Saturday, 4 December 2010

APAKAH DI SANA ADA KEABADIAN BAGI CINTA YANG DITINGGALKAN???

Kabut perlahan merangkak memeluk malam. Dingin dan sunyi. Suara jengkrik terdengar sayup ketika semua makhluk terlelap dalam selimut hening. Aku adalah sahabat dari hari yang berselimut kabut, bertabur awan gelap dan mendung yang menutup mentari. Aku berusaha menempuh setapak berliku, berdebu dan penuh krikil berduri. Madahku adalah madah kaum pengembara dengan irama yang tidak mengenal nada-nada sangsi. Di setiap tingkungan senja laut, hasrat cintaku luluh berlabuh. Pada jalan ini aku mengejarnya, berpacu dengan waktu menelan jarak yang tak pernah kanjang. Di jalan ini aku berdiri sembari menatap senja yang sengaja kupotong sebelum aku tenggelam didalamnya. Kini di atas puncak bukit sandaran matahari ini, bersama semilir angin yang berhembus, mengusik kembali cerita masa lalu dari tapak-tapak tak berbekas dihempas peluh-debu perjalanan bersama onggokan rasa yang lama terpendam.
Selama ini aku selalu mencoba untuk bertahan dan bersabar dengan keadaan yang kualami. Aku berusaha diam tanpa banyak kata dan nada terhadap realitas hidup yang sementara kualami. Tanggal empat belas Agustus yang lalu, untuk ketiga kalinya aku mengikrarkan kaul-kaul kebiaraanku. Sebuah keputusan yang kuambil setelah melewati refleksi yang panjang dan matang. Kusadari disepanjang perjalanan ini, cerita hidupku takkan pernah mati sebab aku masih menanti sebait janji yang kutuang di antara detak jantung dan nadi walau mesti kuakui kalau itu masih merupakan misteri yang tak pasti dalam teka-teki hati. Aku akan tetap sabar menanti, menyusun kata setia yang kurangkai abadi dari dasar nurani di atas pelipit bukit ini.
Namun aku bukanlah seorang yang berdiri angkuh dipuncak menara gading, bukan pula malaikat bersayap yang mengawan di atas awan. Aku adalah seorang laki-laki yang memiliki perasaan dan hasrat untuk mencintai dan dicintai oleh seorang Hawa. Terkadang aku berpikir, mungkinkah ini yang dinamakan transendesi diri, dimana ada kerinduan dasariah manusia untuk berusaha melampaui dirinya? Ataukah karena keberadaanku selalu mengandaikan keberadaan yang lain? Aku tidak tahu. Pengetahuan filsafat dan teologiku belum terlalu matang untuk merefleksikan realitas dan misteri kehidupan yang sumpil-rumit ini.
Kuakui saja bahwa perasaan dan pengalaman jatuh cinta bukanlah hal yang asing bagiku. Kini....perasaan itu bergetar kembali dan aku hampir kehilangan ide dan kretifitas untuk mengendalikannya. Getarannya terlampau dahsyat mengiring aku pada keraguan tentang kebenaran dari jalan yang sedang kupilih ini. Aku jatuh cinta dengan seorang perawat yang betugas di salah satu rumah sakit swasta di kota ini. Sebut saja namanya, Dewi. Sinar mata yang bersih nan lembut, mengapiti hidungnya yang mancung membuat hatiku selalu bergetar sementara potongan wajah mongoloid dan rambutnya yang terurai panjang kehitaman semakin mengyakinkan aku bahwa dia adalah gadis tercantik yang pernah kutemui.
Aku adalah anak tunggal dari seorang ibu yang berhati salju. Bapaku meninggal saat aku menginjak usia delapan bulan karena serangan jantung. Di antara gelapnya malam, mama adalah matahari yang datang terangi hariku. Dia semilir angin yang berhembus membawa sejuta sesal dan pedihku kemudian meninggalkan damai dalam hatiku. Mama adalah terangnya bintang yang menuntunku di antara sesatnya jalan dunia ini. Mama adalah malaikat indah yang datang membawa damai dalam hidupku. Wajahnya sudah tak semuda dulu, garis nasib telah memahatkan alur kehidupan di wajahnya. Duka tersirat di sana dan saat murampun bisa kubaca di sisa-sisa tetesan air matanya. Senyumnya mengukir sebuah garis di sudut bibirnya dan aku ikut andil atas semua garis di wajah mama. Tangannya tak sehalus dulu, remah-remah kerja keras menyisakan noda kasar, tapi elusannya tetap membuatku merasa nyaman. Tangannyapun tak sekuat dulu, kelemahan secara perlahan menggerogotinya tapi setiap kali kugenggam tangannya, aku masih merasakan kalau ia sedang menggendongku dan akupun ikut andil atas semua kelemahan tangannya. Awal Februari yang lalu, mama terpaksa rawat inap karena radang paru-paru yang telah lama dideritanya kambuh lagi. Pada saat itulah aku mengenal Dewi. Seorang perawat yang bekerja dengan penuh dedikasi. Ia sangat cantik dan ramah. Ia merawat mamaku seperti orangtuanya sendiri. Aku sungguh merasa kagum dan bangga dengannya. Tanpa kusadari benih cinta bertumbuh dalam hatiku bersama aliran waktu yang tidak kusadari.
Setelah tiga minggu keberadaan mama di rumah sakit, akhirnya ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dipangkuanku. Hanya sepenggal pesan yang dititipkannya padaku pada saat-saat terakhir hidupnya “Anakku...mama bangga dan bahagia dengan jalan hidup yang kau tempuh ini. Berdirilah dengan tegar. Jangan pernah pejamkan mata dan tidak boleh perlihatkan duka. Bila engkau sungguh mencintai mama, jalanilah dengan setia jalan yang sedang kau rintis ini sebagai calon pewarta cinta Tuhan. Lihatlah Dewi sebagai pengganti mama, saudari dalam perjalanan panggilanmu. Bila saatnya engkau merasa kecewa, diabaikan atau merasa ditinggalkan, pandanglah Salib Tuhan sebab di sana ada keabadian bagi cinta yang ditinggalkan”.
Setiap pagi semenjak kepergiaan mama, aku selalu menanti setitik embun mengalir untuk meninggalkan jejak di antara hati kecilku yang bisu. Aku hanya bisa berharap agar embun itu menetes untuk segala kesendirianku, untuk segala derita yang kutanggung. Namun aku hanya bisa menatap indahnya sesaat ketika spotong cahaya membawanya pergi. Dewipun pergi untuk selama-lamanya. Ia mengalami kecelakaan lalulintas saat dalam perjalanan menuju rumah sakit seminggu yang lalu. Kini...aku hanya bisa bersandar pada kekuatanku sendiri. Entah sampai kapan aku bertahan untuk mengyakinkan DIA yang telah memanggilku bahwa senandungku bukanlah fana. Bahwa janjiku bukanlah palsu. Mengapa Tuhan menutup mata dan menulikan telinga pada jerit hatiku? pada permintaan tolongku? pada sepi dunianya? Apakah ia rela aku bergumul sendirian dalam kelamnya dunia ini?
Dalam perjalananku sekarang, ada peluh yang belum menetes, ada teriakan yang belum terjawab, ada mimpi setengah sadar dan duka yang belum terobati. Biarlah kupertaruhkan semua harapan jiwa ini diantara gundukan kebebasan dan ketakberdayaan, kerinduan dan kecemasan, kepasrahan dan pemberontakan. Di dalam perjalanan ini, surga dan neraka tidak pernah kalah atau menang. Kebaikan dan keburukan, keuntungan dan kemalangan bersanding mesra dekat Salib Tuhan. Apakah di sana ada keabadian bagi cinta ditinggalkan??? Aku tidak tahu...
Share:

AKU KALAH ENJEL...........

Aku menulis nama seseorang di diary kesayanganku. Enjel...lengkapnya Angelina S. Santiana. Seorang gadis yang membuat aku merasa kalah ketika menatap keruntuhan perasaanku sendiri. Ia menggoreskan kuas-kuas cinta dengan nafas yang sarat warna saat memupuk asa pada kenyataan bagi hatiku yang hampir mati rasa. Saya kira, ini bukan tentang kelogisan berpikir dalam permainan kata-kata tapi tentang cinta yang hanya bisa dipahami tanpa harus dimengerti. Cinta yang kualami selama ini kurasa seperti sebuah tikaman dewa Zeus pada jantung Prometeus yang menembus tanpa harus melukai. Cinta yang akan membuatku menjadi pemenang yang sempurna.
Pada kisi-kisi dinding pondok bambu ini, saat alam mulai terlelap, aku termangu dalam sunyi dan tenggelam dalam kebisuan ketika mengenang sebuah kisah yang sengaja kuperam sejak setahun yang lalu. Aku diajak Sandro, temanku untuk mengunjungi adik angkatnya yang sedang sakit di rumah sakit Lela. Ajakan itu langsung kusambut dengan penuh antusias, betapa tidak, sudah hampir tiga tahun keberadaanku di kota ini, aku belum pernah mengunjungi rumah sakit tertua di daratan Flores ini. Kami mengendarai sebuah sepeda motor Supra-Vit yang kupinjam dari kakak sepupuku. Pada sebuah tikungan tajam tak bernama, kami ditabrak dari arah depan oleh sebuah sepeda motor yang dikendarai oleh seorang gadis berpenampilan rapi dan anggun. Kami tidak mengalami luka lecet sedikitpun kecuali sayap kiri motor yang retak. Setelah membersihkan luka gores di lutut kanannya ia mendekati dan menatapku dalam bisu. Walau cukup dramatis, adegan itu begitu cepat sehingga belum selesai kami berpikir siapa yang salah, ia segera berlalu tanpa menunggu sepenggal kata maaf dari kami. Aku semakin heran dan kagum dengannya. Apakah memang orang harus diam untuk sesuatu yang tidak bisa dikatakan, sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Wittgenstein?
Dia pergi, seperti bulan yang hilang bersembunyi dibalik awan yg gelap, butuh waktu yg sangat lama menunggunya kembali hingga beberapa minggu yang lalu aku bertemu dengannya di salah satu kantor BRI di jantung kota ini. Nama yang terpampang rapi di dadanya merangsang memori otak kiriku untuk mengingat kenangan masa lalu saat aku berada dibangku Seminari Menegah. Dia adalah teman kores yang sangat spesial di hatiku. Ia seorang perasa yang lebih banyak diam dan merenung. Ia tersenyum ramah sambil berusaha mendugai perasaan yang berkecambuk dalam dadaku. “Enjel” sapaku ragu. Kami saling bertatapan dalam diam hingga kutangkap senyuman di sudut bibirnya yang tipis. Ia belum sempat mengatakan sesuatu padaku, saat ia harus pergi menjawabi tuntutan pekerjaannya yang padat. Aku hanya memandangnya dalam bisu menahan gejolak rasa yang menikam sudut hatiku yang terdalam.
Semenjak itu aku tidak bertemu dia lagi. Beberapa kali aku mengunjungi kantor BRI itu tetapi jawaban yang kudapat selalu sama “dia sudah pergi ke tempat tugas yang baru”. Kapan dan kemana ia pergi rupanya hal yang tidak layak untuk diketahui. Tidak seorangpun yang berani mengatakannya. Akupun sudah berusaha menelusuri sudut demi sudut kota ini untuk mencari jejaknya dalam kelamnya malam. Kuabaikan gerimis yang turun bersama kedinginan yang merayapi bumi. Semburat lampu di lorong-lorong kota berpendar dalam permainan cahaya sementara suasana kota yang sunyi nan sepi seakan meratapi kepiluan yang tak biasa di hati ini. Aku pun terus berjalan tanpa arah dan kepastian, melewati seribu satu persinggahan untuk mencarinya, siapa tahu, esok malam atau entah kapan kami bertemu. Kulalui tempat-tempat yang pernah terlintas dalam kenangan, yang sukar hilang dilindas zaman tapi dia tetap menjadi misteri bagiku..
Aku merasa tercipta dengan sempurna, dilahirkan untuk menjadi pemenang. Banyak orang, termasuk Enjel, mengakui kecemerlangan daya nalarku untuk berpikir kritis dan analitis. Kuyakini saja kalau aku cukup terampil dalam mengolah kata-kata. Namun kini aku sadar, dibalik cita-cita bahasa ideal yang serba logis dan persis, sebenarnya tersembunyi tendensi rasionalistik yang hanya mengandalkan rasio, padahal perasaan, kerinduan, harapan dan kecemasan dan kegelisan lebih kuat diekspresikan bukan pada bahasa logis tapi pada bahasa simbolis dan analogis. Dari setiap kemenangan yang kualami selama ini ternyata aku selalu kalah. Cinta dan persahabatan kami berakhir ketika Enjel merasa bahwa aku sudah mengidap virus rasionalisasi barat yang lebih mengutamakan pemikiran daripada perasaan. Aku bukanlah laki-laki romantis yang didambakan Enjel. Ia lebih menyukai tindakan nyata ketimbang pertimbangan rasional yang penuh idealisme. Masih segar dalam ingatanku kata-kata awasannya “Ky.... gunakan nalarmu ketika engkau berinteraksi dengan dirimu sendiri tetapi untuk berinteraksi dengan orang lain, gunakanlah hatimu”
Enjel.......
Kita bertemu diantara sempitnya waktu dan terbatasnya harapanku. Andai saja masih ada waktu tersisa mungkin aku bisa merombak kembali sikapku selama ini padamu. Aku bahagia mendapati kenyataan bahwa engkau masih cantik seperti dulu. Tak ada yang berubah, selain kenyataan bahwa kita bukan pasangan jiwa. Aku lebih mendahului aktus berpikir sebelum bertindak. Tapi aku kagum dengan kamu dan dibalik kekaguman itu, jauh kusimpan kerinduan yang ingin sekali rasanya bisa kucurahkan di pertemuan kita yang terakhir. Sayang, semuanya harus terpuaskan dalam impian. Hanya dapat kukagumi dan kuresapi semua rasa yang terasa.
Enjel…..
Dari hati ke hati aku mengembara. Sendirian dan resah. Aku ingin mengakhiri pengembaraan ini tanpa perlu menunggu apa atau siapa lagi..
Pada hati yang pernah kusinggahi, aku hanya memohon pamit dan berharap
sedikit kerelaan melepaskan, untuk bisa membuatku tenang
dalam hati Yesus, muara akhir pengembaraan sunyi ini.
Share:

SELAMAT TINGGAL NIVA......................

Sinar kemuning senja itu, menggores kanvas sang maha Agung saat perahu yang kutumpangi menari indah di atas samudra biru. Kubiarkan buih-buih ombak menjilati jeans biruku saat berada dekat tanjung, yang berada sekitar sepuluh mil dari peabuhan Sadang Bui menuju istana harapan bernama, Palu’e. Aku segera merapatkan jaket hitamku saat angin senja mengigit tulang-tulangku dengan manja. Aku sadar kalau aku hanyalah segelembung ombak yang kapan saja musnah. Hatiku kering meronta-ronta. Pedih dan getir kubawa semua dalam perjalanan ini. Kudekap kesendirianku dalam nestapa bersembunyi dalam selimut kesepian. Aku sungguh tak ingin begini sendiri, sunyi dan sepi di atas perahu bisu ini. Merajam tubuhku sendiri dalam kebingungan, menjamah empedu dalam tumpuan ketakberdayaan. Apakah mungkin ada sebuah kata cinta yang tersisa dari kepingan jiwa yang terluka?
Terkadang aku selalu bingung apa sebenarnya arti hadirku dan untuk apa sebenarnya aku mencoba selalu tegar. Aku bukanlah embun pagi yang selalu sabar mengumpal disudut dinding saat dia membuka jendela kamar dikala pagi. Aku bukanlah lagu penuntun tidurnya dikala dia mulai terlelap.. Tapi aku hanyalah daun yang terhempas tanpa arah dan tujuan. Aku adalah lelaki yang memiliki batas ketahanan jiwa. Kini aku pergi seperti bulan yang hilang bersembunyi dibalik awan yang gelap dan butuh waktu yang sangat lama untuk berusaha memahaminya.
Setiap detik dikala sepi mendekam dalam perenungan, aku sudah berusaha melakukan yang terbaik untuknya menjadi sesempurna mungkin dihadapannya. Tapi aku sadar segala yang terbaik bagiku, segala sesuatu yang tersempurna yang telah kulakukan, belum tentu terbaik dan tersempurna untuknya. Ketika aku adalah aku, aku merasa bukan yang terbaik untuknya. Bukankah setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan? Aku sadar akan kelebihan serta kekurangan dan keterbatasanku. Akupun sadar kalau dia sudah melakukan yang terbaik untukku. Dia banyak melakukan hal-hal terindah yang dapat menyanjungku, membuat diriku merasa tinggi, membuat diriku menjadi lebih baik.
Waktu diantara kami bukan aturan yang mengukur tentang kewajaran akan cinta. Bila benar hati adalah kunci dalam buah pemikiran, izinkan aku sejenak merenung tentang rasa yang ada dalam diriku. Setahun yang lalu, tepatnya tanggal dua belas September, untuk pertama kalinya aku bertemu Fany. Seorang perawat yang bekerja pada sebuah rumah sakit swasta yang berada di ujung timur kota ini.. Saat itu ia kelihatan sibuk dan muak mendengar beragam pertanyaan yang meluncur spontan dari bibirku. Saat itu aku hendak mendonorkan darahku kepada seorang yang mengalami kecelakaan motor. Bertanya dan terus bertanya sudah menjadi kebiasaan yang sulit kuhilangkan. Ia mungkin berpikir kalau aku sedang menguji keahlian yang didapatnya dengan susah payah bertahun-tahun di ruang kuliah. Aku hanya bisa tertunduk malu dengan sedikit rasa bersalah saat ia membentakku seperti halnya sikap seorang ibu pada anaknya yang rewel. Dan aku tidak pernah merasa kecil dengan semua itu.
Diluar perkiraanku, ternyata sikapnya itu telah menyeret dia pada rasa bersalah yang berkepanjangan. Ia selalu berusaha untuk bertemu denganku sekadar melantunkan sepenggal kata maaf. Seringkali sebuah nomor baru nonggol di layar handphonku. Beberapa kalimat basa-basi yang selalu diakhiri kata maaf. Hingga suatu hari aku bertemunya di lapangan Samador ketika menyaksikan pertandingan bola voly putra untuk memperebutkan piala bergilir Ledalero cup. Ia menyapaku ramah dengan tatapan penyesalan yang terpancar dari sudut matanya. Sejak saat itu, ditengah kesibukanku sebagai pegawai pada sebuah LSM dan mahasiswa strata satu teologi, aku selalu besedia untuk berkunjung dan dikunjung olehnya sekadar berbagai cerita dan rasa dalam hatiku. Akhirnya kami sadar kalau diantara kami mempunyai kesesuaian hati dan perasaan. Kami saling mencintai.
Beberapa minggu yang lalu, aku memutuskan untuk menyudahi hubungan kami. Memang keputusanku ini terkesan egois tetapi itulah cara terakhir yang mesti ditempuh agar keutuhan diri kami sebagai mahluk yang bebas tetap terjaga. Kami memiliki keyakinan dan mimpi yang berbeda. Aku tidak akan memaksanya untuk sekeyakinan dan semimpi denganku dan akupun sulit menerima tawarannya untuk sekeyakinan dan semimpi denganya. Mimpi adalah gambaran masa depan yang sulit ditebak tapi pantas untuk diperjuangkan. Bagiku, usaha untuk mempersatukan sebuah mimpi dalam keyakinan yang berbeda adalah kmustahilan.
Fany.....
Kau pernah meyakinkan aku pada kenyataan tentang kata yang kau tenggelamkan dalam senyum lembutmu. Tiada yang berubah di sini kecuali angin yang masih menyimpan aroma tubuhmu di lautan biru yang kita bangun di pesisir rindu.
Ketika sepi mendekam dalam perenungan, ketika sakit mencela kala kenyataan bersinggungan dan ketika aku adalah aku,
aku merasa aku bukan seseorang yang kamu cari. Sampai sejauh ini pengembaraanku di pulau cintamu, hingga aku tak tahu lagi harus berjalan kemana. Sampai sejauh itupun belum kutemukan tempat yang teduh atau mata air yang ‘kan menghapuskan kehampaan jiwaku.
Entahlah, aku tak tahu. Aku merasa aku bukanlah seseorang yang kamu cari.
Memang, mulanya memang aku tidak memiliki rasa itu. Hanya ada rasa untuk mengerti keberadaanmu disampingku, hingga akhirnya semua menjadi lain dan aku merasa jalanku semakin gelap bila tetap bertahan bersamamu. Ingin rasanya aku menjauhimu sejak lama, namun jarak selalu saja membuat kita tidak pernah bisa cukup jauh untuk terpisah. Selalu saja ada rasa yang tertinggal. Rasa yang tidak pernah aku mengerti. Selamat tinggal Fany… kejarlah hidupmu. Mungkin perpisahan ini memberi syarat bahwa mimpi dan keyakinan itu hanya bisa bersatu dalam sikap saling menerima dan memberi. Yakini saja itu.
Share:

BATU HITAM YANG TERKOYAK



S
etiap kali aku duduk di atas bukit ini, aku selalu teringat pada sebait sajak, tentang kesepian dan perih yang menyelinap di antara dinding-dinding kesakitanku. Di atas bukit ini, matahari selalu bangkit dari sanubari, menyentuh separuh dirgantara yang terbentang luas dihadapanku. Matahari cakra jingga yang dilepaskan dari  hati yang lemah-lembut, selalu siap merangkul semua jiwa yang letih dan berbeban berat. Yah...bukit Nilo tempat orang melempar harapan pada rahim Sang Bunda. Malam ini....kurasakan kegersangan hati yang menuntut jiwa menjamah kelam dan sepi. Aku seperti jelata yang berkhayal banyak, ingin mememeluk purnama dan membisikkan kata agar langit paham hingga dapat kubaca musim dan cuaca. Hanya angin yang mampu menyadarkanku dalam sunyi sambil membuaiku tapi kemudian menghempaskanku kembali pada ketakberdayaan.
Aku selalu berusaha untuk tegap berdiri di bawah matahari sampai akhirnya penantian menjadi bagian dari takdir. Apakah benar apa yang pernah didenggungkan oleh Hobes bahwa manusia adalah neraka bagi sesamanya? Mengapa dunia ini begitu kejam saat aku mencoba memahami arti sebuah kebenaran? Mengapa di tanah ini lampu-lampu berlomba di tempat terang sementara kegelapan menyembunyikan nista setiap orang? Desah malam menemaniku di sini, di bukit kelam yang telah mati. Aku mengigau dalam khayalan dan berpuisi dalam ilusi. Hatiku merintih-rintih penuh  harap pada dewa keadilan namun yang ada hanyalah kesunyian yang hampa..
Bukit Nilo ini selalu membawa anganku pada sebuah bukit yang pernah ada di tanah kelahiranku. Bukit yang berdiri angkuh di tengah kanvas biru pulau Flores, sekitar satu mil dari bibir pantai kota pariwisata Labuan Bajo. Pulau Gosok namanya. Sebuah bukit batu berwarna hitam yang selalu memberi kedamaian bagi setiap orang yang merasa dihidupkan dari rahim bumi yang penuh cinta. Memandang ke bawah, debur ombak menghempas bibir pantai dan mengirim buih-buih putih yang bening nan sejuk. Bila  matahari hendak mencium kaki langit di ufuk barat, semua insan yang berada di atas bukit batu itu, akan terbawa pada suasana senja yang ramah dan damai. Akupun pernah berjanji untuk tidak akan menyerah pada angin yang menyisir tepi hari. Aku akan tetap diam terbaring di atasnya dan mempercayakan bulan yang mengintip pada sela ranting akasia tuk menemaniku.
Kini...bukit batu hitam itu telah luluh ditangan para investor. Bukit batu itu adalah mangan permukaan yang memiliki nilai jual yang sangat tinggi walau untuk mengambilnya rahim bumi mesti dikoyak dan dihancurkan. Batu hitam ini mesti dihancurkan untuk menghilangkan stigma kemiskinan masyarakat Flobamora dan mengejar ketertinggalan masyarakat Manggarai. Apakah batu hitam itu hanyalah tumbal agar sang pemimpin daerah ini dikenang sebagai bapak pembangunan?
Khayalan dan kenyataan tidak dapat dibedakan lagi didalam peradaban dunia yang memiliki banyak wajah. Akhir-akhir ini di setiap sudut kampung, namaku selalu menjadi poros pembicaraan, seakan aku telah menabur virus yang mesti dijauhkan dan sedapat mungkin dimusnahkan. Aku adalah manusia durhaka yang pantas dirajam. Aku dituding sebagai profokator yang hanya datang membawa keresahan. Yah... aku adalah keberanian yang menciptakan keresahan bagi manusia yang merasa aman dalam suasana ketidakadilan. Aku adalah sumber yang menghasut orisinalitas pikiran dari mereka yang selalu menjadi korban penipuan para kapitalis yang serakah. Aku adalah tangan yang mengerakkan tangan-tangan yang tertindas. Aku adalah setan untuk selama-lamanya bagi mereka yang gemar mengumbar janji-janji kesejahteraan sebab bukankah kebenaran itu satu keutuhan dari sekian banyak sisi?
Oh…Bunda. Oh...persada cinta. Apakah aku adalah pualam retak yang mengores luka dan kecewa pada hati semua orang? Bukankah aku insan lemah yang menyerukan nafas untuk bernadar agar dapat memberi arti atas semua yang hanya dipandang sebelah mata oleh penguasa negeri ini?
Aku menyapamu dalam kesunyian malam ini untuk menuntunku dalam  memperjuangkan hak-hak masyarakatku dari ketamakan para pengusaha dan penguasa. Desau rinduku kutitipkan padamu agar selalu  setia menemaniku sebab aku yakin  bahwa ketika langkahku rapuh terhimpit waktu dan saat kelam melumpuhkan hati dan jantungku, saat itulah  engkau selalu datang untukku. Dengan tanganmu yang lembut, kau usap jiwaku dari ketakutan dan keputusasaan. Kau senandungkan berbagai bait-bait lagu, agar aku tak terpatahkan oleh asa nansemu.


Share:

MEMBAKAR KEGELAPAN

Kurajut kata yang selama ini ada, bersembunyi dalam resah dan gunda, terselip diantara roda cinta, yang setiap saat mengusik dalam jiwa. Terkadang aku berpikir kalau aku adalah pejalan kaki yang rapuh karena aku berjalan di atas jalan yang terjal dan penuh duri. Aku adalah pengarung gelombang kehidupan dimana sirip-siripku terkikis oleh derasnya arus asmara, yang terus menyeret aku ke titik zero. Akupun mungkin seorang yang mencoba terbang dengan kedua sayap patahku, ‘tuk arungi langit mencapai singgahsana sang bidadari yang tak peduli akan diriku.
Saat debur ombak menghempas tepian pantai Waturia dan matahari turun hendak menciup kaki langit di ufuk barat, secepat kilat remang senja datang merayap dan kurasa bagaikan tangan ajaib meraba kulitku dan tiba-tiba meremas hatiku. Bayangan Elvi datang melintas. Seorang dara manis, berambut ikal dengan matanya yang sipit, bersinar tajam dan cerdas. Dalam dirinya mengalir darah campuran Manggarai-Maumere. Hatiku menggigil rindu mengenang saat pertama kali aku menjumpainya. Kini aku hanya bisa tersenyum tawar sebab semuanya itu hanyalah sebuah drama dari adegan yang belum berakhir.
Kutemukan diriku sebagai seorang pria dewasa dalam perjalanan dari rumah menuju kemungkinan baru di kota ini beberapa tahun silam. Kini aku berprofesi sebagai seorang pemburu berita. Sebagian besar waktuku berada di tempat berbeda, yang tentunya memiliki nuansa rasa dan kenangan yang berbeda pula. Walaupun melelahkan, aku sangat menikmati pekerjaan ini. Sebuah cita-cita masa lalu yang kini akhirnya terwujud. Aku selalu berprinsip bahwa untuk hidup orang mesti butuh kepastian. Pekerjaan ini adalah panggilan hidup yang mesti dipertanggungjawabkan. Aku selalu berusaha menjadi orang pertama untuk meliput peristiwa kehidupan sekaligus pengontrol sosial yang mungkin harus menaggung banyak resiko.
Singkat cerita, sekembali dari sebuah kampung di Pulau Lembata, badanku terasa lemah, kepalaku pening, sementara sekujur tubuhku basah oleh keringat. Aku sempat meminta temanku untuk meng-email-kan berita yang telah kutulis. Tetapi... beberapa saat kemudian aku merasa sebuah benda keras membenturi kepalaku hingga akhirnya aku tidak tahu apa-apa lagi. Aku merasa berada pada sebuah dunia yang serba samar-samar. Beragam suara, mulai dari yang sangat lembut hingga suara yang paling keras menyinggahi gendang telingaku. Tak lama berselang suara-suara itu perlahan-lahan menghilang dan aku sama sekali tidak mendengarkan apa-apa lagi. Dimanakah aku? Apakah ini yang namanya kematian??
Sungguh! pada saat-saat seperti ini manusia hanyalah debu dari sebuah kefanaan hidup. Yah...kelahiran itu hanyalah sebuah kebetulan dan kematian adalah sebuah kepastian. Beragam nama dari orang yang kita kenal hilang dan lenyap kecuali DIA yang senantiasa ada di hati kita. DIA adalah Tuhan yang selalu hadir menemani seluruh derap langkah perjalanan hidup manusia. Hanya kepada-Nyalah semua mahluk bersembah dan bersujud dan bukan kepada kekuatan dunia yang semu lagi sementara.
Tiba-tiba kepalaku terasa perih dan ternyata aku berada di sebuah kamar di Rumah Sakit Umum, dengan kepala yang diperban. Saat itu pukul tiga pagi. Disamping kiriku seseorang tertidur dalam posisi duduk sementara tangan kanannya tetap memegang tangan kiriku. Gerakkan lembut tanganku, membuat ia terbangun dan spontan memelukku. “Hampir sepuluh jam kamu tidak sadarkan diri. Loy, temanmu itu mengantar kamu ke sini setelah menemukanmu tergeletak di lantai kamarmu dengan kepala terluka. Sepertinya, kamu jatuh lemas dan kepalamu membenturi kaki meja” katanya sambil tersenyum ramah. Dari sudut matanya yang putih bersih mengalir butiran bening yang menggetarkan jiwaku dalam keharuan. Aku membalas senyumannya dengan tatapan kebahagiaan yang dicampuri keheranan. Belum sempat aku bertanya tentang siapa dirinya, dari balik pintu Loy, teman baikku datang menghampiri. Ia tersenyum bahagia dan memelukku. Kemudian ia memperkenalkan Elvi padaku. Seorang putri tunggal dari sebuah keluarga terpandang yang kini berprofesi perawat.
Semenjak itu, aku selalu bertandang ke rumah Elvi bahkan orangtuanya memperlakukan aku seperti anak kandung sendiri. Akupun selalu meluangkan waktu untuk berjalan bersama Elvi tuk saling berbagi cerita dan pengalaman. Aku memiliki potongan wajah mongoloid yang persis sama dengannya sehingga tidak heran banyak orang mengira kami ini kembaran. Lama kami bersahabat sampai akhirnya kami sadar bahwa di antara kami ada kesesuaian hati dan perasaan. Kami saling mencintai.
Kuingin akhiri kisah ini sebelum mentari berderai air mata. Kisah cintaku bersama Elvi hancur dan hilang tertelan semesta bahkan aku merasa dikhianati bulan yang tertawa di pantulan laut biru ini. Kini aku meringis seolah ribuan sembilu menusuk isi jiwa. Keterlibatan orangtua Elvi dalam penyelewengan dana pembangunan infrastruktur di kota ini ikut menyeret aku pada sebuah konflik batin yang menyiksa. Aku tak pernah menyangka kalau Pak Roly, bapanya Elvi terlibat sejauh itu. Elvi memintaku untuk berhenti dari pekerjaan yang sudah saya tekuni hampir empat tahun. Tanpa kusadari, pada saat inilah profesionalismeku dipertanggungjawabku. Namun aku bukanlah pengecut yang tertawa di balik kabut. Aku harus bangkit dari bara yang membakar kegelapan dengan cahaya kebenaran. Aku ingin mengungkapkan semuanya secara transparan kepada publik walau aku tahu kosekuensi logisnya bahwa aku harus kehilangan Elvi. Yah...biarkan lara ini kuanggap biasa, agar perih sirnah bersama mentari yang terbit esok hari. Biarkan cinta mencari jalannya sendiri. Bebas...tanpa ketakutan dan tanpa paksaan.... Seminggu lagi, Elvi akan menikah dengan seorang pengacara berbakat, pilihan orangtuanya. Elvi harus menerimanya sebagai bukti pengabdian dari anak yang berbakti kepada orangtua. Selamat jalan kekasih….. walau teramat sangat perih…… namun aku pasti coba untuk jalani semua …… semoga kau bahagia di sisinya.
Share:

KAMAR ITU....


D
i sini...di kamar ini, kugores cerita untuk mengubah prosa kehidupan menjadi lagu dan senandung penuh pujian, dengan iringan musik yang diciptakan malam untuk dinyanyikan pada siang hari. Di sini, kerinduan cinta membuka selubungnya dan menerangi lubuk-lubuk hati. Sebuah jendela, menyerahkan kamar ini pada dunia. Bulan yang menyinari kedalamnya mau lebih banyak tahu, sudah puluhan bahkan ratusan orang bernyawa di sini. Aku salah satunya. Yah...sudah hampir dua minggu aku menghuni kamar rumah sakit  berukuran enam kali tujuh meter yang berada di ujung timur kota ini. Kuyakini saja kalau kamar ini terlalu sempit buat meniup sebuah nyawa.
            Seberkas cahaya lampu neon menerobos dari balik tirai jendela lalu membisikkan sebuah kisah, tentang cinta yang ditinggalkan di sudut hati ini. Aku diam menikmati dalam hening. Tanpa sadar air mataku mengalir, mengingat kisahku, mengingat perihku. Aku hanya bisa  menatap ke langit-langit kamar. Kupanjatkan sebuah doa. “Tuhanku…aku datang dengan berlinang air mata. Aku merasa kuat dalam sakitku. Bahwa Engkau masih mencintaiku. Engkau juga memberiku sejuta rasa buat menyadarkan aku bahwa aku hanyalah seorang manusia yang memiliki batas ketahanan jiwa…..”
            Dari kamar ini ingin kurangkai sederet kisah, bersama rembulan yang selalu setia menemani kesendirianku dengan kehangatan sinarnya. Kudendangkan irama cinta dalam keresahan jiwa yang kian sempurna. Walau terasa perih kucoba membuka,  lembaran kisah cinta  yang terabaikan. Di relung hati yang bisu ini, Vina hadir bagai sepucuk zaitun di setiap datangnya musim semi. Dinding kamar ini kujadikan selembar kanvas, tuk goreskan rasa untuk sebuah nama, Yosevina Adrianty Sukardi.     
Vina....aku tak tahu mengapa aku rindu. Aku tak tahu mengapa aku resah, bila kau tak ada disampingku. Biarkan aku menemanimu walau hanya sebentar saja. Biarkan aku memiliki walau hanya dalam angan semata. Vina....aku tahu memang tak mungkin, bila mentari menyinari dasar lautan dan aku tahu memang tak mungkin, bila mentari menyatu dengan dunia sedangkan ada sang rembulan di sisinya. Namun Vina… salahkah bila aku mencinta, karena aku masih seorang laki-laki yang memiliki segengam rasa untuk dapat berbagi kasih denganmu. Salahkah bila aku memuja, walau engkau datang bagai pelangi senja di hatiku. Salahkah bila aku tak kuasa menahan rasa untuk berjumpa denganmu dalam waktuku yang tinggal sesaat saja.
            Aku adalah anak bungsu dari lima bersaudara dari sebuah kota di ujung barat Pulau Bunga ini. Hampir tiga tahun aku berada di kota ini ‘tuk merajut mimpi masa depan dalam dunia pendidikan. Vina adalah teman kuliahku. Kami saling berkenalan pada saat kegiatan OSPEK dua tahun yang lalu. Berpikir kenapa aku menyukai dan merindukannya? Itu adalah penyakit bahkan ketika sedang hujan, hujan pun tidak bisa mendinginkan cintaku padanya. Ketika aku bersamanya, malam hari terasa siang. Sekarang aku percaya perasaan ini dapat kulihat dengan mata tertutup. Aku mencintainya. Namun....aku selalu berusaha memendamkan perasaan ini karena aku sama sekali tidak yakin untuk mendapatkan cintanya. Kalaupun terjadi, itu hanyalah sebuah kebetulan kalau tidak mau dibilang mukjizat. Di mataku, Vina adalah gadis yang terlalu sempurna dan spesial. Ia cantik, pintar dan berbakat dalam banyak hal seperti musik, menulis, olahraga dan seni teater. Sementara aku hanyalah seorang pria kalem yang tidak berekspresi. Kemampuan intelekku tidak segemilang Vina. Aku hanya bisa membiarkan semuanya mengalir bersama irama waktu karena aku takut kehilangan dia hanya karena sebuah pengakuan.
            Suatu pagi yang cerah di pertengahan bulan Februari, aku diajak Vina untuk menghadiri pesta ulang tahun sahabatnya. Saat itu merupakan kesempatan pertama bagiku untuk berdua dengan Vina, gadis pujaanku. Kuboncengi Vina dengan motor ge-el-pro biru milikku sebagai hadiah dari bapa dan mama karena aku  telah menamatkan diri dari Sekolah Menengah Atas tiga tahun silam dengan hasil yang cukup memuaskan. Acara ulang tahun itu ternyata hanyalah sandiwara yang telah dilakoni Vina secara sempurna. Hari itu adalah Hari Valentine. Tiba-tiba hatiku terasa perih karena hanya aku yang tidak memiliki pasangan sementara di sudut kanan ruangan itu, nampak Vina sedang bermesraan dengan Rinyo, kekasihnya. Aku segera meninggalkan ruangan yang telah membuat aku tersudut dan terhina. Rasa benci, kecewa, cemburu, malu dan menyesal berbaur menjadi satu. Kulajukan sepeda motorku dengan kecepatan tinggi dan berharap agar rasa perih dan pedih di hati ini hilang bersamanya. Tiba-tiba sebuah tikungan tajam menghadangku dan.....akupun terjatuh hingga tidak sadarkan diri. 
            Untuk sebuah nama, Yosevina Adrianty Sukardi, cinta yang kupuja selama ini kuingin mengucapkan terima kasih untuk semua rasa, aku bahagia walau hadirmu hanya sementara. Mungkin aku tak bisa menggapaimu di alam nyata karena engkau hanya sekedar fatamorgana. Karena itu, biarlah aku merengkuhmu di setiap mimpi dalam tidurku di kamar ini. Biarlah kumenggapaimu dalam angan selama hidupku. Aku diam dalam kesendirian. Mulutku gagu…jiwaku tak kuasa meronta. Aku letih oleh semua tawa dan sandiwaramu, hingga kini aku tak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan fatamorgana..        
Vina cintaku.... Biarkan semuanya ini berakhir, jangan hancurkan duniaku lagi…Biarlah kuhirup sedikit keindahan di sisa hidupku. Aku dambakan nirwana. Kumohon....biarkan pelangi harapanku itu menghiasi hariku karena hanya itu yang kumiliki bersama satu bintang yang selalu berpijar untukku. Aku rindu…namun aku ragu…Aku tak pernah pantas untuk mendapatkan cintamu.
            Aku adalah mendung yang selalu menggantung. Dalam kehidupanku sekarang  cinta hanya pantas kulihat tanpa bisa kusentuh… tanpa bisa kumiliki…Mungkin hingga nanti…Biarlah kugantung kisah cintaku..Pada langit malam…yang selalu datang dalam mimpi dan sadarku.



