Sudah dua malam sekembali
menghantarmu di tempat tugas, saya sendiri di rumah. Televisi itu menemaniku.
Datang membawa beragam berita dan program acara. Kubiarkan tetap hidup, saat
saya menyibukkan diri mencuci piring dan pakaian. Saya sudah mengisi kulkas
dengan berbagai jenis makanan dan sayuran. Beberapa orang ibu di pasar mulai
mengenalku. “Istri bapak di mana? Pak masih bujang ya? Aduh... kasihan. Kenapa
tidak cari pembantu saja? Itulah sederet pertanyaan yang sudah terbiasa kudengar.
Tersenyum saja, sudah cukup membuat mereka diam. Beberapa tahun sebelum
bersamamu, saya selalu bangun pukul 08.00 pagi. Tetapi tidak untuk sekarang.
Saya mulai menirumu. Bangun pukul 05.30 dan langsung duduk berdoa. Sayang,
selama ini belum ada yang datang bertamu. Biskuit kongguan itu masih utuh.
Mungkin ada yang berpikir, pak Gusty itu orangnya sibuk sehingga tidak datang
bertamu. Atau, mereka sibuk ya? Sudahlah, nanti saya telphon beberapa teman
dekatku dan mengundang mereka datang di rumah kita.
Dear
Thilda ...
Mengingat dirimu, membuat saya
tersenyum sendiri. Kamu punya segudang cara untuk menghiburku. Kadang kamu
membuat diri tanpak konyol hanya supaya saya bisa terpingkal-pingkal. Bagiku,
kamu itu bukan hanya seorang istri tetapi juga adik perempuan dan sahabat
sekaligus. Hmmm....teringat kembali hari bahagia kita beberapa bulan lalu.
Bersumpah, untuk sehidup-semati di hadapan Tuhan dan umat-Nya. Rasanya seperti
mimpi. Tapi, ini nyata. Kamu adalah jawaban atas doa-doa kecilku. Awal Desember
2015 kita bertemu dan memutuskan menikah menjelang paskah 2016. Empat bulan
kita berpacaran saat kamu hadir dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Kamu
adalah akhir pencarianku. Satu hal yang selalu membuatku bangga ketika kita mau
mengakui bahwa kekurangmu akan menjadi kelebihanku dan kelebihanmu adalah
kekuranganku.
Dear
Thilda ...
Cincin nikah ini masih melingkar di jari manisku.
Aku akan membawanya hingga maut datang menjemput. Ada namamu terukir di sana. Saat
bersama ke sekolahmu beberapa hari lalu, anak-anak datang memberi salam.
“Selamat pagi ibu guru”. Hatiku bergetar. Kamu adalah seorang istri dan guru.
Rasa bangga dan haru padamu menjadi satu. Sayang, saya tahu tugas menjadi
seorang guru itu tidak mudah. Kamu mengajar dan mendidik anak dari berbagai latar
belakang kehidupan. Yah...Satu bulan lagi anak kita lahir. Kamu akan membagi
waktu untuk mengajar dan mendidik anak kita dengan anak-anak didikmu di
sekolah.
Dear
Thilda ...
Kupang dan Kefamenanu bukanlah
sebuah jarak yang dekat. Waktu tempu empat jam setiap akhir pekan, bukanlah
perkara mudah. Tapi, apakah itu yang membuatku mengeluh dan enggan
mengunjungimu? Tidak. Saya akan terus menghitung jam dan hari untuk segera
bertemu dengamu. Dalam sendiriku di sini, hanya ada satu nama. Dan itu adalah
namamu. Aku akan tetap menunggu waktu itu tiba. Bersamamu di kota ini
selamanya. Sesuai pesanmu, saya akan selalu menghindari makanan berminyak,
minum air putih yang banyak dan mengkonsumsi buah-buahan. Jaga kesehatanmu dan
bayi kita. Rinduku selalu untukmu ...
0 comments:
Post a Comment