Wednesday 8 December 2010

TUA KUMI

Hari terlihat mendung membentuk awan hitam yang bergumpal angkuh di puncak bukit itu. Bukit sandaran matahari tempat para dewa dan roh-roh orang yang telah meninggal berdiam. Rumah kami berada di pinggir kampung, sekitar seribu meter dari bukit itu. Beberapa butir hujan menjilat darah korban yang disiram di puncak bukit itu tadi pagi. Bapa dan mama masih berada di rumah adat dan menyuruh aku untuk menemani adikku yang hampir menginjak usia dua tahun yang sedikit “aneh” dari anak-anak lainnya. Terkadang dia tersenyum dan tertawa gembira, adakalanya pula ia menangis sedih bila membuka halaman buku yang muncul dan hilang begitu saja dari tangannya. Sekarang buku itu tidak ada di tangannya tapi ia selalu memandang bukit batu itu dan berbicara dengan suara yang tidak jelas. Bulu kudukku sempat merinding ketakutan saat kata-kata nenek terngiang kembali dalam telingaku. “Bukit batu itu sangat angker, tempat beragam roh berdiam termasuk roh dari mereka yang telah meninggal. Tidak boleh pergi ke sana kecuali atas ijinanTua Kumi”.
Tiba-tiba sebuah Pelangi melingkar di atas bukit itu dan secara spontan adikku menangis histeris. “tua mii...Tua mi..i...i.....” teriaknya dengan gementar. Aku memeluknya erat karena tidak tahu harus berbuat apa. Entah kekuatan apa yang merasuki tubuh mungilnya sehingga dengan satu gerakan saja, aku langsung terpendal jauh. Rasa binggungku belum hilang ketika buku itu tiba-tiba nongol di tanganku. Tius memandangku dengan sedih dan tidak lama berselang ia menangis dalam bisu, butiran bening menganak sungai, mengalir di pipinya yang montok. Tu..a...mi...i....i..., Tu..a...mi..i..mata, mata (Tua Kumi, meninggal). Teriaknya. Aku hanya bisa memandangnya dalam diam penuh keheranan. Bukan karena baru pertama kalinya aku mendengar adikku berbicara dengan jelas seperti ini tetapi lebih pada isi pembicarannya. Siapakah Tua Kumi itu?
Bunyi gong dan gendang bergaung dari rumah adat. Kali ini gaungnya sangat berbeda dengan yang kudengar tadi pagi ketika memulai acara adat. Begitu lembut dan mengalun pelan. Bukan ungkapan syukur dan suka-cita tapi tanda kehilangan dan duka-cita. Apakah memang Tua Kumi yang misterius itu sungguh sudah meninggal? Di mana ia meninggal dan apa sebabnya dia meninggal? Sekujur tubuhku gementar dan bermandikan keringat. Adikku terus membuka halaman buku itu satu demi satu. Bibir munggilnya terus bergerak seolah membaca sesuatu sementara air matanya terus mengalir. Aku kasihan melihatnya tetapi aku tidak mempunyai kekuatan sedikitpun untuk mengambil buku itu dari tangannya.
Hari belum terlalu gelap ketika bunyi gong dan gendang semakin bersahutan mengiringi langkah warga kampung menuju pinggir sungai yang dikabarkan tempat mayat Tua Kumi ditemukan. Mama datang dari balik pintu dan langsung mengangkat adikku menuju rumah adat tanpa menghiraukan buku yang jatuh dari tanganya. Ada perintah dari Lopo Gina untuk membawa semua anak kecil ke rumah adat agar tidak menjadi tumbal dari Tua Kumi. Aku memperhatikan buku itu dari jauh dan sempat membaca satu kalimat pada lembaran depan yang hampir terlepas yakni cinta yang terlibat. Ketika aku mendekat untuk mengambilnya sebuah tongkat memukul tanganku dengan keras. Aku mendapati Lopo Gina melototiku dari belakang. “Jangan pernah sentuh buku itu kalau tidak mau senasib dengan Tua Kumi” katanya sambil berlalu. Aku semakin penasaran tentang siapakah Tua Kumi.
Aku cukup mengenal Lopo Gina. Seorang nenek dari kampung sungai sebelah yang dikenal sebagai dukun yang memiliki kemampuan prana yang cukup hebat. Ia bahkan bisa meramal penyakit dan hari kematian seseorang. Tua Kumi pernah pernah diramalnya telah mengidap penyakit jantung yang akut. Menurutnya, adikku bertingkah aneh karena posisi pintu rumah kami langsung berhadapan dengan bukit angker itu. Terkadang aku terpengaruh untuk mempercayainya walaupun banyak ramalannya yang tidak tepat. Ayahku pernah diramalkan mati muda tanpa seorang istri dan anak.
Aku segera berdiri saat melihat lampu obor menyala dari arah sungai. Tua Kumi memang telah meninggal seperti yang disebutkan adikku tadi. Banyak warga kampung yang mengiringi mayatnya kecuali ibu-ibu yang memiliki anak di bawah usia tiga tahun, termasuk mamaku. Menurut adat kami mayat orang yang meninggal secara tiba-tiba tidak diperkenankan dimasukkan dalam rumah tetapi disemayamkan saja di atas tenda di halaman kampung. Aku melihatnya dari dekat. Seorang laki-laki tua yang berkumis dan berjengot. Garis-garis pada wajahnya dapat diperkirakan kalau ia sudah berumur lima puluh tahun lebih.
Di depan mayatnya, orang-orang yang sangat dekatnya meratapi dia oleh rasa kehilangan yang sangat mendalam, termasuk ayahku. Dia adalah satu-satunya orang yang mampu mendaki puncak bukit kramat itu untuk membawa sesajian kepada roh-roh nenek moyang kami. Orang tua berkumis yang kelihatannya memiliki hati kebapaan yang selalu merangkul, pemberi petuah, cinta dan perhatian kepada warga kampung. Sementara warga kampung yang lain termasuk Lopo Gina, hanya memandang mayatnya tanpa merasa apa-apa. Dia (Tua Kumi) dikenal sebagai orang aneh yang pernah mecari kucing kesayangannya yang berbulu hitam pada malam hari dan ia sangat yakin bahwa ia telah menemukannya. Ia juga pernah menyalakan pelita pada jam sebelas siang untuk mencari rahim ibunya, yang dengan blak-blakan menuduh orang-orang dari sungai sebelah telah mencurinya. Tidak sedikit pula yang mengerutu di depan mayat Tua kumi, penuh nada kekecewaan. Mengapa Tua Kumi meninggal begitu tiba-tiba padahal tadi pagi ia masih membawa sesajian di puncak bukit itu? Mengapa ia tidak pernah mempersiapkan orang untuk mengantinya membawa sesajian di atas bukit angker itu? Mengapa Tua Kumi meninggal pada waktu dan tempat yang salah. Mengapa ia harus meninggal di pinggir kali tempat orang mencuci pakaian dan membuang kotoran? Apa kata warga kampung sebelah nanti. Mengapa ia tidak meninggal di puncak bukit batu itu tempat di mana ia selalu mempersembahkan sesajian?
Sepeninggalan Tua Kumi, Lopo Gina, dukun peramal itu tidak berani meninggalkan jejak di kampung kami. Ada yang bersaksi kalau dia sudah gila dan berteriak-teriak di kaki bukit itu saat bulan purnama tiba. Ada pula yang bercerita kalau dia meninggal secara tragis. Mayatnya tidak sempat dikuburkan sehingga beberapa ekor anjing liar mencabik-cabik tubuhnya. Ia memang telah menaburkan benih kebencian dalam hati warga kampung. Kekeringan yang berkepanjangan, hama yang menyerang tanaman dan sakit penyakit yang diderita warga selama ini diduga karena tidak ada orang yang membawa bahan sesajian di puncak bukit itu. Beberapa tahun kemudia baru orang tahu kalau Lopo Gina adalah kaki tangan dari warga kampung sebelah sungai yang datang ke kampung kami sebagai dukun peramal sekaligus mata-mata. Mereka ingin menggali cadas yang berada di rusuk bukit keramat itu. Cadas hitam yang memiliki harga jual yang sangat tinggi. Satu-satunya cara untuk mendapatkanya adalah dengan menghabisi Tua Kumi, penjaga bukit keramat itu.
Kubiarkan buih ombak pelabuhan Sadang Bui menjilati jeans biruku saat bayangan masa lalu itu mengalir dan mengairi perasaanku. Dua belas tahun tahun terakhir ini, aku mengembara hanya mencari arti sebuah kalimat dari buku misterius itu. Cinta yang terlibat. Dalam jalan berliku yang kutapaki sekarang, apakah artinya cinta yang terlibat saat aku tidak mempunyai sedikit kemampuan untuk membawa sesajian di puncak bukit itu, tempat semua roh nenek moyangku berdiam? Beberapa hari yang lalu adikku menerima jubah putih kebiaraannya. Apakah ia masih ingat isi buku itu dan menemukan makna kalimat ini dalam panggilannya? Aku tidak tahu.
Share:

0 comments:

Post a Comment