Share:

LEMBAH KEGELAPAN

Kuingin menumpahkan segala rasa yang setiap saat menikam sudut hatiku yang paling dalam. Satu demi satu rasa itu merengkuh relung jiwa dan merampas semua bagian di dalamnya. Biarlah semuanya tahu, kalau aku hanyalah laki-laki yang hanya ingin mengerti apa arti cinta yang sebenarnya sebab alunan waktu yang menyertaiku telah menghadirkan cinta yang sulit kumengerti. Yah....seandainya saja aku diberi sedikit kekuatan, aku pasti sudah menantang dunia yang selalu menjeratku dengan semua angin cinta yang begitu membebaniku. Kutahu, mimpi tidak selalu harus menjadi kenyataan. Ada awal dan ada akhir yang mungkin tak dapat terurai semua. Ada kepedihan dan ada kebahagiaan yang tak akan pernah dapat terlupakan. Tetapi semua ini adalah kenyataan dan bukanlah sebuah mimpi yang boleh kupandang sebelah mata.
Di sini, di pondok bambu berukuran tujuh kali enam meter ini, aku ditemani seorang perempuan yang adalah mamaku sendiri. Aku dan mamaku resmi berpredikat yatim dan single parent setelah bapaku meninggalkan kami tujuh tahun silam. Hari-hari hidup kami dilalui bersama walau dalam suatu rutinitas yang berbeda yang tentunya memiliki nuansa rasa dan kenangan yang berbeda pula. Mamaku adalah guru Sekolah Dasar Impres. Sementara aku baru menyelesaikan Strata Satu di bidang Komunikasi dua tahun yang lalu dari pulau Dewata-Bali. Kini aku kembali dan menemani mamaku yang berfungsi sebagai bapa dan mama sekaligus. Aku sangat menyayanginya karena dia senantiasa menyanyikan simponi merdu dalam batinku. Setiap kali aku menanyakan soal bapa, mama lebih memilih untuk diam sebelum menggugurkan air mata. Aku tidak ingin melihat mama sedih apalagi batinnya sampai terluka, karena aku lebih memendamkan semua rasa penasaranku tentang bapa. Namun, kehadiran Tamara di rumah kami memberi warna lain dalam keluarga kami. Dia adalah seorang mahasiswi di bidang kesehatan yang menjalani praktek kuliah kerja nyata di lingkungan kami. Suatu ketika, Tamara dengan spontan menanyakan keberadaan bapa. Mama seakan tidak mampu lagi menyimpan rahasia kehidupan yang selama ini menylimuti hatinya. Mama menceritakan semuanya di hadapan Tamara dan di hadapanku dengan isak tangis kesedihan yang amat dalam. Luka di hati mama seakan terobati dengan kehadiran Tamara dan memperlakukannya seperti putri kandung sendiri. Perlahan namun pasti aku merasa ada sesuatu yang terjadi pada diriku. Suatu perasaan aneh yang terus bergejolak dihatiku dan sulit untuk kulawan. Tatapan mata yang teduh dari Tamara membuat aku merasa, ada secercah harapan yang ia titipkan untukku. Sekeping cinta yang bisa aku singgahi dan segenggam mimpi yang bisa aku simpan untuknya.
Sudah hampir empat belas hari, Tamara berada di pondok bambu ini dan aku selalu berusaha membentengi hatiku agar kehadirannya hanya sekedar singgah dan bayangannya menguap bersama embun pagi. Tapi...kesepian dalam hatiku membuat aku merasa rapuh tak berdaya diterpa gelombang rasa yang ada, bahwa aku mencintai Tamara. Tetapi entah kenapa lidah ini terasa kaku untuk mengucapkan sepenggal kalimat sayang pada Tamara. Bahkan aku berusaha melawan kegalauan dalam hatiku dengan menunjukkan sikap kurang simpatik pada Tamara bahkan suatu ketika aku mengatakan pada Tamara bahwa kamu bukanlah siapa-siapaku. Teman pun tidak. Mamaku beberapa kali menegurku, karena aku menunjukkan sikap yang tidak bersahabat dengan Tamara. Tetapi bukanlah seorang Tamara, kalau ia tersinggung apalagi membenciku. Ia selalu menunjukkan sikap yang ramah, sopan dan tenang dan membuat aku merasa dicintai dan diperhatikan.
Sudah hampir sepuluh hari Tamara meninggalkan rumah kami tetapi aneka kenangan tak mau berlalu dari ingatanku dan selalu bersembunyi dalam benakku. Andaikan ada satu kesempatan lagi datang padaku, tak kan kulepas dan kubiarkan Tamara pergi. Andaikan sayapku bisa mengepak tinggi, akan kubawa dia terbang jauh dari segala mimpi. Saat ini aku hanya ingin memiliki keindahan bersama Tamara dan merindukanya. Saat ini aku hanya bisa menanti bintang jatuh dan datang menghampiriku…membawa seseorang lain yang bisa melanjutkan mimpi indahku.
Di pucuk malam pencarian ini saat hati merindukan kehadiaran Tamara, raga ini tidak dapat berdiri menyala rasa gundah dalam jiwa, ketika tangan tak dapat menggapai ‘tuk renggankan jemari kepada awan. Hati terasa dikoyak lantas dihempaskan pada gurun yang gersang. Merindukan Tamara adalah sebuah kesia-siaan. Demi malam yang ramah, aku berjanji akan menyerah kepada angin yang akan menyisir tepi hari. Di tepi lembah Koting ini, aku diam terbaring sebab hanya bulan di sela ranting yang hanya memperdalam hening oleh rasa kehilangan di hatiku.
Kemarin aku menjumpai Tamara di halaman Roxy Swalayan. Ia memperkenalkan Theo, seorang pria tampan lagi sopan yang berprofesi sebagai pegawai sebuah bank yang baru beberapa minggu membuka cabangnya di Maumere. Tiba-tiba aku teringat sebuah kalimat yang pernah diucapkan Tamara dua minggu silam “Kak Roky...hidup ini pasti indah dan bermakna bila mekar dalam kesucian sebuah cinta, bukan dalam kelimpahan harta yang kosong atau kenikmatan yang semu...tidak....aku yakin cinta adalah sintesis dari sifat yang transenden.
Tamara...aku hanyalah laki-laki yang kadang lembut atau kasar menyatu dan berteriak kala kau hadir menjadi canduku. Bagaikan badai seperti tornado dengan skala fujita lima, sungguh...dahsyat rasa yang kau beri, membuatku gila dan menghancurkan pondasi pertahanan diri, meruntuhkan dinding-dinding ketegaran hatiku selama ini.
Tamara.... engkau hadir seperti angin berhembus, pada gesek ilalang dan dedaun yang bergoyang dalam iringan khidmat. Datang dari timur, titipkan pesan semerbak bunga yang mekar di musim semi. Tapi Tamara....angin datang tak tentu. Kadang pelan menghanyutkan, kadang kencang menghempas, sesekali diam tak beranjak. Tamara....tidakkah kau sadar kalau kamu hadir dalam kehidupanku seperti semilir angin, hinggap dan menerpa jiwaku dengan sebuah cinta? Maafkan aku Tamara….aku hanya bisa memperhatikanmu dalam diam....bersama hembusan angin malam yang mulai menggigit tulang-tulangku, ijinkan aku untuk mengucapkan sepengal kalimat bahwa “aku sangat mencintaimu....................”.
Share:

PELANGI SENJA

Aku baru memejamkan mata, lalu bayangannya datang melintas. gadis kecil bergaun putih dengan sebuah buku dongeng di tangannya. Rambutnya ikal, matanya yang sipit bersinar tajam dan cerdas. Kulitnya kecoklatan dan halus. Bening. Ia tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Aku berdiri dan berlari hendak merangkul dan memeluknya, tetapi setiap kali aku berusaha mengapainya pada saat yang sama ia menjauh.
“Asty......” teriakku dalam kegelapan malam.
“Kemanakah engkau?” Ia telah menghilang. Aku sukar untuk memejamkan mata lagi. “Asty, mengapa engkau tiba-tiba muncul dalam pikiranku?” Gumamku dalam hati. Kuangkat kepala dan melirik weker mungil yang berada di sudut meja belajarku. Pukul dua belas lewat dua puluh menit, jam yang sama ketika Asty menghembuskan napasnya yang terakhir di pangkuanku. Butiran-butiran bening meluncur perlahan dari kelopak mataku. Tak pernah terlintas dalam benakku, seorang gadis kecil yang kukenal bersemangat, lincah, polos dan manis harus pergi di tengah kebahagiaan dan harapan serta impianku untuk merawat, menjaga dan mencintainya seperti anak kandungku sendiri.
“Oh Tuhan, mengapa hal ini terjadi dalam hidupku? Mengapa Engkau tidak membiarkan aku lebih lama lagi untuk merawat, menjaga dan mencintainya, sebagimana Engkau perbuat padaku. Tuhan....kutahu bahwa rencana-Mu bukanlah rencanaku dan kehendakku bukanlah kehendak-Mu, tetapi izinkanlah aku untuk menemukan kembali pelangi di hatiku”
Nafasku terasa sesak dan hatiku perih menahan duka dan ketidakpuasan dalam diriku. Asty bertumbuh dan berkembang dengan baik setelah kutemukan dirinya masih bayi di depan gerbang rumah kontrakku. Ia berbaring penuh kedamaian di dalam keranjang plastik dengan sebuah selimut yang agak kumal membaluti tubuhnya. Ia mengerak-gerakkan kaki dan tangannya sebagi tanda bahwa ia ada dan hidup. Matanya yang bening dan polos membuat aku terharu. Seoranganak yang belum mengerti arti sebuah kehidupan. Tak ada yang lain di situ kecuali seorang nenek tua yang sedang berdiri di persimpangan jalan dan sesekali memandang ke arahku dan keranjang plastik itu. Dan setelah kuangkat si Asty kecil, dia langsung menahan tukang ojek dan menghilang entah ke mana. Tak ada jalan lain bagiku selain melapor kepada ketua RT dan polisi. Dan atas izinan mereka, aku boleh mengangkat Asty menjadi anakku. Tetapi, aku masih muda dan belum ada pengelaman sedikitpun dalam merawat seorang bayi kecuali dalam hal teori. Karenanya, aku menitipkan si Asty kecil kep panti asuhan suster SSPS dan menanggung segala biaya perawatannya. Dua minggu sekali aku selalu mengunjunginya, sebagai bukti perhatian dan cintaku yang tulus kepadanya. Setelah menginjak usia tiga setengah tahun, aku membawa gadis kecil Asty ke rumahku dan kuberi nama Helena Astuty Ledong.
Suatu hari ia bertanya “Bapa....mamaku di mana?” Aku tidak langsung menjawab, tetapi memandangnya dengan penuh haru dan kagum. Kukecup keningnya dengan lembut.
“Kamu mau bertemu mama yah?” timpalku.
“Ia dong pa, abis teman-teman Asty selalu tanya mamaku di mana? Kenapa mama tidak mau menghantarku” katanya polos. Setelah ia masuk TKK Kuntum Bahagia itu, ia semakin pintar saja. “Nanti bulan depan kita bertemu dan menjemput mamamu, okey?” jawabku sekenanya walau masih bingung ke mana akan mencari mamanya. Apakah aku harus bersandiwara? ataukah aku harus mengecewakanya? Tidak! Asty masih kecil dan belum siap untuk mengetahui latar belakang kehidupannya. Ia belum pantas menerima semua itu. Lagi pula aku tidak ingin dia kecewa apalagi dilukai perasaannya. Aku memang sudah mempunyai pekerjaan tetap dan pengahasilan yang cukup untuk membangun sebuah kehidupan rumah tangga. tetapi, apakah dalam waktu sebulan aku dapat menemukan cinta? Jangankan untuk bertunangan, berpacaran saja, waktu sebualn itu tidak cukup. Itu berarti jalan satu-satunya adalah bersandiwara.
Keesokakan harinya aku menemui Anita, teman kuliahku dulu yang kini berprofesi sebagai dokter specialis kandungan di rumah sakit yang kupimpin. Kuceritakan semua yang terjadi dan Anita langsung tertawa geli, dikiranya aku sedang bercanda. Tetapi akhirnya dia mengangguk setuju setelah aku memohon dengan sangat walau terasa kurang enak hanya demi kebahagiaan Asty. Setelah tiba waktu yang kujanjikan, aku mengajak Asty untuk menjumpai “mamanya”. Mulailah adegan sandiwara ini. Anita bertindak penuh keramahan dan memelik Asty seperti seorang ibu yang berjumpa dengan anaknya setelah lama berpisah. Aku juga heran ketika Anita menangis sungguhan. Ia berakting sangat bagus. Sungguh sempurna. Tak seorangpun yang mengetahui skenario dari adegan sandiwara ini. Adegan demi adegan berlalu dan akhirnya menyimpang dari skenario yang ditetapkan. Anita bertindaka sebagai seorang ibu sungguhan. “Pa....mengapa setelah mama ada, bapa selalu tidus di ruang tamu” kata Asty suatu kesempatan ketika kami sedang shopping di pasar swalayan Pagi. aku berpura-pura tidak mendengar karena aku tidak tahu apa yang harus kujawab. Sampai ia bertanya lagi untuk kedua kalinya. “Mama kan baru datang, sehingga ingin tidur berdua denganmu tanpa harus bersama aku” jawabku meyakinkan. Dan siapa yang pernah menduga kalau awalnya biasa-biasa saja, hingga akhirnya benih cinta mulai bersemi di hati kami. Aku dan Anita saling mencintai. Kebahagiaanku bersama Asty telah menjadi sempurna setelah kehadiran Anita dalam hidup kami.
Tetapi pelangi itu hilang di tengah kepekatan, kedinginan dan kegelapan malam. Asty pergi untuk selamanya. Ia pergi ketika aku dan Anita bebrbicara soal pernikahan kami. Ia pergi meninggalkan puing-puing kehancuran di hatiku. seperti biasanya, sepulang sekolah ia tidak langsung ke rumah tetapi bermain di kantorku. Di rumah sakit. Tanpa sepengetahuanku, ia pergi ke kantin dan menyantap semangkok bakso. Sepulang dari sana ia mengeluh sakit perut padaku. Walau aku seorang dokter, tetapi menghadapi situasi ini aku langsung panik sebab mukanya langsung pucat dan badannya lemas serta detak jantung yang semakin tidak teratur.
“Pa...maafkan Asty” katanya dengan suara yang hampir hilang, kemudian perlahan-lahan menutup matanya dan mengehembuskan nafasnya yang terakhir di pangkuanku. Semenjak kepergianya benih-benih cinta yang sempat bersemi dan bertumbuh bersama Anita tiba-tiba sirna oleh sikap saling mempersalahkan. Asty mengalami leukimia. Pelangi itu telah hilang ditelan kegalauan dan kebekuan hatiku.
Besok adalah hari ulang tahu Anita sekaligus genap tiga tahun kepergian Asty. Apakah pelang itu akan mucul kembali walau tanpa kehadiran Asty? Aku belum tahu.......
Share:

PELANGI ITU TELAH PERGI

Sebusur pelangi tampak indah melintang di atas langit senja yang manja, tepatnya di atas Perbukitan Kabor. Bayangan Kak Afri datang melintas bersama semilir angin yang berusaha menerobos pori-pori tubuhku. Namun bayangan itu segera pudar bersama rintik-rintik hujan yang kembali membasahi bumi. Aku hanya bisa terdiam dalam keheningan kamarku. Pelangi hatiku itu telah pergi.
Waktu membawaku berlari begitu cepat hingga akhirnya mempertemukan aku dengan Kak Afri. Seorang laki-laki yang mungkin tidak layak aku cintai. Dia adalah seorang mahasiswa pada sebuah sekolah tinggi di kota ini yang sedang berpraktek mengajar jurnalistik di sekolahku. Aku tahu bahwa sampai kapanpun aku tidak mungkin mendapatkan cintanya. Sebuah jurang yang sangat lebar. Bukan sebuah plastik transparan yang mudah kuterobosi dan bukan pula sebuah belantara yang mudah kutapaki. Jalan tak berujung dan laut yang tak bertepi. Kami dipisahkan oleh cita-cita dan panggilan hidup yang berbeda. Dia adalah seorang yang terpanggil. Seorang frater. Sementara aku, aku hanyalah gadis biasa dari ujung kota yang udik. Kini aku sadar kalau aku hanyalah seorang gadis yang rapuh dan berusaha tegar. Aku tidak lebih dari si pungguk yang merindukan rembulan. Setiap kali aku mencoba menghadirkan bayangan Wajah Kak Afri, pada saat yang sama suara-suara sumbang yang menyakitkan selalu terngiang di telingaku. Sebagai perempuan tidak tahu diri.
Singkat cerita, suatu hari Kak Afri memberi tugas kepada kami, untuk menulis sebuah berita apa saja asalkan unsur 5W + 1 H, harus tercakup di dalamnya. Sepanjang jam pelajaran itu, aku hanya terpesona menatap Kak Afri yang sedang duduk membaca menunggu hasil pekerjaan kami. Matanya yang tajam, cerdas dan manja selalu membuat hatiku bergetar. Wajahnya mongoloidnya kelihatan serasi saat berpaduan dengan kemeja biru tua dan jeans hitam serta sandal karvil yang melekat pada tubuhnya.
Tiga puluh menit berlalu tetapi penaku belum mampu menari di atas lembaran putih yang sudah dibagikan. Tiba-tiba butir-butir keringat bersemi perlahan pada dahiku saat pemikiran rasionalku berbenturan dengan naluri kewanitaan yang bergejolak di hatiku. Tetapi akhirnya aku sadar bahwa pemikiran rasionalku tidak dapat membendung perasaanku dan justru itulah yang kutulis dalam lembaran putih yang telah dibagikan itu. Namun...diluar perkiraanku ternyata hasil pekerjaan kami langsung diperiksa oleh kami sendiri dengan cara diacak. Kak Afri meminta seorang di antara kami untuk membacakan apa yang tertulis pada lembaran yang sekarang ini ada di tangannya. Nita yang selama ini sangat membenciku mengangkat tangan dan mulai membaca. “Kak...semenjak Kakak berdiri di depan kelas ini satu bulan yang silam, sebenarnya ada rasa dalam hatiku yang aku sendiri sulit untuk mengerti. Terserah kakak mau digolongkan jenis apa saja tulisanku ini, tapi yang pasti bahwa aku tidak bisa mendustai perasaanku sendiri bahwa aku sungguh mencintai Kakak. Dan...saat ini aku tidak membutuhkan berapa nilai yang Kakak berikan untukku tetapi yang kuharapkan hanyalah jawaban Kakak atas ungkapan perasaanku ini” Dari orang yang sangat mengagumi dan mencintaimu__Caritas__.
Teman-temanku spontan menertawai dan mencibirku. Suhu badanku drastis naik oleh rasa malu dan bersalah. Aku sungguh berada pada posisi yang terhina. Kak Afri tampak tenang dan mencoba untuk menetralkan suasana batinku dengan mengatakan bahwa tulisanku tergolong pada jenis prosa cinta yang belum sempurna.
Mungkin inilah jawaban yang kucari bersama waktu. Aku sudah gagal. Duniaku begitu gelap, tiada terang yang menyinari. Aku terdiam dan hanya berdoa pada Tuhan bersujud sambil menangis, mengingat peristiwa hari itu. Sejenak aku terpaku dalam ragu sampai aku benar-benar sadar bahwa pelangiku itu telah pergi. Mungkin langkahku harus terhenti sampai di sini karena aku tak tahu kemana lagi aku harus melangkah untuk mendapatkan cintaku. Kini aku hanya bisa menanyai awan, apakah ia tahu kalau aku di sini sedang menanti sebuah jendela yang mungkin akan terbuka bersama hantaman angin untuk dapat melihat pelangi hatiku.
Pelangiku....biarkan aku pergi…Biarkan aku meninggalkanmu bersama penderitaanku. Sekarang aku hanya ingin mencari secercah ketenangan sambil berharap semoga engkau muncul kembali esok hari..........
Share:

MENDAYUNG SAMPAN KEHIDUPAN

Ketika asa itu pergi, kelabu hati siap menanti, bersama mimpiku yang terkoyak lagi. Mungkin benar apa yang pernah didengungkan Heidegger bahwa kelahiranku sebagai manusia di bumi fana ini, hanyalah bentuk keterlemparan dari keabadian. Waktu menyeretku begitu cepat menuju titik zero bersama dengan hatiku yang melayang-layang dan tidak tahu harus berlabuh di mana. Aku belum selesai mengekalkan wajah mama dalam ingatanku setelah kemudian menguap bersama waktu dan perlahan namun pasti wajah nenek hadir sebagai pengganti. Kehadiran mama yang hanya sesaat di sampingku cukup menyadarkan aku bahwa aku hanyalah anak seorang perempuan.
Kutulis kisah ini dari suasana jiwaku yang kian rapuh. Aku selalu berpikir untuk dapat berharap bahwa kehadiran mama dalam perjalanan hidupku ini seperti sebuah matahari, hidup selalu terasa seperti pagi hari. Tapi aku juga sadar bahwa langit adalah sebuah misteri dan kini aku ditinggal sendiri. Sementara bapa, bapa hanyalah sebongkah bayang yang akan sirna bila sepotong cahaya mendadak lewat. Aku lebih senang apabila sepotong cahaya datang perlahan, melewati kegelapan yang mengamang dan dengan rasa cemas yang anggun melihat bayangan hitam bapa pudar dalam penglihatan. Sikap egois bapa adalah awal dari semua ini. Seandainya saja bapa menunjukkan sikap rasa bersalah dan insaf, mungkin mama mau memaafkannya. Akhirnya, semua harus terjadi. Bapa dan mama berpisah dan membiarkan aku sendiri menyusuri lembah kelam kehidupan ini. Sebentar lagi bayangan nenek ikut pudar dari ingatanku karena penyakit tifus telah menyeretnya ke alam maut sebulan yang lalu.
Aku terus mengenang peristiwa ini selama-lamanya. Yah... kenangan masa lalu tentang lenyapnya bayangan bapa dalam sepotong cahaya. Aku tidak pernah berpikir bahwa kenangan itu sebagai titik awal rangkaian hidupku. Aku lebih menganggapnya sebagai titik akhir. Aku bukanlah pemain sepak bola yang dilemparkan ke lapangan dengan seperangkat aturan. Dan aku, aku tidak tahu situasi hidup yang aku jalani pada masa tua nanti. Apakah pikiran-pikiranku dapat membuka serangkaian kegelapan, serangkaian tikungan yang berdiri acak dari banyaknya pengalaman? Aku tidak tahu. Aku hanya berpikir bahwa kenangan yang aku alami adalah semacam kitab suci, di mana aku tidak hanya melakukan apa yang tertera sebab kenangan itu tidak berisi apa-apa kecuali seberkas rasa takjub dan ketakberdayaan. Aku akan membuat serangkaian pengetahuan dari pengalaman yang sudah aku dapati ini dan dari kenangan yang aku hayati sehingga kitab suci itu akan menjadi sempurna. Bukan ketika kenangan itu berawal melainkan ketika aku menghirup udara terakhir kalinya, ketika aku merasa badanku timbul- tenggelam bertahun-tahun.
Kini aku berjalan sendiri seperti berada pada sebuah sampan di tengah arus sungai zaman yang sangat deras. Sampanku mendadak membelok tanpa aku duga, sehingga posisi badan sampan tidak lagi lurus ke depan sebagaimana yang aku harap sebelumnya melainkan ke samping, berhadapan dengan tebing sungai yang hanya menyerupai segerombol gelap. Aku divonis mengidap AIDS warisan orangtuaku. Namun aku tetap memegang badan sampan erat-erat sambil terus memandang ke depan, yang dalam tangkapan mataku hanyalah sebentuk gelap yang bergerak-gerak, tanpa suara. Gendang telingaku berisi lengkingan, nyanyian ratapan dan penyesalan. Aku tetap berpegang erat dan merasakan sampan hidupku naik turun dari ketinggian yang tertinggi hingga kerendahan yang terendah dan aku selalu berusaha percaya bahwa setiap hentakkan adalah nyata. Yah keadaanku sekarang ini. Aku yakin sungguh bahwa apabila sampan ini terus mengelogak, niscaya aku akan terlempar ke dalam sungai yang kelam ini. Aku tidak tahu, apakah yang terjadi selanjutnya. Mungkin saja aku terdampar di suatu tempat yang belum terjamah oleh manusia atau mengapung tak bernyawa di telaga yang maha luas. Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena aku bukanlah pembuat sampan ini. Aku hanya menjalankan sampan kehidupan ini.
Share:

UNTUKMU SHERLY

PAHATAN CINTA DI PUNCAK KEAJAIBAN


Gerimis kecil belum sepenuhnya mereda, saat aku dan Serly memahat janji pada dinding tugu di puncak Kelimutu ini. Kami sepakat untuk menjadikan telaga berwarna biru yang ada di hadapan kami sebagai saksi. Yah...kalaupun suatu saat, danau itu berubah warna ataupun mengering, namun kami sangat yakin kalau cinta yang kami pahatkan itu tetap utuh dan sempurna dalam keabadian.
Namun... kini langkahku terasa berat menuju tugu itu lagi. Air mata sudah membendung di pelupuk mata tapi rasanya malu untuk kutumpahkan di tempat keramat ini. Apa kata air mataku nanti, yang menetes dan jatuh? Mereka pasti akan menertawaiku. Ah...tidak. Aku tak ingin telaga berwarna biru itu tahu, kalau aku sedang menangis. Awalnya aku berpikir, bahwa sampai kapanpun, aku tak ingin orang lain merasakan kepedihan hatiku, sebab mereka tak akan tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Bagiku, lebih baik menangis dalam hati saja. Biar aku sendiri yang merasakan kepedihan hati yang mungkin sudah menjadi tulisan takdirku.
Rupanya aku sedang bermain dengan perasaanku sendiri. Apakah sekarang aku harus percaya bahwa dibalik tangisan ada senyuman kebahagiaan? Apakah aku harus menangis sebelum ditangisi orang lain? Tidak! Ketika aku masih kecil, bapaku pernah bilang, haram bagi seorang laki-laki untuk menangis. Menangis adalah ungkapan dari jiwa yang lemah.

Ingin rasanya aku menjerit dan terus menjerit.
Namun itu tidak ada gunanya karena di puncak keajaiban ini hanya kesunyianlah yang mau mendengarkan jeritan hatiku. Bayangan wajah Serly selalu hadir saat aku sedang memejamkan mata. Hati kecilku selalu bertanya, apakah Serly tidak merasakan kekuatan sebuah kata yang pernah kami pahatkan di tempat ini? Ataukah ia sengaja meragukan makna sebuah kata janji sehingga keberadaanku di hatinya seperti sebuah kabut putih yang hanya menyinggahi kawah itu kemudian dalam sekejap lenyap tertiup angin?
Kini jiwaku tidak sekokoh tugu di puncak keajaiban itu lagi. Di luar kendaliku, aku menitikkan air mata ketika melantunkan perasaanku. Bukan sekali saja, melainkan sudah berkali–kali dan akhirnya akupun menangis sejadi-jadinya, memikirkan kenangan indah bersama Serly. Aku tidak tahu sampai kapan kesendirianku ini berakhir. Telaga berwarna itu meriak, menghembuskan aroma belerang yang seakan meyakinkan aku bahwa pencarianku sudah selesai. Di kaki tugu ini aku hanya bisa bersimpul menatap hati yang runtuh, hancur terbelah dialiri anak sungai dari kelopak mataku. Kidung duka mulai bergema, seiring nada cinta yang terus berlari. Perjalanan cinta yang telah kurajut bersama Serly hanyalah sebuah episode napak tilas tentang rentang waktu yang hilang oleh sikap munafik, egois dan gila harta. Tadinya aku berharap bahwa pahatan janji yang pernah kami kukuhkan bersama di atas puncak keajaiban ini, adalah akhir bahagia. Tetapi ternyata semua itu hanyalah fatamorgana. Aku hanya menemukan sebuah nama dalam kekelaman jiwaku.
* * * * * * * * *

Singkat cerita, aku berkenalan dengan Serly dari sebuah studio penyiaran radio swasta yang mengudara di gelombang 102,9 MHZ. Sebagai penyiar pemula, tentunya aku mesti banyak belajar dari para seniorku, termasuk Sherly. Dia mahluk Tuhan yang selalu menaburkan inspirasi dan alasan bagiku untuk bersujud pada keindahan abadi. Seorang wanita cantik yang kukenal ramah dan rendah hati. Ingin rasanya aku memandang sepasang bola mata bersih nan sayu dari balik lensa bening yang bertengger angkuh di atas hidungnya yang mancung. Aku selalu mencari alasan, untuk ada bersamanya dan memandang dari dekat kedua bola matanya. Yah...bagiku, mata adalah pintu hati.
Terkadang, aku kurang percaya diri saat berdua dengannya, sebab yang duduk di hadapanku bukan hanya seorang wanita cantik dan penyiar kawakan tetapi juga seorang dosen, jurusan psikologi pada salah satu Universitas di kotaku. Aku hanyalah seorang lelaki biasa, dengan sedikit modal keberanian dan tekat untuk merubah garis nasib di dunia wirausaha. Awalnya aku berbisnis rotan di pulau Dewata-Bali, namun beberapa tahun kemudian harga rotan anjlok di pasaran dan menuntut aku untuk beralih profesi. Setelah setahun menganggur, akhirnya aku memberanikan diri untuk terjun di dunia mekanik dan bekerja di perbengkelan sepeda motor. Dengan dukungan dan uluran kasih dari teman-teman dan kenalanku, akhirnya untuk memberanikan diri untuk membuka bengkel sepeda motor. Sebuah pekerjaan yang unik bahkan aneh untuk kebanyakan orang dengan melihat latar belakang pendidikanku sebagai jebolan Sarjana filsafat. Bagiku, filsafat itu akan tetap hidup, ketika aku mampu membawanya dalam kehidupan praktis dan berdiri kokoh di tengah arus dunia yang semakin profan dan majemuk.
Waktu terus mengalir, bersama gelora rasa yang semakin bergemuruh dalam hatiku. Aku mencintai Sherly. Di studio penyiaran yang berukuran empat kali tujuh meter, aku mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Ia tersenyum tanpa memberi sepatah kata pun. “Biarkan waktu yang menjawabnya”. Kataku sekedar membangkitkan rasa percaya diri. Yah..mungkin aku harus puas dengan mengungkapkan perasaanku pada Sherly tanpa harus mendapat jawaban penerimaan atau penolakkan darinya. Satu minggu berlalu hingga handphoneku berdering. Sherly memintaku menemuinya di studio. Ia meraih tanganku dan berkata lembut, “Aku juga mencintai kamu”. Saat itu, aku merasa orang paling bahagia di dunia. Di hari ulangtahunya yang ke dua puluh enam, kami merayakan cinta di puncak kelimutu sambil memahat janji pada matahari untuk sehidup dan semati.
Bahtera cinta yang kami rangkai bersama, telah melewati seribu satu kenangan dalam kurun waktu hampir dua puluh lima bulan. Suatu hari, Sherly memberitahuku bahwa ia dipercayakan oleh kampusnya untuk mengikuti pelatihan di Surabaya, selama sepekan. Dan...semenjak itu, aku tidak bisa menghubungi Sherly lagi. Nomor simpati kepunyaannya selalu sibuk atau berada di luar jangkauan. Namun tidak sedikitpun rasa curuiga dalam hatiku. Aku percaya pada janji yang telah kami pahatkan bersama. Sekembali dari Kupang, Sherly tiba-tiba berubah. Ia sangat sensitif saat aku menanyakan handphonnya selalu tidak aktif selama berada di Surabaya. “Kenapa, kamu tidak mempercayai aku. Belum apa-apa kaku sudah mulai mengatur dan menganggap aku seperti anak kecil. Aku benci kamu”. Katanya dengan nada marah, sambil berlalu. Dua hari kemudian, dia memutuskan hubungan kami secara sepihak.

“Oh....Kelimutu, puncak keajaiban, ke cakrawala manakah engkau membawa sebelah hatiku? Mengapa engkau membiarkan hatiku yang tersisa melanjutkan hidup yang tak pernah berhenti? Apakah aku harus menulis kembali lembaran baru dengan tinta darah pada sebuah harapan untuk menemukan Serly dalam keindahan telaga berwarna ini?

Awal Agustus lalu, secara kebetulan, aku bertemu Serly di rumah sakit umum. Ketika pertama kali melihatku, Serly tampak keget dan sedikit gugup. Aku menyapanya ramah walau sangat terpukul saat melihatnya sudah berbadan dua. Ia menangis tersedu-sedu dan aku tidak tahu apakah itu adalah ungkapan penyesalan atau ketakberdayaan. Beberapa minggu lalu, Serly pergi untuk selamanya. Ia menghembuskan nafasnya yang terakhir saat berusaha melahirkan bayinya, tanpa ditemani oleh seorang laki-laki yang bisa disapa suami atau ayah bagi bayinya. Ternyata perjalanan Sherly ke Kupang bukan untuk pelatihan tetapi mengejar cintanya dengan seorang laki-laki tampan yang berprofesi pengusaha mangan yang sukses. Sekarang aku sadar kalau hidup ini seperti sajak, sebaris demi sebaris, sebait demi sebait hingga aku menemukan akhir yang tak terduga. Hidup ini adalah sebuah metafor, penuh misteri. Sebuah teka-teki yang tersembunyi dalam hati setiap insan.
Share:

BUAT SAHABATKU ANJELO


                 

Anjelo Sahabatku...
Kuingin engkau duduk bersamaku malam ini, mengahadap DIA dengan pena, kertas dan sederet nilai hidup. Dalam pusaran arus dilema zaman, lampu di depan auditorium II berpendar menerangi langkah seekor jangkrik yang sedang merangkak. Pada sudut kamar mandi yang retak, engkau pernah melukis seekor burung yang bertenger di atas dahan yang kering. Sunyi dan sepi. Jauh sudah jalan yang kutempuh ini, terbentur antara angan dan kenyataan. Harapanku seakan luruh sebab DIA yang telah memanggilku menjadi sosok yang terlalu banyak untuk kupilih.

Anjelo Sahabatku...
Dua hari yang lalu aku bertemu Feby di halaman Barata Mall. Dia menyalamiku dengan ramah dan semakin cantik dengan kacamata berminus satu setengah bertengger di atas hidungnya yang mancung. Dia kelihatanya segar dan bersemangat. Rambutnya yang terurai panjang kehitaman yang pernah memikat hatimu masih terawat baik. Dia memintaku untuk menemaninya berbelanja sambil menceritakan kisah terindah yang pernah kalian rajut bersama. Jam tangan sebagai hadiah ulang tahun darimu, masih meliliti pengelangan tangan kanannya yang putih bersih. Oh....yah? katanya, kalian pernah berencana untuk menghabiskan waktu liburan Paskah  tahun ini di Labuah Bajo. Dia ingin pergi berdua denganmu ke Pulau Komodo, menikmati pemandangan saat matahari terbenam di Pulau Rinca, dan merasakan lembutnya pasir putih Pulau Bidadari. Dia ingin rencana itu dapat terwujud An! Dia sangat merindukanmu. Namun...saat ia menanyakan keadaanmu padaku, napasku terasa sesak dan tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menjelaskan semua peristiwa yang telah menimpa dirimu. Ia meneteskan air mata, setelah aku lama berdiri mematung tanpa sepatah kata menjawab pertanyaannya. Ia segera pergi dalam kekecewaan dan rasa penasaran yang mendalam. Aku tidak tahu, sampai kapan aku harus menjaga rahasia ini dan sampai kapan Feby berada dalam perasaan kecewa dan sakit hati padamu.

Anjelo sahabatku...
Tujuh bulan yang lalu engkau memutuskan untuk menanggalkan jubah kebiaraanmu sekadar untuk menambah separuh usia Feby yang menderita kangker jantung. Engkau pernah bilang padaku bahwa di luar tembok biara  cinta Tuhan tidak pernah berkurang padamu. Katamu, engkau menarik diri bukan karena Feby tapi demi panggilan cinta yang bergetar di hatimu. Kamu bilang cinta itu adalah segalanya tetapi mengapa di saat Feby hendak keluar dari penyakit yang membelenggunya engkau malah pergi dan melarangku untuk memberitahu semuanya itu pada Feby. Kenapa An? Apakah engkau takut kehilangan Feby?
Ibu Anita, mamanya Feby menelponku tadi malam bahwa penyakit Feby kambuh lagi sehingga terpaksa diantar ke rumah sakit kemarin sore. Mereka sangat mengharapkan kehadiranmu karena engkau adalah seorang di antara ribuan pemuda yang ada di hati Feby, putri tunggal mereka. Akupun terlanjur berjanji untuk mengantar kamu besok sore ke rumah sakit walau aku tak tahu apa yang harus kubuat.

 Anjelo sahabatlku...
                                    Kemarin pagi sewaktu ibadat, aku mengenakan jubah yang pernah kamu gunakan dulu, ketika kamu masih berpredikat  Frater. Memang sudah agak sesak sih! Beberapa teman memintaku untuk segera membuat proposal agar bisa mendapatkan yang baru. Itu tidak akan kuturuti sebab bagiku jubah itulah yang selalu mengingatkan aku bahwa kamu selalu ada di sampingku. Aku merindukan kamu sebagai sahabat yang sungguh mengenal hidup dan kehidupanku semenjak kita masuk seminari kecil dulu. Kita berdua memiliki bakat yang sama dalam tulis-menulis, theater, musik dan sebagi pemain bola kaki. Awalnya aku memberontak ketika engkau memutuskan untuk menarik diri dari panggilan hidup ini enam bulan silam. Namun kemudian aku sadar bahwa kita hanya dapat disatukan tetapi bukan untuk disamakan. Aku menerima dan menghargai keputusanmu sebagai seorang pribadi yang memiliki kebebasan untuk memilih sebab apalah artinya sebuah kebersamaan tanpa memilki orientasi hidup yang jelas.
                                    Sebagai sahabat aku sangat bangga dan kagum denganmu karena  sekalipun kamu telah menjadi Mahasiwa awam namun sikap dan tutur katamu tidak pernah luntur, terseret arus massa di luar tembok biara. Engkau masih seperti dulu bahkan mampu mengumpulkan kaum muda untuk dapat mengembangkan diri sebagai pribadi yang dapat membangun gereja dan negara. Engkau telah berkontemplasi dalam aksi Sobat!

Anjelo Sahabatku...
                                    Di hari ulang tahunku yang ke sembilan belas engkau pernah bersyair,
“Cinta Tuhan itu bagaikan pohon.
 Bertumbuh dalam kecemerlangan cinta, bertunas dalam cahaya keindahan, berbunga dalam kemilauan kasih dan berbuah dalam nyanyian nurani murni”.
                                    Kamu benar An! Tuhan adalah sumber cinta sejati. Cinta itulah yang pernah menyentuh hati kecil kita untuk masuk Seminari kecil sepuluh tahun silam. Cinta itu pula yang menggerakkan hati kita menaruh janji di depan altar sebagai Frater yang sedang mengikrarkan kaul sementara. Cinta itu pula yang mempertemukan kamu  dengan Feby sehingga menanamkan rasa bangga dihatinya karena merasa  dicintai dan diperhatikan.  Engkau telah menumbuhkan rasa optimisme kepadanya saat ia merintih kesakitan karena penyakit yang dideritanya. Namun...apakah cinta yang sama yang menggetarkan hatimu untuk menanggalkan jubah dan membuat aku beserta teman-teman yang lain merasa kehilangan? Apakah cinta yang sama yang membuat kamu harus pergi di saat semua orang membutuhkan kehadiramu terutama Feby yang belum sembuh total dari penyakitnya?
                                    Andai aku diberi kesempatan untuk memilih, maka aku memilih untuk pergi bersamamu. Aku tak sanggup menerima semua ini. Engkau adalah sayap kananku dan dengan kepergianmu membuat aku hanya bisa merangkak dalam ketakberdayaan. Tanggal satu Desember silam engkau  digigit anjing rabies dan pada tanggal dua belas Desember engkau menghembuskan nafas terakhir. Tak ada rintihan kesakitan yang keluar dari mulutmu saat aku berkunjung di kosmu kecuali melarangku untuk tidak memberitahu kepada Feby. ”Aku tidak mau Feby kepikiran” katamu saat itu. Begitu singkat dan menyakitkan. Setiap kali aku ke kos, bekas kontrakkanmu, aku merasa engkau masih ada. Namun ketika melihat orgel kesayanganmu tak berbunyi lagi, baru saat itu aku menyadari bahwa engaku telah pergi untuk selamanya. Syair yang pernah kau persembahkan untukku waktu itu terasa hampa dan tak bermakna.
“Kalau aku bernyanyi, nyanyianku adalah angin. Kalau aku menangis aku menangis di malam sepi. Nyanyian angin senandung rindu, digetar sepi ilalang merantau. Ratapan iman rintihan sakti, di lengking lumat Gereja terpencil. Kalau aku bermadah, aku bermadah di sayap angkasa.
 Kalau aku semadi, semadiku meranting langit. Madah angkasa, madah kembara.
Sahabat...jauh sudah kembara ini, terseret harapan terus merantai.

Anjelo sahabatku...
                                    Besok adalah tanggal sepuluh Maret, hari ulang tahunmu yang kedua puluh satu. Besok adalah hari yang kujanjikan kepada ibu Anita untuk membawamu ke hadapan Feby. Adakah engkau di sana mengerti perasaanku? Kutahu aku tak sanggup melakukan sesuatu sebesar yang pernah kau lakukan pada Feby karena aku tidak mungkin memberi dari sesuatu yang tidak ada padaku. Yah...kalaupun aku bisa melakukanya  tentu tidak akan kubuat seperti apa yang pernah kau tunjukkan.
                                    Besok siang, setelah menyalakan lilin ulang tahunmu di kamar, aku akan pergi ke rumah sakit. Aku akan memberitahu Feby dengan caraku sendiri bahwa engkau telah pergi untuk selamannya. Aku akan mengatakan satu hal padanya, aku sudah lama membenamkan rasa di hatiku yakni aku juga mencintainya jauh sebelum kamu. Yah, satu hal yang kupegang bahwa cinta tak selamanya harus memiliki. Aku akan menempatkan Feby pada ruang kosong hatiku semnenjak kepergianmu. Feby akan kujadikan sahabat yang mampu menyanyikan lagu padaku walau aku lupa kata-katanya. Biarkan aku terbang melintasi angkasa untuk mengubah lukisanmu di tembok kamar mandi yang retak itu. Selamat ulang tahun sahabatku. Doaku mengiringi langkahmu menuju  DIA yang adalah sumber cinta abadi.

Salam dan doaku
Sahabatmu
Ledalero, akhir Februari 2008
Share: