Prolog.
Mengalir saja. Tanpa hambatan, tanpa
paksaaan. Itulah sungai Benenain. Sungai ini mengalir di sepanjang jarak 135
kilometer. Tentunya jauh lebih panjang dari Sungai Noelmina yang hanya 97
kilometer. Walau kedua sungai ini terdapat di pulau Timor, namun sungai
Benenain jauh lebih dikenal dari sungai Noelmina. Tahu kenapa? Mungkin bukan
soal panjang alirannya tetapi cerita tragis di dalam pusaran aliran itu. Sudah
beratus nyawa menghilang di sekitar muara Benenain. Cerita banjir dengan segala
kerugian di dalamnya adalah cerita klasik yang hampir dirasa biasa dan
biasa-biasa saja. Masyarakat di sekitar muara sungai Benenain terlihat betah
dan “enjoy”. Tidak heran penyair muda Malaka, Robert Fahik mengekalkan sunggai
Benenain dalam novel beraroma tragis sekaligus penuh romantis. “Seperti
Benenain, Cintaku Terus Mengalir Untukmu”. Aliran sungai yang terhitung ganas
itu, kenudian dilihat dalam aliran cinta. Ah... nanti akan kuceritakan makna
terdalam dari novel ini. Kali ini tentang Cakrawala di muara Benenain.
Tentang sungai Benenain selalu mendulang
cerita harapan sekaligus keputusasaan. Yah, mungkin bisa dilukiskan dalam
fondasi pemikiran masyarakat China. Alam semesta ini digolongkan menjadi dua
yaitu baik dan buruk. Baik mencerminkan sifat Yang dan buruk mencerminkan sifat
Yin seperti diungkap dalam kitab klasik Taoisme (Tao te Ching) sebagaimana
dikutip oleh McCreery (dalam Scupin, 2000:289).
Lalu bagaimanakah kosmologi Cina ini,
dipadukan dalam cerita Benenain? Benenain di musim kemarau, pasti bercerita tentang
tumpukan ribuan kubik pasir yang bisa diambil begitu saja dan dijual dengan
harga yang sangat menguntungkan. Di sisi lain, ada bagian cerita walaupun tidak
mewakili semua, tentang kekeringan yang meresahkan dan berdampak pada gagal
panen. Bagaimana bisa dibayangkan, kekeringan justru terjadi di muara sungai
besar seperti Benenain? Lain cerita di
musih hujan. Setiap menit, ribuan pasang mata terarah ke gunung Mutis. Jika ada
tumpukan awan gelap kehitaman di sana, maka tak lama lagi sebuah banjir badang
segera datang. Batu, kayu, rumput dan lumpur, pasti dibawa serta. Setiap orang dituntut
untuk berjaga-jaga. Minimal bisa menyelamatkan diri atau keluarganya. Saat
banjir datang dan berlalu, ratapan akan kehilangan keluarga atau harta adalah
suasana pilu yang menyayat hati. Sementara itu, dari kampung tetangga terdengar
cerita tentang hasil perkebunan yang berlimpah. Beragam jenis buah-buahan segar
dari daerah sekitar Benanai, dirasakan oleh masyarakat hampir seluruh daratan pulau
Timor bahkan hingga ke pulau Flores dan Alor. Mungkin ini pula yang menjadi
alasan mengapa, masyarakat setempat sulit untuk meninggalkan daerahnya. Mereka
ingin tetap berada di tanah leluhurnya.
Gemuruh banjir yang ganas dan menakutkan, terasa biasa dan biasa-biasa
saja.
Kota Betun, yang berjarak tak jauh
dari jembatan Benenain, ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Malaka. Pusat pemerintahan,
ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Sebagai ibukota Kabupaten termuda di Provinsi
NTT, Betun butuh waktu dan biaya untuk berbenah dan perlahan pembangunan terus
mengeliat. Menata pembangunan yang terencana dan tepat sasar demi mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat, memang salah satu maksud hadirnya UU otonomi
daerah. Malaka memang butuh waktu, energi dan biaya untuk membangun khususnya pembanguanan
di bidang pendidikan.
Cakrawala Datang
Pagi masih belia. Dari Kota Sari
Kefamenanu, saya didampingi wartawan Cakrawala Kabupaten Kupang, Yupiter
Lionati beranjak menuju Betun. Mobil APV
hitam sengaja dipilih untuk menaklukan medan jalan yang katanya, berlubang
banyak. Demi memotong jarak tempuh, jalur Nurobo adalah pilihan tepat. Di
sepanjang jalan, wajah masa depan bangsa banyak terlihat dalam seragam
merah-putih. Menatap wajah mereka yang polos, terbayang kembali masa kecilku
yang penuh semangat dan gairah. Sesaat melirik pin bertulisan “ I Love Guru”
yang melekat di dada, Handphond-ku
berdering. Bapak Paulus Nahak, S.Pd, selaku ketua panitia kegiatan pelatihan
menulis karya ilmiah guru memberi kabar. “Peserta sudah ada dan sedang menanti
kehadiran bapak”, katanya singkat. Tiba-tiba wajah guru-guruku dari semenjak
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas
(SMA) datang melintas. Kebanyakan dari mereka sudah berumur, ada yang pensiun
dan beberapa yang lainnya sudah meninggal dunia. Para guru yang telah mengajar
dan mendidikku. Akhir-akhir ini banyak yang mengeluh dan pasrah, ketika mereka
harus menunjukkan profesionalismenya sebagai guru dalam bentuk karya tulis. Pemerintah
tuangkan itu dalam Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PerMenPAN-RB) No. 16 /
2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Guru-guruku
kebanyakan kandas di golongan IV/A bahkan beberapa diantaranya masih terkantung-kantung
di golongan III/C. Belum lagi dengan nasib guru-guruku yang saat ini masih berstatus
honor daerah dan komite?
Di pelataran Kota Betun, kami disambut udara panas yang
menyengat. Padahal Betun berada di pesisir pantai. Kemanakah angin bertiup?
Berhenti sejenak dan menukar pakaian adalah keharusan sebelum menuju SDK Betun
1 tempat kegiatan yang dimaksud. Kami langsung diterima Kepala Kantor
Kementrian Agama Kabupaten Malaka, Dra. Yosefina Matilda. Puluhan peserta yang
ada, adalah para guru agama senior. Ada yang satu atau dua tahun lagi pensiun.
Mereka meminta bahkan memohon agar tim Media Pendidikan Cakrawala NTT bersedia
mendampingi mereka menulis. “Pak Gusty, kami hampir menyerah. Jika hanya
sekadar untuk kenaikan pangkat tanpa ada kosekuensi lanjut terkait tunjungan
dan sebagainya, mungkin sebaiknya kami begini saja. Kami harus akui kalau kami
jarang menulis sebentuk karya tulis ilmiah. Kami para guru agama apalagi sudah
berumur begini, lebih banyak membaca Alkitab dan beberapa jenis buku doa yang
lain. Itupun kalau tidak sibuk di sekolah atau di rumah. Adoh...pusing”, ungkap
seorang peserta.
Tanpa menunggu lama, Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten
Malaka, Dra. Yosefina Matilda membuka kegiatan dengan resmi. Dinamika
pendampingan penulisan karya ilmiah dimulai. Kali ini tentang Karya Ilmiah
Populer. Apa yang harus tulis, bagaimana harus memulai dan kapan harus diakhiri
adalah teori singkat dari proses pendampingan ini yang hanya menelan waktu dua
puluh menit. Puluhan jam tersisa adalah kegiatan menulis. Pendampingan dari
orang per orang untuk menghasilkan tulisan sebanyak 800 kata. Di hari pertama,
kebanyakan peserta hanya bisa mendapatkan judul dan sedikit pendahuluan. Kesabaran,
ketelitian dan strategi menciptakan suasana rileks dan nyama, sangat dibutuhkan
dalam proses pendampingan ini. Itulah gaya tim Media Pendidikan Cakrawala NTT.
Nada-nada keakraban terselib dalam humor kocak yang membuat peserta terbahak
dan untuk sesaat lupa menulis. Tiga hari penuh, dalam proses mendampingan ini
akhirnya menuai hasil yang mencengangkan. Para peserta yang adalah guru-guru
senior itu, bisa menulis karya ilmiah. Mereka bisa karena mereka adalah guru.
Mereka menulis persolaan yang ditemukannya saat mengajar siswa/siswinya di
kelas, mencari akar dari persoalan itu dan akhirnya menulis beragam
langkah-langkah konkrit atau metode sebagai sebuah solusi.
Hujan turun ke kota Betun. Lebat dan lama. Udara panas diawal
kedatangan Cakrawala berubah sejuk dan nyaman. Aroma ilmiah terasa sudah.
Beberapa sekolah menengah siap menjadi sekolah binaan Media Pendidikan
Cakrawala NTT. Kerinduan dan penantian yang panjang selama tiga tahun akan
hadir sang Cakrawala terjawab sudah. “Kami sangat bangga atas kesempatan
istimewa ini. Ternyata keraguan bahkan ketakutan kami selama ini tidak benar.
Kami bisa menulis. Media Pendidikan Cakrawala NTT datang dan menjawab kebutuhan
kami. Kami berharap, jangan biarkan kami sendiri lagi. Kami sudah tua tapi kami
masih mau belajar. Dalam waktu tidak lama di awal tahun 2017, kami mau
mengundang cakrawala. Dalam Alkitab, memang sudah tertulis. “Allah menaruh
semua itu di cakrawala untuk menerangi bumi (Kej, 1:17)”, ungkap Gaspar Ulu,
guru Agama Katolik SMPN 1 Malaka Timur.
Epilog
Mengalir saja dan biarkan semuanya
terinspirasi. Media Pendidikan Cakrawala NTT datang dan selalu siap bersinergi
dengan siapapun dan lembaga manapun. Tujuan dan maksud hanya satu yakni
bersinergi membangun pendidikan, menyambut generasi emas NTT 2050. Dengan
demikian sasaran bidik cakrawala jelas yakni literasi pendidik dan peserta
didik. Guru dan siswa harus biasa dan bisa menulis. Guru yang digugu dan ditiru
harus mampu memberi telada atau formator bagi siswa untuk membaca dan menulis.
Siswa jangan pernah berkata “saya masih muda, baca dan tulis nanti dulu.” Jika
itu yang dipikirkan maka dunia tidak akan pernah mau mengenalmu. Bukankah
dengan membaca kita mengenal dunia maka menulis adalah cara cerdas untuk
dikenal dunia? Jika Benenain itu ada dan mengalir dalam maksud ganda, baik dan
buruk seperti dalam kitab klasik Taoisme (Tao te Ching), maka cakrawala NTT
bukanlah demikian. Media Pendidikan Cakrawala NTT datang dan membawa hujan
harapan dan rasa optimis para guru dan anak-anak NTT. NTT bisa, Indonesia jaya.
Benenain dan Cakrawala tetap ada dan terus
mengalir. Namun Benenain tidak akan pernah merubah wajah cakrawala yang
bertengger di atasnya. Benenain adalah realitas alam yang “bergantung” pada
posisi cakrawala. Itu artinya, merubah wajah Malaka bukan oleh sunggai Benenai
tetapi oleh cakrawala pendidikan. Generasi muda Malaka yang cakrawala (cakap,
kritis dan berwawasan luas) adalah penentunya. Hemat saya, pendidikan adalah
fundasi utama penggerak pembangunan daerah. Pemerintah, sekolah, orangtua dan
stakeholders pendidikan lainya, harus bersinergi membangun pendidikan.
Cakrawala telah datang dan ingin selalu bertengger indah di muara Benenain.
Salam Cakrawala.