Penghuni perkampungan Ribang sudah terlelap setelah seharian berpacu dalam waktu dengan rutinitasnya masing-masing sesuai dengan kedudukan dan pangkat yang diemban. Kuturunkan laju sepeda motorku di persipangan jalan tepatnya di kaki tugu yang bertuliskan “Rumah pertapaan Karmel Nilo-----4km”. Kuperhatikan tulisan itu dengan saksama. Huruf pahatannya masih utuh semenjak keberangkatanku empat tahun yang lalu. Begitu rapi dan halus. Perpaduan warna cat yang serasi dan harmonis menambah indahnya tugu yang berdiri kokoh dekat tikungan halus tiga puluh derajat itu. Dari tempat ini kutatap bangunan kokoh dan megah berjejer rapi dan teratur seperti kota Sparta dan Athena pada zaman Romawi kuno. Indah dan tenang penuh kedamaian sehingga mampu membawa angan dan khayalku pada cerita masa lalu disaat aku masih berpredikat Frater. Kala itu, di dalam sebuah gedung teater yang berada di antara gedung yang kokoh nan megah lainnya, untuk pertama kalinya aku bertemu dan berkenalan dengan seorang dara manis yang berparas indah, bermata bening dengan rambutnya yang terurai panjang kehitaman. Dalam dirinya mengalir darah Manggarai-Lembata. Begitu cantik bagai bidadari yang turun dari kayangan apalagi ketika ia mengenakan kacamata bening berminus satu setengah dan bertengger di atas hidungnya yang mancung. Ia kusapa Elcy. Nama lengkapnya Anastasia Elcy Permatasa Sari. Saat itu berstatus mahasiswi semester tiga Sekolah Tinggi Filsafat di bukit sandaran matahari.
Awal perjumpaan kami terbilang singkat dan kebetulan saja. Aku dan dia memiliki minat yang sama dalam seni panggung. Kami bergabung dalam anggota teater Aletheia, sebuah kelompok teater papan atas di kota ini. Ia tak banyak berbicara. Namun dari dalam diamnya itu, dia selalu mengalirkan ide yang segar dan sangat kreatif sehingga mampu menghasilkan naskah-naskah yang menarik, padat berisi dan penuh makna. Walau demikian ia tetap rendah hati, sopan dan mau mendengarkan. ”Selamat sore insan-insan pencinta Aletheia (kebenaran) yang saya banggakan. Terdahulunya saya mengucapkan selamat bergabung buat anggota baru, Ade Elcy dan teman-teman. Yang kedua saya menyampaikan bahwa kita sementara dikejar waktu dalam latihan tetater ini.. Waktu kita hanya sepuluh hari. Oleh sebab itu keseriusan dan kosentrasi kita sangat dibutuhkan baik sebagi pemeran, pengatur musik, petugas layar dan penata lampu sangat dibutuhkan” ujar kak Endro sang moderator teater dengan tenang dan penuh wibawa. Sebagai pemeran utama, aku menjadi fokus yang sangat menentukan. Sekujur tubuhku basah oleh keringat bagai berada dekat perapian yang panas membara. “Kamu kelihatnnya gugup sekali. Apa kamu belum menghafal semua dialog dalam teks?” tanya Kak Endro spontan ketika aku berdiri kaku dengan pandangan hampa di sudut kanan panggung. “Tidak Kak, aku sementara berusaha menenangkan batinku saja”. jawabku sekenanya. “Baiklah.....saya sendiri bangga dengan kamu. Sebab dari sekian banyak anggota, hanya kamu yang berani mengatakan ya untuk menerima peran yang dinilai sangat sulit ini” kata kak Endro yang mampu membuat rasa percaya diriku pulih kembali.
Teater yang berjudul “Musafir” dengan durasi waktu satu jam dua puluh menit ini mengisahkan tentang “Andry”, anak tunggal seorang politikus yang amat terkenal dan disegani. Ia menolak segala bentuk indoktrinasi dan mengeritisi sepak terjang kebijakan politis ayahnya yang selalu mengorbankan hak kaum kecil yang tidak berdaya demi suatu kepentingan politik yang dangkal penuh kepalsuan. Dalam suatu kesempatan ia bergabung bersama kelompok kelas bawah untuk bersuara bagi mereka yang tidak bersuara, menyerukan penolakkan tambang dan segala bentuk militerisasi yang tidak beralasan apalagi melalui cara-cara yang sangat arogan dan otoriter. Lantas ia dijauhkan dari lingkungan keluarga birokrat bahkan diusir oleh orang tuanya sendiri dari rumah. Dalam kepahitan dan kemelaratan hidup ia ditampung oleh sebuah keluarga petani yang sederhana namun selalu ada canda dan tawa penuh kebahagiaan tanpa terlalu memikirkan apa yang harus dimakan dan dipakai. Mereka tidak membutuhkan barang-barang hiburan seperti TV, tape dan semacamnya sebab jiwa mereka sudah terhibur oleh sikap tegur sapa yang akrab dan penuh persaudaraan. Dalam perguliran waktu yang amat teratur itu, ia jatuh cinta dengan “Dewi”. Seorang gadis desa yang sederhana, santun dan lemah-lembut. Diakhir cerita Dewi, gadis kesayangannya itu, terserang leukimia dan menghembuskan nafas untuk terakhir di pangkuannya sendiri. Padahal mereka sudah merencanakan waktu dan acara pernikahan. Andry sungguh merasa kehilangan dan putus asa yang amat dalam. Dalam situasi desolasi demikian ia akhirnya memutuskan untuk mencari arti hidup dibalik tembok biara pertapaan. Kemudian meninggal sebagai seorang rahib.
Adegan pertama berlalu dan dinilai sempurna. Namun ketika memasuki adegan kedua saat aku (andry) dan Elcy (Dewi) berkenalan dan saling bertatapan, aku merasa seluruh tenagaku lenyap oleh seluruh tatapan mata “Dewi” yang tenang, dalam dan penuh makna. Semua dialog yang sudah kuhafal serentak sirna dari otak kiriku. Genggaman tangan “Dewi” semakin erat yang membuat jantungku berdebar tak menentu. “Kamu dari mana?” kataku setengah berbisik. Elcy tampak bingung sebab kalimat itu tidak tertera dalam teks. Kemudian ia tersenyum dan tertunduk malu. Aku tetap menggenggam tangannya, meremas dan terus memandangnya. “ Dari Manggarai, tapi bapa dan mama bertugas di dinas pendidikan di kota ini” jawabnya sambil berusaha untuk mengangkat kepala dan menatapku. “Stop.......stop..........! adegan mana yang sedang kalian ragakan ini. Sekali lagi saya ingatkan supaya apabila kamu sudah berada di atas panggung, tampilkan dirimu sebagai kamu yang dalam teks. Usahakan untuk tidak terbawa pada diri kamu yang sebenarnya di luar panggung. Tetap fokus dan jangan sekali-kali membias. Okey?” kata Kak Endro dengan cukup serius. Kuraih kembali teks yang tergeletak di sudut panggung dan membaca ulang adegan kedua ini. Namun setiap kali aku berusaha untuk mengingat kembali pada saat yang sama getaran aneh yang mengalir dari telapak tangan “Dewi” menghilangkan semuanya dari benakku. Pengatur musik, penata lampu dan petugas layar kelihatan sudah tidak bersemangat lagi. Beberapa orang lebih memilih bermain game dalam Hpnya ketimbang memberi masukkan. Sementara Kak Endro duduk di bangku paling belakang dari gedung teater itu sambil bertopang dagu dalam keputusasaan. Elcy datang menghampiri dan menatap ke arahku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Situasi tampak hening. Tak ada yang berani berbisik, menggesekkan kursi apalagi berbicara. Aku berdiri perlahan, meraih tangan tangan Elcy menuju ketengah panggung.
”Wi....apakah arti sebuah kebersamaan bagimu?” kataku tenang dan mengyakinkan sekaligus babak kedua segera dimulai. “Aku tidak tahu apa yang kamu katakan! tapi aku tahu apa yang tidak kamu katakan” jawab “Dewi” dengan tenang. Aku tersenyum. Kubelai rambutnya dengan mesra dan membiarkan tangannya melingkari pinggangku. “Semenjak pertama kali aku memandangmu, kamu sangat berbeda dengan “Dewi” lain yang merupakan pilihan orang tuaku. Mereka tampak cantik dengan senyuman yang memikat. Namun itu hanya bertahan beberapa waktu saja sebab setelahnya mereka menyodorkan beragam syarat yang sangat sulit kupenuhi. Mereka menjanjikan aku banyak harta, kedudukan dan kehormatan tapi tidak pernah membiarkan aku tampil seperti diriku sekarang ini. Makasih yah! Kamu telah mengajarkan aku arti cinta yang sesungguhnya. Kamu memberikan kebebasan yang besar bagiku agar boleh mencintai kamu dengan caraku sendiri. Aku sangat mencintai kamu Wi.” kataku dengan ekspresi yang sempurna. Semua Pengatur musik, penata lampu dan petugas layar tersentak dari lamunananya setelah pikiran dan perasaan mereka terbawa oleh akting yang kuperankan, kemudian bergegas menuju posisi mereka masing-masing, sementara Kak Endro mengumbarkan senyum kebanggaan. “Kamu salah kak...apalah arti cinta dari seorang gadis desa yang miskin seperti aku. Tidakkah kebahagiaan itu diidentikkan dengan uang? Aku takut kamu hanya mau mempermainkan perasaanku sebagaimana yang dibuat oleh orang kaya pada umumnya”. kata “Dewi” sambil tertunduk. Kuangkat dagunya dengan lembut dan meletakkan jariku pada bibinya yang tipis kemerahan. “Kamu terbawa oleh sebuah sikap generalisasi Wi! Setiap orang itu berbeda dan unik dalam dirinya masing-masing. Aku bukan mereka dan mereka bukan aku.” kataku setengah berbisik sambil mendaratkan sebuah ciuman lembut, penuh kasih yang mendalam di dahinya. Layar perlahan-lahan ditutup, lampu dipadamkan bersamaan dengan tepukan tangan kepuasan dari semua yang hadir. Adegan ketiga dan keempatpun berlanjut tanpa hambatan berarti.
“Kelihatannya kalian serasi sekali! Kalian rupanya memiliki bakat yang sama dalam hal seni panggung” komentar Kande, teman baikku. Ia adalah penyusun naskah dari Teater ini. Ia duduk disamping Elcy sambil menawarkan leluconnya yang khas dan unik sambil menikmati sneck yang telah disiapkan. Namun di tengah suasana rileks dan santai itu aku menemukan sesuatu yang terpancar dari raut wajah dan tatapan mata Elcy. Terasa tawar dan hampa. “Kamu kenapa Cy?” tanyaku dan menyadarkan ia dari lamunannya. “Tidak kenapa kak, aku cuma merasa kelelahan saja. Mungkin karena tadi malam terlambat tidur” jawabnya spontan sambil mengatur posisi duduknya. Aku hanya menatapnya dalam diam. Sesekali ia menatapku sehingga menimbulkan hasrat dalam diriku untuk bertanya lebih lanjut. “Maaf Cy, bukannya aku mau mengetahui urusanmu. Tapi paling tidak hal ini mungkin ada hubungannya dengan keberhasilan kegiatan kita ini. Kenapa harus tidur terlambat? Apa.... karena kamu merasa terbebani dengan banyaknya dialog dalam teks yang mesti kamu hafal? tanyaku sambil terus menatapnya. “Bapaku sedang sakit di rumah. Selama ini, ia batuk-batuk. Dan beberapa hari terakhir ia mengeluh sakit pada bagian kiri dekat ulu hatinya” kata Elcy melemah setelah lama terdiam untuk memilih kata yang cocok baginya. “Apa pernah diantar ke Dokter?” tanyaku lagi setelah ia memasukan naskah teater ke dalam tasnya. “Bapaku seorang yang tegar dan prinsipil. Ia tidak mau dibantu sebelum ia berusaha untuk menyelesaikan persoalan dengan kemampuannya sendiri” jawab Elcy sambil berlangkah dan berpamitan pada yang lain. “Boleh saya mengantarmu?” sahutku, menawarkan diri. Ia tersenyum, memberi sinyal tanda setuju padaku. Akupun memboncengi Elcy dengan sepeda motor Supra-X miliknya. Setiba di rumah, Ibu Mia, mamanya Elcy sedang sibuk memasukkan pakaian dalam tas sambil berbicara dengan seseorang melalui telpon genggamnya. Dari pembicaraan itu, jelas terdengar bahwa Ibu Mia sedang berbicara dengan Dokter Tegu dan meminta ambulans untuk membawa Pak Karman ayahnya Elcy ke rumah sakit yang terletak satu kilometer dari rumah. Elcy terlihat bingung dan tak tahu harus berbuat apa selain menangis. Bersama beberapa orang dari tim medis rumah sakit, aku membantu mengangkat Pak Karman yang sudah tak sadarkan diri ke dalam ambulans. Karena mobil terlalu sesak maka aku dan Elcy mengekori mobil itu dengan sepeda motor menuju rumah sakit. “Frater bisa kembali dan istrahat. Nanti saya ke biara dan menjelaskan semua ini pada Pater pendamping” kata Ibu Mia, setelah hampir sembilan jam kami bertiga duduk disamping tempat Pak Karman berbaring. Dan selama itu juga situasi terasa tegang sehingga tidak mengucapkan sepatah katapun. Hening dalam kegalauan hati yang tak menentu. Yang ada hanya isak tangis Elcy yang makin lama makin melemah. Aku mengangguk setuju, berpamitan dan segera berlalu dari ruangan Vip berukuan enam kali tujuh meter itu. Namun belum sempat aku menghidupkan mesin motor, tiba-tiba aku mendengar tangisan penuh pemberontakan dari Elcy. Tak lama berselang para perawat dan dokter datang untuk membantu dengan memberi nafas buatan kepada Pak Karman dan menguncangkan dadanya. Namun Tuhan berkehendak lain. Pak Karman sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir lima menit yang lalu. Ternyata ia menderita kanker jantung. Tanpa sadar air mata mengalir secara spontan dari kelopak mataku. Elcy menumpahkan semua kesedihannya dalam pelukanku. Aku merasakan bagaimana air matanya mengalir deras dan membasahi baju dan dadaku. Sepeninggalan ayahnya, Elcy hanya ditemani mama dan adiknya Roy yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Pertunjukan teater yang dihadiri banyak undangan dari berbagai kalangan dan beragam status sosial mulai dari pemulung hingga para birokrat papan atas menunai kesan sangat memuaskan. Rupanya latihan yang pernah kami buat sembilan hari yang lalu merupakan latihan pertama dan terakhir kali. Elcy melakonkan perannya dengan baik dan sempurna walaupun rasa duka belum hilang dari hatinya.
Sepeninggalan ayahnya, aku selalu bertandang ke rumah Elcy dengan membawa serta beragam kalimat peneguhan dan hiburan dalam canda dan tawa yang membuat Elcy semakin merasa dikuatkan, diperhatikan dan dicintai. Namun tanpa kusadari kedekatanku dengan Elcy dan keluarganya membuat aku merasa asing dengan komunitas biara, tempat aku menjalin relasi yang hidup dengan sama saudaraku yang berasal dari beragam latar belakag adat istiadat, kebudayaan dan tempat tinggal. Kami disatukan oleh sebuah cita-cita, pandangan dan panggilan hidup yang sama yakni ingin membaktikan seluruh diri hanya untuk Tuhan dan sesama. Ada banyak tugas yang terbengkelai, kegiatan penting yang menuntut keterlibatanku pun kuabaikan sementara itu hubunganku dengan teman-teman dan para pendamping tidak serileks dan seakrab sebelumnya. Aku lebih banyak mengurung diri dalam kamar. Setelah menyusun skripsi dan melalui refleksi yang matang bersama pembimbing rohaniku, maka kuputuskan untuk menanggalkan jubahku dan berada di luar tembok biara untuk sebuah kurun waktu yang tidak ditentukan. Keputusan yang kuanggap paling bijaksana sebab dalam hatiku berkata “Di luar tembok biara sama sekali tidak mengurangi cinta Tuhan padaku”. Awalnya keluargaku, Elcy dan mamanya sulit menerima keputusanku yang dinilai sangat gegabah itu. Namun aku mengetahui apa yang terbaik bagiku sebab akulah yang menjalankannya. Lagi pula aku meminta untuk memurnikan panggilanku bukan karena dan untuk Elcy. Aku memang sangat mencintainya tapi bukankah cinta tak selamanya harus memiliki?
Setelah diwisuda sebagai sarjana Filsafat, aku bekerja pada sebuah LSM terpercaya di Pulau Dewata. Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki jaringan kerja yang sangat luas di berbagai negara di belahan dunia ini. Dari segi penghasilan, gajiku melebihi gaji orang tua Elcy. Di tempat ini ada banyak pengalaman yang kudengar, kusaksikan dan kualami sendiri yang akhirnya membuat aku sadar bahwa perjuangan untuk mempertahankan panggilan hidup entah sebagai biarawan, kepala keluarga dan lain-lain adalah suatu kenyataan yang mesti dijalankan dan bukan untuk dihindari. Semuanya membutuhkan pengorbanan untuk kemudian dijalani dengan penuh kegembiraan dan dengan penuh rasa syukur. Beberapa bulan setelah aku memutuskan untuk melamar kembali menjadi seorang biarawan setelah berada di luar selama enam tahun, Elcy dipinang oleh seorang pemuda tampan berstatus dokter spesialis kandungan. Dia sangat ramah, santun dan bertanggung jawab. ”Teng....teng.....g.....” tiba-tiba sayup-sayup kudengar lonceng Anjelus dari Kapela biara tempat aku pernah hidup dan bertumbuh sebagai seorang frater berkaul sementara. Kuhapuskan beberapa butiran bening dari kelopak mataku oleh rasa duka yang masih tergores di hatiku. Elcy telah pergi untuk selamanya. Ia meninggal sebulan sebelum acara pernikahannya dalam kejadian tragis ketika pulang liburan dari Manggarai. Ia bersama kedelapan belas penumpang lainnya tertimbun tanah longsor bersama bus yang mereka tumpangi dan mati lemas didalamnya.
Warna merah tembaga menerangi kaki langit di ufuk timur, sementara angin pagi berhembus diantara dahan-dahan membawa galak tawa padang ilalang dan cucuran rahmat dari surga. Beberapa saat kemudian sayap-sayap mentari pagi mengembang pasti kemudian menemukan persinggahan klasik di pelipit bukit. Bukit sandaran matahari. Di sini dan di tempat ini aku pernah mengukir kisah dan mendaur realita untuk mengais makna dalam ziarah panggilanku. Aku berdiri perlahan penuh optimisme dari tugu itu dan mengarahkan sepeda motorku menuju taman yang masih menyisakan cerita cinta yang tak pernah suram. Apakah aku diterima kembali dan boleh mengenakan jubah putihku? Aku belum tahu!
......................sekian............................
Awal perjumpaan kami terbilang singkat dan kebetulan saja. Aku dan dia memiliki minat yang sama dalam seni panggung. Kami bergabung dalam anggota teater Aletheia, sebuah kelompok teater papan atas di kota ini. Ia tak banyak berbicara. Namun dari dalam diamnya itu, dia selalu mengalirkan ide yang segar dan sangat kreatif sehingga mampu menghasilkan naskah-naskah yang menarik, padat berisi dan penuh makna. Walau demikian ia tetap rendah hati, sopan dan mau mendengarkan. ”Selamat sore insan-insan pencinta Aletheia (kebenaran) yang saya banggakan. Terdahulunya saya mengucapkan selamat bergabung buat anggota baru, Ade Elcy dan teman-teman. Yang kedua saya menyampaikan bahwa kita sementara dikejar waktu dalam latihan tetater ini.. Waktu kita hanya sepuluh hari. Oleh sebab itu keseriusan dan kosentrasi kita sangat dibutuhkan baik sebagi pemeran, pengatur musik, petugas layar dan penata lampu sangat dibutuhkan” ujar kak Endro sang moderator teater dengan tenang dan penuh wibawa. Sebagai pemeran utama, aku menjadi fokus yang sangat menentukan. Sekujur tubuhku basah oleh keringat bagai berada dekat perapian yang panas membara. “Kamu kelihatnnya gugup sekali. Apa kamu belum menghafal semua dialog dalam teks?” tanya Kak Endro spontan ketika aku berdiri kaku dengan pandangan hampa di sudut kanan panggung. “Tidak Kak, aku sementara berusaha menenangkan batinku saja”. jawabku sekenanya. “Baiklah.....saya sendiri bangga dengan kamu. Sebab dari sekian banyak anggota, hanya kamu yang berani mengatakan ya untuk menerima peran yang dinilai sangat sulit ini” kata kak Endro yang mampu membuat rasa percaya diriku pulih kembali.
Teater yang berjudul “Musafir” dengan durasi waktu satu jam dua puluh menit ini mengisahkan tentang “Andry”, anak tunggal seorang politikus yang amat terkenal dan disegani. Ia menolak segala bentuk indoktrinasi dan mengeritisi sepak terjang kebijakan politis ayahnya yang selalu mengorbankan hak kaum kecil yang tidak berdaya demi suatu kepentingan politik yang dangkal penuh kepalsuan. Dalam suatu kesempatan ia bergabung bersama kelompok kelas bawah untuk bersuara bagi mereka yang tidak bersuara, menyerukan penolakkan tambang dan segala bentuk militerisasi yang tidak beralasan apalagi melalui cara-cara yang sangat arogan dan otoriter. Lantas ia dijauhkan dari lingkungan keluarga birokrat bahkan diusir oleh orang tuanya sendiri dari rumah. Dalam kepahitan dan kemelaratan hidup ia ditampung oleh sebuah keluarga petani yang sederhana namun selalu ada canda dan tawa penuh kebahagiaan tanpa terlalu memikirkan apa yang harus dimakan dan dipakai. Mereka tidak membutuhkan barang-barang hiburan seperti TV, tape dan semacamnya sebab jiwa mereka sudah terhibur oleh sikap tegur sapa yang akrab dan penuh persaudaraan. Dalam perguliran waktu yang amat teratur itu, ia jatuh cinta dengan “Dewi”. Seorang gadis desa yang sederhana, santun dan lemah-lembut. Diakhir cerita Dewi, gadis kesayangannya itu, terserang leukimia dan menghembuskan nafas untuk terakhir di pangkuannya sendiri. Padahal mereka sudah merencanakan waktu dan acara pernikahan. Andry sungguh merasa kehilangan dan putus asa yang amat dalam. Dalam situasi desolasi demikian ia akhirnya memutuskan untuk mencari arti hidup dibalik tembok biara pertapaan. Kemudian meninggal sebagai seorang rahib.
Adegan pertama berlalu dan dinilai sempurna. Namun ketika memasuki adegan kedua saat aku (andry) dan Elcy (Dewi) berkenalan dan saling bertatapan, aku merasa seluruh tenagaku lenyap oleh seluruh tatapan mata “Dewi” yang tenang, dalam dan penuh makna. Semua dialog yang sudah kuhafal serentak sirna dari otak kiriku. Genggaman tangan “Dewi” semakin erat yang membuat jantungku berdebar tak menentu. “Kamu dari mana?” kataku setengah berbisik. Elcy tampak bingung sebab kalimat itu tidak tertera dalam teks. Kemudian ia tersenyum dan tertunduk malu. Aku tetap menggenggam tangannya, meremas dan terus memandangnya. “ Dari Manggarai, tapi bapa dan mama bertugas di dinas pendidikan di kota ini” jawabnya sambil berusaha untuk mengangkat kepala dan menatapku. “Stop.......stop..........! adegan mana yang sedang kalian ragakan ini. Sekali lagi saya ingatkan supaya apabila kamu sudah berada di atas panggung, tampilkan dirimu sebagai kamu yang dalam teks. Usahakan untuk tidak terbawa pada diri kamu yang sebenarnya di luar panggung. Tetap fokus dan jangan sekali-kali membias. Okey?” kata Kak Endro dengan cukup serius. Kuraih kembali teks yang tergeletak di sudut panggung dan membaca ulang adegan kedua ini. Namun setiap kali aku berusaha untuk mengingat kembali pada saat yang sama getaran aneh yang mengalir dari telapak tangan “Dewi” menghilangkan semuanya dari benakku. Pengatur musik, penata lampu dan petugas layar kelihatan sudah tidak bersemangat lagi. Beberapa orang lebih memilih bermain game dalam Hpnya ketimbang memberi masukkan. Sementara Kak Endro duduk di bangku paling belakang dari gedung teater itu sambil bertopang dagu dalam keputusasaan. Elcy datang menghampiri dan menatap ke arahku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Situasi tampak hening. Tak ada yang berani berbisik, menggesekkan kursi apalagi berbicara. Aku berdiri perlahan, meraih tangan tangan Elcy menuju ketengah panggung.
”Wi....apakah arti sebuah kebersamaan bagimu?” kataku tenang dan mengyakinkan sekaligus babak kedua segera dimulai. “Aku tidak tahu apa yang kamu katakan! tapi aku tahu apa yang tidak kamu katakan” jawab “Dewi” dengan tenang. Aku tersenyum. Kubelai rambutnya dengan mesra dan membiarkan tangannya melingkari pinggangku. “Semenjak pertama kali aku memandangmu, kamu sangat berbeda dengan “Dewi” lain yang merupakan pilihan orang tuaku. Mereka tampak cantik dengan senyuman yang memikat. Namun itu hanya bertahan beberapa waktu saja sebab setelahnya mereka menyodorkan beragam syarat yang sangat sulit kupenuhi. Mereka menjanjikan aku banyak harta, kedudukan dan kehormatan tapi tidak pernah membiarkan aku tampil seperti diriku sekarang ini. Makasih yah! Kamu telah mengajarkan aku arti cinta yang sesungguhnya. Kamu memberikan kebebasan yang besar bagiku agar boleh mencintai kamu dengan caraku sendiri. Aku sangat mencintai kamu Wi.” kataku dengan ekspresi yang sempurna. Semua Pengatur musik, penata lampu dan petugas layar tersentak dari lamunananya setelah pikiran dan perasaan mereka terbawa oleh akting yang kuperankan, kemudian bergegas menuju posisi mereka masing-masing, sementara Kak Endro mengumbarkan senyum kebanggaan. “Kamu salah kak...apalah arti cinta dari seorang gadis desa yang miskin seperti aku. Tidakkah kebahagiaan itu diidentikkan dengan uang? Aku takut kamu hanya mau mempermainkan perasaanku sebagaimana yang dibuat oleh orang kaya pada umumnya”. kata “Dewi” sambil tertunduk. Kuangkat dagunya dengan lembut dan meletakkan jariku pada bibinya yang tipis kemerahan. “Kamu terbawa oleh sebuah sikap generalisasi Wi! Setiap orang itu berbeda dan unik dalam dirinya masing-masing. Aku bukan mereka dan mereka bukan aku.” kataku setengah berbisik sambil mendaratkan sebuah ciuman lembut, penuh kasih yang mendalam di dahinya. Layar perlahan-lahan ditutup, lampu dipadamkan bersamaan dengan tepukan tangan kepuasan dari semua yang hadir. Adegan ketiga dan keempatpun berlanjut tanpa hambatan berarti.
“Kelihatannya kalian serasi sekali! Kalian rupanya memiliki bakat yang sama dalam hal seni panggung” komentar Kande, teman baikku. Ia adalah penyusun naskah dari Teater ini. Ia duduk disamping Elcy sambil menawarkan leluconnya yang khas dan unik sambil menikmati sneck yang telah disiapkan. Namun di tengah suasana rileks dan santai itu aku menemukan sesuatu yang terpancar dari raut wajah dan tatapan mata Elcy. Terasa tawar dan hampa. “Kamu kenapa Cy?” tanyaku dan menyadarkan ia dari lamunannya. “Tidak kenapa kak, aku cuma merasa kelelahan saja. Mungkin karena tadi malam terlambat tidur” jawabnya spontan sambil mengatur posisi duduknya. Aku hanya menatapnya dalam diam. Sesekali ia menatapku sehingga menimbulkan hasrat dalam diriku untuk bertanya lebih lanjut. “Maaf Cy, bukannya aku mau mengetahui urusanmu. Tapi paling tidak hal ini mungkin ada hubungannya dengan keberhasilan kegiatan kita ini. Kenapa harus tidur terlambat? Apa.... karena kamu merasa terbebani dengan banyaknya dialog dalam teks yang mesti kamu hafal? tanyaku sambil terus menatapnya. “Bapaku sedang sakit di rumah. Selama ini, ia batuk-batuk. Dan beberapa hari terakhir ia mengeluh sakit pada bagian kiri dekat ulu hatinya” kata Elcy melemah setelah lama terdiam untuk memilih kata yang cocok baginya. “Apa pernah diantar ke Dokter?” tanyaku lagi setelah ia memasukan naskah teater ke dalam tasnya. “Bapaku seorang yang tegar dan prinsipil. Ia tidak mau dibantu sebelum ia berusaha untuk menyelesaikan persoalan dengan kemampuannya sendiri” jawab Elcy sambil berlangkah dan berpamitan pada yang lain. “Boleh saya mengantarmu?” sahutku, menawarkan diri. Ia tersenyum, memberi sinyal tanda setuju padaku. Akupun memboncengi Elcy dengan sepeda motor Supra-X miliknya. Setiba di rumah, Ibu Mia, mamanya Elcy sedang sibuk memasukkan pakaian dalam tas sambil berbicara dengan seseorang melalui telpon genggamnya. Dari pembicaraan itu, jelas terdengar bahwa Ibu Mia sedang berbicara dengan Dokter Tegu dan meminta ambulans untuk membawa Pak Karman ayahnya Elcy ke rumah sakit yang terletak satu kilometer dari rumah. Elcy terlihat bingung dan tak tahu harus berbuat apa selain menangis. Bersama beberapa orang dari tim medis rumah sakit, aku membantu mengangkat Pak Karman yang sudah tak sadarkan diri ke dalam ambulans. Karena mobil terlalu sesak maka aku dan Elcy mengekori mobil itu dengan sepeda motor menuju rumah sakit. “Frater bisa kembali dan istrahat. Nanti saya ke biara dan menjelaskan semua ini pada Pater pendamping” kata Ibu Mia, setelah hampir sembilan jam kami bertiga duduk disamping tempat Pak Karman berbaring. Dan selama itu juga situasi terasa tegang sehingga tidak mengucapkan sepatah katapun. Hening dalam kegalauan hati yang tak menentu. Yang ada hanya isak tangis Elcy yang makin lama makin melemah. Aku mengangguk setuju, berpamitan dan segera berlalu dari ruangan Vip berukuan enam kali tujuh meter itu. Namun belum sempat aku menghidupkan mesin motor, tiba-tiba aku mendengar tangisan penuh pemberontakan dari Elcy. Tak lama berselang para perawat dan dokter datang untuk membantu dengan memberi nafas buatan kepada Pak Karman dan menguncangkan dadanya. Namun Tuhan berkehendak lain. Pak Karman sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir lima menit yang lalu. Ternyata ia menderita kanker jantung. Tanpa sadar air mata mengalir secara spontan dari kelopak mataku. Elcy menumpahkan semua kesedihannya dalam pelukanku. Aku merasakan bagaimana air matanya mengalir deras dan membasahi baju dan dadaku. Sepeninggalan ayahnya, Elcy hanya ditemani mama dan adiknya Roy yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Pertunjukan teater yang dihadiri banyak undangan dari berbagai kalangan dan beragam status sosial mulai dari pemulung hingga para birokrat papan atas menunai kesan sangat memuaskan. Rupanya latihan yang pernah kami buat sembilan hari yang lalu merupakan latihan pertama dan terakhir kali. Elcy melakonkan perannya dengan baik dan sempurna walaupun rasa duka belum hilang dari hatinya.
Sepeninggalan ayahnya, aku selalu bertandang ke rumah Elcy dengan membawa serta beragam kalimat peneguhan dan hiburan dalam canda dan tawa yang membuat Elcy semakin merasa dikuatkan, diperhatikan dan dicintai. Namun tanpa kusadari kedekatanku dengan Elcy dan keluarganya membuat aku merasa asing dengan komunitas biara, tempat aku menjalin relasi yang hidup dengan sama saudaraku yang berasal dari beragam latar belakag adat istiadat, kebudayaan dan tempat tinggal. Kami disatukan oleh sebuah cita-cita, pandangan dan panggilan hidup yang sama yakni ingin membaktikan seluruh diri hanya untuk Tuhan dan sesama. Ada banyak tugas yang terbengkelai, kegiatan penting yang menuntut keterlibatanku pun kuabaikan sementara itu hubunganku dengan teman-teman dan para pendamping tidak serileks dan seakrab sebelumnya. Aku lebih banyak mengurung diri dalam kamar. Setelah menyusun skripsi dan melalui refleksi yang matang bersama pembimbing rohaniku, maka kuputuskan untuk menanggalkan jubahku dan berada di luar tembok biara untuk sebuah kurun waktu yang tidak ditentukan. Keputusan yang kuanggap paling bijaksana sebab dalam hatiku berkata “Di luar tembok biara sama sekali tidak mengurangi cinta Tuhan padaku”. Awalnya keluargaku, Elcy dan mamanya sulit menerima keputusanku yang dinilai sangat gegabah itu. Namun aku mengetahui apa yang terbaik bagiku sebab akulah yang menjalankannya. Lagi pula aku meminta untuk memurnikan panggilanku bukan karena dan untuk Elcy. Aku memang sangat mencintainya tapi bukankah cinta tak selamanya harus memiliki?
Setelah diwisuda sebagai sarjana Filsafat, aku bekerja pada sebuah LSM terpercaya di Pulau Dewata. Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki jaringan kerja yang sangat luas di berbagai negara di belahan dunia ini. Dari segi penghasilan, gajiku melebihi gaji orang tua Elcy. Di tempat ini ada banyak pengalaman yang kudengar, kusaksikan dan kualami sendiri yang akhirnya membuat aku sadar bahwa perjuangan untuk mempertahankan panggilan hidup entah sebagai biarawan, kepala keluarga dan lain-lain adalah suatu kenyataan yang mesti dijalankan dan bukan untuk dihindari. Semuanya membutuhkan pengorbanan untuk kemudian dijalani dengan penuh kegembiraan dan dengan penuh rasa syukur. Beberapa bulan setelah aku memutuskan untuk melamar kembali menjadi seorang biarawan setelah berada di luar selama enam tahun, Elcy dipinang oleh seorang pemuda tampan berstatus dokter spesialis kandungan. Dia sangat ramah, santun dan bertanggung jawab. ”Teng....teng.....g.....” tiba-tiba sayup-sayup kudengar lonceng Anjelus dari Kapela biara tempat aku pernah hidup dan bertumbuh sebagai seorang frater berkaul sementara. Kuhapuskan beberapa butiran bening dari kelopak mataku oleh rasa duka yang masih tergores di hatiku. Elcy telah pergi untuk selamanya. Ia meninggal sebulan sebelum acara pernikahannya dalam kejadian tragis ketika pulang liburan dari Manggarai. Ia bersama kedelapan belas penumpang lainnya tertimbun tanah longsor bersama bus yang mereka tumpangi dan mati lemas didalamnya.
Warna merah tembaga menerangi kaki langit di ufuk timur, sementara angin pagi berhembus diantara dahan-dahan membawa galak tawa padang ilalang dan cucuran rahmat dari surga. Beberapa saat kemudian sayap-sayap mentari pagi mengembang pasti kemudian menemukan persinggahan klasik di pelipit bukit. Bukit sandaran matahari. Di sini dan di tempat ini aku pernah mengukir kisah dan mendaur realita untuk mengais makna dalam ziarah panggilanku. Aku berdiri perlahan penuh optimisme dari tugu itu dan mengarahkan sepeda motorku menuju taman yang masih menyisakan cerita cinta yang tak pernah suram. Apakah aku diterima kembali dan boleh mengenakan jubah putihku? Aku belum tahu!
......................sekian............................