( Panggung nampak gelap dan sunyi. Musik alam mengalun perlahan. Tangisan Bayi tiba-tiba menggelegar keras. Makin lama makin halus dan berhenti. Seseorang (Ary) masuk ke dalam panggung tanpa berbaju, bercelana pendek dan mata sebelahnya diperban. Lampu perlahan-pahan dinyalakan. Tampak Ary kebingungan, cemas dan takut)
Ary : Siapakah Aku? Dimanakah aku sekarang? Mengapa tempat ini sangat dingin dan menakutkan? Mengapa aku harus ada di sini? Ibu, dimanakah ibuku. Ibu...........(berteriak dengan keras) Ibu....kembalikan rahimku...........
(seorang berjubah masuk kedalam pangung. Ia membuat api unggun dan membuang dupa kedalamnya sehingga panggung tampak berasap putih. Ary semakin takut dan panik)
Ary : Ka.....ka...mu si...a...siapa? Apakah kamu seorang yang mendiami tempat ini?
Malaikat : Aku sudah menunggumu sejak lama di sini.
Ary: Menungguku? Kamu menungguku? Untuk apa?
Malaikat : Untuk menyembuhkan matamu.
Ary : Menyembuhkan mataku? (meraba-raba matanya) jadi....aku.....aku......
(lampu menyoroti matanya, membuat ia kesakitan dan mengerang sekuat tenaga. Malaikat itu tampak tenang kemudian berlutut menghadap cahaya. Kemudian perlahan-lahan Ary berlutut sambil menutup wajahnya sambil terisak. Malaikat itu berdiri keluar panggung ketika lagu “Ewada” dilantunkan perlahan mengiringi pembacaan dari narator)
Narator : Suara laki-laki : Sadarkah anakku bahwa bunga tidak selamanya mekar. Mentari tidak selamanya bersinar, Nyawa tidak abadi bersekutu raga, langit tidak selalu cerah dan laut tidak tidak selamanya teduh. Sadarlah anaku, bahwa sekarang kamu ada di sini, diatas tanah, rahim yang telah melahirkan kamu. Tetapi...tahukah kamu bahwa rahim itu sangat merindukanmu? Ia tersenyum bangga dengan dirimu walau rahim itu sering dilukai dan dicabik. Cintanya padamu dibawa mati. (Malaikat masuk kembali dan menumpangkan tangan diatasnya) Kamu sekarang diutus untuk mebawa terangku ini. Ketahuilah. banyak hal yang sengaja dipandang sebelah mata oleh jiwa-jiwa kegelapan yang mendiami rahim bumi ini. Terangku ini akan selalu bercahaya dan tak seorangpun mampu memadamkannya. Pergilah dan temukan kembali matamu yang telah lama hilang didalam batin setiap orang yang membutuhkan terang darimu.....(Layar ditutup)
Adegan II
(Ary berjalan tertatih-tatih dengan sebuah tongkat di tangannya. Kakinya pincang dengan sebelah mata yang masih diperban. Narator membaca perlahan mengiringi langkahnya)
Narator : Kini aku sadar bahwa bunga tak selamnya mekar. Mentari tak sepanjang tahun bersinar dan nyawa tidak abadi bersekutu raga. Kini aku sadar bahwa langit tidak selamanya cerah, laut tidak selalu tenang dan jantung tidak abadi berdetak. Kalian boleh mengatakan aku seorang yang mengalami metaforfosis terlambat. Kakiku pincang dan mataku buta. Banyak hal yang masih terlihat samar-samar. Aku datang untuk membalut luka lebam pada rahimku oleh jiwa-jiwa keangkuhan, ketamakan dan keserakahan. Tapi...sadarkah kalian bahwa jiwaku abadi mencintaimu? Tidak selangakhpun aku mundur, perjuangan ini akan tetap kubawa mati.
(seorang berdasi masuk, tampak sangat angkuh lagi berwibawa. dua orang wartawan berlari kecil dari luar panggung dan langsung mewawancarainya)
Wartawan 1 : Selamat siang pak, kami kami wartawan ingin mewawancarai bapak selaku pemilik perusahan tambang. Apakah bapak bersedia?
Roy : Oh, tentu saja. saya sangat senang sekali berbincang-bincang dengan teman-teman wartawan. Saya ingin niat muliaku ini diketahui banyak orang. Saya ingin membawa masyarakat keluar dari kemelaratan selama ini.
Warawan II : Terima kasih pak, kita langsung saja. Mengapa bapak sangat tertarik untuk membangun industri pertambangan di daerah ini?
Roy : Seperti saya bilang tadi, saya ini Yusuf yang diangkat Firaun menjadi Perdana Mentri Mesir untuk menghapus kemiskinan di Mesir selama dua puluh tahun. Saya punya misi untuk menghapus semua anggapan orang bahwa orang NTT khususnya orang Manggarai itu miskin.
Wartawan I : Apa yang bapak lakukan agar rencana mulia bapak ini dapat berhasil?
Roy : Pertama-tama tentunya melalui sosialisasi sambil melakukan pendekatan dengan para tokoh-tokoh agama seperti bapa Uskup, para pastor, suster dan mungkin juga para Frater. Setelah itu kita mendekati pihak pemerintahan seperti Bupati, anggota DPRD, Pihak keamanan dan bekerja sama dengan pengusaha-pengusaha lokal. Setelah itu baru kita dekati para masyarakat, pemilik tanah ulayat dan masyarakat seluruhnya.
Wartawan I : Pendekatan yang bagaimana yang akan dilakukan bapa?
Roy : Saya tidak bisa membuka kartu sekarang, tetapi yang jelas pendekatan itu adalah usaha agar orang lain bisa paham. Kalau semua orang sudah paham maka dengan sendirinya tidak ada protes atau diam saja. Pengusaha Mangan di Torong besi sudah memberikan contoh yang jelas buat saya. Dan justru itu yang persis akan saya lakukan di ini.
Wartawan II : Ketika industri pertambangan itu dibangun, apa-apa saja yang akan bapak buat utntuk masyarakat sebagai jaminan.
Roy : Yang pasti aku datang sebagai Yusuf yang membawa kesejahteraan bagi masyarat. Pertama, Setiap pemilik tanah akan diberi saham dengan nilai yang sangat besar. Kedua, akan kudirikan sekolah mulai dari TK-Perguruan Tinggi. Ketiga, Kudirikan gereja termegah dan rumah adat kalian. Keempat, Air, listri dan jalan raya pasti lancar. kelima, Saya pastikan tidak ada pengangguran di daerah ini.Bila perlu saya akan dirikan diskotik yang akan ramai dikunjung orang sehingga daerah ini seperti kota metropolitan. Masih banyak lagi tapi kita tidak bisa melangkahi proses. Pokoknya kita ...gali dulu....
Wartawan I : Tapi pak....bagaimana tanggapan bapak dengan perusahan manggan di Reo dimana lahan yang dulunya merupakan hutan lindung yang lebat kini telah menjadi gurun yang kering dan gersang.
Roy : Oho...sory...itu bukan urusan saya. Beda orang beda kepala dan dengan sendirinya beda visi dan misi...
Wartawan II : Bukankan tadi bapak mengatakan bahwa bapak akan belajar dari kerja pengusaha Mangan di Reo?
Roy : Dalam dunia bisnis tidak seorangpun ingin rugi. Hasil tambang habis maka semuanya selesai. Aku tidak mau tahu apa resiko kemudian Berbisnis bukan bermain di alam hampa. (menepuk tangan. Seorang datang membawa dua amplop berisi uang) Saya kira seratus juta cukup untuk mengantikan tinta bolpoin kalian. Jangan eksposkan hasil wawancara ini. Kalian mengerti?
Wartawan : Baik pak. Sekarang baru kami paham.....
Roy : Ha.....a......bagus....bagus (sambil menepuk pundak mereka berdua) ha.....a.....(kedua wartawan itu keluar panggung)
Roy : Ha....a.....a....betapa bodohnya kalian. Aku juga akan menyulap tanah kalian ini menjadi padang gurun. Dalam waktu lima belas tahun paling tanah ini hanya akan ditumbuhi kaktus-katus jelek yang berduri tajam. Mungkin lebih rusak dari akibat pertambangan Mangan di Torong Besi dan Lengkololok di Reo. Apa peduliku? Toh aku adalah pendatang yang hanya datang mengeruk kemudian kembali ke negeri asalku. Aku akan menjadi orang terkaya di Asia ini. Ha...ha.....
(Pengawalnya membisik ke telinga Roy ketika melihat Ary datang dari sudut panggung).
Roy : Hei anak muda, ada apa dengan matamu! Apakah kamu ingin bersandiwara di hadapanku. Atau....
Ary : Aku sedang mencari rahimku.
Roy : Apa? Mencari rahim? Ha....a.......memangnya siapa yang telah mencuri rahimmu. Bukankah kamu seorang laki-laki dengan sebelah mata yang buta. Apa saya tidak salah dengar? Ha....a.....
Ary : (meraba-raba tanah) Aku ingin menemukan rahim, tempat aku pernah ada, hidup rukun dan damai serta tidak mengalami kekurangan apapun. Ibuku ada di sini. Yah...di dalam tanah ini. Ibu....ibu.....(merepatkan telinganya ke tanah)
Roy : Ha....a..... kamu bilang bahwa tanah ini adalah rahim ibumu? Sekarang aku sadar bahwa ternyata bukan hanya matamu yang cacat tetapi juga jiwamu...kasihan sekali...Tapi sayang dalam waktu dekat ini aku akan mencabik-cabik rahim ibu. Ha....a.....
Ary : Sampai kapanpun aku tidak akan membiarkan kamu melukainya. Tanah ini adalah ibu tempat aku ada dan hidup. Melukai tanah ini sama halnya kamu meluakai rahim ibumu sendiri....
Roy : Memangnya kamu pikir aku peduli? Seharusnya kamu bersyukur pada saya dan bukannya mengejek. Aku datang sebagai Yusuf yang membawa kalian keluar dari kemelaratan karna tanah ini suadah tidak bisa lagi memberikan kesejahteraan kepada kalian.
Ary : Bagaimana mungkin orang buta sepertimu bisa menyelamatkan masyarakat di sini?
Roy : Hei bangsat (mulai marah) apa maksud kamu?
Ary : Aku hanyalah seorang yang tidak memiliki sebelah mata hanya karena kelemahan manusiawiku sendiri. Tapi aku berusaha menemukan kembali mataku untuk kemudian dapat kembali ke dalam rahim abadi. Dan kamu....kamu boleh memiliki dua buah bola mata yang bersih tetapi sebenarnya mata hatimu sudah lama buta....
Roy : Plak (menampar dan menendang hingga ia terjatuh) Bangsat kamu! berani- beraninya kamu menghinaku...sepertinya sebelah matamu juga mesti dilenyapkan....ayo berangkat (keluar panggung).
Narator : suara perempuan : Anakku....
Ary : (kaget) Ibu....ibu.....
........jangan cucurkan air matamu, kala ragaku tak lagi hangat dengan canda tawa. Kala ranum senyumku tak lagi bergema di rongga hatimu, kala belai nafasku tak lagi menyapa hari sepimu. Jangan cucukan air mata saat cintaku berlalu dihembus angin waktu, kala hiduku hanya dengung di malam sepi dan saat cintaku terkubur beku dalam jasad kaku pilu. Nak....aku tidak akan bisa lagi mendongengkan kisah cinta dan kehidupan di telingamu. Aku tidak mampu lagi menatap kagum sempurna karya indah dirimu. Tidak sanggup lagi aku nyatakan deru cinta di dasar hati untukmu. Anakku....menangislah bersamaku, balutlah lebam luka pada rahimku. Suburkan gersang tubuhku dengan ratapmu. Jika gerimis jatuh dan menyembuhkan matamu tunjukkan bahwa kamu ada dan mengembalikan citra indah padaku sebagai ibu yang sangat mencintaimu. Pergilah dan tunjukkan dirimu di bawah sinar matahari dan biarlah ia mengembalikan matamu, baru engkau boleh kembali dan menenun kembali rahimku.
Ary : (berteriak) Ibu..........................
(Rombongan Bupati masuk ke panggung)
Bupati : Hei....anak muda kenapa kamu menangis?
Roy : Seorang yang meneyebut diri sebagai Yusuf hendak melukai rahim ibuku pak....
Bupati : Melukai rahim ibumu? Kurang ajar sekali....Dan sekarang ibumu di mana?
Roy : Di sini (menunjuk ke tanah)
Bupati : (bingung) Maksudmu... tanah ini adalah ibumu?
Roy : Yah....tanah ini adalah rahim ibuku, rahim dari ibu bapak-bapak, rahim dari kita semua.....(mereka semua langsung menertawakannya) Kenapa kalian tertawa? Apakah kalian senang bila ada orang hendak melukai rahim ibumu sendiri? Tidakkah kalian sadar bahwa kita semua telah lahir di atas tanah ini. Bukankah tanah ini adalah ibu yang selalu memberi kita makanan, air dan semua kebutuhan keluarga kita semua?
Bupati : Hei....anak muda, kamu salah. Di dalam tanah ini terdapat barang berharga yang mesti digali. Semakin dalam kita menggalinya semakin banyak harta yang kita peroleh. Dengan harta itu itu kamu dapat membeli makanan dan minuman.
Ary : Kalau harta itu suadah habis? Dengan apa kita bisa membeli beras dan air? Bapak Bupati, bapak dipilih bukan dilotrei. Nasib kami ada di tangan bapak. Menerima pengusaha tambang berarti menerima bencana karena rahim yang telah melahirkan kita akan menuntut pertanggung jawaban. Menolak tambang adalah harga mati yang tidak bisa didiskusikan lagi.....
Bupati : Sepertinya matamu harus diamankan dulu. Ayo berangkat. Percuma kita bicara dengan orang cacat ini....... (layar ditutup)
Adegan Ketiga
(Ary diseret dari luar panggung oleh empat orang penggawal tambang yang berpakaian serba hitam. Mereka berteriak sambil menampar, memukul, menendang dan meludahi. Lagu ewada diputar perlahan.....Ary berposisi berlutut dan tertunduk lemah)
Pengawal I : Lihatlah manusia ini. Seorang nabi dadakan yang hanya mengusik rencana kita untuk menyulap daerah ini menjadi kota metropolitan. ha....a.....kebenaran.....kebenaran......kami sudah bosan mendengar kata itu....hajar dia biar dia suapaya dia tahu apa akibatnya bila mau menjadi nabi palsu....(mereka kembali menghajarnya)
Pengawal II : Hei....manusia cacat siapa yang telah mengangkat kamu menjadi hakim atas kami? Anda berbicara banyak tetapi tidak berbuat apa- apa untuk kemajuan daerah ini. Ayo katakan sesuatu sebelum kami membutakan matamu dan membuat engkau bisu untuk selamanya.......ayo.....(sambil menedang tubuh Ary yang berposisi berlutut hingga terjatuh)....
Pengawal I : Ikat tangannya dan mari kita mengukir sejarah dengan menghabisi nabi palsu ini. Kelak kita akan dikenang sebagai bapak pembangunan. Ha.....a.......
Ary : Kalian adalah budak-budak penguasa. Kalian boleh mencukil mataku ataupun membunuhku tetapi tidak bisa membutakan mata hatiku dan membunuh jiwa kebenaranku.....
Pengawal I : Keparat....ayo tunggu apa lagi, cungkillah matamu (Lampu menyoroti mereka hingga mereka terpelanting dan jatuh) Ada apa ini....ayo cungkil matanya. (kembali lampu menyotrot ke arah mereka dan mereka terpelanting lagi. Saat itu Ary membuka perban dimatanya sambil berteriak sementara para pengawal lari keluar panggung)
Narator : (Suara yang berwibawa muncul dan Ary meraba-raba matanya penuh keheranan dan kebahagiaan) Matamu adalah pelita tubuhmu, tetapi tanpa aku bagaimanakah matamu dapat berfungsi? Aku adalah cahaya, kebenaran dan hidup. Janganlah gentar hatimu dalam menghadapi banyak persoalan yang masih dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang haus akan harta, kedudukan dan harga diri.
(Malaikat masuk kedalam panggung dan menggenakan jubah dan stola pada Ary. Kemudian perlahan-lahan Ary berdiri dan menantang cahaya itu sambil mengangkat tangan seperti sedang memberi berkat. Lagu gerak wulang, mengalun perlahan)
Ary : Tuhan……….aku tidak akan pernah ingin tercampak di kegelapan, larut dalam kehinaan, tenggelam dalam peluhnya dendam. Rasakan luka berkepanjangan karena kemunafikan meski kusadari aku yang pegang kendali membuat pilihan.
Tuhan……….Berilah jalan cahaya tuntunlah aku ke pilihan benar di jalan-Mu karena aku fahami, Sang waktu mampu mengubahku untuk bersatu lagi dengan rahim ibuku...tana mabate dise empo.......Amin
Selesai................
Ledalero, medio Maret 2010
Kiki, Siapa Pemeran utamanya e hehehehehe http://rakyatkecilbersuara.blogspot.com/
ReplyDelete