Wednesday, 29 March 2017
Tuesday, 21 March 2017
CAKRAWALA DI PUNCAK MUTIS
Masih ingat Cerita tentang “Cakrawala Di Muara Benenain? Silahkan
tengok di MPC-NTT, Tahun III/Edisi 63/Vol.1/Desember-2016. Gunung Mutis,
tersebut di dalamnya. Cerita sungai Benenain, akan hambar tanpa kehadiran
gunung Mutis. Gunung tertinggi di Pulau Timor setelah gunung Lakaan. Sang
penyair muda, Robert Fahik memuat hikayat tua dalam novelnya “Seperti Benenain
Cintaku Terus Mengalir Untukmu” tentang cerita cinta berakhir sedih antara Raja
Mutis dan gadis Malaka. Benenai
terbentuk oleh air mata seorang raja dari gunung Mutis; gunung tertinggi di
pulau Timor bagian Barat. Sang raja begitu mencintai seorang gadis Malaka.
Namun suatu ketika keduanya harus berpisah. Sang raja yang kembali ke Mutis
mengungkapkan kerinduannya kepada sang kekasih dengan menangis. Air mata sang saja itulah yang kemudian membentuk
aliran sungai Benenai.
“Walaupun
jauh, perlahan-lahan air mataku ini akan sampai ke sana (Malaka),” kata sang
raja, yang dalam bahasa Tetun diungkapkan seperti ini: “Kdok mos so’in. Be
nai-naik to’o dei.” Kata “be nai-naik” (tapi perlahan-lahan) dalam
perkembangannya mengalami perubahan menjadi “Benenai”, nama untuk sungai ini. (Hal
...) ”
Perjalanan menuju SMAN Mutis,
tepatnya di Desa Naikake, Kecamatan Mutis A-Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU)
ditempuh dalam jumlah jam yang sulit ditebak. Tahu kenapa? Ruas jalannya sangat
sempit, curam, licin-berlumpur. Luka, air mata dan darah mewarnai seluruh
cerita perjalanan ke tempat ini. Sangat sulit dibayangkan jika ini adalah ruas
jalan menuju istana tua bernama Mutis. Sungai Aplal terus mengalir dan
cenderung banjir. Tidak ada jembatan penyemberangan. Puluhan nyawa hanyut
begitu saja. Mereka adalah tumbal minimnya perhatian negara di tapal batas
NKRI.
Di Tepi Sungai Aplal
Tim Cakrawala membasuh raga yang
letih dan berlumpur di sungai Aplal pukul 03.00 dini hari. Gelap dan dingin.
Gervas Salu, formator Cakrawala wilayah TTU terus memberi semangat. Kalimat
“dekat sa, sonde jauh” diucapkannya sejak pukul 10.00 siang tadi saat beranjak
dari Kota Sari-Kefamenanu. Inilah Indonesia. Merah-Putih yang selalu
kubanggakan. Hp oppo-ku bersiul.
Kepala sekolah SMAN Mutis, Yohanas Donbosko Naif, S.Fil mengirim pesan. “Pak
Gusty, saya mendapat kabar kalau tim Cakrawala sudah tiba di sungai Aplal.
Sudah sepuluh menit yang lalu, beberapa orang guru dan siswa pergi menjemput.
Maaf. Harus mendaki lagi untuk belasan kilometer menuju SMAN Mutis. Kami tetap
setia menunggu di sini. Salam.”
Memang benar. Dari kejauhan di puncak sana,
beberapa titik cahaya lampu kendaraan roda dua terus mendekat. Jemputan akan
segera datang. Sepuluh menit yang lalu saya terpaksa meminum air sungai ini
karena kehausan. Hp oppo-ku bersiul
lagi. Membacanya, hatiku bergetar. “Benar bahwa ada hikayat tua tentang adanya
kerajaan di gunung Mutis ini. Tetapi itu adalah sebuah hikayat yang terlampau
tua hingga jauh dari kebenaran. Pak Gusty, gunung Mutis hanyalah sebuah nama
dari sebuah kata “tertinggal dan terpencil”. Jika ada guru yang datang bertugas
di salah satu sekolah di tempat ini maka sudah pasti ia dilabeli sebagai guru
buangan karena bermasalah. Kami ingin tetap di sini. Di tempat inilah kami lahir
dan dibesarkan. Kami tetap mencintai tanah ini. Tetap setia menjaga tapal batas
NKRI. Selamat datang tim cakrawala, penggerak literasi NTT di puncak Mutis.”
NTT butuh lebih banyak kepala sekolah
visioner. Yohanas Donbosko Naif, S.Fil adalah satunya. Ia mengedepankan
pelayanan dan profesionalisme. Mengutamakan kebutuhan peserta didik dan rekan
guru. Bukan guru penunggu tunjangan dan sertifikasi. NTT juga butuh banyak guru
yang layak untuk digugu dan ditiru. Bukan guru berpikiran politik praktis dan prakmatis
sehingga cenderung menjadi “penjilat”. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat (STFK)
Ledalero-Maumere ini sangat berharap dan “memaksa” Cakrawala NTT ke Mutis. Itu
bukan karena kami dari rahim almamater yang sama. Tetapi cakrawala berpikir,
spiritualitas dan mimpi kami sama. Memberi diri seutuhnya untuk generasi emas
NTT 2050.
“Pak Gusty ... para guru dan siswa/i SMAN
Mutis merindukan kehadiran cakrawala. Cerita cakrawala di muara Benenain telah
sampai di Mutis. Tidak ada jawaban tepat “tuk mengobati kerinduan itu, selain
kehadiranmu sendiri. Tentang kehadiranmu telah kami jadwalkan di tanggal 19
Desember 2016. Kami ingin merayakan HUT Provinsi NTT tahun ini bersamamu di “kerajaan”
Mutis,” ujar Donbosko sambil terkekeh.
Harapan dan kerinduan ini adalah
sebuah kebanggaan bagi keluarga besar cakrawala. Artinya, kehadiran cakrawala
tidak untuk disegani apalagi ditakuti tetapi justru sangat dirindukan. Bagi
kami, ini sebuah prestasi. Namun, tanpa bermaksud angkuh, menetapkan jadwal
tanpa sebuah proses konsultasi adalah sebuah kesalahan. Perjalanan tim formasi
cakrawala terencana dan terjadwal. Hmm...belum lagi banyak yang memberi
kesaksian kondisi jalan menuju tempat ini.
Mengapa tim cakrawala akhirnya
memutuskan menuju Mutis? Ini sebuah pertanyaan abadi. Hingga kini saya sulit
menjelaskannya. Ada sebuah getaran hati terdalam. Memaksaku untuk mengatur
kembali jadwal yang sudah terencana. Terpaksa jadwal pendampingan menulis untuk
beberapa sekolah di Alor dan Flores ditunda ke bulan Januari 2017. Hanya untuk mendapat
kesempatan menuju SMAN Mutis. Yah...dalam konteks cerita hikayat tua itu,
mungkin “gadis Malaka” telah bercerita banyak tentang hadirnya cakrawala dan
segala yang diperbuatnya di muara Benenain kepada sang “raja Mutis”. Adakah
getaran hati terdalam itu pratanda sang “raja Mutis” bertitah agar cakrawala
segera mengunjungi wilayahnya? Saya tidak tahu.
Cakrawala Di Puncak Mutis
Kosmas Taninaf, guru komite SMPN
Mutis memboncengiku. Menerjang arus sungai Aplal dan membawaku menuju SMAN
Mutis. Jalan bertanjakan tajam, lumpur, licin dan berlubang dalam puluhan
kilometer. Sok motornya telah lama tidak berfungsi. Ia lahir dan besar dari
wilayah ini. Sepanjang perjalanan, Kosmas lebih banyak ber-“curhat”. Cerita
berawal dari situasi dan kondisi jalan menuju tanah kelahirannya hingga
nasibnya sebagai guru komite yang jauh dari perhatian pemerintah.
“Setiap tahun, selalu ada yang datang
mengukur jalan ini. Orang yang berbeda dan jenis seragam berbeda membuat cat
dipakai sebagai tanda pengukur jalan juga berbeda. Kami selalu antusias
menyambut walau kami tahu itu hanyalah sandiwara. He....e...tentunya mereka
beda dengan tim cakrawala yang kami sambut sekarang ini. Prinsip kami sekarang,
biarlah kami tetap begini asal anak-cucu kami dibukakan cakrawala berpikirnya.
Mereka harus sekolah. Ketrampilan menulis adalah salah satu cara agar nantinya
mereka bercerita kepada dunia tentang kami dan daerah perbatasan ini. Di sini,
di kampung ini ada kehidupan dan harapan. Sesungguhnya kami menunggu kehadiran
Bapak sebulan yang lalu ketika Bapak Kepala Sekolah menginformasikan terkait
kehadiran tim cakrawala di sini. Kami sangat bangga,” ujar Kosmas sambil meliuk-liukkan sepeda
motornya. Sesekali saya harus turun dan berjalan kaki jika ada tanjakan yang
licin-berkumpur. Lalu bagaimanakah nasibnya sebagai guru komite? Ia hanya ingin
mengabdi. Tanggungjawab moralnya jauh lebih tinggi dari hitungan rupiah. “Kami lahir dan besar di sini. Ini tanah
kami. Apapun bentuknya, kami berjuang agar Mutis dikenal, diperhatikan dan maju
dalam berbagai bidang kehidupan. Termasuk pendidikan.” tandas Kos penuh haru.
Untuk beberapa saat kami terdiam. Tanpa kata dan suara. Akhirnya Tim cakrawala
tiba di puncak Mutis.
Bimtek Penulisan Karya Ilmiah, Upaya
Peningkatan Mutu Guru Perbatasan. Itulah tema kegiatan ini. Sebuah kegiatan
pendidikan yang profesional dan bermartabat. Puluhan guru dan siswa/i pilihan,
hadir penuh antusias. Cakrawala bersinar terang. Awan hitam yang menyelimuti
puncak Mutis pergi begitu saja. Tersisa hanyalah hembusan angin pegunungan yang
sejuk penuh manja. Tidak ada suara. Hanya mata dan telinga tertuju saat saya
selaku Pimpinan Umum Media Pendidikan Cakrawala NTT berbicara. Mereka seperti
gelas kosong yang siap untuk diisi. Sebuah ketulusan dan keterbukaan hati yang
patut dicontohi. Bagi mereka ilmu itu mahal. Orang-orang yang berjauhan datang
untuk membagi ilmu adalah orang-orang kepunyaan Tuhan. Pada titik ini, saya
terharus dan menitikkan air mata.
Seorang guru senior yang dalam dua
tahun lagi pensiun angkat bicara. Dia adalah Emanuel Obe. Guru agama Katolik
SMAN Mutis. “Mengapa cakrawala datang terlambat? Ke manakah cakrawala selama
ini? Sekiranya dari dulu cakrawala datang dan mendampingi kami, tidak mungkin
saya nanti pensiun di golongan rendah. Saya memang belum bisa menulis tetapi
saya mau belajar. Tetapi siapakah yang mau mendampingi, menghargai dan
mempublikasi karya tulis kami? Tapi...tidak apa-apa. Banyak teman-teman guru
saya yang masih muda. Saya sangat yakin, ketika mereka trampil menulis, niscaya
siswa/i kami pasti trampil menulis. Pak Gusty, jangan tinggalkan kami lagi.
Datanglah lagi ke sini. Lihat, betapa siswa/i kami sangat merindukanmu.” ujar
Emanuel. Selain itu, seorang Rofinus Elu, Kepsek SDK noelelo, Naikake B kembali
berharap. Cakrawala NTT, jangan hanya hadir di SMA. Para guru dari belasan
Sekolah Dasar (SD) yang ada di wilayah Mutis ini sangat mengharapkan
pendampingan cakrawala NTT. Kami berharap, di awal tahun 2017 kita bertemu
lagi. Kami sangat butuh.
Epilog
Air mata sang “raja Mutis” mengalir sudah.
Bukan air mata dalam bentuk sungai seperti digambarkan dalam hikayat tua itu.
Jika sang raja merubah air matanya dalam bentuk aliran air sungai yang masa
dahsyat, mungkin tidak untukku dan tim formasi cakrawala. Air mata ini tulus.
Bukan air mata para buaya. Air mata haru sekaligus segumpal komitmen.
Bersinergi membangun pendidikan NTT dengan berbagai pihak. Kiranya rintihan
hati para guru dan generasi muda NTT di tapal batas NKRI-Mutis, didengar dan
ditindaklanjuti pemerintah pusat dan daerah.
Aku ingin kembali ke Mutis,
sebagaimana aku ingin kembali ke Kananggar-Sumba Timur, Adonara Timur-Flotim,
Keo Tengah-Nagekeo dan seluruh sekolah binaan cakrawala NTT se-Nusa Tenggara
Timur. Air mata tertumpah sudah. Air mati ini akan menghapus stigmatisasi NTT sebagai
negeri miskin dan bodoh. Menghapus kenyataan, NTT sebagai gudang TKI yang
bermodal otot. Mari, bersinergi membangun pendidikan, menuju NTT yang hebat dan
Indonesia yang jaya. Salam Cakrawala.