Cerita
Cakrawala di “Muara Benenain-Malaka” telah sampai ke puncak Mutis. Kuyakin lembaran
indah cakrawala di puncak Mutis pada Tahun IV/Edisi 63/Vol.1/Januari-2017 telah
menyapa pembaca sekalian. Kisah “Raja Mutis” dan “Gadis Malaka” terurai sudah.
Romantis bukan? Hmm...kali ini, kita akan bersama menikmati cerita Cakrawala di
Kaki Ebulobo. Gunung Ebulobo dikenal juga
sebagai Emburombu atau puncak Nagekeo. Ebulobo menjulang di atas Kecamatan Boawae, yang
terletak di bawah lereng barat laut gunung tersebut, berbentuk simetris dengan
ketinggian 2124 m. Sejarah letusannya, tercatat sejak 1830 antara lain berupa
lelehan lava di lereng utara serta letusan-letusan eksplosif pada puncak
kawahnya.
Dari
rusuk barat Ebulobo, terlihat pula sebuah gunung dengan kerucut seperti tumpeng
sempurna. Inerie namanya. Hikayat tua juga bercerita jika Ebulobo atau si
Amburombu adalah suami sah dari sang Inerie. Sayangnya mereka tidak selalu
romantis. Suatu hari Inerie marah besar. Ia melemparkan sendok ke arah Ebulobo hingga
satu giginya tanggal. Itulah mengapa ada sedikit lekukan di puncak gunung Ebulobo.
Cakrawala di Kaki Ebulobo
Pada
kaki Ebulobo, cakrawala merebahkan mimpinya. Membagi asa yang tidak pernah
redup untuk generasi emas Nagekeo. Seorang putra energik membawa tim cakrawala
berkelana. Dari Aeramo menuju Keo Tengah dan dari Gako menuju Nangaroro. Primus
Buza Azi, namanya. Ia seakan di-“tunjuk” sang Ebulobo dan dipilih cakrawala
untuk mewujudkan mimpi-mimpi kecil generasi muda Nagekeo. Membangun budaya
literasi (Baca-tulis) adalah cara cerdas wujudkan mimpi-mimpi kecil mereka.
“Kakak ... apa yang kita lakukan sekarang sudah “diatur”
oleh yang di atas. Kita kerja saja dan tidak perlu berbicara banyak. Cakrawala
ada dan akan menghiasi sanubari anak Nagekeo,” ujarnya semangat. Begitulah
Primus. Banyak orang berpikir dia seorang rahib tak berjubah. Hampir puluhan
kali dalam sehari ia menyebut nama Tuhan. Imannya teguh pada penyelenggaraan
Ilahi. Tercermin benar dalam kesehariannya. Ia senang membantu banyak orang
walau tidak pernah meninggalkan sikap tegasnya pada prinsip hidup. Semakin
mengenalnya, aku makin yakin ia memang di-“tentukan” sang Ebulobo dan dipilih
sang cakrawala.
Dari kaki Ebulobo, cakrawala bergerak dalam satu mimpi
tunggal yang menyambut generasi emas NTT 2050 dengan membangun budaya literasi.
SMAS Balairiwu Danga-Mbay dan SMPS Patimura Wudu-Boawae adalah sekolah pertama
yang dikunjungi cakrawala. Dua sekolah ini adalah perintis munculnya beberapa
sekolah lain yang merupakan dampingan Media Pendidikan Cakrawala (MPC) NTT.
Begitulah cakrawala bekerja. Datang menyapa, berbagi dan tinggal bersama. Ia
datang untuk semua atap sekolah tanpa ada perbedaan swasta dan negeri, PNS atau
honorer.
Ebulobo terlihat cerah. Beberapa sekolah lain datang
memberi kabar. Bernafas pada nada yang sama. “Kami siap didampingi tim formator
MPC-NTT”. Berturut-turut, SMPN 2 Boawae, SMAN 1 Keo Tengah, SMPN 3 Aeramo, SMAS
Setiawan Nangaroro, SMAN 1 Mauponggo, SMAN 1 Aesesa, SMPS Berdikari Raja, SMAN
1 Raja, SMAS Tela Maris Marapokot, SMAS St. Clemens Boawae dikujungi tim
formator MPC-NTT. Banyak yang lain menunggu datangnya tahun 2017. Dianggarkan
dan dijadwalkan.
Cakrawala
telah siap meng-ilmiahkan bumi Nagekeo. Membawa mimpi-mimpi para guru dan
peserta didik menuju pribadi cakap, kritis dan berwawasan luas. Hadirnya
cakrawala membuat sang Ebulobo melupakan pertengkarannya dengan sang Inerie.
Bisa saja sang Ebulobo berpikir, mengapa harus berpikir susah untuk persoalan
sepasang orangtua yang renta. Lebih baik memikirkan perasaan dan masa depan
anak-anakku dalam rumah Nagekeo ini.
Siap Bersinergi dan Berkolaborasi
Pujian dan banggaku pada sang pemuda yang di-“tentukan”
sang Ebulobo, Primus Buza Azi. Ia menyatukan komitmen dan mimpi para kepala
sekolah, kepala dinas dan stakeholders
pendidikan lainnya di Nagekeo. Yakin dan percaya bahwa para guru dan generasi
muda Nagekeo butuh pendampingan serta dukungan MPC-NTT. Membangun sebuah iklim
pendidikan yang saling bersinergi dan berkolaborasi.
Sang
Ebulobo semakin tersenyum lebar. Kepala Dinas PPO Kabupaten Nagakeo, Tarsisius
Djogo, S.Sos mewakili pemerintah Nagekeo siap mendukung dan berkolaborasi
dengan pihak MPC_NTT untuk menghidupkan budaya literasi di lingkungan sekolah.
Menurutnya membangun pendidikan harus sejalan dalam konteks kekinian.
Bersinergi dan berkolaborasi strategi ampuh membangun pendidikan di era modern
sekarang ini. Pengetahuan dan ilmu untuk
dibagikan kepada peserta didik tidak hanya datang dari para guru tetapi juga
oleh seluruh stakeholders pendidikan
termasuk media massa. Itu artinya
seluruh stakeholders
pendidikan dapat menjadi guru seturut profesi dan keahliannya. Inilah gaya
pendidikan kekinian. Bersinergi dan berkolaborasi.
Tarsisius
berbagai cerita tentang sebuah fakta sehingga berani berkesimpulan budaya
literasi (baca-tulis) di kalangan guru dan peserta didik dalam wilayah Nagakeo
masih rendah. Dari ribuan guru yang ada, hanya baru dua orang yang menempati
golongan pangkat IV/B. Sementara banyak guru lain masih tertatih-tatih dalam
satu keluhan yang sama yakni kesulitan membuat karya tulis ilmiah. Lalu
bagaimana dengan peserta didik? Hmm...pasti lebih parah. Inilah cerita
pendidikan kita. Termasuk cerita cakrawala yang datang untuk menawarkan solusi.
Kesimpulan sementara bisa diambil. Memorandum of Understading (MoU) dengan
MPC-NTT terkait pendampingan penulisan karya ilmiah guru dan ragam tulisan bagi
siswa/i adalah keniscayaan/keharusan.
Fidelis
Sawu, S.Fil sang formator MPC-NTT wilayah Nagekeo sekaligus salah satu tim
penilai angkat kredit kenaikan pangkat guru memberi kesaksian tentang
keengganannya saat pertama hendak bergabung dalam dalam tim MPC-NTT.
“Saat
itu saya berpikir, selagi ada yang di daerah bisa mendampingi sesama guru,
untuk apa hadirkan pihak lain termasuk media. Toh, kita bisa laksanakan
sendiri. Karenanya saya mulai mengajak dan “mempengaruhi” banyak guru untuk
menggelar pendampingan menulis tanpa kehadiran tim formator MPC-NTT. Kegiatan
berlangsung baik walau akhirnya muncul kesulitan baru. Karya tulis para guru
wajib dipublikasikan. Butuh media berupa majalah atau jurnal ber-ISSN.
Cakrawala memiliki majalah dan jurnal ber-ISSN tingkat Provinsi NTT. Kita butuh
media. Kita butuh MPC-NTT sebagaimana sang Ebulobo butuh Cakrawala agar ia
terlihat tetap megah, gagah dan bersinar,” ujar mantan Frater ini penuh
semangat.
Cakrawala Butuh Dukungan
Cakrawala tidak akan pernah indah atau megah sendiri.
Tentang kemegahan dan keindahan cakrawala adalah apresiasi yang harus datang
dari yang lain. Bukan kesaksian dari cakrawala itu sendiri. Bentuk dukungan itu
datang dalam ragam rupa. Sebagai contoh, orang bisa bersaksi akan cakrawala
yang cerah dan hangat jika ia tidak sudah diterangi dan dihangatkan. Bagaimana
kita bisa berbangga pada cakrawala kalau ia ditutup dalam kabut kehitaman?
Cakrawala butuh dukungan. Para guru dan siswa harus aktif berkreasi dan
berlatih. Jangan pernah mau untuk selalu
digerakkan. Cakrawala datang sekadar untuk mengyakinkan kamu bisa. Lalu? Para
guru, siswa dan masyarakat NTT harus buktikan itu. Kita bisa. Siapa bilang NTT
itu miskin dan bodoh. Tidak. Para guru dan anak-anak NTT, bisa.
Setialah pada mimpi kita. Nota kesepahaman harus
dijalankan sebagaimana mestinya. Jangan pernah ber-MoU untuk tiga tahun atau
selama enam semester tetapi pelaksanaan hanya satu atau dua kali kegiatan,
selebihnya sebagai pemenuhi dokumen akreditasi sekolah. Berharap ini tidak
terjadi. Sang Ebulobo pasti tersinggung dan marah. Walau pernah bertengkar, cintanya
pada Inerie tetap abadi karena ada sang cakrawala di atasnya
Bangunlah
komitmen untuk hidupkan budaya literasi itu. Sisihkan uang untuk membeli buku,
membaca dan menulis. Hidupkan majalah didnding atau majalah sekolah. Jangan
pernah menulis hanya untuk mengejar kenaikan pangkat. Menulislah terus, sampai
bernafas dengan kata-kata dan biarkan kata berbicara. Itulah budaya literasi.
Itulah generasi emas NTT.
Pemerintah daerah, tetaplah menjadi seorang negarawan.
Bukan hanya seorang politisi. Seorang negarawan adalah dia yang memikirkan masa
depan Nagekeo hingga 100 bahkan 1000 tahun dari sekarang. Dia pasti dan harus
memprogramkan kegiatan yang produktif termasuk kegiatan yang digalakkan oleh
MPC-NTT ini. Bila mau jujur, selama ini MPC-NTT
berjalan sendiri. Belum ada alokasi
anggaran untuk mendukung gerakan literasi ini. Kami butuh walau tidak
pernah berharap banyak. Cerita ini adalah cerita pendidikan kita. Mari, kita
bersinergi dan berkolaborasi hingga pada bentuk yang paling konkrit. Termasuk
soal alokasi anggaran.
Adakah MPC-NTT menagih biaya saat tulisanmu
dipublikasikan? Tidak. MPC-NTT tidak pernah memurahkan keahlianmu dalam
bentuk lembaran rupiah. Bagi kami buah
pikiranmu mahal. MPC-NTT hanya minta kamu terus membaca. Penulis terampil lahir
dari seorang pembaca. Berlanggananlah dengan MPC-NTT, supaya kamu terus membaca.
Bukan hanya tentang karyamu yang
terpublikasikan tetapi tentang manfaat besar saat kamu terinspirasi dari
tulisan orang lain. Berlangganan dengan MPC-NTT, tidak pernah membuatmu jatuh
miskin tetapi malah sebaliknya. Kamu diperkaya dan diperkokoh secara batiniah
dan nalar.
Epilog
Inerie terbangun. Cerita akan hadirnya cakrawala di kaki
Ebulobo terdengar sudah. Ia pasti bangga. Cakrawala yang pernah melintas di
atas kawahnya telah tiba di Ebulobo. Cakrawala memang pernah ke lereng Inerie.
SMAN 1 Golewa, SMPN 1 Golewa dan SMAS St. Thomas Aquino Mataloko adalah saksi.
Tiga sekolah binaan cakrawala NTT yang setahun terakhir jarang dikunjungi
cakrawala. Tahu kenapa? Nanti aku ceritakan
Walau pernah bertengkar, kenyataan terberi dalam hikayat
tua itu pasti. Ebulobo dan Inerie adalah sepasang suami istri. Mereka saling
mencintai. Tidak mungkin mereka bercerai. Hukum adat dan agama tidak memungkinkan
untuk itu. Cepat atau lambat, cakrawala pasti akan menuju lereng Inerie sebelum
melambung menuju puncak kelimutu atau kaki Namparnos di Manggarai. Untukmu
Ebulobo, kuucapkan terima kasih. Janji kami pasti. Cakrawalamu datang, berbagi
dan ingin tetap tinggal di kakimu. (*)
mantap k.Gusty.. tulisan yang memotivasi,, ijin share pak Pres :)
ReplyDelete