Friday 22 July 2016

Dear Thilda

Sudah dua malam sekembali menghantarmu di tempat tugas, saya sendiri di rumah. Televisi itu menemaniku. Datang membawa beragam berita dan program acara. Kubiarkan tetap hidup, saat saya menyibukkan diri mencuci piring dan pakaian. Saya sudah mengisi kulkas dengan berbagai jenis makanan dan sayuran. Beberapa orang ibu di pasar mulai mengenalku. “Istri bapak di mana? Pak masih bujang ya? Aduh... kasihan. Kenapa tidak cari pembantu saja? Itulah sederet pertanyaan yang sudah terbiasa kudengar. Tersenyum saja, sudah cukup membuat mereka diam. Beberapa tahun sebelum bersamamu, saya selalu bangun pukul 08.00 pagi. Tetapi tidak untuk sekarang. Saya mulai menirumu. Bangun pukul 05.30 dan langsung duduk berdoa. Sayang, selama ini belum ada yang datang bertamu. Biskuit kongguan itu masih utuh. Mungkin ada yang berpikir, pak Gusty itu orangnya sibuk sehingga tidak datang bertamu. Atau, mereka sibuk ya? Sudahlah, nanti saya telphon beberapa teman dekatku dan mengundang mereka datang di rumah kita.
Dear Thilda ...
            Mengingat dirimu, membuat saya tersenyum sendiri. Kamu punya segudang cara untuk menghiburku. Kadang kamu membuat diri tanpak konyol hanya supaya saya bisa terpingkal-pingkal. Bagiku, kamu itu bukan hanya seorang istri tetapi juga adik perempuan dan sahabat sekaligus. Hmmm....teringat kembali hari bahagia kita beberapa bulan lalu. Bersumpah, untuk sehidup-semati di hadapan Tuhan dan umat-Nya. Rasanya seperti mimpi. Tapi, ini nyata. Kamu adalah jawaban atas doa-doa kecilku. Awal Desember 2015 kita bertemu dan memutuskan menikah menjelang paskah 2016. Empat bulan kita berpacaran saat kamu hadir dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Kamu adalah akhir pencarianku. Satu hal yang selalu membuatku bangga ketika kita mau mengakui bahwa kekurangmu akan menjadi kelebihanku dan kelebihanmu adalah kekuranganku.
Dear Thilda ...
Cincin nikah ini masih melingkar di jari manisku. Aku akan membawanya hingga maut datang menjemput. Ada namamu terukir di sana. Saat bersama ke sekolahmu beberapa hari lalu, anak-anak datang memberi salam. “Selamat pagi ibu guru”. Hatiku bergetar. Kamu adalah seorang istri dan guru. Rasa bangga dan haru padamu menjadi satu. Sayang, saya tahu tugas menjadi seorang guru itu tidak mudah. Kamu mengajar dan mendidik anak dari berbagai latar belakang kehidupan. Yah...Satu bulan lagi anak kita lahir. Kamu akan membagi waktu untuk mengajar dan mendidik anak kita dengan anak-anak didikmu di sekolah.
Dear Thilda ...

            Kupang dan Kefamenanu bukanlah sebuah jarak yang dekat. Waktu tempu empat jam setiap akhir pekan, bukanlah perkara mudah. Tapi, apakah itu yang membuatku mengeluh dan enggan mengunjungimu? Tidak. Saya akan terus menghitung jam dan hari untuk segera bertemu dengamu. Dalam sendiriku di sini, hanya ada satu nama. Dan itu adalah namamu. Aku akan tetap menunggu waktu itu tiba. Bersamamu di kota ini selamanya. Sesuai pesanmu, saya akan selalu menghindari makanan berminyak, minum air putih yang banyak dan mengkonsumsi buah-buahan. Jaga kesehatanmu dan bayi kita. Rinduku selalu untukmu ...
Share:

0 comments:

Post a Comment