Thursday, 29 December 2016

Cakrawala di Muara Benenain

Prolog. 
Mengalir saja. Tanpa hambatan, tanpa paksaaan. Itulah sungai Benenain. Sungai ini mengalir di sepanjang jarak 135 kilometer. Tentunya jauh lebih panjang dari Sungai Noelmina yang hanya 97 kilometer. Walau kedua sungai ini terdapat di pulau Timor, namun sungai Benenain jauh lebih dikenal dari sungai Noelmina. Tahu kenapa? Mungkin bukan soal panjang alirannya tetapi cerita tragis di dalam pusaran aliran itu. Sudah beratus nyawa menghilang di sekitar muara Benenain. Cerita banjir dengan segala kerugian di dalamnya adalah cerita klasik yang hampir dirasa biasa dan biasa-biasa saja. Masyarakat di sekitar muara sungai Benenain terlihat betah dan “enjoy”. Tidak heran penyair muda Malaka, Robert Fahik mengekalkan sunggai Benenain dalam novel beraroma tragis sekaligus penuh romantis. “Seperti Benenain, Cintaku Terus Mengalir Untukmu”. Aliran sungai yang terhitung ganas itu, kenudian dilihat dalam aliran cinta. Ah... nanti akan kuceritakan makna terdalam dari novel ini. Kali ini tentang Cakrawala di muara Benenain.
Tentang sungai Benenain selalu mendulang cerita harapan sekaligus keputusasaan. Yah, mungkin bisa dilukiskan dalam fondasi pemikiran masyarakat China. Alam semesta ini digolongkan menjadi dua yaitu baik dan buruk. Baik mencerminkan sifat Yang dan buruk mencerminkan sifat Yin seperti diungkap dalam kitab klasik Taoisme (Tao te Ching) sebagaimana dikutip oleh McCreery (dalam Scupin, 2000:289).
Lalu bagaimanakah kosmologi Cina ini, dipadukan dalam cerita Benenain? Benenain di musim kemarau, pasti bercerita tentang tumpukan ribuan kubik pasir yang bisa diambil begitu saja dan dijual dengan harga yang sangat menguntungkan. Di sisi lain, ada bagian cerita walaupun tidak mewakili semua, tentang kekeringan yang meresahkan dan berdampak pada gagal panen. Bagaimana bisa dibayangkan, kekeringan justru terjadi di muara sungai besar seperti Benenain?  Lain cerita di musih hujan. Setiap menit, ribuan pasang mata terarah ke gunung Mutis. Jika ada tumpukan awan gelap kehitaman di sana, maka tak lama lagi sebuah banjir badang segera datang. Batu, kayu, rumput dan lumpur, pasti dibawa serta. Setiap orang dituntut untuk berjaga-jaga. Minimal bisa menyelamatkan diri atau keluarganya. Saat banjir datang dan berlalu, ratapan akan kehilangan keluarga atau harta adalah suasana pilu yang menyayat hati. Sementara itu, dari kampung tetangga terdengar cerita tentang hasil perkebunan yang berlimpah. Beragam jenis buah-buahan segar dari daerah sekitar Benanai, dirasakan oleh masyarakat hampir seluruh daratan pulau Timor bahkan hingga ke pulau Flores dan Alor. Mungkin ini pula yang menjadi alasan mengapa, masyarakat setempat sulit untuk meninggalkan daerahnya. Mereka ingin tetap berada di tanah leluhurnya.  Gemuruh banjir yang ganas dan menakutkan, terasa biasa dan biasa-biasa saja.
Kota Betun, yang berjarak tak jauh dari jembatan Benenain, ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Malaka. Pusat pemerintahan, ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Sebagai ibukota Kabupaten termuda di Provinsi NTT, Betun butuh waktu dan biaya untuk berbenah dan perlahan pembangunan terus mengeliat. Menata pembangunan yang terencana dan tepat sasar demi mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, memang salah satu maksud hadirnya UU otonomi daerah. Malaka memang butuh waktu, energi dan biaya untuk membangun khususnya pembanguanan di bidang pendidikan. 

Cakrawala Datang
Pagi masih belia. Dari Kota Sari Kefamenanu, saya didampingi wartawan Cakrawala Kabupaten Kupang, Yupiter Lionati beranjak  menuju Betun. Mobil APV hitam sengaja dipilih untuk menaklukan medan jalan yang katanya, berlubang banyak. Demi memotong jarak tempuh, jalur Nurobo adalah pilihan tepat. Di sepanjang jalan, wajah masa depan bangsa banyak terlihat dalam seragam merah-putih. Menatap wajah mereka yang polos, terbayang kembali masa kecilku yang penuh semangat dan gairah. Sesaat melirik pin bertulisan “ I Love Guru” yang melekat di dada, Handphond-ku berdering. Bapak Paulus Nahak, S.Pd, selaku ketua panitia kegiatan pelatihan menulis karya ilmiah guru memberi kabar. “Peserta sudah ada dan sedang menanti kehadiran bapak”, katanya singkat. Tiba-tiba wajah guru-guruku dari semenjak Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) datang melintas. Kebanyakan dari mereka sudah berumur, ada yang pensiun dan beberapa yang lainnya sudah meninggal dunia. Para guru yang telah mengajar dan mendidikku. Akhir-akhir ini banyak yang mengeluh dan pasrah, ketika mereka harus menunjukkan profesionalismenya sebagai guru dalam bentuk karya tulis. Pemerintah tuangkan itu dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PerMenPAN-RB) No. 16 / 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Guru-guruku kebanyakan kandas di golongan IV/A bahkan beberapa diantaranya masih terkantung-kantung di golongan III/C. Belum lagi dengan nasib guru-guruku yang saat ini masih berstatus honor daerah dan komite?
Di pelataran Kota Betun, kami disambut udara panas yang menyengat. Padahal Betun berada di pesisir pantai. Kemanakah angin bertiup? Berhenti sejenak dan menukar pakaian adalah keharusan sebelum menuju SDK Betun 1 tempat kegiatan yang dimaksud. Kami langsung diterima Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten Malaka, Dra. Yosefina Matilda. Puluhan peserta yang ada, adalah para guru agama senior. Ada yang satu atau dua tahun lagi pensiun. Mereka meminta bahkan memohon agar tim Media Pendidikan Cakrawala NTT bersedia mendampingi mereka menulis. “Pak Gusty, kami hampir menyerah. Jika hanya sekadar untuk kenaikan pangkat tanpa ada kosekuensi lanjut terkait tunjungan dan sebagainya, mungkin sebaiknya kami begini saja. Kami harus akui kalau kami jarang menulis sebentuk karya tulis ilmiah. Kami para guru agama apalagi sudah berumur begini, lebih banyak membaca Alkitab dan beberapa jenis buku doa yang lain. Itupun kalau tidak sibuk di sekolah atau di rumah. Adoh...pusing”, ungkap seorang peserta.
Tanpa menunggu lama, Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten Malaka, Dra. Yosefina Matilda membuka kegiatan dengan resmi. Dinamika pendampingan penulisan karya ilmiah dimulai. Kali ini tentang Karya Ilmiah Populer. Apa yang harus tulis, bagaimana harus memulai dan kapan harus diakhiri adalah teori singkat dari proses pendampingan ini yang hanya menelan waktu dua puluh menit. Puluhan jam tersisa adalah kegiatan menulis. Pendampingan dari orang per orang untuk menghasilkan tulisan sebanyak 800 kata. Di hari pertama, kebanyakan peserta hanya bisa mendapatkan judul dan sedikit pendahuluan. Kesabaran, ketelitian dan strategi menciptakan suasana rileks dan nyama, sangat dibutuhkan dalam proses pendampingan ini. Itulah gaya tim Media Pendidikan Cakrawala NTT. Nada-nada keakraban terselib dalam humor kocak yang membuat peserta terbahak dan untuk sesaat lupa menulis. Tiga hari penuh, dalam proses mendampingan ini akhirnya menuai hasil yang mencengangkan. Para peserta yang adalah guru-guru senior itu, bisa menulis karya ilmiah. Mereka bisa karena mereka adalah guru. Mereka menulis persolaan yang ditemukannya saat mengajar siswa/siswinya di kelas, mencari akar dari persoalan itu dan akhirnya menulis beragam langkah-langkah konkrit atau metode sebagai sebuah solusi.
Hujan turun ke kota Betun. Lebat dan lama. Udara panas diawal kedatangan Cakrawala berubah sejuk dan nyaman. Aroma ilmiah terasa sudah. Beberapa sekolah menengah siap menjadi sekolah binaan Media Pendidikan Cakrawala NTT. Kerinduan dan penantian yang panjang selama tiga tahun akan hadir sang Cakrawala terjawab sudah. “Kami sangat bangga atas kesempatan istimewa ini. Ternyata keraguan bahkan ketakutan kami selama ini tidak benar. Kami bisa menulis. Media Pendidikan Cakrawala NTT datang dan menjawab kebutuhan kami. Kami berharap, jangan biarkan kami sendiri lagi. Kami sudah tua tapi kami masih mau belajar. Dalam waktu tidak lama di awal tahun 2017, kami mau mengundang cakrawala. Dalam Alkitab, memang sudah tertulis. “Allah menaruh semua itu di cakrawala untuk menerangi bumi (Kej, 1:17)”, ungkap Gaspar Ulu, guru Agama Katolik SMPN 1 Malaka Timur. 

Epilog
Mengalir saja dan biarkan semuanya terinspirasi. Media Pendidikan Cakrawala NTT datang dan selalu siap bersinergi dengan siapapun dan lembaga manapun. Tujuan dan maksud hanya satu yakni bersinergi membangun pendidikan, menyambut generasi emas NTT 2050. Dengan demikian sasaran bidik cakrawala jelas yakni literasi pendidik dan peserta didik. Guru dan siswa harus biasa dan bisa menulis. Guru yang digugu dan ditiru harus mampu memberi telada atau formator bagi siswa untuk membaca dan menulis. Siswa jangan pernah berkata “saya masih muda, baca dan tulis nanti dulu.” Jika itu yang dipikirkan maka dunia tidak akan pernah mau mengenalmu. Bukankah dengan membaca kita mengenal dunia maka menulis adalah cara cerdas untuk dikenal dunia? Jika Benenain itu ada dan mengalir dalam maksud ganda, baik dan buruk seperti dalam kitab klasik Taoisme (Tao te Ching), maka cakrawala NTT bukanlah demikian. Media Pendidikan Cakrawala NTT datang dan membawa hujan harapan dan rasa optimis para guru dan anak-anak NTT. NTT bisa, Indonesia jaya.

Benenain dan Cakrawala tetap ada dan terus mengalir. Namun Benenain tidak akan pernah merubah wajah cakrawala yang bertengger di atasnya. Benenain adalah realitas alam yang “bergantung” pada posisi cakrawala. Itu artinya, merubah wajah Malaka bukan oleh sunggai Benenai tetapi oleh cakrawala pendidikan. Generasi muda Malaka yang cakrawala (cakap, kritis dan berwawasan luas) adalah penentunya. Hemat saya, pendidikan adalah fundasi utama penggerak pembangunan daerah. Pemerintah, sekolah, orangtua dan stakeholders pendidikan lainya, harus bersinergi membangun pendidikan. Cakrawala telah datang dan ingin selalu bertengger indah di muara Benenain. Salam Cakrawala.
Share: