Tuesday, 21 March 2017

CAKRAWALA DI PUNCAK MUTIS

Prolog
Masih ingat Cerita tentang “Cakrawala Di Muara Benenain? Silahkan tengok di MPC-NTT, Tahun III/Edisi 63/Vol.1/Desember-2016. Gunung Mutis, tersebut di dalamnya. Cerita sungai Benenain, akan hambar tanpa kehadiran gunung Mutis. Gunung tertinggi di Pulau Timor setelah gunung Lakaan. Sang penyair muda, Robert Fahik memuat hikayat tua dalam novelnya “Seperti Benenain Cintaku Terus Mengalir Untukmu” tentang cerita cinta berakhir sedih antara Raja Mutis dan gadis Malaka. Benenai terbentuk oleh air mata seorang raja dari gunung Mutis; gunung tertinggi di pulau Timor bagian Barat. Sang raja begitu mencintai seorang gadis Malaka. Namun suatu ketika keduanya harus berpisah. Sang raja yang kembali ke Mutis mengungkapkan kerinduannya kepada sang kekasih dengan menangis. Air mata sang saja itulah yang kemudian membentuk aliran sungai Benenai. 
“Walaupun jauh, perlahan-lahan air mataku ini akan sampai ke sana (Malaka),” kata sang raja, yang dalam bahasa Tetun diungkapkan seperti ini: “Kdok mos so’in. Be nai-naik to’o dei.” Kata “be nai-naik” (tapi perlahan-lahan) dalam perkembangannya mengalami perubahan menjadi “Benenai”, nama untuk sungai ini. (Hal ...)  ”
            Perjalanan menuju SMAN Mutis, tepatnya di Desa Naikake, Kecamatan Mutis A-Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) ditempuh dalam jumlah jam yang sulit ditebak. Tahu kenapa? Ruas jalannya sangat sempit, curam, licin-berlumpur. Luka, air mata dan darah mewarnai seluruh cerita perjalanan ke tempat ini. Sangat sulit dibayangkan jika ini adalah ruas jalan menuju istana tua bernama Mutis. Sungai Aplal terus mengalir dan cenderung banjir. Tidak ada jembatan penyemberangan. Puluhan nyawa hanyut begitu saja. Mereka adalah tumbal minimnya perhatian negara di tapal batas NKRI. 
           
Di Tepi Sungai Aplal
Tim Cakrawala membasuh raga yang letih dan berlumpur di sungai Aplal pukul 03.00 dini hari. Gelap dan dingin. Gervas Salu, formator Cakrawala wilayah TTU terus memberi semangat. Kalimat “dekat sa, sonde jauh” diucapkannya sejak pukul 10.00 siang tadi saat beranjak dari Kota Sari-Kefamenanu. Inilah Indonesia. Merah-Putih yang selalu kubanggakan. Hp oppo-ku bersiul. Kepala sekolah SMAN Mutis, Yohanas Donbosko Naif, S.Fil mengirim pesan. “Pak Gusty, saya mendapat kabar kalau tim Cakrawala sudah tiba di sungai Aplal. Sudah sepuluh menit yang lalu, beberapa orang guru dan siswa pergi menjemput. Maaf. Harus mendaki lagi untuk belasan kilometer menuju SMAN Mutis. Kami tetap setia menunggu di sini. Salam.”
 Memang benar. Dari kejauhan di puncak sana, beberapa titik cahaya lampu kendaraan roda dua terus mendekat. Jemputan akan segera datang. Sepuluh menit yang lalu saya terpaksa meminum air sungai ini karena kehausan. Hp oppo-ku bersiul lagi. Membacanya, hatiku bergetar. “Benar bahwa ada hikayat tua tentang adanya kerajaan di gunung Mutis ini. Tetapi itu adalah sebuah hikayat yang terlampau tua hingga jauh dari kebenaran. Pak Gusty, gunung Mutis hanyalah sebuah nama dari sebuah kata “tertinggal dan terpencil”. Jika ada guru yang datang bertugas di salah satu sekolah di tempat ini maka sudah pasti ia dilabeli sebagai guru buangan karena bermasalah. Kami ingin tetap di sini. Di tempat inilah kami lahir dan dibesarkan. Kami tetap mencintai tanah ini. Tetap setia menjaga tapal batas NKRI. Selamat datang tim cakrawala, penggerak literasi NTT di puncak Mutis.”
NTT butuh lebih banyak kepala sekolah visioner. Yohanas Donbosko Naif, S.Fil adalah satunya. Ia mengedepankan pelayanan dan profesionalisme. Mengutamakan kebutuhan peserta didik dan rekan guru. Bukan guru penunggu tunjangan dan sertifikasi. NTT juga butuh banyak guru yang layak untuk digugu dan ditiru. Bukan guru berpikiran politik praktis dan prakmatis sehingga cenderung menjadi “penjilat”. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat (STFK) Ledalero-Maumere ini sangat berharap dan “memaksa” Cakrawala NTT ke Mutis. Itu bukan karena kami dari rahim almamater yang sama. Tetapi cakrawala berpikir, spiritualitas dan mimpi kami sama. Memberi diri seutuhnya untuk generasi emas NTT 2050.
 “Pak Gusty ... para guru dan siswa/i SMAN Mutis merindukan kehadiran cakrawala. Cerita cakrawala di muara Benenain telah sampai di Mutis. Tidak ada jawaban tepat “tuk mengobati kerinduan itu, selain kehadiranmu sendiri. Tentang kehadiranmu telah kami jadwalkan di tanggal 19 Desember 2016. Kami ingin merayakan HUT Provinsi NTT tahun ini bersamamu di “kerajaan” Mutis,” ujar Donbosko sambil terkekeh.
Harapan dan kerinduan ini adalah sebuah kebanggaan bagi keluarga besar cakrawala. Artinya, kehadiran cakrawala tidak untuk disegani apalagi ditakuti tetapi justru sangat dirindukan. Bagi kami, ini sebuah prestasi. Namun, tanpa bermaksud angkuh, menetapkan jadwal tanpa sebuah proses konsultasi adalah sebuah kesalahan. Perjalanan tim formasi cakrawala terencana dan terjadwal. Hmm...belum lagi banyak yang memberi kesaksian kondisi jalan menuju tempat ini.
Mengapa tim cakrawala akhirnya memutuskan menuju Mutis? Ini sebuah pertanyaan abadi. Hingga kini saya sulit menjelaskannya. Ada sebuah getaran hati terdalam. Memaksaku untuk mengatur kembali jadwal yang sudah terencana. Terpaksa jadwal pendampingan menulis untuk beberapa sekolah di Alor dan Flores ditunda ke bulan Januari 2017. Hanya untuk mendapat kesempatan menuju SMAN Mutis. Yah...dalam konteks cerita hikayat tua itu, mungkin “gadis Malaka” telah bercerita banyak tentang hadirnya cakrawala dan segala yang diperbuatnya di muara Benenain kepada sang “raja Mutis”. Adakah getaran hati terdalam itu pratanda sang “raja Mutis” bertitah agar cakrawala segera mengunjungi wilayahnya? Saya tidak tahu.

Cakrawala Di Puncak Mutis
            Kosmas Taninaf, guru komite SMPN Mutis memboncengiku. Menerjang arus sungai Aplal dan membawaku menuju SMAN Mutis. Jalan bertanjakan tajam, lumpur, licin dan berlubang dalam puluhan kilometer. Sok motornya telah lama tidak berfungsi. Ia lahir dan besar dari wilayah ini. Sepanjang perjalanan, Kosmas lebih banyak ber-“curhat”. Cerita berawal dari situasi dan kondisi jalan menuju tanah kelahirannya hingga nasibnya sebagai guru komite yang jauh dari perhatian pemerintah.
“Setiap tahun, selalu ada yang datang mengukur jalan ini. Orang yang berbeda dan jenis seragam berbeda membuat cat dipakai sebagai tanda pengukur jalan juga berbeda. Kami selalu antusias menyambut walau kami tahu itu hanyalah sandiwara. He....e...tentunya mereka beda dengan tim cakrawala yang kami sambut sekarang ini. Prinsip kami sekarang, biarlah kami tetap begini asal anak-cucu kami dibukakan cakrawala berpikirnya. Mereka harus sekolah. Ketrampilan menulis adalah salah satu cara agar nantinya mereka bercerita kepada dunia tentang kami dan daerah perbatasan ini. Di sini, di kampung ini ada kehidupan dan harapan. Sesungguhnya kami menunggu kehadiran Bapak sebulan yang lalu ketika Bapak Kepala Sekolah menginformasikan terkait kehadiran tim cakrawala di sini. Kami sangat bangga,”  ujar Kosmas sambil meliuk-liukkan sepeda motornya. Sesekali saya harus turun dan berjalan kaki jika ada tanjakan yang licin-berkumpur. Lalu bagaimanakah nasibnya sebagai guru komite? Ia hanya ingin mengabdi. Tanggungjawab moralnya jauh lebih tinggi dari hitungan rupiah.  “Kami lahir dan besar di sini. Ini tanah kami. Apapun bentuknya, kami berjuang agar Mutis dikenal, diperhatikan dan maju dalam berbagai bidang kehidupan. Termasuk pendidikan.” tandas Kos penuh haru. Untuk beberapa saat kami terdiam. Tanpa kata dan suara. Akhirnya Tim cakrawala tiba di puncak Mutis.
Bimtek Penulisan Karya Ilmiah, Upaya Peningkatan Mutu Guru Perbatasan. Itulah tema kegiatan ini. Sebuah kegiatan pendidikan yang profesional dan bermartabat. Puluhan guru dan siswa/i pilihan, hadir penuh antusias. Cakrawala bersinar terang. Awan hitam yang menyelimuti puncak Mutis pergi begitu saja. Tersisa hanyalah hembusan angin pegunungan yang sejuk penuh manja. Tidak ada suara. Hanya mata dan telinga tertuju saat saya selaku Pimpinan Umum Media Pendidikan Cakrawala NTT berbicara. Mereka seperti gelas kosong yang siap untuk diisi. Sebuah ketulusan dan keterbukaan hati yang patut dicontohi. Bagi mereka ilmu itu mahal. Orang-orang yang berjauhan datang untuk membagi ilmu adalah orang-orang kepunyaan Tuhan. Pada titik ini, saya terharus dan menitikkan air mata.
Seorang guru senior yang dalam dua tahun lagi pensiun angkat bicara. Dia adalah Emanuel Obe. Guru agama Katolik SMAN Mutis. “Mengapa cakrawala datang terlambat? Ke manakah cakrawala selama ini? Sekiranya dari dulu cakrawala datang dan mendampingi kami, tidak mungkin saya nanti pensiun di golongan rendah. Saya memang belum bisa menulis tetapi saya mau belajar. Tetapi siapakah yang mau mendampingi, menghargai dan mempublikasi karya tulis kami? Tapi...tidak apa-apa. Banyak teman-teman guru saya yang masih muda. Saya sangat yakin, ketika mereka trampil menulis, niscaya siswa/i kami pasti trampil menulis. Pak Gusty, jangan tinggalkan kami lagi. Datanglah lagi ke sini. Lihat, betapa siswa/i kami sangat merindukanmu.” ujar Emanuel. Selain itu, seorang Rofinus Elu, Kepsek SDK noelelo, Naikake B kembali berharap. Cakrawala NTT, jangan hanya hadir di SMA. Para guru dari belasan Sekolah Dasar (SD) yang ada di wilayah Mutis ini sangat mengharapkan pendampingan cakrawala NTT. Kami berharap, di awal tahun 2017 kita bertemu lagi. Kami sangat butuh. 

Epilog
            Air mata sang “raja Mutis” mengalir sudah. Bukan air mata dalam bentuk sungai seperti digambarkan dalam hikayat tua itu. Jika sang raja merubah air matanya dalam bentuk aliran air sungai yang masa dahsyat, mungkin tidak untukku dan tim formasi cakrawala. Air mata ini tulus. Bukan air mata para buaya. Air mata haru sekaligus segumpal komitmen. Bersinergi membangun pendidikan NTT dengan berbagai pihak. Kiranya rintihan hati para guru dan generasi muda NTT di tapal batas NKRI-Mutis, didengar dan ditindaklanjuti pemerintah pusat dan daerah.
Aku ingin kembali ke Mutis, sebagaimana aku ingin kembali ke Kananggar-Sumba Timur, Adonara Timur-Flotim, Keo Tengah-Nagekeo dan seluruh sekolah binaan cakrawala NTT se-Nusa Tenggara Timur. Air mata tertumpah sudah. Air mati ini akan menghapus stigmatisasi NTT sebagai negeri miskin dan bodoh. Menghapus kenyataan, NTT sebagai gudang TKI yang bermodal otot. Mari, bersinergi membangun pendidikan, menuju NTT yang hebat dan Indonesia yang jaya. Salam Cakrawala.


Share: