Tanggal 5-9 Maret 1990 di
Jomtien-Thailand, 115 negara dan 150 organisasi bertemu dan menggelar
Konferensi Dunia membahas Education for All (EFA) atau Pendidikan Untuk
Semua (PUS). Koalisi besar berkolaborasi datang pemerintah nasional, masyarakat
sipil, kelompok pemerhati pendidikan maupun lembaga pembangunan seperti UNESCO
dan Bank Dunia. Semuaya berkomitmen meningkatkan semua aspek kualitas
pendidikan dan menjamin keunggulan semua.
Moment Hardiknas 2 Mei
2016, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Anies Baswedan
mencoba menawarkan konsep PUS tersebut kepada masyarakat Indonesia. Menurutnya,
pemerintah tidak bisa sendirian dalam menuntaskan masalah pendidikan. Dalam
seluruh kebijakan pembangunan
pendidikan, pemerintah atau birokrasi harus terbuka untuk belajar dari masyarakat.
Kementrian pendidikan dan Kebudayaan, memilih untuk merayakan kebangkitan
pendidikan Indonesia dengan semua pihak. Banyak sekali kelompok masyarakat yang
sudah dan sementara berkreasi memajukan pendidikan. Tidaklah berlebihan jika birokrasi
belajar dari masyarakat. (Kompas, edisi 30 Mei 2016)
Konsep
PUS di NTT Masih “Abu-Abu”
Dari tahun ke
tahun, masyarakat NTT selalu mengelus dada menahan malu. Hasil kelulusan Ujian
Nasional (UN) tahun 2016 jenjang SMP/MTs berada pada urutan 31 dari 34 provinsi
dan jenjang SMA/MA berada pada urutan 34 dan jenjang SMK pada urutan 26. Kualitas pendidkan NTT masuk dalam kategori
“Zona Merah”. Dosa siapakah ini? Siapa yang pantas menjadi ”kambing hitam”.
Apakah pemerintah pusat yang hanya menganggarkan dana hanya 1,56 persen atau
setara dengan Rp 36.700 per-siswa untuk setiap tahunnya? Apalah artinya Rp.
36.700 untuk sebuah kualitas pendidikan. Untuk membeli tas sekolah saja tidak
cukup.
Ataukah
dosa pemerintah Provinsi NTT yang seolah “memandang sebelah mata” pembangunan
pendidikan NTT? Bagaimanakah kelanjutan program revitalisasi Gong Belajar? Apakah
ini hanya sebatas sebuah seruan moral? Konsep revitalisasi Gong Belajar dalam
bentuk pemusatan jam belajar peserta didik seyogianya
harus dipertegas sesuai konteks lingkungan sekolahnya. Selain itu,
memaksimalkan peran guru melalui Kelompok Kerja Guru (KKG), MGMP, Kelompok Kerja
Kepala Sekolah (K3S), dan pengembangan model pembelajaran aktif, inovatif,
kreatif, efektif dan menyenangkan (PAIKEM) di sekolah dan mengelola sekolah
dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS) tidak boleh
sebatas seruan. Harus ada regulasi yang diikuti dengan sangsi yang jelas.
Ataukah dosa para guru? Hasil Ujian
Kompetensi Guru (UKG) yang berlangsung secara nasional, banyak guru termasuk para guru di Provinsi NTT memiliki
peringkat di bawah rata-rata nasional. Bagaimana bisa keluar dari zona merah
kalau gurunya saja tidak berkualitas? Ataukah ini dosa orangtua dan masyarakat?
Apakah tugas mendidik anak yang seharusnya menjadi tugas orangtua dilimpahkan
kepada guru? Bagaimana mungkin orangtua serta-merta mem-polisikan guru yang
sedang menjalankan tugasnya untuk mendidik anak? Hmm...Teruslah
mencari “kambing hitam” dan kita tetap berada pada posisi “Zona Merah”.
Saya menilai, pemerintah, sekolah,
komite dan masyarakat masih berjuang dan bekerja sendiri. Belum ada kolaborasi
yang jelas dan tegas. Dinas P dan K Provinsi dan dinas PPO Kabupaten/Kota
jarang mengadakan rapat koordinasi kecuali waktu menjelang UN. Tidak heran jika
revitalisai program Gong Belajar tidak sampai ke tingkat satuan pendidikan.
Selain itu, pihak sekolah dan komite jarang berjalan bersama. Dari hasil
investigasi Cakrawala, masih ada sebagian pihak sekolah belum melihat komite
sebagai mitra. Pihak komite dibutuhkan jika ada hal yang berhubungan dengan
uang. Ini adalah cerita kita sekaligus derita kita. Konsep PUS di NTT masih
‘abu-abu”.
Mengakarkan
Konsep PUS, Wujudkan Program Literasi Masuk Sekolah
Kementerian Pendidikan dan Kebuadayaan
(Kemendikbud), melalui Dijen Guru Tenaga Kependidikan (GTK) memberi contoh
bagaimana mengakarkan PUS di NTT. Para kepala bidang TK-Paud, SD-SMP dan
SMA/SMK dari seluruh dinas PPO Kabupaten/Kota se-NTT. Para kepala bindang ini
diajak untuk berkreasi dan berkolaborasi untuk mendapatkan para guru hebat.
Guru profesional, kreatif dan inovatif. Tutor sebaya dalam lingkungan para guru
wajib diterapkan melalui program Guru Pembelajar. Konkritnya, guru mendampingi
guru. Oleh karenanya, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten berkolaborasi
wujudkan mimpi yang sama yakni menigkatkan mutu-kualitas pendidikan di NTT.
Lalu bagaimanakah mengakarkan PUS
dalam konteks gerakan literasi masuk sekolah? “Roh” kurikulum 2013
mengamanatkan guru sebagai fasilitator. Guru harus berperan memberikan
pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. (Bdk,
Wina Senjaya (2008). Dengan demikian, banyak ilmu pengetahuan diperoleh dari
kebiasaan membaca. Ketrampialan dan
ketajaman daya analisis seseorang tercermin dari keseringan membaca. Karena
itu, salah satu upaya meningkatkan mutu-pendidikan NTT sekaligus membawanya
keluar dari zona merah, gerakan literasi masuk sekolah mutlak diperlukan.
Media Pendidikan Cakrawala NTT sebagai
sebuah lembaga independen dan salah satu kelompok masyarakat peduli pendidikan NTT
telah berpikirr, bekerja dan berjuang berkolaborasi, wujudkan gerakan literasi
masuk sekolah. Media yang bernaung di bawah Lembaga Cakrawala NTT ini telah
memiliki lima divisi yakni divisi informasi, formasi, penyiaran, jurnal dan
website. Dari divisi informasi, kami mencetak majalah pendidikan yang terbit dua
minggu. Saat ini, setiap edisinya, mencetak ribuan eksemplar yang berisi berita
pendidikan, tulisan para guru dan siswa/i se-NTT. Puji Tuhan, dari divisi ini
telah membantu sekian banyak guru dan memperoleh SK kenaikan pangkat. Selain
itu, dari divisi formasi kami membantu sekian banyak guru, para mahasiswa dan
siswa/i menulis. Materi pelatihan berupa penulisan karya ilmiah (Tulisan ilmiah
populer & PTK) serta jurnalistik dan sastra. Hingga kini tercatat 102
sekolah binaan media ini yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota se-Provinsi
NTT. Demikian halnya dari divisi jurnal, website
(www.cakrawalantt.com) dan penyiaran. Khusus untuk divisi penyiaran, kami
bekerjasama dengan Lembaga Penyiaran Publik RRI Kupang. Program acara “Bedah
Editorial Media Pendidikan Cakrawala NTT” mau mengajak seluruh kompenen
masyarakat untuk berpikir dan berbuat sesuatu demi meningkatkan mutu pendidikan
di NTT.
Media Pendidikan Cakrawala NTT telah
bekerjasama dengan pihak sekolah, universitas, lembaga keuangan seperti
koperasi dan pihak pemerintah baik pemerintah provinsi maupun kabupaten kota. Artinya
kami sudah bekerja. Namun pengalaman pahit mengajarkan kami banyak hal.
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta dinas terkait, belum semuannya
menyadari tentang pentingnya kolaborasi program pembangunan pendidikan
khususnya dalam hubungan gerakan literasi masuk sekolah. Gerakan kami adalah
sunyi. Jawaban yang sama dan membosankan muncul saat “Mengemis” kerjasama. “Tidak
ada anggaran” atau “anggaran tidak cukup”. Bahkan ada yang spontan menjawab
“Kami belum berpikir soal itu. Literasi itu apa?” Apakah benar tidak tahu soal
literasi, Tidak ada anggaran atau kalaupun ada, tetapi bentuknya bagaimana?
Kami tidak tahu.
Sederetan
Rekomendasi Sebagai Solusi
Membangun
pendidikan adalah tugas semua komponen masyarakat. Pemerintah, sekolah, komite
dan masyarakat umum harus berpikir dan ber-aksi memajukan dunia pendidkan NTT.
Mencari “kambing hitam” adalah pekerjaan seorang “dungu”. Kreatifitas dalam
sebuah kolaborasi yang matang adalah adalah solusi cerdas dan bijaksana.
Pendidikan jangan pernah dijadikan sebagai kendaraan politik yang hanya berusia
lima tahunan. Tentang bagaimana kualitas manusia NTT lima puluh tahun dari
sekarang ditentukan oleh kebijakan seorang Gubernur, DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota, Bupati/Walikota, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NTT, Kepala Dinas
PPO kabupaten/kota, kepala LPMP yang sedang berada di tampuk pimpinan saat ini.
Berkacalah dari pesan Menteri Anies
Baswedan dimana pemerintah tidak bisa sendirian dalam menuntaskan masalah
pendidikan. Dalam seluruh kebijakan
pembangunan pendidikan, pemerintah atau birokrasi harus terbuka untuk
belajar dari masyarakat.
Dalam konteks mengakarkan PUS demi
wujudkan program literasi masuk sekolah, saya menyarankan beberapa hal :
Pertama,
Gubernur harus mengelurkan Pergub soal wajib baca satu jam setiap hari atau dua
jam dalam seminggu di lembaga pendidikan. Para guru dan siswa/i wajib membaca.
Oleh karena itu, sebagai urutannya, dinas P dan K provinsi dan dinas PPO
kabupaten/kota menghimbau bahkan mewajibkan pihak sekolah berlangganan dengan
majalah pendidikan sebagai mitra promosi atau sosilaisasi berbagai program
pemerintah dan sekolah. Selain itu, mendorong para guru untuk meningkatkan
profesionalismenya dengan kegiatan pelatihan penulisan karya ilmiah.
Kedua,
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan NTT berkoordinasi dengan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk mengangkat seorang Duta Literasi NTT.
Bersama pemerintah, beliau mengkampanyekan literasi dalam beragam bentuk
kegiatan seperti seminar, pelatihan menulis dan sebagainya. Mutu pendidikan
harus ditingkatkan dalam bentuk kerjasama dan kolaborasi yang memiliki arah dan
tujuan yang sama. Anak NTT butuh orang-orang yang mampu memberi motivasi dan
dorongan untuk terus melangkah maju menuju generasi melek literasi.
Ketiga,
Pihak sekolah dan komite mendorong kesadaran anak untuk mencintai almamater
dengan menyumbangkan satu judul buku di setiap tahun ajaran baru. Buku-buku
tersebut disumbangkan ke pepustakaan sekolah. Dengan demikian, sumber bacaan
atau refrensi menulis semakin banyak di perpustakaan sekolah. (*)