Friday, 22 July 2016

Mengakarkan Literasi di NTT



Tanggal 5-9 Maret 1990 di Jomtien-Thailand, 115 negara dan 150 organisasi bertemu dan menggelar  Konferensi  Dunia membahas Education for All (EFA) atau Pendidikan Untuk Semua (PUS). Koalisi besar berkolaborasi datang pemerintah nasional, masyarakat sipil, kelompok pemerhati pendidikan maupun lembaga pembangunan seperti UNESCO dan Bank Dunia. Semuaya berkomitmen meningkatkan semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulan semua.
Moment Hardiknas 2 Mei 2016, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Anies Baswedan mencoba menawarkan konsep PUS tersebut kepada masyarakat Indonesia. Menurutnya, pemerintah tidak bisa sendirian dalam menuntaskan masalah pendidikan. Dalam seluruh kebijakan  pembangunan pendidikan, pemerintah atau birokrasi harus terbuka untuk belajar dari masyarakat. Kementrian pendidikan dan Kebudayaan, memilih untuk merayakan kebangkitan pendidikan Indonesia dengan semua pihak. Banyak sekali kelompok masyarakat yang sudah dan sementara berkreasi memajukan pendidikan. Tidaklah berlebihan jika birokrasi belajar dari masyarakat. (Kompas, edisi 30 Mei 2016)

Konsep PUS di NTT Masih “Abu-Abu”
            Dari tahun ke tahun, masyarakat NTT selalu mengelus dada menahan malu. Hasil kelulusan Ujian Nasional (UN) tahun 2016 jenjang SMP/MTs berada pada urutan 31 dari 34 provinsi dan jenjang SMA/MA berada pada urutan 34 dan jenjang SMK pada urutan 26.  Kualitas pendidkan NTT masuk dalam kategori “Zona Merah”. Dosa siapakah ini? Siapa yang pantas menjadi ”kambing hitam”. Apakah pemerintah pusat yang hanya menganggarkan dana hanya 1,56 persen atau setara dengan Rp 36.700 per-siswa untuk setiap tahunnya? Apalah artinya Rp. 36.700 untuk sebuah kualitas pendidikan. Untuk membeli tas sekolah saja tidak cukup.
Ataukah dosa pemerintah Provinsi NTT yang seolah “memandang sebelah mata” pembangunan pendidikan NTT? Bagaimanakah kelanjutan program revitalisasi Gong Belajar? Apakah ini hanya sebatas sebuah seruan moral? Konsep revitalisasi Gong Belajar dalam bentuk pemusatan jam belajar peserta didik seyogianya harus dipertegas sesuai konteks lingkungan sekolahnya. Selain itu, memaksimalkan peran guru melalui Kelompok Kerja Guru (KKG), MGMP, Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S), dan pengembangan model pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAIKEM) di sekolah dan mengelola sekolah dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS) tidak boleh sebatas seruan. Harus ada regulasi yang diikuti dengan sangsi yang jelas.
Ataukah dosa para guru? Hasil Ujian Kompetensi Guru (UKG) yang berlangsung secara nasional, banyak guru  termasuk para guru di Provinsi NTT memiliki peringkat di bawah rata-rata nasional. Bagaimana bisa keluar dari zona merah kalau gurunya saja tidak berkualitas? Ataukah ini dosa orangtua dan masyarakat? Apakah tugas mendidik anak yang seharusnya menjadi tugas orangtua dilimpahkan kepada guru? Bagaimana mungkin orangtua serta-merta mem-polisikan guru yang sedang menjalankan tugasnya untuk mendidik anak? Hmm...Teruslah mencari “kambing hitam” dan kita tetap berada pada posisi “Zona Merah”.
            Saya menilai, pemerintah, sekolah, komite dan masyarakat masih berjuang dan bekerja sendiri. Belum ada kolaborasi yang jelas dan tegas. Dinas P dan K Provinsi dan dinas PPO Kabupaten/Kota jarang mengadakan rapat koordinasi kecuali waktu menjelang UN. Tidak heran jika revitalisai program Gong Belajar tidak sampai ke tingkat satuan pendidikan. Selain itu, pihak sekolah dan komite jarang berjalan bersama. Dari hasil investigasi Cakrawala, masih ada sebagian pihak sekolah belum melihat komite sebagai mitra. Pihak komite dibutuhkan jika ada hal yang berhubungan dengan uang. Ini adalah cerita kita sekaligus derita kita. Konsep PUS di NTT masih ‘abu-abu”.

Mengakarkan Konsep PUS, Wujudkan Program Literasi Masuk Sekolah
            Kementerian Pendidikan dan Kebuadayaan (Kemendikbud), melalui Dijen Guru Tenaga Kependidikan (GTK) memberi contoh bagaimana mengakarkan PUS di NTT. Para kepala bidang TK-Paud, SD-SMP dan SMA/SMK dari seluruh dinas PPO Kabupaten/Kota se-NTT. Para kepala bindang ini diajak untuk berkreasi dan berkolaborasi untuk mendapatkan para guru hebat. Guru profesional, kreatif dan inovatif. Tutor sebaya dalam lingkungan para guru wajib diterapkan melalui program Guru Pembelajar. Konkritnya, guru mendampingi guru. Oleh karenanya, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten berkolaborasi wujudkan mimpi yang sama yakni menigkatkan mutu-kualitas pendidikan di NTT.
            Lalu bagaimanakah mengakarkan PUS dalam konteks gerakan literasi masuk sekolah? “Roh” kurikulum 2013 mengamanatkan guru sebagai fasilitator. Guru harus berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. (Bdk, Wina Senjaya (2008). Dengan demikian, banyak ilmu pengetahuan diperoleh dari kebiasaan membaca.  Ketrampialan dan ketajaman daya analisis seseorang tercermin dari keseringan membaca. Karena itu, salah satu upaya meningkatkan mutu-pendidikan NTT sekaligus membawanya keluar dari zona merah, gerakan literasi masuk sekolah mutlak diperlukan.
            Media Pendidikan Cakrawala NTT sebagai sebuah lembaga independen dan salah satu kelompok masyarakat peduli pendidikan NTT telah berpikirr, bekerja dan berjuang berkolaborasi, wujudkan gerakan literasi masuk sekolah. Media yang bernaung di bawah Lembaga Cakrawala NTT ini telah memiliki lima divisi yakni divisi informasi, formasi, penyiaran, jurnal dan website. Dari divisi informasi, kami mencetak majalah pendidikan yang terbit dua minggu. Saat ini, setiap edisinya, mencetak ribuan eksemplar yang berisi berita pendidikan, tulisan para guru dan siswa/i se-NTT. Puji Tuhan, dari divisi ini telah membantu sekian banyak guru dan memperoleh SK kenaikan pangkat. Selain itu, dari divisi formasi kami membantu sekian banyak guru, para mahasiswa dan siswa/i menulis. Materi pelatihan berupa penulisan karya ilmiah (Tulisan ilmiah populer & PTK) serta jurnalistik dan sastra. Hingga kini tercatat 102 sekolah binaan media ini yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota se-Provinsi NTT. Demikian halnya dari divisi jurnal, website (www.cakrawalantt.com) dan penyiaran. Khusus untuk divisi penyiaran, kami bekerjasama dengan Lembaga Penyiaran Publik RRI Kupang. Program acara “Bedah Editorial Media Pendidikan Cakrawala NTT” mau mengajak seluruh kompenen masyarakat untuk berpikir dan berbuat sesuatu demi meningkatkan mutu pendidikan di NTT.
            Media Pendidikan Cakrawala NTT telah bekerjasama dengan pihak sekolah, universitas, lembaga keuangan seperti koperasi dan pihak pemerintah baik pemerintah provinsi maupun kabupaten kota. Artinya kami sudah bekerja. Namun pengalaman pahit mengajarkan kami banyak hal. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta dinas terkait, belum semuannya menyadari tentang pentingnya kolaborasi program pembangunan pendidikan khususnya dalam hubungan gerakan literasi masuk sekolah. Gerakan kami adalah sunyi. Jawaban yang sama dan membosankan muncul saat “Mengemis” kerjasama. “Tidak ada anggaran” atau “anggaran tidak cukup”. Bahkan ada yang spontan menjawab “Kami belum berpikir soal itu. Literasi itu apa?” Apakah benar tidak tahu soal literasi, Tidak ada anggaran atau kalaupun ada, tetapi bentuknya bagaimana? Kami tidak tahu.

Sederetan Rekomendasi Sebagai Solusi
            Membangun pendidikan adalah tugas semua komponen masyarakat. Pemerintah, sekolah, komite dan masyarakat umum harus berpikir dan ber-aksi memajukan dunia pendidkan NTT. Mencari “kambing hitam” adalah pekerjaan seorang “dungu”. Kreatifitas dalam sebuah kolaborasi yang matang adalah adalah solusi cerdas dan bijaksana. Pendidikan jangan pernah dijadikan sebagai kendaraan politik yang hanya berusia lima tahunan. Tentang bagaimana kualitas manusia NTT lima puluh tahun dari sekarang ditentukan oleh kebijakan seorang Gubernur, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, Bupati/Walikota, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NTT, Kepala Dinas PPO kabupaten/kota, kepala LPMP yang sedang berada di tampuk pimpinan saat ini.  Berkacalah dari pesan Menteri Anies Baswedan dimana pemerintah tidak bisa sendirian dalam menuntaskan masalah pendidikan. Dalam seluruh kebijakan  pembangunan pendidikan, pemerintah atau birokrasi harus terbuka untuk belajar dari masyarakat.
            Dalam konteks mengakarkan PUS demi wujudkan program literasi masuk sekolah, saya menyarankan beberapa hal :
            Pertama, Gubernur harus mengelurkan Pergub soal wajib baca satu jam setiap hari atau dua jam dalam seminggu di lembaga pendidikan. Para guru dan siswa/i wajib membaca. Oleh karena itu, sebagai urutannya, dinas P dan K provinsi dan dinas PPO kabupaten/kota menghimbau bahkan mewajibkan pihak sekolah berlangganan dengan majalah pendidikan sebagai mitra promosi atau sosilaisasi berbagai program pemerintah dan sekolah. Selain itu, mendorong para guru untuk meningkatkan profesionalismenya dengan kegiatan pelatihan penulisan karya ilmiah.
            Kedua, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan NTT berkoordinasi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk mengangkat seorang Duta Literasi NTT. Bersama pemerintah, beliau mengkampanyekan literasi dalam beragam bentuk kegiatan seperti seminar, pelatihan menulis dan sebagainya. Mutu pendidikan harus ditingkatkan dalam bentuk kerjasama dan kolaborasi yang memiliki arah dan tujuan yang sama. Anak NTT butuh orang-orang yang mampu memberi motivasi dan dorongan untuk terus melangkah maju menuju generasi melek literasi.
Ketiga, Pihak sekolah dan komite mendorong kesadaran anak untuk mencintai almamater dengan menyumbangkan satu judul buku di setiap tahun ajaran baru. Buku-buku tersebut disumbangkan ke pepustakaan sekolah. Dengan demikian, sumber bacaan atau refrensi menulis semakin banyak di perpustakaan sekolah. (*)


Share:

Darurat Hukum Perlindungan Guru


Hari hampir siang. Tim cakrawala tiba di halaman salah satu sekolah negeri menengah atas Kota Kupang. Beberapa siswa masih sibuk “ngobrol ria” di halte yang tidak jauh dari halaman sekolah. Seorang staf guru mendekat. Menegur lembut seraya memohon agar para siswa tersebut segera masuk kelas. Jawaban tak biaya datang spontan dari salah satu siswa, “sante saja pak”. Mereka bahkan terkekeh-kekeh saat sang guru membiarkan mereka begitu saja. UU Perlindungan Anak yang secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap peserta didik.
Ini adalah salah satu dari sekian banyak cerita miris tentang nasib guru. Para guru berada pada persimpangan jalan sebagai pengajar dan pendidik. Guru yang bertugas membantu mempersiapkan para peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan berakhlak mulia seringkali berada pada situasi dilema. Namun jika dibiarkan terus maka situasi dilema para guru ini justru perlahan menghantar mereka pada sikap tidak peduli atau “cuek”.
“Mengapa harus pusing mengurus anak-anak yang susah diatur. Toh, mereka juga bukan anak kandung saya. Tugas saya hanya masuk kelas, menyajikan materi pelajaran dan memberi tugas. Tugas saya sebagai guru selesai. Apakah mereka mengerjakan tugas, memproleh nilai rendah, tidak disiplin, tidak tahu sopan-santun, malas dan sebagainya, itu bukan urusan saya. Tugas saya hanya mengajar bukan mendidik. Dari pada harus kehilangan kesabaran demi mendidik mereka, kita naik tangan sedikit, eh... pada akhirnya berurusan dengan kepolisian. Persetan di situ, kau mau jadi baik bersyukur kalau tidak terserah”, tegas seorang guru yang tidak mau menyebutkan namanya.
Mengenai situasi ini, pelaksana harian ketua umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Unifah Rosyidi mengatakan guru resah dan khawatir dalam menjalankan perannya sebagai pendidik. Sejumlah guru yang beritikat mendidik anak tetapi dengan cara yang dinilai melanggar hak anak dilaporkan ke polisi oleh orangtua siswa. Menurutnya, jika ada guru yang khilaf atau kurang sabar dalam menjalankan tugas, mohon pekerjaan guru tersebut dihormati. Mereka jangan langsung ditahan jika dilaporkan sepihak oleh orang tua. (Kompas, 23 Juni 2016-hal.12)
Selaian itu, Prof. Dr. H Samsul Nizar MA, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Pekan Baru menilai UU No 20/2003 menuntut pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik menjadi profesional, seyogyanya diiringi dengan adanya UU Profesi Pendidik. Meskipun dalam UU No 14/2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan dosen, namun dalam tataran implementasi kekuatan UU tersebut masih tak terlihat berkontribusi terhadap nasib guru/dosen sebagai tenaga pendidik. Untuk itu, sudah saatnya jika guru/dosen membangun kekuatan solidaritas untuk mendorong pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru/dosen dan melindungi profesi mereka dengan kekuatan hukum yang jelas.
Alexandra Taus, S.Pd, selaku kepala SMPK Putra Xaverius-Kefamenanu berkisah tentang pengalaman rekan gurunya yang terpaksa berurusan dengan pihak kepolisian. Orangtua siswa melapor rekan gurunya dan menuduh melakukan kekeran fisik kepada anaknya. Alexandra menyayangkan sikap orangtua yang tidak terlebih dahulu menyampikan padanya selaku kepala sekolah jika ada hal-hal yang berurusan dengan para siswa.
”Setiap kali penerimaan murid baru, pihak sekolah selalu duduk bersama dengan para komite sekolah dan menandatangani beberapa kesepakatan termasuk soal aturan penanganan pelanggaran mulai dari pelanggaran ringan hingga pelanggaran yang berat. Bahkan ada orangtua yang mengatakan untuk anak-anak yang susah diatur, silahkan bapa/ibu beri sangsi asal jangan sampai berdarah atau bengkak. Namun, saya juga selalu ingatkan para guru untuk mendidikan siswa dengan lembut dan sabar. Pukul mereka bukan karena emosi tetapi supaya dia tahu apa yang menajdi kesalahannya”. tandas Alexandra.
Sikap orang tua/masyarakat yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru. Mereka terlalu banyak menuntut guru agar dapat mengahantakan peserta didik sebagai masyarakat terdidik namun tidak seiring dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan. Padahal banyak orangtua yang tidak mengerti soal mengajar dan mendidik. Tugas mengajar yang menjadi kapasitas guru akhirnya tersita untuk mendidik siswa yang sebenarnya meruapakan kapasitas dan tugas orangtua. Seorang anak yang malas, tidak tertib, tidak disiplin dan sebagainya adalah bentuk konkrit kegagalan orangtua. Dia (orangtua) tidak ‘becus” mengurus dan mendidik anak. 
Substansi UU No 14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya Dalam UU No 14/2005. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Adapun maksud Perlindungan Profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen adalah perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Namun, implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan guru/dosen, Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya.

Langkah Solutif
            Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan selalu berproses dan bermuara pada  peningkatan kualitas intelektual dan karakter anak. Karenanya, dalam segala jenjang pendidikan kegiatan intra-kurikuler selalu berimbang dengan kegiatan ekstrakurikuler. Artinya guru membawa dua peran sekaligus yakni sebagai pengajar dan pendidik. Dengan demikian revitalisasi UU No.14/2005 mutlak diperlukan. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya perlindungan hukum terhadap guru harus dimplentasi secara adil dan benar. Kekompakan dan sikap solidaritas guru untuk percepatan revitalisasi undang-undang tersebut sangat penting. Harus ada sebuah “reaksi” bersama terhadap beberapa kasus yang menimpa nasib sesama guru. Bukankah hukum itu diproduksi untuk kenyamanan dan ketertiban bersama?

Selain itu, ada beberapa langkah yang kiranya diperhatikan guru dalam menghadapi murid yang bersalah. Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan guru Bimbingan Konseling. Langkah ini sangat penting dan mendasar. Bila perlu, kalau ada orangtua yang tidak mengindahkan surat panggilan, maka siswa tersebut sebaiknya dikembalikan kepada orangtuanya untuk beberapa waktu agar dididik dan diarahkan. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, maka orangtua bersama pihak sekolah menandatangani surat di atas materai untuk mengalihkan tugas mendidik orangtua kepada pihak sekolah dengan mencantumkan beberapa butir kesepakan seperti seorang guru bisa memberikan hukuman dengan beberapa syarat seperti, hukuman tidak pada tempat yang vital, hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik, hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik. Ketiga, jika tidak ada perubahan maka sebagaimana sebuah rumah sakit akan menolak seorang pasien yang sakit parah dan dirujuk ke rumah sakit lain. Pihak sekolah dapat mengembalikan anak tersebut ke pihak orangtua untuk dicarikan “pengobatan” altenatif. Hal-hal teknis untuk langkah ini bisa berupa kriteria kenaikan kelas dan kelulusan jangan hanya soal nilai yang tertera di atas kertas tetapi juga mempertimbangkan sikap dan karakter anak. Dewan guru berhak memutuskan hal tersebut.
Share:

Dear Thilda

Sudah dua malam sekembali menghantarmu di tempat tugas, saya sendiri di rumah. Televisi itu menemaniku. Datang membawa beragam berita dan program acara. Kubiarkan tetap hidup, saat saya menyibukkan diri mencuci piring dan pakaian. Saya sudah mengisi kulkas dengan berbagai jenis makanan dan sayuran. Beberapa orang ibu di pasar mulai mengenalku. “Istri bapak di mana? Pak masih bujang ya? Aduh... kasihan. Kenapa tidak cari pembantu saja? Itulah sederet pertanyaan yang sudah terbiasa kudengar. Tersenyum saja, sudah cukup membuat mereka diam. Beberapa tahun sebelum bersamamu, saya selalu bangun pukul 08.00 pagi. Tetapi tidak untuk sekarang. Saya mulai menirumu. Bangun pukul 05.30 dan langsung duduk berdoa. Sayang, selama ini belum ada yang datang bertamu. Biskuit kongguan itu masih utuh. Mungkin ada yang berpikir, pak Gusty itu orangnya sibuk sehingga tidak datang bertamu. Atau, mereka sibuk ya? Sudahlah, nanti saya telphon beberapa teman dekatku dan mengundang mereka datang di rumah kita.
Dear Thilda ...
            Mengingat dirimu, membuat saya tersenyum sendiri. Kamu punya segudang cara untuk menghiburku. Kadang kamu membuat diri tanpak konyol hanya supaya saya bisa terpingkal-pingkal. Bagiku, kamu itu bukan hanya seorang istri tetapi juga adik perempuan dan sahabat sekaligus. Hmmm....teringat kembali hari bahagia kita beberapa bulan lalu. Bersumpah, untuk sehidup-semati di hadapan Tuhan dan umat-Nya. Rasanya seperti mimpi. Tapi, ini nyata. Kamu adalah jawaban atas doa-doa kecilku. Awal Desember 2015 kita bertemu dan memutuskan menikah menjelang paskah 2016. Empat bulan kita berpacaran saat kamu hadir dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Kamu adalah akhir pencarianku. Satu hal yang selalu membuatku bangga ketika kita mau mengakui bahwa kekurangmu akan menjadi kelebihanku dan kelebihanmu adalah kekuranganku.
Dear Thilda ...
Cincin nikah ini masih melingkar di jari manisku. Aku akan membawanya hingga maut datang menjemput. Ada namamu terukir di sana. Saat bersama ke sekolahmu beberapa hari lalu, anak-anak datang memberi salam. “Selamat pagi ibu guru”. Hatiku bergetar. Kamu adalah seorang istri dan guru. Rasa bangga dan haru padamu menjadi satu. Sayang, saya tahu tugas menjadi seorang guru itu tidak mudah. Kamu mengajar dan mendidik anak dari berbagai latar belakang kehidupan. Yah...Satu bulan lagi anak kita lahir. Kamu akan membagi waktu untuk mengajar dan mendidik anak kita dengan anak-anak didikmu di sekolah.
Dear Thilda ...

            Kupang dan Kefamenanu bukanlah sebuah jarak yang dekat. Waktu tempu empat jam setiap akhir pekan, bukanlah perkara mudah. Tapi, apakah itu yang membuatku mengeluh dan enggan mengunjungimu? Tidak. Saya akan terus menghitung jam dan hari untuk segera bertemu dengamu. Dalam sendiriku di sini, hanya ada satu nama. Dan itu adalah namamu. Aku akan tetap menunggu waktu itu tiba. Bersamamu di kota ini selamanya. Sesuai pesanmu, saya akan selalu menghindari makanan berminyak, minum air putih yang banyak dan mengkonsumsi buah-buahan. Jaga kesehatanmu dan bayi kita. Rinduku selalu untukmu ...
Share:

GERHANA DI MATAMU

Mobil traver Timor Oeste meluncur perlahan membelah bentara tanah Timor yang rata dan yang ditaburi bukit-bukit berpadang sabana. Dipinggir jalan selalu disirami wangi cendana yang harum semrbak. Perlahan-lahan matahari turun seakan hendak menciup kaki langit di ufuk barat, semantara remang senja merayap dan kurasa bagaikan tangan ajaib meraba kulitku dan tiba-tiba meremas hatiku. Alunan lagu Tetun-portu berdengung halus dan membuat aku terbuai untuk masuk ke alam mimpi sehingga tidak mengetahui kehadiran seseorang di sampingku. Lama aku tertidur sampai akhirnya aku tersadar ketika mobil mini itu di hadang oleh sebuah tikungan tajam dan membuat kepalaku menyentuh lembut bahu kanannya. Ketika mengangkat mata dan membuka mata, jantungku berdetak kencang oleh beragam perasaan yang menggerogoti hatiku. Untuk kedua kalinya aku menggosok kelopak mataku sampai aku sungguh yakin kalau yang berada di sampingku sungguh seorang anak manusia yang amat cantik dan manis. Dari sekian tempat yang kukunjungi, baru kali ini aku melihat gadis seperti bidadari yang turun dari khayangan. Kecantikannya seakan menjadi sempurna ketika kaca mata mungil berminus satu setengah bertengger di ats hidungnya yang mancung.
Namun ada seseuatu yang terpancar dari balik kaca bening itu, sayu dan hampa seakan menyimpan segudang duka, kecewa dan sakit hati yang amat dalam. Kuakui bahwa diriku seorang yang amat rileks dan dalam waktu sedetikpun aku dapat bergaul dengan seseorang meskipun belum kukenal sebelumnya. Tetapi kali ini aku sungguh tak mampu dan hampir menyerah untuk memperkenalkan diri padanya. Suasana dalam mobil itu sangat hening dan sesekali aku mendengar klaksosn mobil itu menyapa setiap tikungan yang dilewatinya. Aku berusaha untuk kembali memejamkan mata tetapi setiap kali aku mencobanya seketika itu juga muncullah niat untuk memandang matanya itu. Akhirnya dengan keberanian yang tersisa akau berani membuka percakapan dan di dahului dengan gesekan kaki dan batuk-batuk ringan sekadar menarik perhatiannya. “Hai...kamu hendak ke mana?” tanyaku sekenanya. Ia menatapku dengan tajam disertai raut wajah yang serius seperti mengganggu naga yang sedang tertidur pulas. “Apa urusanmu dengan aku? Ke mana aku pergi tidak terlalu penting buatmu. Atau mobil ini milik moyangmu sehingga harus mengetahui tujuanku?”. Demikian suaranya hadir dan membuat aku bingung dan cengar-cengir karena malu. Dengan pengetahuan yang ada aku berusaha tenang.
Keheningan kembali hadir dalam mobil itu, hingga kemudian ia melanjutkan lagi. “Mengapa kamu harus repot denganku? Apa kamu suadah tidak ada kerja lagi? Apa kamu berpikir kebebasan ini hanya milikmu?” Dengan sedikit membuang muka ia terus mengumpatku. “Semua laki-laki memnag sama, Tak berperasaan. Yang ada pada dirinya hamyalah keegoisan, kesombongan, keserakahan dan hatinya dibekukan oleh nafsu yang mengebu-ngebu”. Aku diam dan tenang tapi tetap menunjukkan sikap sebagai pendengar yang baik walau telingaku terasa panas seperti disiram arang api kusambi yang membara. Sekali lagi ia menatapku dan berkata “Mengapa engaku diam? Apaka engaku berpikir bahwa yang berbicra padamu hanyalah seorang perempuan dan boneka yang bisa dipermaikan kapan saja kamu mau?” Aku menarik nafas sejenak dan berusaha berbicara tanpa menamba luka yang ada di hatinya. “Hidup ini terasa singkat untuk memikirkan amarah, kebencian, kecewa dan dendam. Sebuah titik hitam tidak dapat mempengaruhi putihnya sebuah kertas. Dan bila orang membenci titik hitam itu dan berusaha menyangkalinya maka ia menyangkali kemanusiaannya sendiri. Aku hanya mau mengatakan kalau kamu jatuh pada generalisasi. Sejahat-jahatnya seseorang namun ia masih memiliki hati untuk mencinta sebab ia terlahir karena cinta dan setiap pribadi itu selalu unik dan berbeda”. Ia tunduk dan diam seakan tak punya kata-kata lagi sebab naluri perasaan kewanitaannya mengambil alih jalan pikirannya. Tak lama kemudia butiran bening meluncur dari kelopak matanya yang diiringi isak tangis yang membuat om sopir sesekali menoleh ke arah kami.
Aku menatapnya dan berusaha untuk tidak terbawa oleh perasaannya, kemudian melanjutkan lagi. “Setiap orang memiliki ziarah hidup. Memiliki pengalaman masa lalu yang pahit dan menyakitkan yang terbingkai dalam bentuk luka batin yang amat mendalam. Tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi termasuk suka batin itu sendiri. Semua itu akan berlalu asalkan kita membiarkan DIA yang adalah kekal dan Esa yakni Tuhan, untuk menjamah dan menyembuhkan kita dengan sikap penyerahan yang total pada penyelenggaraanNya dan dijadikanNya ziarah hidup kita sebagi Ziarah keselamatan”. Ia tetap tunduk kemudian membersihkan bola matanya dan mengangkat kepala serta mentapku denga tatapan mata yang berbinar-binar penuh ketenagan, kepuasan dan kedamaian. “Maaf yah? kalau aku harus melempiaskan kekecewaan dan sakit hatiku pada kamu. Aku sungguh merasa kepedihan yang amat dalam karena dikecewakan oleh orang yang sudah kurasa dekat dan amat mengerti aku dan kehidupanku. Dia adalah Willy, kekasih yang paling kucintai. Tatapi entah kenapa ia memutuskan hubungan yang terjalin selam lima tahun secara sepihak tanpa meberi alasan yang jelas padaku. Namun kini aku sadar, kalau aku telah membuat hidup ini menjadi sulit dan menyakitkan. Terima kasih yah....karena engaku telah menyadarkan aku”. ujarnya penuh keterbukaan.
Kini untuk prtama kalinya ia mempersembahkan padaku sebuah senyuman indah dan menakjubkan. “Oh yah.....namaku Echik. Mahasisiwi semester VI di Stikes Wirahusada, Yogyakarta. Untuk sementara aku kembali ke rumah oleh bencana yang mengguncang Yogya sebeminggu yang lalu”. Aku menyambut uluran tangannya dengan penuh persahabatan. “Aku Anis, sang pemburu berita”.
Ia kembali tersenyum dan makin akrab denganku sambil mensheringkan pengalaman-pengalaman terindah yang pernah kami alami. Ia semakin tenang dan rileks. Sebuah pojok di jantung kota Karang Kupang seakan menghadang mobil yang berukuran dua kali lima meter itu. Ia berdiri dan meraup tasnya sambil menatapku. Begitu dalam dan penuh arti. Ia menyodorkan sebuah kartu nama dan alamatnya padaku. “Aku bahagia bila selalu berada di sampingmu”. katanya lembut. Kemudian ia turun dan menyelusup masuk ke halaman rumah yang berlantai dua itu. Mobil mini itupun kembali meluncur setelah aku sempat membalas lambaian tangannya.
Share: