BAB. 1 PENDAHULUAN
I.1. Pendahuluan
Sebagai mahluk berakal budi dan yang memiliki perasaan, manusia membutuhkan berbagai macam relasi. Entah antara dirinya dengan manusia lain, dengan lingkungan maupun dengan Tuhan sebagai penciptanya. Menurut Martin Buber, manusia mempunyai dua relasi fundamental yaitu relasi dengan benda (Ich-Es) serta relasi dengan sesama dan Tuhan (Ich-Du) . Salah satu motif dan mungkin menjadi makna terpenting dari hubungan itu adalah apa yang kita kenal dengan cinta. Cinta menjadi kata kehidupan karena dalam dan melalui cinta manusia dapat menyatukan dirinya dengan cipta lain termasuk penciptanya sendiri. Ada berbagai sarana yang digunakan oleh manusia untuk mengungkapkan arti cinta dalam hidupnya. Salah satu sarana yang diangkat penulis di sini adalah sastra.
Sastra sebagai produksi artistik, senantiasa memberikan kekhasan tersendiri bagi para pembacanya sebab selain kemampuan imajinasi murni penulis, karya sastra juga hadir sebagai hasil refleksi situasi zamannya. Apapun jenis dan bentuknya kehadiran sastra mampu memberi pencerahan bagi para pembacanya menuju suatu pemahaman tentang kebenaran yang hakiki. Hanya dengan mengungkapkan kebenaran sebuah karya sastra tetap aktual dan tidak hanyut ditelan waktu. Mengungkapkan cinta sebagai sebuah kebenaran adalah salah satu tujuan dari kehadiran sastra.
Mengangkat tema tentang cinta dalam sebuah karya sastra, secara tidak langsung kita telah masuk pada pembicaraan mengenai kehidupan itu sendiri sebab sadar atau tidak manusia pada dasarnya adalah seseorang pribadi yang terlahir dari cinta dan untuk cinta. Pada umumnya cinta dimengerti sebagai suatu relasi dengan paling kurang dua pihak yaitu yang mencinta (pecinta) dan yang dicintai, yang menjadi obyek cinta. Cinta merupakan perwujudan penyatuan yang esensial yang memberi kemungkinan pada manusia untuk menemukan “yang lain” dalam dirinya walaupun individualitasnya tetap terjaga. Penyatuan tanpa peleburan dimana yang ada bukan situasi saling memiliki tetapi keberadaan yang sejajar antara keduanya.
Kahlil Gibran adalah seorang penyair yang handal. Hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya yang banyak diminati orang dari seluruh belahan dunia. Menurut hemat saya, hal mendasar yang mempengaruhi minat orang terhdap karya-karya Gibran adalah kemampuan daya imajinatif Gibran yang berusaha mendeskripsikan secara jujur realitas konkrit zamannya secara bebas, spontan dalam sebuah pemilihan kata yang memikat. Novel Sayap-Sayap Patah merupakan salah satu dari sekian banyak karya Gibran. Novel ini mengisahkan sebuah cerita cinta Gibran yang menggetarkan, menarik dan mengesankan walau diakhir dengan perpisahan yang amat tragis bersama dengan seorang gadis yang dicintainya. Bagi kahlil, cinta adalah standing in (bertahan di dalam). Itu berarti cinta lebih pada sebuah tindakan aktif yang bersifat memberi ketimbang menerima.
Namun terhadap dua bentuk cinta, eros dan agape sebagaimana yang dikemukakan Plato, Gibran lebih memilih bersikap netral dan mengakui keduanya sekaligus. Ia tidak mengakui yang satu dan mengabaikan yang lain. Berhubungan dengan cinta eros dalam ”Sang Nabi” ia mencatat:
“Acapkali dalam penolakan diri terhadap kesenangan, kau hanya menimbun keinginan di ceruk kesadaranmu. Siapa tahu bahwa apa yang nampaknya hilang hari ini menanti di hari esok? Bahkan tubuhmu merupakan harpa jiwamu. Dan itu bergantung pada dirimu untuk membawa keluar musik manis daripadanya atau bunyi-bunyi yang membingungkan”.
Dalam tulisan ini, penulis hendak menggendepankan gagasan, konsep atau pikiran Gibran yang walaupun abstrak namun merupakan suatu sistim pemikiran yang runtut dan jelas tentang cinta sebagai makna kehidupan yang sesungguhnya ” Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia, sebab dengan demikian meninggikan roh sehingga hukum dunia dan fenomena alam tak dapat mengubah arahnya”. Di sini Kahlil melihat cinta sebagai hal pertama yang dapat menyadarkan manusia bahwa keberadaannya selalu mengadaikan kehadiran orang lain, yang dalam dirinya memiliki martabat yang luhur dan mulia. Prestasi, status dan kedudukan seseorang tidak menjadi alasan untuk dapat merendahkan martabat orang lain. Melihat pentingnya penghargaan terhadap martabat manusia maka penulis mengemas tulisan ini di bawah judul : MEMAHAMI KONSEP CINTA KAHLIL GIBRAN DALAM NOVEL SAYAP-SAYAP PATAH (Sebuah Upaya Meningkatkan Penghargaan Terhadap Martabat Manusia). Kiranya tulisan ini, berguna bagi pembaca sekalian agar bukan hanya bisa berkata-kata atau mendendangkan lagu-lagu tentang cinta tetapi juga mampu mengaplikasinya dalam kehidupan konkrit setiap hari sehingga dapat menemukan “yang lain” dalam diri kita sendiri.
I.2. Tujuan Penulisan
Tujuan utama dan pertama dari tulisan ini adalah agar penulis mengoptimalkan kemampuan berpikir secara konpherensip, kristis, analitis dan runtut dalam sebuah penulisan karya ilmiah berdasarkan metode penulisan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini penulis dituntut untuk merangsang kemapuan berpikir agar dapat menemukan benang merah dari semua konsep-konsep filsafat dan teologi dengan realitas konkrit masyarakat dalam hubungan dengan karya sastra (novel) dari Kahlil Gibran. Tulisan ini dibuat untuk memenuhi kerinduan penulis dalam usaha untuk memahami konsep cinta Kahlil Gibran dalam Sayap-Sayap Patah. Novel ini telah menjadi inspirasi berharga bagi penulis untuk lebih memahami cinta ke arah yang lebih sempurna. Selain itu, tulisan ini dibuat sebagai persyaratan untuk dapat menulis skripsi.
I.3. Metode Penulisan
Tulisan ini dibuat dengan mengunakan metode kepustakaan. Dari sekian karya Kahlil Gibran yang dutulis banyak bahasa, penulis hanya mengambil buku yang ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Lebih dari itu penulis juga berusaha untuk menemukan titil simpul dari sebuah konsep pemikiran yang hendak disampaikan Gibran dalam novelnya sebagai upaya peningkatan penghargaan terhadap martabat manusia.
I.4. Manfaat Penulisan
Penulis menyadari bahwa tulisan singkat ini tentu membawa beberapa manfaat praktis baik bagi penulis sendiri maupun pembaca sekalian. Adapaun manfaat itu yakni, dengan tulisan ini melatih ketajaman berpikir dalam usaha untuk menganalisa sebuah konsep yang bersifat abstrak kepada situasi konkrit masyarakat. Selain itu tulisan ini juga menghantar pembaca sekalian pada pemahaman yang lebih dalam dari novel Sayap-Sayap patah khusunya tentang hakikat cinta yang sebenarnya agar semakin meningkatkan pengahargaan terhadap martabat manusia.
Cinta adalah bahasa universal sebab manusia terlahir dari cinta, oleh cinta dan untuk cinta. Kiranya tulisan ini menyadarkan pembaca agar jangan hanya bisa berkata-kata tentang cinta tetapi berani mengaplikasikannya dalam kehidupan setiap hari.
BAB. II TAPAK-TAPAK KEHIDUPAN KAHLIL GIBRAN
2.I. Riwayat Hidup
Kahlil Gibran lahir di Lebanon Utara pada tanggal 6 Januari 1883 tepatnya di desa Bisharri, Libanon dari keluarga Katolik-Maronit. Ayahnya seorang pemungut pajak yang hanya jebolan Sekalah Dasar. Modal pendidikan formal yang terbilang rendah ini, akhirnya turut mempengaruhi penghasilannya. Namun sayangnya penghasilan yang sedikit itu dihabiskannya di meja-meja judi dan untuk membeli alkohol. Lain halnya dengan Kamileh Rahmeh, ibunya. Seorang ibu yang anggun, memiliki suara yang merdu, taat beribadah dan tekun bekerja. Walau tidak memiliki pendidikan formal namun Kamileh memiliki kebijaksanaan hidup yang menghayakinkan. Kualitas inilah yang kemudian mengalir dalam diri anak-anaknya, termasuk Kahlil.
Desa Bisharri merupakan daerah yang hijau, subur dan jauh dari kebisingan kota. Tak heran bila sejak kecil, mata Kahlil sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Hal ini pulallah yang kemudian banyak mempengaruhi tulisan-tulisan Kahlil tentang alam.
Kondisi kehidupan ekonomi yang tidak mendukung ditambah kenyataan sosial yang banyak diwarnai ketidakadilan dalam mayarakat Lebanon membuat keluarga Kahlil memutuskan untuk berimigrasi. Maka, ketika Kahlil berusia sepuluh tahun ia pindah ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, bersama ibu dan kedua adik perempuannya. Keceriaan Kahlil di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya sehingga bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Kahlil hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Beirut, dimana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat sejak tahun 1898 sampai 1901.
Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Kesultanan Usmaniyah yang sudah lemah, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karyanya yang berbahasa Arab yakni Sayap-Sayap Patah. Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya dan justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan dua pengalaman budaya yang berbeda menjadi satu. Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Saat itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan di New York City, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronit. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.
Masa-masa pembentukan diri selama di Paris tercerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC. Kahlil segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Kahlil dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan's Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Kahlil dapat meneruskan karier keseniman dan kesastraannya yang masih awal. Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua darinya dan memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.
Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Kahlil meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hepatis dan tuberkulosis, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di Greenwich Village. Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran. Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis, sebuah biara Karmelit di mana Gibran pernah melakukan ibadah.
2.2. Karya-Karya Kahlil Gibran
Gibran termasuk penulis-penyair yang amat produktif. Ada begitu banyak hasil karyanya selama ia hidup. Umumnya karya-karya tulis itu ditulis dalam dua bahasa yakni bahasa Arab dan bahasa Ingris.
2.2.1. Karya-karya dalam bahasa Arab
Karya-karya Gibran dalam bahasa Arab antara lain: al-Arwah al-Mutamarridah (1906), ‘Ara’is al muruj (1908), al-‘Ajnihah al-Mutakassirah (1912), Dama’ah wa Ibtisamah (1914) al Mawakib (1919), al-‘Awasif (1920), al-Badayi wa Taray’if (1925).
2.2.2. Karya-karya dalam bahsa Ingris
Karya-karya Gibran dalam bahasa Ingris antara lain: The Madman (1918), The Forerunner (1920), The Prophet (1923), Sand and Foam (1926), Jesus the Son of Man (1928), The earth Gods (1931), The Wanderer (1932), The garden of Prophet (1933), Prosa Poem (1934), Secret of the Heart (1947), Tears and Loughter (1949), Voice of the Master (1958), A Self-portrait (1997), Spirit Brides (1919).
BAB. III NOVEL “SAYAP-SAYAP PATAH : SEBUAH KISAH CINTA YANG MENGGETARKAN
3. I. Novel Sayap-Sayap Patah : Perpaduan Antara Realitas Dan Imajinasi
Kahlil Gibran memang bukan orang pertama yang mengemakan napas cinta dengan begitu indahnya. Telah ada Empedokles, seorang filsuf Yunani yang menyatakan bahwa cinta adalah sebuah kekuatan yang menyatukan empat unsur (air, udara, api dan tanah) untuk membentuk alam semesta. Selain itu, Plato seorang idealis menyatakan bahwa cinta merupakan kerinduan terdalam seseorang untuk sampai pada dunia ide dan merupakan tiket menuju keabadian. Lebih dari itu, cinta yang ada dalam diri manusia hanya merupakan pantulan dari cinta Allah yang sudah ada jauh sebelum manusia diciptakan. Dalam kitab suci khususnya kitab Kidung Agung melukiskan secara indah cinta seorang pria dan wanita sebagai simbol cinta Allah kepada umat-Nya. “Kita mencinta, karena Allah terlebih dahulu mencintai kita“.
Penulis melihat bahwa, Sayap-Sayap Patah merupakan jenis novel yang mengandung gaya artistik yang khas dan menarik untuk ditelaah lebih lanjut tentang makna sebuah cinta. Cerita cinta Kahlil Gibran dengan Salma Karami ditulis dengan gaya spontan, memiliki kronologis cerita yang jelas dan mengandung makna yang amat dalam. Kahlil Gibran menulis dari kedalaman hati yang amat dalam sebagai hasil refleksi kehidupan konkrit yang dialaminya sendiri. Dari kesepuluh tema berikut ini, dapat dilihat bagaimana seorang Kahlil memadukan secara harmonis antara realitas yang terjadi baik yang dialaminya secara langsung maupun kenyataan real masyarakat sekitarnya dengan dengan sebuah daya imajinasi yang tinggi dan memukau. Sastra dibangun menurut daya imajinasi yaitu daya batin yang secara intuitif memperoleh tanggapan atau visi yang benar dari pengalaman atau kenyataan konkret. Imajinasi membuat seseorang sanggup mendapatkan suatu visi mengenai kenyataan tanpa terlebih dahulu melalui langkah-langkah logis. Imajinasi adalah nyawa yang meresapi segala sesuatu. Imajinasi berkaitan langsung dengan manusia yang memiliki daya tersebut dan tidak berkaitan dengan gambaran yang membabi- buta dan semberawutan tentang suatu obyek. Di sini imajinasi erat kaitannya dengan arti, makna dan hasrat. Pada pendahuluan dari karyanya ini dia menulis:
“I was eighteen years of age when love opened my eyes with its magic rays and touched my spirit for the first time with its fiery fingers, and Selma Karamy was the first woman who awakened my spirit with her beauty and led me into the garden of high affection, where days like dreams and nights like weddings”.
Disini, Kahlil mau menegaskan kodrat manusiawinya sebagai laki-laki yang memiliki rasa tertarik dengan lawan jenis. Dalam diri Salma Karami ia menemukan rahasia cinta yang sempurna baik lahiriah maupun batiniah. Namun kebahagiaan itu bagaikan pelagi senja yang hadir untuk sementara waktu ketika kemudian lenyap dalam kegelapan dan kegalauan hatinya. Salma pergi untuk selamanya dan hanya meninggalkan puing-puing kehancuran di hati Kahlil. Ia terpekur dalam ketakberdayaan. Sayap-sayapnya telah patah dan tidak mempunyai kekuatan lagi untuk terbang menuju taman cinta yang indah penuh kebahagiaan.
Sayap-Sayap Patah dikemas dalam sepuluh tema yang seakan berdiri sendiri walau tetap terikat pada kronologis cerita yang jelas dan logis. Duka Yang Bisu, membuka babak awal kisah yang menggetarkan ini. Di dalamnya tergambar situasi batin Kahlil yang gundah gulana dimana rasa kecewa, cemas, khawatir berbaur menjadi satu. Ia seperti tawanan yang selalu dihantui jeruji dan belenggu-belenggu ketakutan dan cinta baginya tidak lebih dari sekadar bahasa dan air mata. Tema perdana ini seakan disiasati Kahlil untuk menarik rasa penasaran pembaca sekaligus menjadi dasar bagi cerita selanjutnya. Tiga buah tema yang menyusulnya yakni, Tangan Sangat Nasib, Di Gerbang Kuil dan Obor Putih, mengisahkan perjumpaan Kahlil dengan Faris Afandi Karami dan Salma Karami, putri tunggalnya. Ketiga tema ini menonjolkan keberanian Gibran dalam menjawabi panggilan cinta yang selalu bergetar di hatinya. Mengenai hal ini ditulisnya dalam buku Sang Nabi :
”Apabila cinta memanggilmu, ikutlah dengannya meski jalan yang akan kalian tempuh terjal dan berliku. Dan apabila sayap-sayapnya merengkuhmu, pasrahlah serta menyerahlah meski pedang yang tersembunyi di balik sayap itu akan melukaimu. Dan, jika dia bicara kepadamu, percayalah, walau ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara memporak-porandakan pertamanan. Sebagaimana ia memahkotaimu demikian cinta juga akan menyalibmu. Sebagimana ia menumbuhkan kuncup dedaunanmu, maka ia juga memotong akar-akarmu ....”.
Dalam tema kelima dan keenam, Prahara dan Telaga Api memunculkan ketegangan cerita tentang awal perpisahan Kahlil dan Salma Karami. Kekayaan Faris Afandi menghantar putri tunggalnya pada sebuah sangkar tradisi yang membelenggu. Uskup Bulos Ghalib menjodohkan Mansyur Bek Ghalib, kemenakannya dengan Salma tetapi bukan karena terpesona akan kecantikan dan kemurnian serta ketulusan hati Salma namun semata-mata demi harta warisan Faris Afandi. Terhadap permintaan Sang Uskup, baik Faris Afandi, Kahlil dan Salma tidak mengungkapkan kata ”tidak” apalagi menunjukkan sebuah sikap memberontak. Aliran arus tradisi yang deras akan kewibawaan seorang pemimpin agama membuat mereka diam seribu bahasa. Salma hanya bisa mengadu kepada Tuhan dan meratapi nasibnya sebagai seorang perempuan yang selalu direndahkan. Dengan sedih ia berdoa ”Oh, Lord God, have mercy on me and mend my broken wings.”
Tema ketujuh yang berjudul Di Hadapan Tahta Kematian. Dalam tema ini Kahlil membongkar kenyataan riil yang dialami perempuan pada zamannya. Perempuan dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan. Martabatnya dinjak-injak oleh sistim Patriarkat yang membelenggu dan membuat mereka menjadi asing dalam keluarga serta tanah kelahirannya sendiri. Mereka hanya memiliki kewajiban tanpa harus mempunyai hak. Dalam situasi seperti inilah Salma ada dan hidup. Iapun terbawa arus sosial yang keruh dan menjijikkan dalam diri Uskup Bulos Ghalib dan kemenakannya Mansur Bek Ghalib. Salma semakin tidak berdaya apalagi ditinggalkan Sang ayah untuk selamanya. Dalam situasi batas seakan tidak ada kata yang paling tepat selain kata ibu. Ibu adalah dia yang sungguh mengerti hidup dan kehidupan anaknya. Mengenai hal ini kahlil menulis, “ The most beautiful word on the lips of mankind is the word “Mother” and the most beautiful call is the call of “ My mother”. It is a word full of hope and love, a sweet and kind word coming from the depths of the heart ....
Tema kedelapan yang berjudul Antara Yesus Dan Isytar. Isytar adalah dewi cinta dan keindahan. Dua buah gambar yang disandingkan bersama untuk memaknai eksistensi perempuan antara cinta dan penderitaan. Gambar Yesus yang di salib dan Maria yang berdiri di bawah kaki salib dan Isytar yang duduk di atas singgasana dengan tujuh orang gadis yang tak berpakaian berdiri mengelilinginya. Laki-laki membeli kemegahan dan kemasyuran tetapi perempuanlah yang membayarnya. Sebuah kritikan tajam bagi sistim patriarkat masyarakat sezamannya. Namun di sini Kahlil hendak menyatukan segala deritanya bersama Salma, gadis pujaan hatinya ke dalam hati Kristus yang berkurban di salib demi cinta-Nya yang besar pada manusia. Tuhan adalah sumber segala cinta sedangkan cinta yang ada dalam hati manusia hanya merupakan biasan cinta Tuhan.
Tema kesembilan berjudul Pengorbanan. Menurut penulis, tema ini merupakan klimaks yang menegangkan dari Sayap-Sayap Patah. Salma Karami dengan tegas menolak ajakan Kahlil untuk segera meninggalkan situasi yang serba tidak menentu menuju suatu tempat yang baru untuk menghirup udara kebebasan. Ia memilih untuk menderita sebab cawan yang diberikan padanya harus diminum sampai tuntas dan perpisahan bukanlah akhir tetapi awal dan suatu adegan cinta yang murni dan tulus. “Aku datang kepadamu dan mengucapkan sepatah kata dan aku tidak akan mengatakannya sekarang. Namun bila kematian menghalangi pengucapannya, ia akan diucapkan oleh esok karena esok tidak pernah meninggalkan rahasia dalam buku keabadian”.
Tema yang terakhir adalah Sang Penyelamat . Tema ini merupakan akhir dari cerita cinta Kahlil. Salma Karami yang telah lama merindukan seorang buah hati akhirnya terwujud. Namun sayangnya bayi itu segera meninggal setelah beberapa saat menghirup napas kehidupan. Bagi Salma bayi itu merupakan penyelamat yang akan membawanya pergi dari sangkar yang telah mengukungnya selama bertahun-tahun. Beberapa saat kemudian ia juga menutup mata untuk selamanya mengikuti jejak penyelamat, dalam diri bayinya. Bagaimanakah dengan Kahlil? Kahlil tidaklah lebih dari mayat berjalan yang melayang tanpa dasar pijakan yang jelas. Kepada pengali kubur dia hanya berkata “In this ditch you have also buried my heart”.
3.2. Memahami Perwatakan Para Pelaku Dalam Sayap-Sayap Patah
3.2.1. Kahlil Gibran
Peran Kahlil dalam Sayap-Sayap Patah diwakili oleh tokoh “aku”. Dalam tulisan ini “aku” menjadi tokoh sentral yang berusaha mengungkapkan sesuatu yang dialaminya sendiri. “Aku” tidak banyak menunjukkan suatu aksi yang besar kecuali kemampuan untuk memahami persoalan dengan hati. Ia lebih banyak mendengar, merenung dan berusaha mengamati situasi hidup yang yang nyata. Namun dalam diamnya, tokoh “aku” sebenarnya berbicara banyak hal tentang cinta, kehidupan dan mengeritik situasi konkrit mengenai tradisi yang membelenggu.
3.2.2. Salma Karami
Tokoh Salma tidaklah lebih dari nasib perempuan sezamannya yang banyak mengalah, pasrah pada nasib, rela berkorban. Bagi mereka menangis adalah hiburan satu-satunya untuk mengungkapkan kegalauan hati. Selain itu tokoh Salma tampil sebagai seorang yang berwatak santun, patuh, lembut, tenang sabar dan memiliki iman yang sangat besar. Watak dari tokoh Salma telah mengikat hati Kahlil dalam tokoh aku. Baginya Salma adalah cahaya bintang yang mampu menerangi langkahnya dalam menapaki perjalanan hidupnya yang seakan tak punya arah dan tujuan yang jelas.
3.2.3. Faris Afandi
Tokoh Faris Afandi adalah figur ayah yang memiliki hati kebapaan yang lembut, pengertian dan memiliki iman yang teguh. Baginya masa lalu adalah batu pijakan untuk melangkah ke masa depan. Kenangan dan harapan tidak dapat dipisahkan. Namun satu hal yang dapat disayangkan dari watak tokoh Faris Afandi yakni ketidakmampuannya melihat realitas yang sedang dihadapi. Ketidakberanianya menolak permintaan lamaran Uskup Bulos, menjadi suatu titik hitam dari kelemahan jiwanya. Ia merelakan kebahagiaan Salma direnggut oleh laki-laki yang culas dalam diri Mansur Ghalib.
3.2.4. Uskup Bulos Ghalib
Di dalam tema Telaga api dan di Depan dan Di Depan Tahta Kematian, secara transpran Kahlil mengungkapkan watak dari Uskup Bulos Ghalib yang gila harta, kehormatan, status dan ketenaran. Ia melamar meminta Faris Afandi untuk menjadikan Salma, istri dari kemenakannya bukan karena kecantikan dan ketulusan hati Salma tetapi demi harta warisan dari Faris Afandi. Watak Uskup Bulos juga dipengaruhi oleh sikap hormat masyarakat Lebanon yang taat ”buta” terhadap otoritas pemimpin agama. Ia membungkus kebusukan hatinya di balik jubah putih yang dikenakannya sebagai seorang uskup. Baginya, harta, kehormatan dan ketenaran di atas segalanya.
3.2.5. Mansur Bek Ghalib
Menurut Kahlil, watak Mansur Bek Ghalib tidak terlalu berbeda jauh dengan pamannya, Uskup Bulos. Ia menikahi Salma hanya karena menginginkan harta warisan dari Faris Afandi, orangtua Salma. Hal ini bisa dilihat dengan sikap Mansur yang membiarkan Faris Afandi terkurung dalam kesepian sampai ajal menjemputnya. Lebih dari itu dia tidak menunjukkan ekspresi kehilangan saat mengetahui Salma menutup mata selamanya. Hal yang membedakan keduanya hanya soal cara dalam memerankan sifat tamak dan egois. Mengenai watak dari keduanya, Kahlil menulis:
”Mansour Bey’s character was imiliar to his uncle’s the only difference between the two was that the bishob got everything he wanted secretly, under the protection of his ecclesiastical robe and golden cross which he wore on his chest, while his nephew did everything publichy. The Bishob went to church in the morning and spent the rest of the day pilfering from the widows, orphan, and simple-minded people. But Mansour Bey spent his days in pursuit of sexual satisfaction. On Sunday, Bishob Bulos Galib preached his Gospel, but during week-days he never practised what he his practised, occupyng himself with the political intrigues of the locality. And, by means of his uncle’s prestige and influence. Mansour Bey made it his bussines to secure political plums for those who could offer a sufficient bribe”.
BAB IV. MEMAHAMI KONSEP CINTA KAHLIL GIBRAN DALAM NOVEL SAYAP-SAYAP PATAH
(Sebuah Upaya Meningkatkan Penghargaan Terhadap Martabat Manusia)
4.I Cinta : Jawaban Atas Eksistensi Manusia
Manusia dianugerahi kemampuan rasio untuk berpikir. Ia adalah mahluk yang sadar akan keberadaan dirinya. Ia mempunyai kesadaran tentang dirinya, sesama, masa lalu dan kemungkinan masa depannya. Kesadaran dirinya sebagai entitas yang terpisah, kesadaran akan jangka hidupnya yang pendek, akan fakta bahwa hidup dan mati bukan kehendaknya, kesadaran akan kesendirian dan keterpisahannya, akan ketidakberdayaan akan kekuatan alam dan masyarakat. Semua itu membuat eksistensi dirinya yang terpisah dan terpecah menjadi penjara yang tak tertahankan. Dunia seakan menyerap dirinya tanpa kemampuan memberi reaksi. Oleh karena itu ia harus membebaskan diri dari penjara itu dan keluar menyatukan diri dalam bentuk apapun dengan orang lain, dengan dunia di luar dirinya.
Keinginan akan perpaduan antar pribadi ini merupakan dorongan yang paling kuat dalam diri manusia. Perpaduan itu memungkinkan apa yang disebut cinta. Dorongan ini merupakan hasrat yang paling fundamental sebagai kekuatan yang dapat mempesatukan umat manusia, keluarga, suku dan masyarakat. Kegagalan dalam usaha untuk mencapai persatuan tersebut dapat membuat orang sakit jiwa atau perusakan diri sendiri maupun orang lain. Hanya dalam dan melalui cinta seorang dapat meralisasikan dirinya sebagai pribadi yang utuh. Cinta adalah daya aktif dalam diri manusia yang mampu mendobrak dinding antar seorang individu dengan orang lain dan suatu daya yang mempersatukannya dengan orang lain walau tanpa harus menghilangkan jati diri dan menyangkali integritas dirinya sendiri. Save M. Dagun dalam kamus besar ilmu pengentahuan mendefinisikan cinta sebagai sebuah kekuatan primodial dari mahluk ber-rohani dan berkehendak yang bisa mengukuhkan atau menciptakn nilai. Dengan cinta seorang keluar dari keterasingannya menuju perasaan kebersamaan dengan bermacam-macam bentuk pokok komunitas insani, bersatu dengan nilai-nilai obyektif membentuk eksistensi diri yang layak dan merealisasikan tatanan moral. Itu berarti Cinta adalah seni dalam kehidupan. Disebut seni karena manusia memerlukan kemampuan (untuk mencintai), ketelatenan, dan kedisiplinan sebagaimana cinta adalah “tindakan aktif” dan “produktif”, bukan hanya “menerima” tetapi juga “memberi”. Jadi sebagai sebuah seni, cinta membentuk suatu eksistensi yang produktif dan dapat menyambungkan cintanya dengan dunia sekitarnya. Eksistensi manusia adalah dasar untuk mengkontruksi bagaimana bentuk-bentuk cinta yang bisa dilihat dari cara manusia dalam menghadapi realitas dan hubungan sosial yang dihadapinya.
4.2. Cinta Dan Martabat manusia
Berbicara tentang martabat tidak akan pernah pernah terlepas dari pembicaraan tentang hakikat diri manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia sejak dilahirkan sudah terlahir secara utuh dalam dirinya sendiri. Keutuhan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa telah diamini juga oleh filsuf Imannuel Kant dan Gottfried Wilhelm Leinniz. Itu berarti martabat manusia merupakan hakikat diri manusia sebagai yang luhur dan mulia sebagaimana Tuhan yang menciptanya adalah luhur, agung dan mulia. Di sini manusia dicintai bukan karena sesuatu yang melekat pada dirinya seperti kekayaan, kedudukan atau keadaan fisik yang sehat, sempurna dan memukau tetapi terlebih karena hakikat dirinya sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Dalam novel Sayap-Sayap Patah Kahlil Gibran hendak mengungkapkan bahwa cinta itu melampaui segala sesuatu dan berada diluar konsep pemikiran masyarakat sezamannya yang cendrung egoistik, munafik dan penuh perhitungan untung rugi.
Pada kesempatan ini, ada empat hal yang akan dikemukan penulis sehubungan dengan sejauhmana konsep cinta yang hendak diungkapkan Kahlil Gibran dalam novel Sayap-Sayap Patah yang ditulisnya agar pembaca sungguh-sungguh memahami hakikat dirinya sendiri sebgai pribadi yang luhur dan mulia. Selain itu dalam novel ini muncul suatu upaya untuk semakin meningkatkan penghargaan terhadap martabat manusia.
4.2.1. Cinta Selalu berawal dan bermuara pada yang Ilahi
Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam riwayat hidupnya, Kahlil Gibran adalah seorang yang beragama Kristen Katolik-Moranit. Inti ajaran Kristen adalah cinta kasih. Tema kedelapan dalam Sayap-Sayap Patah menampilkan pribadi Jesus sebagai sumber cinta sejati. Ia berani menyerahkan nyawa-Nya di salib demi umat yang dikasihi-Nya. Kahlil merasa ”terganggu” ketika menyaksikan orang yang merupakan perpanjangan tangan Kristus di dunia bertindak lain dari yang diajarkan Kristus. Bulos Ghalib mengunakan statusnya sebagai Uskup untuk mencari kehormatan, pujian, dan harta duniawi yang fana dan sementara. Bagi Kahlil cinta yang hakiki adalah buah pemahaman rasa spiritual. Cinta selalu mengalir dari lubuk hati Allah dan akan tetap kembali kepada-Nya.
Kahlil mengambil sikap netral terhadap cinta agape dan eros dan berusaha memperdamaikan hal yang telah lama diperdebatkan para teolog dan ilmuwan. Cinta agape berarti ketulusan. Ia tidak mengharapkan tetapi sebaliknya memberi tanpa menghitung apa yang diterima. Cinta yang mengatasi waktu dan tempat termasuk maut sekalipun. Sebuah cinta yang universal mengatasi sekat perbedaan yang dibuat manusia. Sementara itu cinta eros adalah cinta antara seorang pria dan wanita. Menurut Kahlil, tubuh adalah kuil bagi jiwa. Di sini Kahlil menunjukkan bahwa cinta eros bukan sesuatu yang tabu, tercela dan rendah. Baik cinta agape maupun cinta eros semuanya adalah pemberian Allah yang Maha Agung bagi manusia.
4.2.2. Cinta dan Otonomi Diri Manusia
Cinta tidak pernah mengikat apa dan siapapun. Cinta mengalir dari hati yang lepas bebas tanpa tekanan dan paksaan dari orang lain. Hanya dalam dan melalui kebebasan seseorang mampu melihat keindahan sesungguhnya yang terpancar dari jiwa-jiwa yang paling suci, menghiasi jasmani yang luhur nan mulia. Kebebasan itu seperti burung yang terbang ke mana saja tanpa memilih-milih pohon untuk bertengger, memilih-milih bijian yang paling istimewa untuk dimakan tetapi selalu mempunyai kerinduan untuk menjalin relasi yang hidup dan membiarkan yang lain terbang menurut kata hati dan pikirannya.
Hidup tanpa kebebasan ibarat badan tanpa roh. Mengutip perkataan Kahlil bahwa ”kematian karena memperjuangkan kebebasan adalah lebih mulia dari pada hidup di dalam bayang-bayang kepasrahan yang lemah, sebab ia merangkul maut dengan pedang.... Sayap merupakan simbol kebebebasan yang sejati sebab seekor burung itu disebut burung hanya kalau ia dapat terbang sebagaimana manusia sungguh-sungguh manusia hanya kalau ia mecinta. Hanya dengan sikap lepas bebas seseorang dapat mengungkapkan diri secara utuh dan sempurna. Tentunya kebebasan yang dimaksudkan adalah kebebasan yang konstruktif dan dapat dipertanggungjawabkan. Sayap-Sayap Patah ditulis Kahlil sebagai bentuk protes atas struktur perkawinan di dunia Asia Timur yang selalu menomorduakan perempuan. Tokoh Salma mewakili kaum perempuan yang juga memiliki kebebasan untuk berbicara, mengungkapkan diri sebagai pribadi yang patut dicintai dan bukan barang dagangan yang bisa diperjualbelikan.
4.2.3. Cinta terealisasi dalam sikap penerimaan terhadap kekurangan dan kelebihan orang lain
Bagi Kahlil, cinta itu hadir secara ajaib dalam diri seseorang tanpa pernah ada usaha nyata untuk menghadirkannya. Oleh karenanya cinta itu mesti dilihat lebih dalam dan menyeluruh. Artinya cinta itu bertumbuh bukan karena terpesona oleh keindahan fisik semata tetapi juga hal-hal yang bersifat batiniah dari seseorang.
Selain itu cinta selalu mengadaikan adanya aksi timbal balik antara pribadi yang saling mencinta. Pemberian diri yang utuh dan sempurna maksudnya, ada sikap saling percaya dan rela berkorban. Melalui sikap saling percaya dan berkorban setiap pribadi tetap menampilkan diri apa adanya tanpa perasaan cemburu yang buta, egois dan saling mencurigai. Dalam tema Pengorbanan, Kahlil menampilkan sikap ini. Ia membiarkan Salma memutuskan apa yang terbaik baginya karena ia percaya bahwa cinta tak seharusnya memiliki. Berkorban demi kebahagiaan dari orang yang dicintai adalah hal lain yang hendak ditekankan Kahlil dalam tema ini.
4.2.4. Cinta tidak dapat diukur dengan harta benda dan kedudukan seseorang.
Harta dan kedudukan bukanlah jaminan untuk menemukan cinta sejati. Semua itu hanya merupakan sarana yang mesti digunakan manusia secara arif dan bijaksana demi kebahagiaan pribadinya sendiri, sesama dan Tuhan. Seseorang yang hanya tahu mengumpulkan harta tanpa tahu memberi sama halnya mengali kubur bagi jiwanya sendiri.
Uskup Bulos dan keponakannya, memanfaatkan harta kekayaan Faris Afandi untuk mencari kehormatan, nama besar dan harga diri. Mereka tidak menyadarinya kalau jiwanya telah lama terhimpit dalam kemilauan harta duniawi yang fana. Kahlil dan Salma merasakan itu sebab bagi mereka harta bukanlah segalanya. Jiwa adalah suatu keutamaan yang bersifat kekal dan abadi selamanya. Cinta yang ada dalam diri Kahlil dan Salma merupakan cinta yang berdiri di atas jiwa yang utuh, kuat dan sempurna. ”The boy’s soul undergoing the bufferting of sorrow is like a white lily just unfolding. It trembles before the breeze and opens its heart to daybreak and fods its leaves back when the shadow of night comes ...”. Jiwa yang dilanda derita adalah seumpama teratai putih yang sedang bersinar.
4.3. Catatan Kritis Terhadap Novel “Sayap-Sayap Patah”
4.3.1. Kelebihan Novel Sayap-Sayap Patah Untuk Diaplikasikan Dalam Kehidupan Konkrit
Menurut penulis, ada beberapa dasar yang menjadikan novel sayap-sayap patah menjadi buku yang menarik, segar dan tetap menjadi salah satu dari sekian buku yang diminati masyarakat dunia.
Sayap-Sayap Patah merupakan sebuah karya yang mengangkat martabat dan derajat perempuan di Asia Timur untuk keluar budaya patriarkat yang membelenggu. Tokoh Salma Karami ditampilkan sebagai tokoh perempuan yang memiliki kemurnian hati yang bersih, penuh pengertian, sabar, rela bekorban dan dengan naluri kewanitaanya, ia bisa membahasakan segala persoalannya dalam kacamata iman. Salma dan kaumnya adalah seorang pribadi yang tetap memiliki kebebasan untuk bersuara dan berekspresi.
Figur seorang pria seyogianya tampil seperti tokoh Faris Afandi dan tokoh ”aku” (Kahlil Gibran) sebagai seorang laki-laki yang lembut, penuh pengertian, mampu mendengarkan, bijaksana dan kebapaan serta memberikan kesempatan bagi seorang wanita untuk memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya. Seorang laki-laki harus bisa melindungi dan menjadi tempat naungan yang memberi rasa hangat dan kebahagiaan bagi seorang perempuan.
Selain itu, satu hal yang menarik perhatian penulis adalah perhatian yang besar bagi lingkungan alam sekitar. Karya-karya besar Kahlil tidak terlepas dari alam Libanon. Daerah asalnya menjadi inspirasi bagi tulisan-tulisannya. Menurut Kahlil, alam merupakan sesuatu yang terberi dan anugerah dari Allah yang mesti diperlakukan secara manusiawi. Hal ini tidak bisa dilepaspisahkan dari pengalaman masa kecil Kahlil di lembah Bisharri. Di sini, jiwa Kahlil ditempa oleh sebuah pengalaman yang membentuk sikap hormat dan penghargaan yang tinggi terhadap alam.
Oleh karena untuk mencintai alam sebagai bagian dari kehidupan merupakan suatu keharusan bagi manusia sebab manusia dan alam sekitar tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Keduanya saling memberi dan menerima. Kiranya teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan mesti digunakan secara bijaksana terhadap keutuhan alam ciptaan, jangan sampai mendatangkan kehancuran bagi keberlangsungan manusia. Isu ”Global Warming” mesti ditanggapi secara serius dalam hubungan dengan keharmonisan manusia dan alam lingkungan sekitar.
Sebagai insan yang beragama, Sayap-Sayap Patah menyadarkan semua orang bahwa untuk mengatakan ”saya percaya pada Tuhan” itu belum cukup tanpa diaplikasikan dan hidup konkrit setiap hari. Seseorang yang percaya kepada Tuhan, pertama-tama harus didahului dengan sebuah aktus cinta kepada sesama. Bagaimana kita dapat mencintai Tuhan yang tak dapat diinderai tanpa terlebih dahulu mencintai sesama yang ada di sekitar kita?
Bagi para pemimpin agama dan calon pemimpin agama harus menyadari diri sebagai seorang gembala yang melayani. Gembala adalah seorang yang mengenal kawanannya, ada bersama mereka, merasakan apa yang mereka rasakan dan setia mendengarkan rintihan hatinya, kecemasan, ketakutan dan harapan mereka. Hanya dengan itu ia dicintai kawanannya. Seorang pemimpin agama hendaknya sungguh mengenal apa yang menjadi tugasnya setiap hari. Bukan hanya berkata-kata tetapi juga menghidupkan kata-kata itu dalam tindakan konkrit setiap hari yaitu mencintai semua orang tanpa pilih kasih.
4.3.2. Kelemahan Sayap-Sayap Patah
Di samping memiliki kelebihan, estetika Kahlil Gibran dalam Sayap-Sayap Patah juga memiliki kelemahan. Pada kesempatan ini ada satu hal yang dilihat penulis sebagai kelemahan sayap-Sayap Patah adalah sikap Kahlil yang hanya mengupas persoalan dan membongkar ketidakberesan dalam kehidupan masyarakat dan budaya yang dihidupi didalamnya tanpa berani untk merakitnya kembali. Ia membiarkan pembaca berada dalam rasa penasaran, binggung bahkan bisa terprofokasi. Seyogianya setelah tema tentang Penyelamat mesti ditambah satu tema lagi dimana tokoh ”aku” mesti tampil ke depan umum dan menjelaskan kepada dunia bahwa cinta adalah segalanya dimana dalam dan melalui cinta martabat manusia semakin dihargai dan dijunjung tinggi. Terasa belum cukup kalau hanya disampaikan kepada seorang penggali kubur untuk mengungkapkan situasi batinnya. Penggali kubur hanyalah masyarakat sederhana yang hanya melakukan apa yang diperintahkan.
Sikap diam Kahlil dalam sayap-sayap Patah seakan memperlemah seruan kebenaran yang menjadi dasar bagi seluruh karya-karya besarnya khususnya dalam ”Sang Nabi”. Sayap-Sayap Patah menampilkan sikap Kahlil yang hanya dipengaruhi oleh perasaannya dan seakan mengabaikan kemampuan intelek sebagai landasan dasar sebuah tindakan revolusioner.
BAB. V PENUTUP
5.I. Kesimpulan
Keputusan untuk bertindak bagi seorang yang sehat secara mental selalu mengandaikan adanya gagasan, konsep atau pikiran mengenai intensitas dan kosekuensi dari sebuah tindakan sebelumnya. Sulit diterima secara rasional apabila seseorang bertindak mendahului kegiatan berpikir. Hanya dengan berpikir seseorang dapat mengetahui sasaran, tujuan dan konsekuensi logis dari tindakkannya entah melalui gerakkan fisik ataupun hanya sebuah pernyataan yang diungkapkan melalui bahasa tertentu.
Dalam Sayap-Sayap Patah Kahlil Gibran melukiskan sebuah kisah cinta yang mengetarkan, menegangkan dan memuaskan walau diakhiri dengan suatu tema perpisahan yang amat tragis. Sebagaimana yang pernah diucapkan Kahlil, bahwa hanya mereka yang kenal cinta yang berani berkurban dan bila engkau adalah seorang pencinta jangan ragu-ragu untuk mengurbankan dirimu. Kesepuluh tema dalam Sayap-Sayap Patah melukiskan secara menarik, runtut dan logis sebuah kisah cinta seorang Kahlil dan Salma, gadis yang amat dicintainya. Namun sayang, cinta itu akhirnya pupus seperti pelangi senja yang lenyap dalam kegelapan malam. Sayap-sayap yang merupakan simbol kebebasan itu patah terkulai diterjang arus tradisi Asia Timur yang menjujung tinggi adat istiadat, kehormatan dan sikap merendahkan perempuan sebagai mahluk yang memiliki kewajiban tanpa harus memiliki hak untuk bersuara dan berekspresi.
Dari kisah ini, penulis akhirnya dapat memahami konsep cinta Kahlil Gibran yang walaupun abstrak tetapi mengandung suatu nilai hidup dan makna yang amat dalam bagi perjalanan hidup penulis maupun bagi pembaca sekalian sebagai mahluk yang mencinta. Cinta itu selalu mengandaikan adanya kebebasan sejati, cinta antara manusia selalu bersumber pada cinta Allah, adanya sikap pemberian yang utuh dan sempurna dan cinta tidak dapat diukur oleh banyaknya harta kekayaan. Cinta hendaknya selalu terarah pada sikap penghargaan terhadap martabat manusia sebagai pribadi yang luhur dan mulia.
Dari beberapa kelebihan estetika Kahlil dalam saya-sayap patah ada juga kelemahannya. Hal ini menyadarkan kita bahwa siapa pun dan sehebat apa pun seseorang tetap memiliki kekekurangan. Dengan demikian kita mesti selalu membuka diri dibentuk dan disempurnakan oleh yang lain.
5.2. Saran
Novel Sayap-Sayap Patah merupakan salah satu karya Kahlil Gibran yang diminati banyak orang. Karya ini selain memiliki daya estetika yang tinggi juga mengandung makna yang amat dalam. Cinta yang dikisahakan Kahlil dalam karya ini, merupakan kisah yang tetap ada dalam zaman kita sekrang ini walau dalam bentuk yang berbeda.
Oleh karena itu, penulis menyarankan kepada pembaca sekalian untuk menganut jenis cinta yang murni dan utuh. Cinta tentu tidak dapat bertahan dalam situasi batin yang penuh kebencian, dendam, amarah dan saling mencurigai. Cinta selalu mengandaikan adanya kebebasan untuk memberi dan menerima, memahami dan memaafkan serta tidak dapat dibeli dengan harta duniawi, pangkat dan nama besar. Cinta selalu ,membutuhkan sikap pengorbanan. Selain itu cinta selalu terarah pada sebuah titik akhir dimana martabat manusia dihargai dan dijunjung tinggi. Tanpa sikap ini mustahil mencapai cinta yang utuh dan sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku:
Abdillah Adil dan Amin Nasihin M. (penterj.), TRILOGI HIKMAH ABADI: Taman Sang Nabi, Sang Nabi, Suara Sang Guru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Arvin Saputra (pentrj.). Hikamat Kahlil Gibran. Batam: Classic Press. 2003.
Douglas A. Morrison, Cristhoper P. Witt. Ferry Doringin (Penterj.). DARI KESEPIAN
MENUJU CINTA. Jakarta: Obor. 1997.
Erich Fromm, Agus Cremers (Penyunt.). Masyarakat Bebas Agresivitas. Maumere:
Ledalero, 2004.
Erich Fromm. Andry Kristiawan (Penterj.). the ART of LOVING, MEMAKNAI
HAKIKAT CINTA. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2005.
Gibran Kahlil, R. Ferris Anthony (Pentrj) . The Broken Wings. London: Heinemann, 1959.
Gibran Kahlil. Prihantoro Agung (penterj.). LASARUS dan KEKASIHNYA. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Jatman Darmanto. Sastra, Psikologi Dan Masyarakat. Bandung: Alumni. 1985.
Koen Willie (penterj.), TEOLOGI MISTIK, ILMU CINTA . Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Krishna Anand. Menyelami Samudera Kebijaksanaan SUFI . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
------------------.BERSAMA Kahlil Gibran, MENYELAMI ABC KEHIDUPAN. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
------------------. Shambala. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
L. Tjahjadi Simon Petrus. Petualangan Intelektul. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Lucky Advertising. Kahlil Gibran: Tentang Cinta, Keindahan dan Kesunyian. Yogyakarta: Narasi. 2007.
Santas Gerasimos, Kebung Kondrad (penterj.). Plato Dan Freud, Dua Teori Tentang Cinta .Maumere: Ledalero, 2002.
S. H. Susanto Alexander. NABI SEGALA ZAMAN: Memahami Pemikiran Kahlil Gibran dalam Sang Nabi. Maumere: Ledalero, 2005.
(Tanpa Pengarang), Soffian Efendi, Sjahfri Sairin, M. Alwi Dahlan (Penyunt.).
MEMBANGUN MARTABAT MANUSIA. Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS. 1993.
(Tanpa Pengarang), Tony Kleden, Maria matildis banda, Dion DB. Putra (Editor). Pos
Kupang Suara Nusa Tenggara Timur. Kupang: PT Timor Media Grafika. 2007.
Internet:
http://www.sukainternet.com/?pilih=umum&id=1158142865
0 comments:
Post a Comment