

MUSAFIR

Penghuni perkampungan Ribang sudah terlelap setelah seharian berpacu dalam waktu dengan rutinitasnya masing-masing sesuai dengan kedudukan dan pangkat yang diemban. Kuturunkan laju sepeda motorku di persipangan jalan tepatnya di kaki tugu yang bertuliskan “Rumah pertapaan Karmel Nilo-----4km”. Kuperhatikan tulisan itu dengan saksama. Huruf pahatannya masih utuh semenjak keberangkatanku empat tahun yang lalu. Begitu rapi dan halus. Perpaduan warna cat yang serasi dan harmonis menambah indahnya tugu yang berdiri kokoh dekat tikungan halus tiga puluh derajat itu. Dari tempat ini kutatap bangunan kokoh dan megah berjejer rapi dan teratur seperti kota Sparta dan Athena pada zaman Romawi kuno. Indah dan tenang penuh kedamaian sehingga mampu membawa angan dan khayalku pada cerita masa lalu disaat aku masih berpredikat Frater. Kala itu, di dalam sebuah gedung teater yang berada di antara gedung yang kokoh nan megah lainnya, untuk pertama kalinya aku bertemu dan berkenalan dengan seorang dara manis yang berparas indah, bermata bening dengan rambutnya yang terurai panjang kehitaman. Dalam dirinya mengalir darah Manggarai-Lembata. Begitu cantik bagai bidadari yang turun dari kayangan apalagi ketika ia mengenakan kacamata bening berminus satu setengah dan bertengger di atas hidungnya yang mancung. Ia kusapa Elcy. Nama lengkapnya Anastasia Elcy Permatasa Sari. Saat itu berstatus mahasiswi semester tiga Sekolah Tinggi Filsafat di bukit sandaran matahari.
Awal perjumpaan kami terbilang singkat dan kebetulan saja. Aku dan dia memiliki minat yang sama dalam seni panggung. Kami bergabung dalam anggota teater Aletheia, sebuah kelompok teater papan atas di kota ini. Ia tak banyak berbicara. Namun dari dalam diamnya itu, dia selalu mengalirkan ide yang segar dan sangat kreatif sehingga mampu menghasilkan naskah-naskah yang menarik, padat berisi dan penuh makna. Walau demikian ia tetap rendah hati, sopan dan mau mendengarkan. ”Selamat sore insan-insan pencinta Aletheia (kebenaran) yang saya banggakan. Terdahulunya saya mengucapkan selamat bergabung buat anggota baru, Ade Elcy dan teman-teman. Yang kedua saya menyampaikan bahwa kita sementara dikejar waktu dalam latihan tetater ini.. Waktu kita hanya sepuluh hari. Oleh sebab itu keseriusan dan kosentrasi kita sangat dibutuhkan baik sebagi pemeran, pengatur musik, petugas layar dan penata lampu sangat dibutuhkan” ujar kak Endro sang moderator teater dengan tenang dan penuh wibawa. Sebagai pemeran utama, aku menjadi fokus yang sangat menentukan. Sekujur tubuhku basah oleh keringat bagai berada dekat perapian yang panas membara. “Kamu kelihatnnya gugup sekali. Apa kamu belum menghafal semua dialog dalam teks?” tanya Kak Endro spontan ketika aku berdiri kaku dengan pandangan hampa di sudut kanan panggung. “Tidak Kak, aku sementara berusaha menenangkan batinku saja”. jawabku sekenanya. “Baiklah.....saya sendiri bangga dengan kamu. Sebab dari sekian banyak anggota, hanya kamu yang berani mengatakan ya untuk menerima peran yang dinilai sangat sulit ini” kata kak Endro yang mampu membuat rasa percaya diriku pulih kembali.
Teater yang berjudul “Musafir” dengan durasi waktu satu jam dua puluh menit ini mengisahkan tentang “Andry”, anak tunggal seorang politikus yang amat terkenal dan disegani. Ia menolak segala bentuk indoktrinasi dan mengeritisi sepak terjang kebijakan politis ayahnya yang selalu mengorbankan hak kaum kecil yang tidak berdaya demi suatu kepentingan politik yang dangkal penuh kepalsuan. Dalam suatu kesempatan ia bergabung bersama kelompok kelas bawah untuk bersuara bagi mereka yang tidak bersuara, menyerukan penolakkan tambang dan segala bentuk militerisasi yang tidak beralasan apalagi melalui cara-cara yang sangat arogan dan otoriter. Lantas ia dijauhkan dari lingkungan keluarga birokrat bahkan diusir oleh orang tuanya sendiri dari rumah. Dalam kepahitan dan kemelaratan hidup ia ditampung oleh sebuah keluarga petani yang sederhana namun selalu ada canda dan tawa penuh kebahagiaan tanpa terlalu memikirkan apa yang harus dimakan dan dipakai. Mereka tidak membutuhkan barang-barang hiburan seperti TV, tape dan semacamnya sebab jiwa mereka sudah terhibur oleh sikap tegur sapa yang akrab dan penuh persaudaraan. Dalam perguliran waktu yang amat teratur itu, ia jatuh cinta dengan “Dewi”. Seorang gadis desa yang sederhana, santun dan lemah-lembut. Diakhir cerita Dewi, gadis kesayangannya itu, terserang leukimia dan menghembuskan nafas untuk terakhir di pangkuannya sendiri. Padahal mereka sudah merencanakan waktu dan acara pernikahan. Andry sungguh merasa kehilangan dan putus asa yang amat dalam. Dalam situasi desolasi demikian ia akhirnya memutuskan untuk mencari arti hidup dibalik tembok biara pertapaan. Kemudian meninggal sebagai seorang rahib.
Adegan pertama berlalu dan dinilai sempurna. Namun ketika memasuki adegan kedua saat aku (andry) dan Elcy (Dewi) berkenalan dan saling bertatapan, aku merasa seluruh tenagaku lenyap oleh seluruh tatapan mata “Dewi” yang tenang, dalam dan penuh makna. Semua dialog yang sudah kuhafal serentak sirna dari otak kiriku. Genggaman tangan “Dewi” semakin erat yang membuat jantungku berdebar tak menentu. “Kamu dari mana?” kataku setengah berbisik. Elcy tampak bingung sebab kalimat itu tidak tertera dalam teks. Kemudian ia tersenyum dan tertunduk malu. Aku tetap menggenggam tangannya, meremas dan terus memandangnya. “ Dari Manggarai, tapi bapa dan mama bertugas di dinas pendidikan di kota ini” jawabnya sambil berusaha untuk mengangkat kepala dan menatapku. “Stop.......stop..........! adegan mana yang sedang kalian ragakan ini. Sekali lagi saya ingatkan supaya apabila kamu sudah berada di atas panggung, tampilkan dirimu sebagai kamu yang dalam teks. Usahakan untuk tidak terbawa pada diri kamu yang sebenarnya di luar panggung. Tetap fokus dan jangan sekali-kali membias. Okey?” kata Kak Endro dengan cukup serius. Kuraih kembali teks yang tergeletak di sudut panggung dan membaca ulang adegan kedua ini. Namun setiap kali aku berusaha untuk mengingat kembali pada saat yang sama getaran aneh yang mengalir dari telapak tangan “Dewi” menghilangkan semuanya dari benakku. Pengatur musik, penata lampu dan petugas layar kelihatan sudah tidak bersemangat lagi. Beberapa orang lebih memilih bermain game dalam Hpnya ketimbang memberi masukkan. Sementara Kak Endro duduk di bangku paling belakang dari gedung teater itu sambil bertopang dagu dalam keputusasaan. Elcy datang menghampiri dan menatap ke arahku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Situasi tampak hening. Tak ada yang berani berbisik, menggesekkan kursi apalagi berbicara. Aku berdiri perlahan, meraih tangan tangan Elcy menuju ketengah panggung.
”Wi....apakah arti sebuah kebersamaan bagimu?” kataku tenang dan mengyakinkan sekaligus babak kedua segera dimulai. “Aku tidak tahu apa yang kamu katakan! tapi aku tahu apa yang tidak kamu katakan” jawab “Dewi” dengan tenang. Aku tersenyum. Kubelai rambutnya dengan mesra dan membiarkan tangannya melingkari pinggangku. “Semenjak pertama kali aku memandangmu, kamu sangat berbeda dengan “Dewi” lain yang merupakan pilihan orang tuaku. Mereka tampak cantik dengan senyuman yang memikat. Namun itu hanya bertahan beberapa waktu saja sebab setelahnya mereka menyodorkan beragam syarat yang sangat sulit kupenuhi. Mereka menjanjikan aku banyak harta, kedudukan dan kehormatan tapi tidak pernah membiarkan aku tampil seperti diriku sekarang ini. Makasih yah! Kamu telah mengajarkan aku arti cinta yang sesungguhnya. Kamu memberikan kebebasan yang besar bagiku agar boleh mencintai kamu dengan caraku sendiri. Aku sangat mencintai kamu Wi.” kataku dengan ekspresi yang sempurna. Semua Pengatur musik, penata lampu dan petugas layar tersentak dari lamunananya setelah pikiran dan perasaan mereka terbawa oleh akting yang kuperankan, kemudian bergegas menuju posisi mereka masing-masing, sementara Kak Endro mengumbarkan senyum kebanggaan. “Kamu salah kak...apalah arti cinta dari seorang gadis desa yang miskin seperti aku. Tidakkah kebahagiaan itu diidentikkan dengan uang? Aku takut kamu hanya mau mempermainkan perasaanku sebagaimana yang dibuat oleh orang kaya pada umumnya”. kata “Dewi” sambil tertunduk. Kuangkat dagunya dengan lembut dan meletakkan jariku pada bibinya yang tipis kemerahan. “Kamu terbawa oleh sebuah sikap generalisasi Wi! Setiap orang itu berbeda dan unik dalam dirinya masing-masing. Aku bukan mereka dan mereka bukan aku.” kataku setengah berbisik sambil mendaratkan sebuah ciuman lembut, penuh kasih yang mendalam di dahinya. Layar perlahan-lahan ditutup, lampu dipadamkan bersamaan dengan tepukan tangan kepuasan dari semua yang hadir. Adegan ketiga dan keempatpun berlanjut tanpa hambatan berarti.
“Kelihatannya kalian serasi sekali! Kalian rupanya memiliki bakat yang sama dalam hal seni panggung” komentar Kande, teman baikku. Ia adalah penyusun naskah dari Teater ini. Ia duduk disamping Elcy sambil menawarkan leluconnya yang khas dan unik sambil menikmati sneck yang telah disiapkan. Namun di tengah suasana rileks dan santai itu aku menemukan sesuatu yang terpancar dari raut wajah dan tatapan mata Elcy. Terasa tawar dan hampa. “Kamu kenapa Cy?” tanyaku dan menyadarkan ia dari lamunannya. “Tidak kenapa kak, aku cuma merasa kelelahan saja. Mungkin karena tadi malam terlambat tidur” jawabnya spontan sambil mengatur posisi duduknya. Aku hanya menatapnya dalam diam. Sesekali ia menatapku sehingga menimbulkan hasrat dalam diriku untuk bertanya lebih lanjut. “Maaf Cy, bukannya aku mau mengetahui urusanmu. Tapi paling tidak hal ini mungkin ada hubungannya dengan keberhasilan kegiatan kita ini. Kenapa harus tidur terlambat? Apa.... karena kamu merasa terbebani dengan banyaknya dialog dalam teks yang mesti kamu hafal? tanyaku sambil terus menatapnya. “Bapaku sedang sakit di rumah. Selama ini, ia batuk-batuk. Dan beberapa hari terakhir ia mengeluh sakit pada bagian kiri dekat ulu hatinya” kata Elcy melemah setelah lama terdiam untuk memilih kata yang cocok baginya. “Apa pernah diantar ke Dokter?” tanyaku lagi setelah ia memasukan naskah teater ke dalam tasnya. “Bapaku seorang yang tegar dan prinsipil. Ia tidak mau dibantu sebelum ia berusaha untuk menyelesaikan persoalan dengan kemampuannya sendiri” jawab Elcy sambil berlangkah dan berpamitan pada yang lain. “Boleh saya mengantarmu?” sahutku, menawarkan diri. Ia tersenyum, memberi sinyal tanda setuju padaku. Akupun memboncengi Elcy dengan sepeda motor Supra-X miliknya. Setiba di rumah, Ibu Mia, mamanya Elcy sedang sibuk memasukkan pakaian dalam tas sambil berbicara dengan seseorang melalui telpon genggamnya. Dari pembicaraan itu, jelas terdengar bahwa Ibu Mia sedang berbicara dengan Dokter Tegu dan meminta ambulans untuk membawa Pak Karman ayahnya Elcy ke rumah sakit yang terletak satu kilometer dari rumah. Elcy terlihat bingung dan tak tahu harus berbuat apa selain menangis. Bersama beberapa orang dari tim medis rumah sakit, aku membantu mengangkat Pak Karman yang sudah tak sadarkan diri ke dalam ambulans. Karena mobil terlalu sesak maka aku dan Elcy mengekori mobil itu dengan sepeda motor menuju rumah sakit. “Frater bisa kembali dan istrahat. Nanti saya ke biara dan menjelaskan semua ini pada Pater pendamping” kata Ibu Mia, setelah hampir sembilan jam kami bertiga duduk disamping tempat Pak Karman berbaring. Dan selama itu juga situasi terasa tegang sehingga tidak mengucapkan sepatah katapun. Hening dalam kegalauan hati yang tak menentu. Yang ada hanya isak tangis Elcy yang makin lama makin melemah. Aku mengangguk setuju, berpamitan dan segera berlalu dari ruangan Vip berukuan enam kali tujuh meter itu. Namun belum sempat aku menghidupkan mesin motor, tiba-tiba aku mendengar tangisan penuh pemberontakan dari Elcy. Tak lama berselang para perawat dan dokter datang untuk membantu dengan memberi nafas buatan kepada Pak Karman dan menguncangkan dadanya. Namun Tuhan berkehendak lain. Pak Karman sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir lima menit yang lalu. Ternyata ia menderita kanker jantung. Tanpa sadar air mata mengalir secara spontan dari kelopak mataku. Elcy menumpahkan semua kesedihannya dalam pelukanku. Aku merasakan bagaimana air matanya mengalir deras dan membasahi baju dan dadaku. Sepeninggalan ayahnya, Elcy hanya ditemani mama dan adiknya Roy yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Pertunjukan teater yang dihadiri banyak undangan dari berbagai kalangan dan beragam status sosial mulai dari pemulung hingga para birokrat papan atas menunai kesan sangat memuaskan. Rupanya latihan yang pernah kami buat sembilan hari yang lalu merupakan latihan pertama dan terakhir kali. Elcy melakonkan perannya dengan baik dan sempurna walaupun rasa duka belum hilang dari hatinya.
Sepeninggalan ayahnya, aku selalu bertandang ke rumah Elcy dengan membawa serta beragam kalimat peneguhan dan hiburan dalam canda dan tawa yang membuat Elcy semakin merasa dikuatkan, diperhatikan dan dicintai. Namun tanpa kusadari kedekatanku dengan Elcy dan keluarganya membuat aku merasa asing dengan komunitas biara, tempat aku menjalin relasi yang hidup dengan sama saudaraku yang berasal dari beragam latar belakag adat istiadat, kebudayaan dan tempat tinggal. Kami disatukan oleh sebuah cita-cita, pandangan dan panggilan hidup yang sama yakni ingin membaktikan seluruh diri hanya untuk Tuhan dan sesama. Ada banyak tugas yang terbengkelai, kegiatan penting yang menuntut keterlibatanku pun kuabaikan sementara itu hubunganku dengan teman-teman dan para pendamping tidak serileks dan seakrab sebelumnya. Aku lebih banyak mengurung diri dalam kamar. Setelah menyusun skripsi dan melalui refleksi yang matang bersama pembimbing rohaniku, maka kuputuskan untuk menanggalkan jubahku dan berada di luar tembok biara untuk sebuah kurun waktu yang tidak ditentukan. Keputusan yang kuanggap paling bijaksana sebab dalam hatiku berkata “Di luar tembok biara sama sekali tidak mengurangi cinta Tuhan padaku”. Awalnya keluargaku, Elcy dan mamanya sulit menerima keputusanku yang dinilai sangat gegabah itu. Namun aku mengetahui apa yang terbaik bagiku sebab akulah yang menjalankannya. Lagi pula aku meminta untuk memurnikan panggilanku bukan karena dan untuk Elcy. Aku memang sangat mencintainya tapi bukankah cinta tak selamanya harus memiliki?
Setelah diwisuda sebagai sarjana Filsafat, aku bekerja pada sebuah LSM terpercaya di Pulau Dewata. Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki jaringan kerja yang sangat luas di berbagai negara di belahan dunia ini. Dari segi penghasilan, gajiku melebihi gaji orang tua Elcy. Di tempat ini ada banyak pengalaman yang kudengar, kusaksikan dan kualami sendiri yang akhirnya membuat aku sadar bahwa perjuangan untuk mempertahankan panggilan hidup entah sebagai biarawan, kepala keluarga dan lain-lain adalah suatu kenyataan yang mesti dijalankan dan bukan untuk dihindari. Semuanya membutuhkan pengorbanan untuk kemudian dijalani dengan penuh kegembiraan dan dengan penuh rasa syukur. Beberapa bulan setelah aku memutuskan untuk melamar kembali menjadi seorang biarawan setelah berada di luar selama enam tahun, Elcy dipinang oleh seorang pemuda tampan berstatus dokter spesialis kandungan. Dia sangat ramah, santun dan bertanggung jawab. ”Teng....teng.....g.....” tiba-tiba sayup-sayup kudengar lonceng Anjelus dari Kapela biara tempat aku pernah hidup dan bertumbuh sebagai seorang frater berkaul sementara. Kuhapuskan beberapa butiran bening dari kelopak mataku oleh rasa duka yang masih tergores di hatiku. Elcy telah pergi untuk selamanya. Ia meninggal sebulan sebelum acara pernikahannya dalam kejadian tragis ketika pulang liburan dari Manggarai. Ia bersama kedelapan belas penumpang lainnya tertimbun tanah longsor bersama bus yang mereka tumpangi dan mati lemas didalamnya.
Warna merah tembaga menerangi kaki langit di ufuk timur, sementara angin pagi berhembus diantara dahan-dahan membawa galak tawa padang ilalang dan cucuran rahmat dari surga. Beberapa saat kemudian sayap-sayap mentari pagi mengembang pasti kemudian menemukan persinggahan klasik di pelipit bukit. Bukit sandaran matahari. Di sini dan di tempat ini aku pernah mengukir kisah dan mendaur realita untuk mengais makna dalam ziarah panggilanku. Aku berdiri perlahan penuh optimisme dari tugu itu dan mengarahkan sepeda motorku menuju taman yang masih menyisakan cerita cinta yang tak pernah suram. Apakah aku diterima kembali dan boleh mengenakan jubah putihku? Aku belum tahu!

......................sekian............................
Share:

WATU TIMBANG RAUNG

“Inilah kesempatan bagiku untuk berdua” Pikirnya. Ia mndekati gadis yang berada tak jauh darinya. Tampak Lusi begitu tenang Seakan telah menduga maksud dari laki-laki tampan berwajah mongoloid yang dicintainya itu. Anton memegang tangan Lusi dan memandang bibir yang sensual, wajahnya yang merah segar dan matanya tang tajam penuh kelembutan dan ketulusan yang dalam. Tiba-tiba debaran dada Anton melonjak-lonjak, seolah-olah jantungnya menjadi terlalu sempit hendak pecah, keringatnya perlahan-lahan mengalir dari sekujur tubuhnya. Tampak Lusi tetap berdiam dan menunggu walau sedikit terganggu oleh denyut jantungnya sendiri. Namun genggaman tangan Anton bukannya semakin erat tetapi malah mengendor dan Lusi merasakan itu.
“Ada apa anton?” tanya Lisi setengah berbisik.
“Aku takut Lus”
“Kenapa kamu takut?”
“Lus....sebenarnya jarak antara kau dan aku sangat lebar dan dalam. Bukan secuil bantara yang dengan mudah kutapaki. Bukan pula sebuah plastik transparan yang mudah kuterobosi. tetapi diantara kita terdapat jurang yang amat lebar dan dalam. Aku sungguh mengenal ketulusan hatimu dan kusadari bahwa aku memang sangat mencintai kamu. Tetapi aku tidak ingin kamu kecewa dan tersakini bila akhirnya cinta yang terbina itu akhirnya pudar oleh kerena banyaknya perbedaan diantara kita. Apalah artinya dari cinta seorang yang miskin dan melarat seperti aku”. sahut Anton sedikit serak. Lusi membisu seakan tak ada kata yang cocok untuk mengukapkan isi hatinya dan akhirnya ambruk dalam pelukan Anton. Ia menangis sejadi-jadinya dan tidak ingin lepas dari pelukan Anton. “Lus....kita ditakdirkan untuk lahir dalam budaya seperti ini, bahwa keturunan Kraeng seperti kamu tak mungkin bersanding dengan keturunan Mendi seperti saya. Masyarakat kita tidak mengenal banyak mengenal arti sebuah cinta. Bagi mereka cinta adalah harta dan harga diri. Kamu tahu itu kan? Lusi tetap membisu kemudian menatap Anton dan membiarkan butiran bening membasahi wajahnya yang putih bersih itu. “Kak... Yang aku tahu bahwa kekuatan cinta mampu mengalahkan semuanya termasuk jurang perbedaan diantara kita. Bukankan manusia itu terlahir oleh cinta, dari cinta dan untuk cinta?. Anton tersenyum bangga digenggamnya tangan Lusi sambil mendaratkan sebuah ciuman pertama yang sangat lembut dibibir Lusi. Ingin rasanya mereka berada lebih lama lagi ditempat lokasi mata air itu namun suara gogong membuat mereka segera berpisah. Luci menuju mata ait dan mencuci pakaian sementara Anton segera menghilang dibalik pepohonan seolah-olah hendak mencari kayu api. Akan menjadi sebuah berita yang heboh dan memalukan apabila mendapati dua orang berlawanan jenis berada bersama apalagi di tempat sunyi seperti ini sebab banyak masyarakat masih berada di kebun dan sekitar jam lima sore sepulang dari kebun baru datang menimba air atau mencuci. Bila kedapatan tak segan-segan mereka dicambuki di halaman kampung bahkan dikucilkn dari pergaulan masyarakat. Apalagi yang didapat itu adalah masyarakat yang berbeda status seperti Anton dan Lusi. Ada banyak perasaan mulai berkecambuk dihati lusi, jangan sampai ada orang yang menyaksikan adegan romantis yang ilegal itu. Tetapi bukanku sekarang baru pukul setengah tiga sore? Tiba-tiba bulu kuduknya merinding, sebab menurut cerita tempat ini sangat angker dan tak seorangpun berani datang pada jam dua belas hingga jam empat sore. Kalau bukan demi cintanya pada Anton dia tidak mungkin datang jam jam dua seperti ini dan mencuci pakaian. Oarang tuanya sangat memanjakan dia sebagai anak putri semata wayang dari keluarga. Belum hilang rasa takutnya tiba-tiba seorang nenek menyapanya dari arah belakang. “Eneng.........cuci ko? Dia langsung menoleh dengan sedikit berteriak karena kaget. Seandainya saja dia tidak kuat pasti langsung ambruk seketika ketika mendengar dan melihat wajah orang yang menyapanya. Lopo Gina. Seorang nenek yang dikenal masyarakat memiliki kekuatan gaib yang membahayakan (Suanggi). Memang dilihat dari wajahnya yang hitam terbakar sinar matahari ditambah dengan giginya yang hampir punah dan rambutnya yang memutih tak terawat dengan tatapan mata yang tajam sepertinya predikat suanggi amat cocok dilekatkan pada dirinya. Lopo Gina sangat mengagumi kecantikkan Lusi yang begitu cantik bagai bidadari yang turun dari kayangan. Memang selama hampir sepuluh tahun terakhir semenjak diusir warga desa karena dituduh memiliki suanggi ia jarang beretemu dengan orang lain kecuali anak laki-laki dan cucunya yang amat dicintainya. Dia sengaja datang menimba air pada jam seperti ini agar tidak bertemu dengan orang sebab ketika mayarakat melihatnya mereka spontan lari seperti dikejar harimau. Pandangan masyarakat terhadap diri terlampau hitam. Tidaklah heran apabila ia terus menatap Lusi yang dikenal waktu kecil ketika adik lusi yang kedua lahir melahirkan. Ada rasa bangga dan kagum dihatinya melihat anak bangsawan mencuci sendiri pakaiannya. Amat jarang dan hampir tidak pernah terjadi seperti itu sebelumnya. Mereka biasanya memiliki banyak pembantu. Jangan untuk mencuci pakaian, menimba air untuk mandi saja pembantu yang kerjakan semuanya. Namun sayang, Lusi sudah ikut dibentuk oleh pandangan umum mengenai lopo Gina. Sekujur tubuhnya dibanjiri oleh keringat oleh suhu badannya drastis naik oleh rasa takut yang amat dalam. “ Lus....Kamu belum selesai cuci ? sahut Anton yang datang dari balik dedaunan. Ingin rasanya Lusi melompat dan ingin memeluk Anton tapi akhirnya ia mampu menahan diri. Anton adalah penyelamatnya. Melihat kehadiran Anton Lopo Gina hanya tersenyum penuh pengertian dan setelah menimba air iapun segera berlalu dari hadapan kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu. Anton hendak mengyakinkan Lusi bahwa Lopo Gina adalah nenek yang paling menyayanginya dan hanya dialah kunci rahasia hubungan mereka, lusi berkata lirih dicekam rasa takut yang masih mencekap dalam dirinya
“Seandainya saja kamu tidak segera datang pasti aku langsung mati berdiri di sini”
“ Memangnya kamu takut dengan dia? Yah.....muka memang menakutkan.........”
“ Dan ia memiliki suanggi. Karena dialah Adikku meninggal beberapa tahun yang lalu”
“ Ka....a....mu..........” kata Anton terbata-bata dan telingga tersasa dibakar disambar petir disiang bolong ketika menedengar perkataan Lusi
“ Kenapa kamu kenal dia? tanya lusi ketika menangkap suatu yang aneh dari siakp Anton. Anton mengelengkan kepalanya walau Ingin rasanya segera menjawab “Ya” tetapi ia takut kehilangan Lusi hanya karena sebuah pengakuan. Lopo Gina yang ditakuti Lusi itu adalah nenek yang amat mencintai dan dicintai Anton. Nenek yang selama ini selalu mengajarnya dan menasihatinya untuk selalu hidup jujur, rajin berdoa dan mampu memaafkan orang lain. Sebagai anak tunggal, Anton menjadi anak emas keluarga khususnya dari Lopo Gina. Bahkan diusianya yang hampir dewasa ini Lopo Ginalah yang menjadi tempat curahan hati Anton ketimbang mamanya sendiri khususnya mengenai hubungannya yang khusus dengan Lusi anak bangsawan yang disegani di desanya. Maka ketika Anton mendengarkan apa yang dikatakan Lusi hatinya terasa hancur berkeping-keping. Memang dia pernah mendengar cerita “miring” dari masyarakat tentang nenek yang amat dicintainya ini tetapi itu sepintas lalu dan Anton tidak terlalu memikirkannya. Anton segera berlalu sebelum beberapa orang pembantu menyusul Lisi dan meninggalakan Lusi yang hanya menatapnya penuh keheranan. Meminta Anton untuk menjelaskan sikapnya itu tidak mungkin sebab para pembantu telah tiba dan segera mengantarnya pulang ke rumah. Anton yang selalu ceria dan bahagia seakan tak mengenal kesusahan itu lebih banyak diam, murung dan selalu meyendiri menarik perhatian cukup menarik perhatian keluarga hingga kemudia ayahnya mendekati dan menanyakan prihal sikapnya itu. Awalnya Anton merasa berat untuk menceritakannya tetapi karena selalu dibujuk akhirnya diapun menceritakan semuanya penuh nada kecewa, tidak puas dan sakit hati yang amat dalam. Dia menangis seperti seorang anak kecil yang merindukan belaian manja dan kata hiburan dari orang tuanya. Kemudia ayahnya menjelaskan : “Itulah susahnya menjadi orang kecil. Kita tidak bisa berbuat lebih bayak kecuali hanya bisa menunduk, mengangguk dan diam. Nenek kamu adalah korban keangkuhan dan ketidakadilan dari masyarakat lapisan atas. Dulu nenekmu dikenal sebagai orang yang pandai membantu semua ibu yang hendak melahirkan tanpa mengharapkan imbalan. Satu-satunya orang dari lapisan mendi yang memiliki kemampuan sebesar itu. Hal ini tentu saja membuat orang-orang dari lapisan Kraeng merasa iri hati. Berawal dari sikap ini maka mamanya Lusi tidak mau mengundang nenekmu untuk ikut membantu proses persalinannya dan karena tidak ada yang bisa membantu maka mamanya Lusi dan bayinya ( adik Lusi) meninggal. Ayah Lusi tentu saja merasa terpukul dengan pristiwa ini dan menjadikan nenekmu sebagai “kambing hidup” atas kematian istri dan anaknya. Nenekmu hampir dibunuh tetapi utunglah ada orang yang berhati baik untuk membelanya maka dia hanya diusir dan dikucilkan dari pergaulan masyarakat hingga sekarang”.
Dalam keadaan yang serba menentu itu akhirnya Anton memutuskan untuk pergi merantau sekadar menghilangkan kepenatan dalam pikirannya tanpa sepengetahuan Lusi, Lopo Gina dan orang tuanya. Dia pergi mebawa serta kehancuran di hatinya dan hanya bisa membiarkan roda waktu yang amat teratur itu untuk merangkainya kembali.
Enam tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Anton untuk menerima bisa menerima dan memahami kenyataan hidup yang dialaminya itu. Dalam waktu itu juga ia berhasil menemukan arti sebuah hidup sebagai sebuah roda yang senantiasa berputar. Dirnya yang dulu serba kekurangan kini memperoleh pekerjaan yang tetap dngan hasil yang sangat memuaskan. Segala sesuatu yang diinginkannya pasti didapat. Staus Mendi yang pernah melekat pada diri dan keluarganya kini telah menjadi certa masa lalu yang hanya perlu dikenang. Namun ditengah keberlimpahan harta dan kekayaan ada suatu ruang kosong yang terus memaksanya untuk diisi yakni Cinta. Cinta yang tulus dan sempurna dari seorang gadis. Maka disaat itulah bayangan dan kata-kata Lusi kembali melintas dalam benaknya “Kak... Yang aku tahu bahwa kekuatan cinta mampu mengalahkan semuanya termasuk jurang perbedaan diantara kita. Bukankan manusia itu terlahir oleh cinta, dari cinta dan untuk cinta? Hal inilah yang membuatnya ingin kembali ke kampung halamannya dan merajut kembali benang cinta yang pernah putus oleh pristiwa masa lalu. Betapa sedih hatinya ketika nenek yang dikasihinya telah meninggal dan yang ada hanyalah sebuah kuburan yang berukuran tiga kali lima meter. Lebih dari itu Anton seakan tak percaya bahwa akan apa yang dialami keluarga Lusi yang dulu memiliki harta yang berlimpah dengan pembantu yang banyak , kini hanya menempati sebuah bangunan tua yang reot di pinggir desa. Ayah lusi sang bangsawan itu kini diliti beban utang yang kian hari kian besar oleh sistim ijon yang tidak manusiawi dari beberapa pemilik modal di desanya. Dan bagaimanakah dengan Lusi? Lusi........yah Lusi hanya menjadi sebuah nama masa lalu yang mampu menebarkan jantung dari setiap pemuda yang memandangnya. Kini dia tidaklah lebih dari seorang gadis yang menjadi tumbal keangkuhan keluarganya. Badanya kurus bagai mayat hidup yang hanya menanti saat untuk dieksekusi mati. Dia berusaha tersenyum memandang Anton yang terus meneteskan air mata memandang keadaannya. Cintanya yang layu bersama impiannya yang hancur untuk hidup bersama dengan Lusi. Tiga hari hari lagi Lusi akan dieksekusi mati secara adat sebagai pelunas hutang keluarganya, Lusi berpesan “Kak....aku sangat bahagia memandangmu disaat-saat menjelang kepergianku. Aku hanya mau mengatakan kepada kamu bahwa kekuatan dapat mengalahkan perbedaan manusia. Sebab kita memang terlahir dari sumber cinta yakni Tuhan sendiri. Ada karena cinta dengan kehadiran sesama disekitar kita dan untuk cinta melalui sikap pengorbanan. Aku ingin ingin kakak menjadi saksi dari semua pernyataanku ini dan sekalipun kita tak dapat hidup bersama tetapi aku sungguh menyadari bahwa didunia ini tidak ada yang abadi kecuali sebuah cinta yang tulus tanpa dibatsi oleh apa dan siapapun. Aku sungguh mencintai kamu”. Anton memeluknya dengan penuh kasih dan tidak menghiraukan orang-orang disekitarnya “saya akan melunasi semua hutang keluarga kamu dan mebawa memperkarakan orang-orang yang telah menjerat keluargamu dengan ijon yang cukup tinggi” sahut Anton dengan tulus. “Aku sendiri bangga denga kamu Ton. Tapi apakah engkau pernah berpikir bahwa kekayaanmu itu bersifat sementaraa? tidak! kalau kamu mau bagikanlah hartamu itu pada orang-orang yang mebutuhkannya. Apakah engaku bisa membayar hutang keangkuhan dan ketidakadilan yang dibuat oleh keluargaku terhadap Lopo Gina. Palu sudah dijatuhkan” jawab Lusi tegas dan membuat Anton tersudut serentak ada rasa kagum dihatinya. “ Lus....aku juga bangga dengan kamu dan seperti yang kamu katakan bahwa kekuatan cinta dapat mengalahkan perbedaan tetapi kenapa kita harus berpisah? Kenapa yang satu dihukum dan yang lain menghirup napas kemerdekaan? Aku ingin pergi bersamamu dalam alam yang berbeda sekalipun” sahut Anton mengyakinkan. Lusipun kembali jatuh dalam pelukannya untuk terakhirkalinya ia kemali mengecup bibir Lusi dengan lembut.
Adapaun di bagian barat kampung itu terdapat gunung batu yang amat tinggi, kira-kira dua ribu kilo meter tingginya. dipuncaknya terdapat batu tempelan yang menjorot keluas dengan panjang mencapai dua puluh lima meter dengan lebar tiga meter. Lusi harus berjalan sebanyak tujuhkali di atas bati tempelan itu sambil membersihkan rambut dengan remah kelapa (rono). Dan bila ia berhasil maka seluruh hutang keluaganya dihapus. Semua orang tahu termasuk Anton bahwa dipuncak batu yang tinggi itu anginya sangat kencang dan jangankan dalam posisi berdiri apalagi berjalan merangkak saja pasti langsung dihempas angin dan jatuh berkeping-keping. Oleh karena itu bayangan kematian Lusi sudah melakat dibenak Anton. Ia pergi menuju pondok kecil temapt Lopo Gina berdiam dulu. Menikamkan dirinya dan langsung tewas seketika. Gong dan gendang ditaburkan pratanda saat-saat dieksekusi telah tiba. Lusi diantar beberapa orang tapi mereka tidak berani sampai dipuncak dan menyuruh hanya menyuruh Lusi untuk mendaki hingga mencapai puncak dan melakukan apa yang sudah diperintahkan. siapa yang pernah menduga ketika Lusi berhasil melakukan itu dan terluput dari bahaya maut itu. Tetapi ia tidak pernah turun kembali sebab yang berjalan diatas itu bukan Lusi tetapi seorang bidadari dan ketika semua warga desa menuju tempat eksekusi itu ia menyusuli Anton ke pondok Lopo Gina dan kembali menikam dirinya. Mereka akhirnya bergabung dalam kelompok bidadari dan tempat itu kini disebut “Watu Timbang Raung” (Batu untuk menimbang hutang).

Watu Timbang Raung, terdapat di desa Regho dan telah menjadi salah satu obyek wisata Kab. Manggarai Barat. Bersamaan denga meletusnya gunung Krakatau batu tempelan itupun patah. Tetesan air pencuci rambut telah menimbulkan mata air di bawahnya dan masih ada hingga sekarang.
Kraeng, Golongan bangsawan
Mendi, golongan hamba
Eneng, panggilan untuk seorang anak perempuan
Lopo, panggilan untuk seorang nenek yang sudah sangat berumur.
Share:

GERHANA DI MATAMU

Mobil traver Timor Oeste meluncur perlahan membelah bentara tanah Timor yang rata dan yang ditaburi bukit-bukit berpadang sabana. Dipinggir jalan selalu disirami wangi cendana yang harum semrbak. Perlahan-lahan matahari turun seakan hendak menciup kaki langit di ufuk barat, semantara remang senja merayap dan kurasa bagaikan tangan ajaib meraba kulitku dan tiba-tiba meremas hatiku. Alunan lagu Tetun-portu berdengung halus dan membuat aku terbuai untuk masuk ke alam mimpi sehingga tidak mengetahui kehadiran seseorang di sampingku. Lama aku tertidur sampai akhirnya aku tersadar ketika mobil mini itu di hadang oleh sebuah tikungan tajam dan membuat kepalaku menyentuh lembut bahu kanannya. Ketika mengangkat mata dan membuka mata, jantungku berdetak kencang oleh beragam perasaan yang menggerogoti hatiku. Untuk kedua kalinya aku menggosok kelopak mataku sampai aku sungguh yakin kalau yang berada di sampingku sungguh seorang anak manusia yang amat cantik dan manis. Dari sekian tempat yang kukunjungi, baru kali ini aku melihat gadis seperti bidadari yang turun dari khayangan. Kecantikannya seakan menjadi sempurna ketika kaca mata mungil berminus satu setengah bertengger di ats hidungnya yang mancung.
Namun ada seseuatu yang terpancar dari balik kaca bening itu, sayu dan hampa seakan menyimpan segudang duka, kecewa dan sakit hati yang amat dalam. Kuakui bahwa diriku seorang yang amat rileks dan dalam waktu sedetikpun aku dapat bergaul dengan seseorang meskipun belum kukenal sebelumnya. Tetapi kali ini aku sungguh tak mampu dan hampir menyerah untuk memperkenalkan diri padanya. Suasana dalam mobil itu sangat hening dan sesekali aku mendengar klaksosn mobil itu menyapa setiap tikungan yang dilewatinya. Aku berusaha untuk kembali memejamkan mata tetapi setiap kali aku mencobanya seketika itu juga muncullah niat untuk memandang matanya itu. Akhirnya dengan keberanian yang tersisa akau berani membuka percakapan dan di dahului dengan gesekan kaki dan batuk-batuk ringan sekadar menarik perhatiannya. “Hai...kamu hendak ke mana?” tanyaku sekenanya. Ia menatapku dengan tajam disertai raut wajah yang serius seperti mengganggu naga yang sedang tertidur pulas. “Apa urusanmu dengan aku? Ke mana aku pergi tidak terlalu penting buatmu. Atau mobil ini milik moyangmu sehingga harus mengetahui tujuanku?”. Demikian suaranya hadir dan membuat aku bingung dan cengar-cengir karena malu. Dengan pengetahuan yang ada aku berusaha tenang.
Keheningan kembali hadir dalam mobil itu, hingga kemudian ia melanjutkan lagi. “Mengapa kamu harus repot denganku? Apa kamu suadah tidak ada kerja lagi? Apa kamu berpikir kebebasan ini hanya milikmu?” Dengan sedikit membuang muka ia terus mengumpatku. “Semua laki-laki memnag sama, Tak berperasaan. Yang ada pada dirinya hamyalah keegoisan, kesombongan, keserakahan dan hatinya dibekukan oleh nafsu yang mengebu-ngebu”. Aku diam dan tenang tapi tetap menunjukkan sikap sebagai pendengar yang baik walau telingaku terasa panas seperti disiram arang api kusambi yang membara. Sekali lagi ia menatapku dan berkata “Mengapa engaku diam? Apaka engaku berpikir bahwa yang berbicra padamu hanyalah seorang perempuan dan boneka yang bisa dipermaikan kapan saja kamu mau?” Aku menarik nafas sejenak dan berusaha berbicara tanpa menamba luka yang ada di hatinya. “Hidup ini terasa singkat untuk memikirkan amarah, kebencian, kecewa dan dendam. Sebuah titik hitam tidak dapat mempengaruhi putihnya sebuah kertas. Dan bila orang membenci titik hitam itu dan berusaha menyangkalinya maka ia menyangkali kemanusiaannya sendiri. Aku hanya mau mengatakan kalau kamu jatuh pada generalisasi. Sejahat-jahatnya seseorang namun ia masih memiliki hati untuk mencinta sebab ia terlahir karena cinta dan setiap pribadi itu selalu unik dan berbeda”. Ia tunduk dan diam seakan tak punya kata-kata lagi sebab naluri perasaan kewanitaannya mengambil alih jalan pikirannya. Tak lama kemudia butiran bening meluncur dari kelopak matanya yang diiringi isak tangis yang membuat om sopir sesekali menoleh ke arah kami.
Aku menatapnya dan berusaha untuk tidak terbawa oleh perasaannya, kemudian melanjutkan lagi. “Setiap orang memiliki ziarah hidup. Memiliki pengalaman masa lalu yang pahit dan menyakitkan yang terbingkai dalam bentuk luka batin yang amat mendalam. Tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi termasuk suka batin itu sendiri. Semua itu akan berlalu asalkan kita membiarkan DIA yang adalah kekal dan Esa yakni Tuhan, untuk menjamah dan menyembuhkan kita dengan sikap penyerahan yang total pada penyelenggaraanNya dan dijadikanNya ziarah hidup kita sebagi Ziarah keselamatan”. Ia tetap tunduk kemudian membersihkan bola matanya dan mengangkat kepala serta mentapku denga tatapan mata yang berbinar-binar penuh ketenagan, kepuasan dan kedamaian. “Maaf yah? kalau aku harus melempiaskan kekecewaan dan sakit hatiku pada kamu. Aku sungguh merasa kepedihan yang amat dalam karena dikecewakan oleh orang yang sudah kurasa dekat dan amat mengerti aku dan kehidupanku. Dia adalah Willy, kekasih yang paling kucintai. Tatapi entah kenapa ia memutuskan hubungan yang terjalin selam lima tahun secara sepihak tanpa meberi alasan yang jelas padaku. Namun kini aku sadar, kalau aku telah membuat hidup ini menjadi sulit dan menyakitkan. Terima kasih yah....karena engaku telah menyadarkan aku”. ujarnya penuh keterbukaan.
Kini untuk prtama kalinya ia mempersembahkan padaku sebuah senyuman indah dan menakjubkan. “Oh yah.....namaku Echik. Mahasisiwi semester VI di Stikes Wirahusada, Yogyakarta. Untuk sementara aku kembali ke rumah oleh bencana yang mengguncang Yogya sebeminggu yang lalu”. Aku menyambut uluran tangannya dengan penuh persahabatan. “Aku Anis, sang pemburu berita”.
Ia kembali tersenyum dan makin akrab denganku sambil mensheringkan pengalaman-pengalaman terindah yang pernah kami alami. Ia semakin tenang dan rileks. Sebuah pojok di jantung kota Karang Kupang seakan menghadang mobil yang berukuran dua kali lima meter itu. Ia berdiri dan meraup tasnya sambil menatapku. Begitu dalam dan penuh arti. Ia menyodorkan sebuah kartu nama dan alamatnya padaku. “Aku bahagia bila selalu berada di sampingmu”. katanya lembut. Kemudian ia turun dan menyelusup masuk ke halaman rumah yang berlantai dua itu. Mobil mini itupun kembali meluncur setelah aku sempat membalas lambaian tangannya.
Share:

DRAMA RADIO___AIR MATA SENJA___

Narator: Berdirilah dengan tegar…seperti karang terjal yang dihantam ombak lautan..jangan pernah pejamkan mata…jangan pernah perlihatkan duka…lihatlah bintang gemintang yang berkerlip dengan terang…di sana ada keabadian bagi cinta yang ditinggalkan..di sana ada keindahan …bagi jutaan kesedihan…..

Adegan I

Trisna : Eh, Mas...tumben hari ini kembali lebih awal. Apa ada yang lupa?
Ricky : Enggak kok sayang, hari ini aku ingin mengajak kamu dan Rino untuk makan di luar.
Trisna : Apa? maksud mas makan di Restauran?
Ricky : Ia dong sayang. Hari ini adalah hari yang paling bahagia buat kita sekelurga soalnya.....aku....aku dinyatakan lulus.......
Trisna : Apa? lulus PNS? Mas tidak bercanda kan?
Ricky : Sayang..... sejak kapan sih, aku boong sama kamu. Suer deh!
Trisna : Mas......(memeluk dan menangis terharu) Kini Tuhan... telah menjawab semua doa dan harapan kita selama ini!
Ricky : Ia sayang.....Aku juga bersyukur pada Tuhan karena mempunyai istri sebaik dan secantik kamu. Kesuksesan ini tidak terlepas dari dukungan kamu
sayang.
Trisna : Aku juga Mas. Aku sangat beruntung dan berbangga memiliki seorang suami seperti kamu. Kamu tuh orang yang selalu membuat hari-hariku
ditaburi rasa bangga dan bahagia. Mas?....
Ricky : Ya sayang?
Trisna : Aku sayang kamu....ha......ha....
Ricky : Hmmmm.....m....ha....ha.....Sayang...sepertinya kamu belum memberi jawaban atas ajakan saya.
Trisna : Em.....ya boleh dong, lagi pula sejak lama aku tidak merasakan pedasnya masakan padang.... Oh ya Mas.... kita hampir lupa jemput Rino di sekolah.
Ricky : Oh iya.... biar aku saja yang jemput Rino, sekaligus juga memberi kejutan soalnya selama ini kan aku jarang menjemput Ino di sekolah.
Trisna : Hm ....m....


(suasana di sebuah Taman Kanak-kanak. Pak Ricky mengetuk ruangan Kepala sekolah Rino)

Guru : Eh...Pak Ricky, Selamat siang Pak, silahkan duduk. Tumben baru kali ini datang jemput Rino.
Ricky : Iya Bu, soalnya selama ini aku selalu pulang terlambat dari Kantor. Lagi pula hari ini aku ingin mengajak Rino dan mamanya makan di luar
Guru : Oh yah? Ada kejutan apa ni? ...
Ricky : Enggak kok bu, sekadar mencari variasi saja. Oh ya bu, Rinonya mana?
Guru : Tunggu sebentar ya pak. Saya pergi panggil..............Rino.....Bapa datang jemput ni...mari.....!
Rino : Mat siang papa..........
Ricky : Mat siang juga No. Oe....anak bapa paling keren ni. Tas kamu dimana?
Rino : Tidak bawa pak...
Ricky : Napa?
Rino : Mama bilang sementara dicuci.
Ricky : Oh gitu ya,
Guru : Oh yah Pak? Aku juga mau beritahu kalau Rino dipilih mewakili sekolah ini untuk membacakan puisi tentang lingkungan hidup pada hari pendidikan nasional bulan Mei nanti. Kami berharap agar bapak mengijinkan Rino. Rino anak yang pintar dan berbakat sehingga dialah yang kami harapkan untuk mengharumkan nama baik sekolah ini.
Ricky : Baik bu nanti saya akan bicarakan hal ini dengan mamanya di rumah. Kami sebagai orang tua patut mengucapkan terima kasih yang berlimpah atas perhatian ibu terhadap anak kami selama ini.
Ricky : Baik bu, kami permisi dulu.....ayo pamitan dong sama ibu guru.
Rino : Permisi bu, selamat siang.
Guru : Selamat siang juga No, hati-hati di jalan ya?
Rino : Iya, bu Guru.
Ricky : Permisi bu, kami pulang dulu.
Guru : Iya... pak.....


Adegan II

(Suasana jam lima pagi)

Kring...............Kring........................(Bunyi alarm Hp)
Trisna : Siapa sih yang telepon pagi-pagi begini (berbicara sendiri) Halo, selamat pagi ini siapa yah?
Pak Vandry : Tris....ini bapa..........
Trisna : Bapa?
Pak Vandry : Maafkan bapa Tris, bapa seakan melupakan kamu.
Tris : Maaf pa, aku terlanjur benci sama bapa. (plak; handphone dimatikan)
Ricky : Siapa tu sayang.
Trisna : Tau tu? Orang salah sambung barangkali.

Kring.........kring..............7x
Ricky : Sayang angkat dong Hpnya?
Trisna : Saya....saya.....saya tidak bisa mas (menangis)
Ricky : sayang, kamu...kamu kenapa? Memangnya siapa tuh yang telpon? Dia bilang apa?
Trisna : Nggak siapa-siapa kok mas?
Ricky : Terus napa kamu menangis?
Trina : (menangis semakin besar) Bapa mas....
Ricky : Maksud kamu bapa yang telpon?
Trisna : Ia Mas....sampai kapanpun saya tidak akan memaafkan bapa?
Ricky : Sayang....Sebuah titik hitam, tidak bisa menghapus putihnya sebuah kertas dan bila kita menolak titik hitam itu maka dengan sendirinya kita menolak kemanusiaan kita sebagai pribadi yang tidak luput dari kesalahan. Apa yang telah dilakukan bapa terhadap kita memang sulit untuk dilupakan tetapi bukan berarti kita menutup hati untuk memberi sepatah kata maaf. Bukankah aku pernah bilang kalau hidup ini terlalu singkat untuk memikirkan kebencian, marah dan dendam. Seburuk apapun sikap orangtua kepada kita, mereka tetaplah orangtua yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Kita adalah darah daging mereka sayang.


Kring................kring...............kring.............
Ricky : Halo selamat pagi........
Pak Vandry : He...kamu tu ya? Selalu ngelarang Trisna berbicara dengan saya. Apa kamu tidak sadar kalau Trisna itu anak saya, putri tunggal saya. Kau sudah memisahkan dia dari keluarga sekarang kamu ingin memutuskan hubungan kami sebagai bapa dan anak.....Kadang saya tidak mengerti megapa Trisna mau dengan orang yang tidak memiliki perasaan seperti kamu. Sudah hidup melarat, sombong lagi.
Ricky : Bapa...kalau bapa telpon, hanya untuk marah, sepertinya saya tidak punya waktu untuk bapa. Apa bapa kira, saya tidak bosan dengan semua ini? Saya tidak pernah ngelarang Tris untuk berbicara dengan bapa, mungkin saja dia sudah terlanjur sakit hati atas semua yang telah bapa perbuat pada kami.
Pak Vandry : Tetapi ada hal penting yang ingin saya bicarakan. Bukan mengenai saya tetapi mamanya. jangan lupa kamu beritahu dia (plak. Hp dimatikan)

------------------
Ricky : Bapa mau omong dengan kamu soal mama, katanya penting sekali. Sayang... kita mesti mulai semuanya secara baru....bagaimanapun juga bapa tu sangat mencintai kamu walau caranya terlalu sulit untuk kita pahami. Saya minta kamu untuk menelpon bapa sebentar. ok?


...................................

(Bulan Februari yang kelam)

Trisna : Kak…tadi bapa telpon, kalau sakit paru-paru yang pernah diderita mama kambuh lagi. Apa boleh kakak minta cuti agar bisa pulang unuk menjenguk mama.
Ricky : Tris…sebelumnya saya minta maaf. Bukannya aku menolak, kamu tahu sendiri kan, kalau sekarang musim hujan, sangat berbahaya bagi semua orang yang melakukan perjalanan jauh. Lagi pula, aku kan baru diangkat menjadi pegawai negeri, apa kata orang nanti kalau belum kerja apa-apa aku sudah minta cuti, lagi pula minggu depan Rino mengikuti lomba Puisi tingkat kabupaten, mewakili sekolahnya.
Trisna : Kak…kenapa sih kakak tidak mau mengerti perasaan saya. Keadaaan kesehatan mama makin memburuk. Pada saat-saat seperti ini dia sangat membutuhkan kehadiran saya. Aku sangat khawatir kak.
Ricky : Tris…bagaimana kalau persoalan ini kita bicarakan sebentar saja, soalnya saya sudah terlambat ni. (terdengar Rino memanggil---“Pa cepat dong Ino udah terlambat ni”) Ya…ya…tunggu sebentar…..Bagaimana Tris?
Trisna : Yah... baiklah (sambil menghapus air matanya)

(Terdengar suara motor distater)

Ricky : Da…sayang?
Ino : Da…mama?
Trisna : Hati-hati yah?

..............................................

Kring…..Kring…..Kring……
Pak Vandry : Halo Tris,
Trisna : Halo pa, bagaimana keadaan mama?
Pak Vandry : Sudah agak mendingan sekarang. Dokter bilang, mama kamu, butuh istirahat dan jangan membuat dia kepikiran. Yah......sejak kepergian kamu dari sini enam bulan silam, mama kamu sering ngelamun dan selalu tidur larut malam. Dia sangat merindukan kehadiran kamu Tris…
Trisna : Ia pa, tadi pagi saya meminta kak Ricky untuk cuti dan pulang menjengguk mama. Mudah-mudahan atasannya mengijinkannya soalnya dia baru diangkat menjadi pegawai negeri.
Pak Vandry: Suami kamu tu, memang sulit untuk memahami orang. Dia hanya memikirkan diri sendiri....
Trisna : Sudahlah pa, jangan ungkit-ungkitkan lagi masa lalu. Kak Ricky itu, mempunyai hati yang sangat mulia, buktinya dia selalu memaafkan bapa atas segala hinaan dan kata-kata kasar dari bapa. Hidup ini terlalu singkat untuk memikirkan amarah dan dendam.
Pa Vandry : Bukannya gitu Tris, seandainya dia mau mengikuti ajakanku untuk bekerja di pertambangan yang aku pimpin, pasti sekarang kamu tidak melarat seperti ini. Aku tidak yakin gaji seorang pegawai negeri bisa memenuhi semua kebutuhan kamu. Padahal di sini segala yang kamu inginkan pasti aku penuhi. Aku hanya tidak enak orang menilai saya tidak bertanggungjawab terhadap keluarga.
Trisna : Sudahlah Pa, kami bahagia kok dengan keadaan seperti ini. Biar gaji kecil dan hidup apa adanya yang penting kita tidak bermewah-mewah di atas penderitaan orang lain.
Pak Vandry : Apa maksud kamu Tris?
Trisna : Papa… tidak pernah sadar, kalau pertambangan mangan yang bapa kerjakan telah merusakkan lingkungan dan menyengsarakan banyak orang. Pernahkah bapa berpikir, apa yang terjadi bila lahan pertanian mereka digusur. Sekarang mereka sangat menderita kekurangan air dan makanan pak! Kalau bukan karena kak Ricky, sampai mati pun aku tidak akan memaafkan bapa.
Pak Vandry : Tris…itu bukan urusan aku. Yang penting aku tidak melupakan kewajibanku untuk memberikan sejumlah uang untuk kas daerah. Lagi pula aku kan sudah mengantongi surat ijinan dari pemerintah. Tris…bapa kecewa dengan kamu, kamu lebih memilih suamimu yang adalah nabi dadakan itu, ketimbang saya, ayah kandungmu sendiri.
Trisna : Sudah Pa, jangan menyinggung-nyinggung nama kak Ricky lagi. Bapa pikir bapa dewa? Manusia pun tidak.....(Plak, Hp dimatikan)

-------------------------------------

(Bunyi sepeda motor)

Ricky : Selamat siang sayang…
Trisna : Mas…kok pulang lebih awal sih?
Ricky : Tris…aku pernah berjanji untuk selalu membahagiakan kamu dan aku sama sekali tidak ingin melihat kamu sedih. Saya tidak bisa bekerja dengan tenang kalau ada persoalan di rumah, makanya saya meminta ijin untuk pulang mendahului pegawai lain agar kita mempunyai banyak waktu untuk berbicara perihal sakit yang diderita mama.
Trisna : Ia mas, barusan aku menelepon bapa, katanya dokter bilang kalau sakit mama kambuh lagi karena kurang istirahat. Terlalu banyak pikiran katanya.
Ricky : Tris…saya mengerti perasaan mama setelah kita memutuskan untuk pindah dari rumah. Dia sangat kehilangan kamu. Tetapi kita tidak ada pilihan lain. Ambisi dan ketamakan bapa untuk mengumpulkan harta sebanyak mungkin sangat bertolak belakang dengan hati nurani kita. Bukan maksudku untuk mengatakan hati nurani bapa sudah tumpul tetapi...aku hanya tidak tega melihat banyak orang semakin menderita dengan sikap bapa.
Trisna : Tetapi bukankah apa yang dibuat bapa, tidak ada hubunganya dengan membatalkan niat kita untuk menjenguk mama. Mama tidak ada urusan dengan pertambangan kak.
Ricky : Tris…bukannya aku menolak tetapi…
Trisna : Sudahlah kak….kakak tidak pernah mengerti perasaan saya (berjalan menuju kamar sambil menagis)
Ricky : Tris….Tris……(terdengar pintu kamar dibanting)
Ricky : (sedikit berbisik) Tris…aku tidak ingin terjadi pada kita Tris. Aku sangat mencintai kamu. Masyarakat Lengkololok di Reo-Manggarai sudah melakukan upacara adat untuk meminta leluhur membuat perhitungan atas segala sikap tamak dan keserakahan bapa kamu. Mereka hendak mencari tumbalnya Tris....Kamu tidak akan pernah percaya karena kamu tidak akan pernah mengerti adat leluhur kami. Tumbal itu mesti dilunasi Tris....Tuhan…berikan aku kekuatan untuk menghadapi semua cobaan ini.

-------------------

Ricky : Tris….buka pintunya dong. Aku belum selesai bicara dengan kamu.
Trisna : Tidak….aku benci kakak, kakak itu tidak mau mengerti perasaan saya. Kakak egois….(sambil menangis)
Ricky : Sayang kamu buka dulu pintunya, baru kita bicarakan kapan kamu bisa membeli tiket pesawatnya. Ok?

(Hening sejenak baru terdengar kunci pintu kamar dibuka)

Ricky : Baiklah sayang, Tadi aku tidak bermaksud untuk menghalang-halangi kamu untuk bertemu mama dan bapa. Tetapi kalau itu sudah menjadi keputusan kamu dan merasa tenang serta membuat kamu bahagia, aku tidak punya alasan untuk menolak. Aku sangat mencintai kamu....
Trisna : Makasih ya kak, aku janji kalau sudah bertemu mama dan pasti’in dia baik- baik saja, aku segera pulang. Aku tidak mampu berpisah dengan kakak sampai berhari-hari. Aku juga sangat mencintai kakak. Lagi pula aku ingin menyaksikan anakku tampil gemilang dalam perlombaan nanti.
Ricky : Baiklah! Sayang....kamu kan, akan segera pulang sehingga biar Rino tetap di sini dngan saya, biar dia tetap fokus pada persiapan lomba nanti. Ok?
Trisna : Ehe…kakak pasti cemas aku tidak kembali dan lari ke lain hati, betul kan? ayo ngaku.....
Ricky : He……e…….e………
Trisna : he…….eh…….e……….
Ricky : Ehe……..e……
Trisna : He…….e………..
Ricky : Kalau begitu mumpung semua kantor belum ditutup, biar aku pergi beli’in tiket dan kamu bisa pikirkan ole-ole yang pas buat mama, sehingga sepulang saya kita langsung ke mall untuk berbelanja, biar mama terhibur dan cepat sembuh.
Trisna : Iya kak……..

.......................................

Trisna : Ino sayang….Kamu mau mama hadiain apa bila mama pulang?
Rino : Ino mau dibeli’in mobil, pistol dan…..sepeda.........
Trisna : Pasti mama beli’in asal Ino tidak nakal, rajin ke sekolah, dan rajin berdoa, ok?
Rino : Baik ma, tapi…mama jangan lama-lama ya? cepat pulang!
Trisna : Ok de sayang, mama pasti segera pulang kok.
Ricky : Sayang… aktifkan terus bar aku tidak cemas....
Trisna : Baik mas….jangan lupa beri susu buat Rino tiap pagi dan sore. Saya ingin dia kelak menjadi anak pintar dan sukses serta mempunyai perhatian yang besar terhadap lingkungan hidup seperti kita berdua.
Ricky : Ia sayang………..
Trisna : Saya berangkat dulu ya mas (berpelukkan dan menangis) Sayang... mama pergi dulu ya? Ingat pesan mama. (menciumnya sambil menangis)
Rino : Iya ma jangan lupa mobil, pistol dan sepeda buat Ino
Trisna : Iya…….……….


Adegan III

Kring-----kring---------------kring--------------
Ricky : Halo sayang, kamu di mana sekarang?
Trisna : Saya sudah tiba di Jakarta sayang. Di sini lagi hujan deras, sehingga penerbangan menuju Singapura ditunda empat jam dari sekarang. Aku sekarang dijemput Nita dan mau istirahat di rumahnya. Ni dia mau bicara dengan Mas.
Nita : Halo....orang Flores, apa kabar?
Ricky : Hai...kabar baik Nit, kalau kamu gimana di situ. udah dapat pekerjaan?
Nita : Puji Tuhan Mas, saya sekarang kerja di LSM
Ricky : Syukurlah Nit, Aku titip, sayang aku ya? he....e....
Nita : Tentu saja Mas, mbak Trisna makin cantik dan segar.
Ricky : Iya dong, siapa dulu pendampingnya.....
Nita : Mas Rich, ni....ayang kamu sudah tidak tahan mau bicara dengan kamu, takut saya macam-macam sama kamu. ha..........a........a ......
Trisna : Mas...bagaimana keadaan Rino?
Ricky : Dia baik-baik saja. Dia sekarang lagi tidur. Kalau memang masih hujan biar kamu istrahat saja dulu di rumah Nita.
Trisna : Mas jangan khawatir, saya yakin semuanya baik-baik saja. Jaga diri mas baik- baik ya? Kecup manisku buat Ino dan mas sendiri....
Ricky : Kecup balik juga sayang, dari aku dan Rino. Sebentar kalau mau berangkat telpon lagi ya?
Trisna : Mas...saya takut sekali mas.......
Ricky : Takut kenapa?
Trisna : Saya ..........(suara tidak jelas)
Ricky : Halo...Halo....Tris....(Plak....jaringan terputus. mencoba menelpon Trisna tetapi selalu dijawa “ nomor yang anda tuju tidak aktif atau berada di luar jangkauan”)

--------------
Ricky : Tuhan...lindungilah Trisna dan jauhkan aral dan rintangan agar bisa sampai di rumah dengan selamat. Aku sangat mengkhawatirkannya. Aku sangat mencintainya. Amin.
.................................

Kring-----kring-----kring-----
Ricky : Halo? Halo?
Pak Vadry : Trisna sudah berangkat?
Ricky : Eh Bapa....sudah pa. Sudah sejak tadi pagi. Barusan dia telpon kalau sekarang dia sudah tiba di Jakarta dan harus istrahat di rumah temannya. Penerbangan ke Singgapore ditunda empat jam lagi karena cuacanya tidak memungkinkan.
Pak Vandry : Cepat telpon dia sekarang jangan dulu berangkat karena bapa dengar, ada satu pesawat jurusan Jakarta-Sulawesi kehilangan kontak dan mungkin mengalami kecelakaan.

(Terdengar rintik hujan menikam bumi sementara guntur mengelegar tak terkendali bersama tiupan angin yang mengecutkan jiwa. Kecemasan, kekhawatiran, ketakutan dan kerinduan Ricky semakin memuncak)

Kring------Kring------
Nita : Halo selamat sore....
Ricky : Selamat sore Nit, Tris di mana sekarang?
Nita : Sudah berangkat tiga puluh menit yang lalu mas.
Ricky : Oh Tuhan...
Nita : Kenapa mas?
Ricky : Nit tadi dia ikut pesawat apa? (dengan sedikit gugup)
Nita : Pesawat Adam Air. Sebenarnya langsung ke Singapura tetapi karena cuaca tidak memungkinkan mungkin singgah dulu ke Sulawesi. Memangnya kenapa mas? Halo? 3x.
Ricky : (suara sedikit berat menahan tangis) Barusan ba...pa telpon kalau beberapa menit yang lalu pesawat jurusan Jakarta-Sulawesi kehilangan kontak. kemungkinan ke...ke...celakaan.
Nita : Mas tenang dulu, soalnya sore ini, banyak pesawat singgah di Sulawesi karena di sana cuacanya sedikit cerah.
Ricky : Iya Nit, tolong kamu cari informasi lagi ya? soalnya jaringan di sini kurang terlalu lancar.
Nita : Baik mas...
Rino : Pa...kapan mama pulang, Ino rindu ama mama.
Ricky : Sayang? Kamu sudah bangun? Mama pasti kembali kok. Mama juga akan bawa mobil, pistor dan sepeda buat Ino. Oh ya? Bagaimana kalau Ino bapa mandi’in dulu setelah itu bapa ajarin untuk membaca puisinya Ok?
Rino : Hmm....Iya. Pa....kenapa papa menangis?
Ricky : Ngak apa-apa kok sayang, ada binatang kecil masuk di mata bapa. Sayang...kalau udah besar nanti, Ino mau jadi apa?
Rino : Mau jadi seperti bapa...
Ricky : Ha....a....kenapa?
Tino : Mama bilang, bapa itu orangnya baik, ramah dan pintar.
Ricky : O...ya? Hmm...

-------------------
Nita : (sedikit terisak) Mas....mmm....bak....Tris.....mbak Tris mas...
Ricky : Ada apa Nit. Kenapa dengan Tris?
Nita : Pesawat yang kecelakaan itu, adalah pesawat yang ditumpangi mabak Tris mas.
Ricky : Tidak............ini tidak mungkin..........( Lagu Tears In Heaven mengalun perlahan).
Nita : Benar Mas, pesawat itu jatuh di sebelah selatan dari lokasi pertambangan Nikel yang di pimpin oleh Pak Vandry.
Ricky : Tidak....??????


Narator : Tirai kehidupan telah membuka selubungnya. Kini pelangi itu telah pergi bersama senja yang terlepas dalam kegelapan yang membingkai langit. Tanah yang terluka akibat keserakahan Pak Vandry telah menagih darah. Tetapi apakah kepergian pelangi itu merupakan akhir dari semuanya tuk menyambut hari esok yang cerah dalam kemilauan sinar kasih dan pertobatan?

Ricky : (sambil terisak) Trisna....Aku bersimpuh menatap hati yang runtuh, hancur terbelah dialiri anak sungai dari air mataku. Kidung duka mulai bergema seiring nada cinta yang berlari ke arahmu. Perjalanan cinta dalam bahtera rumah tangga yang telah kita rajut bersama selama ini hanyalah sebuah episode napak tilas tentang rentang waktu yang telah hilang, yang terbungkus oleh kangkuhan, ambisi dan gila harta orang tua kita.
Tadinya aku berharap pencarianku atasmu adalah akhir bahagia, tapi wujudmu telah berubah, aku menemukanmu hanya sebuah nama dalam kekelaman jiwaku. Pelangi hatiku….. kulabuhkan cinta yang tak pernah surut membingkai indah wajah lembutmu. Kepergianmu ini telah membawa sebelah hatiku. Dan aku…..aku sendiri dengan sebelah hati yang tersisa melanjutkan hidup yang tak pernah terhenti bersama Rino buah hati kita. Kutulis lembaran baru dengan tinta darah pada sebuah harapan semoga harapan dan cintamu pada lingkungan hidup terpatri indah di hati semua orang khusunya di hati anak kita, Rino bersama mentari yang berisnar esok hari.

Thats all
Share:

TEATER _____SEBELAH MATA______

( Panggung nampak gelap dan sunyi. Musik alam mengalun perlahan. Tangisan Bayi tiba-tiba menggelegar keras. Makin lama makin halus dan berhenti. Seseorang (Ary) masuk ke dalam panggung tanpa berbaju, bercelana pendek dan mata sebelahnya diperban. Lampu perlahan-pahan dinyalakan. Tampak Ary kebingungan, cemas dan takut)
Ary : Siapakah Aku? Dimanakah aku sekarang? Mengapa tempat ini sangat dingin dan menakutkan? Mengapa aku harus ada di sini? Ibu, dimanakah ibuku. Ibu...........(berteriak dengan keras) Ibu....kembalikan rahimku...........
(seorang berjubah masuk kedalam pangung. Ia membuat api unggun dan membuang dupa kedalamnya sehingga panggung tampak berasap putih. Ary semakin takut dan panik)
Ary : Ka.....ka...mu si...a...siapa? Apakah kamu seorang yang mendiami tempat ini?
Malaikat : Aku sudah menunggumu sejak lama di sini.
Ary: Menungguku? Kamu menungguku? Untuk apa?
Malaikat : Untuk menyembuhkan matamu.
Ary : Menyembuhkan mataku? (meraba-raba matanya) jadi....aku.....aku......
(lampu menyoroti matanya, membuat ia kesakitan dan mengerang sekuat tenaga. Malaikat itu tampak tenang kemudian berlutut menghadap cahaya. Kemudian perlahan-lahan Ary berlutut sambil menutup wajahnya sambil terisak. Malaikat itu berdiri keluar panggung ketika lagu “Ewada” dilantunkan perlahan mengiringi pembacaan dari narator)
Narator : Suara laki-laki : Sadarkah anakku bahwa bunga tidak selamanya mekar. Mentari tidak selamanya bersinar, Nyawa tidak abadi bersekutu raga, langit tidak selalu cerah dan laut tidak tidak selamanya teduh. Sadarlah anaku, bahwa sekarang kamu ada di sini, diatas tanah, rahim yang telah melahirkan kamu. Tetapi...tahukah kamu bahwa rahim itu sangat merindukanmu? Ia tersenyum bangga dengan dirimu walau rahim itu sering dilukai dan dicabik. Cintanya padamu dibawa mati. (Malaikat masuk kembali dan menumpangkan tangan diatasnya) Kamu sekarang diutus untuk mebawa terangku ini. Ketahuilah. banyak hal yang sengaja dipandang sebelah mata oleh jiwa-jiwa kegelapan yang mendiami rahim bumi ini. Terangku ini akan selalu bercahaya dan tak seorangpun mampu memadamkannya. Pergilah dan temukan kembali matamu yang telah lama hilang didalam batin setiap orang yang membutuhkan terang darimu.....(Layar ditutup)

Adegan II
(Ary berjalan tertatih-tatih dengan sebuah tongkat di tangannya. Kakinya pincang dengan sebelah mata yang masih diperban. Narator membaca perlahan mengiringi langkahnya)
Narator : Kini aku sadar bahwa bunga tak selamnya mekar. Mentari tak sepanjang tahun bersinar dan nyawa tidak abadi bersekutu raga. Kini aku sadar bahwa langit tidak selamanya cerah, laut tidak selalu tenang dan jantung tidak abadi berdetak. Kalian boleh mengatakan aku seorang yang mengalami metaforfosis terlambat. Kakiku pincang dan mataku buta. Banyak hal yang masih terlihat samar-samar. Aku datang untuk membalut luka lebam pada rahimku oleh jiwa-jiwa keangkuhan, ketamakan dan keserakahan. Tapi...sadarkah kalian bahwa jiwaku abadi mencintaimu? Tidak selangakhpun aku mundur, perjuangan ini akan tetap kubawa mati.
(seorang berdasi masuk, tampak sangat angkuh lagi berwibawa. dua orang wartawan berlari kecil dari luar panggung dan langsung mewawancarainya)

Wartawan 1 : Selamat siang pak, kami kami wartawan ingin mewawancarai bapak selaku pemilik perusahan tambang. Apakah bapak bersedia?
Roy : Oh, tentu saja. saya sangat senang sekali berbincang-bincang dengan teman-teman wartawan. Saya ingin niat muliaku ini diketahui banyak orang. Saya ingin membawa masyarakat keluar dari kemelaratan selama ini.
Warawan II : Terima kasih pak, kita langsung saja. Mengapa bapak sangat tertarik untuk membangun industri pertambangan di daerah ini?
Roy : Seperti saya bilang tadi, saya ini Yusuf yang diangkat Firaun menjadi Perdana Mentri Mesir untuk menghapus kemiskinan di Mesir selama dua puluh tahun. Saya punya misi untuk menghapus semua anggapan orang bahwa orang NTT khususnya orang Manggarai itu miskin.
Wartawan I : Apa yang bapak lakukan agar rencana mulia bapak ini dapat berhasil?
Roy : Pertama-tama tentunya melalui sosialisasi sambil melakukan pendekatan dengan para tokoh-tokoh agama seperti bapa Uskup, para pastor, suster dan mungkin juga para Frater. Setelah itu kita mendekati pihak pemerintahan seperti Bupati, anggota DPRD, Pihak keamanan dan bekerja sama dengan pengusaha-pengusaha lokal. Setelah itu baru kita dekati para masyarakat, pemilik tanah ulayat dan masyarakat seluruhnya.
Wartawan I : Pendekatan yang bagaimana yang akan dilakukan bapa?
Roy : Saya tidak bisa membuka kartu sekarang, tetapi yang jelas pendekatan itu adalah usaha agar orang lain bisa paham. Kalau semua orang sudah paham maka dengan sendirinya tidak ada protes atau diam saja. Pengusaha Mangan di Torong besi sudah memberikan contoh yang jelas buat saya. Dan justru itu yang persis akan saya lakukan di ini.
Wartawan II : Ketika industri pertambangan itu dibangun, apa-apa saja yang akan bapak buat utntuk masyarakat sebagai jaminan.
Roy : Yang pasti aku datang sebagai Yusuf yang membawa kesejahteraan bagi masyarat. Pertama, Setiap pemilik tanah akan diberi saham dengan nilai yang sangat besar. Kedua, akan kudirikan sekolah mulai dari TK-Perguruan Tinggi. Ketiga, Kudirikan gereja termegah dan rumah adat kalian. Keempat, Air, listri dan jalan raya pasti lancar. kelima, Saya pastikan tidak ada pengangguran di daerah ini.Bila perlu saya akan dirikan diskotik yang akan ramai dikunjung orang sehingga daerah ini seperti kota metropolitan. Masih banyak lagi tapi kita tidak bisa melangkahi proses. Pokoknya kita ...gali dulu....
Wartawan I : Tapi pak....bagaimana tanggapan bapak dengan perusahan manggan di Reo dimana lahan yang dulunya merupakan hutan lindung yang lebat kini telah menjadi gurun yang kering dan gersang.
Roy : Oho...sory...itu bukan urusan saya. Beda orang beda kepala dan dengan sendirinya beda visi dan misi...
Wartawan II : Bukankan tadi bapak mengatakan bahwa bapak akan belajar dari kerja pengusaha Mangan di Reo?
Roy : Dalam dunia bisnis tidak seorangpun ingin rugi. Hasil tambang habis maka semuanya selesai. Aku tidak mau tahu apa resiko kemudian Berbisnis bukan bermain di alam hampa. (menepuk tangan. Seorang datang membawa dua amplop berisi uang) Saya kira seratus juta cukup untuk mengantikan tinta bolpoin kalian. Jangan eksposkan hasil wawancara ini. Kalian mengerti?
Wartawan : Baik pak. Sekarang baru kami paham.....
Roy : Ha.....a......bagus....bagus (sambil menepuk pundak mereka berdua) ha.....a.....(kedua wartawan itu keluar panggung)
Roy : Ha....a.....a....betapa bodohnya kalian. Aku juga akan menyulap tanah kalian ini menjadi padang gurun. Dalam waktu lima belas tahun paling tanah ini hanya akan ditumbuhi kaktus-katus jelek yang berduri tajam. Mungkin lebih rusak dari akibat pertambangan Mangan di Torong Besi dan Lengkololok di Reo. Apa peduliku? Toh aku adalah pendatang yang hanya datang mengeruk kemudian kembali ke negeri asalku. Aku akan menjadi orang terkaya di Asia ini. Ha...ha.....
(Pengawalnya membisik ke telinga Roy ketika melihat Ary datang dari sudut panggung).
Roy : Hei anak muda, ada apa dengan matamu! Apakah kamu ingin bersandiwara di hadapanku. Atau....
Ary : Aku sedang mencari rahimku.
Roy : Apa? Mencari rahim? Ha....a.......memangnya siapa yang telah mencuri rahimmu. Bukankah kamu seorang laki-laki dengan sebelah mata yang buta. Apa saya tidak salah dengar? Ha....a.....
Ary : (meraba-raba tanah) Aku ingin menemukan rahim, tempat aku pernah ada, hidup rukun dan damai serta tidak mengalami kekurangan apapun. Ibuku ada di sini. Yah...di dalam tanah ini. Ibu....ibu.....(merepatkan telinganya ke tanah)
Roy : Ha....a..... kamu bilang bahwa tanah ini adalah rahim ibumu? Sekarang aku sadar bahwa ternyata bukan hanya matamu yang cacat tetapi juga jiwamu...kasihan sekali...Tapi sayang dalam waktu dekat ini aku akan mencabik-cabik rahim ibu. Ha....a.....
Ary : Sampai kapanpun aku tidak akan membiarkan kamu melukainya. Tanah ini adalah ibu tempat aku ada dan hidup. Melukai tanah ini sama halnya kamu meluakai rahim ibumu sendiri....
Roy : Memangnya kamu pikir aku peduli? Seharusnya kamu bersyukur pada saya dan bukannya mengejek. Aku datang sebagai Yusuf yang membawa kalian keluar dari kemelaratan karna tanah ini suadah tidak bisa lagi memberikan kesejahteraan kepada kalian.
Ary : Bagaimana mungkin orang buta sepertimu bisa menyelamatkan masyarakat di sini?
Roy : Hei bangsat (mulai marah) apa maksud kamu?
Ary : Aku hanyalah seorang yang tidak memiliki sebelah mata hanya karena kelemahan manusiawiku sendiri. Tapi aku berusaha menemukan kembali mataku untuk kemudian dapat kembali ke dalam rahim abadi. Dan kamu....kamu boleh memiliki dua buah bola mata yang bersih tetapi sebenarnya mata hatimu sudah lama buta....
Roy : Plak (menampar dan menendang hingga ia terjatuh) Bangsat kamu! berani- beraninya kamu menghinaku...sepertinya sebelah matamu juga mesti dilenyapkan....ayo berangkat (keluar panggung).

Narator : suara perempuan : Anakku....
Ary : (kaget) Ibu....ibu.....
........jangan cucurkan air matamu, kala ragaku tak lagi hangat dengan canda tawa. Kala ranum senyumku tak lagi bergema di rongga hatimu, kala belai nafasku tak lagi menyapa hari sepimu. Jangan cucukan air mata saat cintaku berlalu dihembus angin waktu, kala hiduku hanya dengung di malam sepi dan saat cintaku terkubur beku dalam jasad kaku pilu. Nak....aku tidak akan bisa lagi mendongengkan kisah cinta dan kehidupan di telingamu. Aku tidak mampu lagi menatap kagum sempurna karya indah dirimu. Tidak sanggup lagi aku nyatakan deru cinta di dasar hati untukmu. Anakku....menangislah bersamaku, balutlah lebam luka pada rahimku. Suburkan gersang tubuhku dengan ratapmu. Jika gerimis jatuh dan menyembuhkan matamu tunjukkan bahwa kamu ada dan mengembalikan citra indah padaku sebagai ibu yang sangat mencintaimu. Pergilah dan tunjukkan dirimu di bawah sinar matahari dan biarlah ia mengembalikan matamu, baru engkau boleh kembali dan menenun kembali rahimku.
Ary : (berteriak) Ibu..........................
(Rombongan Bupati masuk ke panggung)
Bupati : Hei....anak muda kenapa kamu menangis?
Roy : Seorang yang meneyebut diri sebagai Yusuf hendak melukai rahim ibuku pak....
Bupati : Melukai rahim ibumu? Kurang ajar sekali....Dan sekarang ibumu di mana?
Roy : Di sini (menunjuk ke tanah)
Bupati : (bingung) Maksudmu... tanah ini adalah ibumu?
Roy : Yah....tanah ini adalah rahim ibuku, rahim dari ibu bapak-bapak, rahim dari kita semua.....(mereka semua langsung menertawakannya) Kenapa kalian tertawa? Apakah kalian senang bila ada orang hendak melukai rahim ibumu sendiri? Tidakkah kalian sadar bahwa kita semua telah lahir di atas tanah ini. Bukankah tanah ini adalah ibu yang selalu memberi kita makanan, air dan semua kebutuhan keluarga kita semua?
Bupati : Hei....anak muda, kamu salah. Di dalam tanah ini terdapat barang berharga yang mesti digali. Semakin dalam kita menggalinya semakin banyak harta yang kita peroleh. Dengan harta itu itu kamu dapat membeli makanan dan minuman.
Ary : Kalau harta itu suadah habis? Dengan apa kita bisa membeli beras dan air? Bapak Bupati, bapak dipilih bukan dilotrei. Nasib kami ada di tangan bapak. Menerima pengusaha tambang berarti menerima bencana karena rahim yang telah melahirkan kita akan menuntut pertanggung jawaban. Menolak tambang adalah harga mati yang tidak bisa didiskusikan lagi.....
Bupati : Sepertinya matamu harus diamankan dulu. Ayo berangkat. Percuma kita bicara dengan orang cacat ini....... (layar ditutup)

Adegan Ketiga
(Ary diseret dari luar panggung oleh empat orang penggawal tambang yang berpakaian serba hitam. Mereka berteriak sambil menampar, memukul, menendang dan meludahi. Lagu ewada diputar perlahan.....Ary berposisi berlutut dan tertunduk lemah)
Pengawal I : Lihatlah manusia ini. Seorang nabi dadakan yang hanya mengusik rencana kita untuk menyulap daerah ini menjadi kota metropolitan. ha....a.....kebenaran.....kebenaran......kami sudah bosan mendengar kata itu....hajar dia biar dia suapaya dia tahu apa akibatnya bila mau menjadi nabi palsu....(mereka kembali menghajarnya)
Pengawal II : Hei....manusia cacat siapa yang telah mengangkat kamu menjadi hakim atas kami? Anda berbicara banyak tetapi tidak berbuat apa- apa untuk kemajuan daerah ini. Ayo katakan sesuatu sebelum kami membutakan matamu dan membuat engkau bisu untuk selamanya.......ayo.....(sambil menedang tubuh Ary yang berposisi berlutut hingga terjatuh)....
Pengawal I : Ikat tangannya dan mari kita mengukir sejarah dengan menghabisi nabi palsu ini. Kelak kita akan dikenang sebagai bapak pembangunan. Ha.....a.......
Ary : Kalian adalah budak-budak penguasa. Kalian boleh mencukil mataku ataupun membunuhku tetapi tidak bisa membutakan mata hatiku dan membunuh jiwa kebenaranku.....
Pengawal I : Keparat....ayo tunggu apa lagi, cungkillah matamu (Lampu menyoroti mereka hingga mereka terpelanting dan jatuh) Ada apa ini....ayo cungkil matanya. (kembali lampu menyotrot ke arah mereka dan mereka terpelanting lagi. Saat itu Ary membuka perban dimatanya sambil berteriak sementara para pengawal lari keluar panggung)
Narator : (Suara yang berwibawa muncul dan Ary meraba-raba matanya penuh keheranan dan kebahagiaan) Matamu adalah pelita tubuhmu, tetapi tanpa aku bagaimanakah matamu dapat berfungsi? Aku adalah cahaya, kebenaran dan hidup. Janganlah gentar hatimu dalam menghadapi banyak persoalan yang masih dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang haus akan harta, kedudukan dan harga diri.
(Malaikat masuk kedalam panggung dan menggenakan jubah dan stola pada Ary. Kemudian perlahan-lahan Ary berdiri dan menantang cahaya itu sambil mengangkat tangan seperti sedang memberi berkat. Lagu gerak wulang, mengalun perlahan)
Ary : Tuhan……….aku tidak akan pernah ingin tercampak di kegelapan, larut dalam kehinaan, tenggelam dalam peluhnya dendam. Rasakan luka berkepanjangan karena kemunafikan meski kusadari aku yang pegang kendali membuat pilihan.
Tuhan……….Berilah jalan cahaya tuntunlah aku ke pilihan benar di jalan-Mu karena aku fahami, Sang waktu mampu mengubahku untuk bersatu lagi dengan rahim ibuku...tana mabate dise empo.......Amin

Selesai................
Ledalero, medio Maret 2010
Share: