Tuesday 7 December 2010

WATU TIMBANG RAUNG

“Inilah kesempatan bagiku untuk berdua” Pikirnya. Ia mndekati gadis yang berada tak jauh darinya. Tampak Lusi begitu tenang Seakan telah menduga maksud dari laki-laki tampan berwajah mongoloid yang dicintainya itu. Anton memegang tangan Lusi dan memandang bibir yang sensual, wajahnya yang merah segar dan matanya tang tajam penuh kelembutan dan ketulusan yang dalam. Tiba-tiba debaran dada Anton melonjak-lonjak, seolah-olah jantungnya menjadi terlalu sempit hendak pecah, keringatnya perlahan-lahan mengalir dari sekujur tubuhnya. Tampak Lusi tetap berdiam dan menunggu walau sedikit terganggu oleh denyut jantungnya sendiri. Namun genggaman tangan Anton bukannya semakin erat tetapi malah mengendor dan Lusi merasakan itu.
“Ada apa anton?” tanya Lisi setengah berbisik.
“Aku takut Lus”
“Kenapa kamu takut?”
“Lus....sebenarnya jarak antara kau dan aku sangat lebar dan dalam. Bukan secuil bantara yang dengan mudah kutapaki. Bukan pula sebuah plastik transparan yang mudah kuterobosi. tetapi diantara kita terdapat jurang yang amat lebar dan dalam. Aku sungguh mengenal ketulusan hatimu dan kusadari bahwa aku memang sangat mencintai kamu. Tetapi aku tidak ingin kamu kecewa dan tersakini bila akhirnya cinta yang terbina itu akhirnya pudar oleh kerena banyaknya perbedaan diantara kita. Apalah artinya dari cinta seorang yang miskin dan melarat seperti aku”. sahut Anton sedikit serak. Lusi membisu seakan tak ada kata yang cocok untuk mengukapkan isi hatinya dan akhirnya ambruk dalam pelukan Anton. Ia menangis sejadi-jadinya dan tidak ingin lepas dari pelukan Anton. “Lus....kita ditakdirkan untuk lahir dalam budaya seperti ini, bahwa keturunan Kraeng seperti kamu tak mungkin bersanding dengan keturunan Mendi seperti saya. Masyarakat kita tidak mengenal banyak mengenal arti sebuah cinta. Bagi mereka cinta adalah harta dan harga diri. Kamu tahu itu kan? Lusi tetap membisu kemudian menatap Anton dan membiarkan butiran bening membasahi wajahnya yang putih bersih itu. “Kak... Yang aku tahu bahwa kekuatan cinta mampu mengalahkan semuanya termasuk jurang perbedaan diantara kita. Bukankan manusia itu terlahir oleh cinta, dari cinta dan untuk cinta?. Anton tersenyum bangga digenggamnya tangan Lusi sambil mendaratkan sebuah ciuman pertama yang sangat lembut dibibir Lusi. Ingin rasanya mereka berada lebih lama lagi ditempat lokasi mata air itu namun suara gogong membuat mereka segera berpisah. Luci menuju mata ait dan mencuci pakaian sementara Anton segera menghilang dibalik pepohonan seolah-olah hendak mencari kayu api. Akan menjadi sebuah berita yang heboh dan memalukan apabila mendapati dua orang berlawanan jenis berada bersama apalagi di tempat sunyi seperti ini sebab banyak masyarakat masih berada di kebun dan sekitar jam lima sore sepulang dari kebun baru datang menimba air atau mencuci. Bila kedapatan tak segan-segan mereka dicambuki di halaman kampung bahkan dikucilkn dari pergaulan masyarakat. Apalagi yang didapat itu adalah masyarakat yang berbeda status seperti Anton dan Lusi. Ada banyak perasaan mulai berkecambuk dihati lusi, jangan sampai ada orang yang menyaksikan adegan romantis yang ilegal itu. Tetapi bukanku sekarang baru pukul setengah tiga sore? Tiba-tiba bulu kuduknya merinding, sebab menurut cerita tempat ini sangat angker dan tak seorangpun berani datang pada jam dua belas hingga jam empat sore. Kalau bukan demi cintanya pada Anton dia tidak mungkin datang jam jam dua seperti ini dan mencuci pakaian. Oarang tuanya sangat memanjakan dia sebagai anak putri semata wayang dari keluarga. Belum hilang rasa takutnya tiba-tiba seorang nenek menyapanya dari arah belakang. “Eneng.........cuci ko? Dia langsung menoleh dengan sedikit berteriak karena kaget. Seandainya saja dia tidak kuat pasti langsung ambruk seketika ketika mendengar dan melihat wajah orang yang menyapanya. Lopo Gina. Seorang nenek yang dikenal masyarakat memiliki kekuatan gaib yang membahayakan (Suanggi). Memang dilihat dari wajahnya yang hitam terbakar sinar matahari ditambah dengan giginya yang hampir punah dan rambutnya yang memutih tak terawat dengan tatapan mata yang tajam sepertinya predikat suanggi amat cocok dilekatkan pada dirinya. Lopo Gina sangat mengagumi kecantikkan Lusi yang begitu cantik bagai bidadari yang turun dari kayangan. Memang selama hampir sepuluh tahun terakhir semenjak diusir warga desa karena dituduh memiliki suanggi ia jarang beretemu dengan orang lain kecuali anak laki-laki dan cucunya yang amat dicintainya. Dia sengaja datang menimba air pada jam seperti ini agar tidak bertemu dengan orang sebab ketika mayarakat melihatnya mereka spontan lari seperti dikejar harimau. Pandangan masyarakat terhadap diri terlampau hitam. Tidaklah heran apabila ia terus menatap Lusi yang dikenal waktu kecil ketika adik lusi yang kedua lahir melahirkan. Ada rasa bangga dan kagum dihatinya melihat anak bangsawan mencuci sendiri pakaiannya. Amat jarang dan hampir tidak pernah terjadi seperti itu sebelumnya. Mereka biasanya memiliki banyak pembantu. Jangan untuk mencuci pakaian, menimba air untuk mandi saja pembantu yang kerjakan semuanya. Namun sayang, Lusi sudah ikut dibentuk oleh pandangan umum mengenai lopo Gina. Sekujur tubuhnya dibanjiri oleh keringat oleh suhu badannya drastis naik oleh rasa takut yang amat dalam. “ Lus....Kamu belum selesai cuci ? sahut Anton yang datang dari balik dedaunan. Ingin rasanya Lusi melompat dan ingin memeluk Anton tapi akhirnya ia mampu menahan diri. Anton adalah penyelamatnya. Melihat kehadiran Anton Lopo Gina hanya tersenyum penuh pengertian dan setelah menimba air iapun segera berlalu dari hadapan kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu. Anton hendak mengyakinkan Lusi bahwa Lopo Gina adalah nenek yang paling menyayanginya dan hanya dialah kunci rahasia hubungan mereka, lusi berkata lirih dicekam rasa takut yang masih mencekap dalam dirinya
“Seandainya saja kamu tidak segera datang pasti aku langsung mati berdiri di sini”
“ Memangnya kamu takut dengan dia? Yah.....muka memang menakutkan.........”
“ Dan ia memiliki suanggi. Karena dialah Adikku meninggal beberapa tahun yang lalu”
“ Ka....a....mu..........” kata Anton terbata-bata dan telingga tersasa dibakar disambar petir disiang bolong ketika menedengar perkataan Lusi
“ Kenapa kamu kenal dia? tanya lusi ketika menangkap suatu yang aneh dari siakp Anton. Anton mengelengkan kepalanya walau Ingin rasanya segera menjawab “Ya” tetapi ia takut kehilangan Lusi hanya karena sebuah pengakuan. Lopo Gina yang ditakuti Lusi itu adalah nenek yang amat mencintai dan dicintai Anton. Nenek yang selama ini selalu mengajarnya dan menasihatinya untuk selalu hidup jujur, rajin berdoa dan mampu memaafkan orang lain. Sebagai anak tunggal, Anton menjadi anak emas keluarga khususnya dari Lopo Gina. Bahkan diusianya yang hampir dewasa ini Lopo Ginalah yang menjadi tempat curahan hati Anton ketimbang mamanya sendiri khususnya mengenai hubungannya yang khusus dengan Lusi anak bangsawan yang disegani di desanya. Maka ketika Anton mendengarkan apa yang dikatakan Lusi hatinya terasa hancur berkeping-keping. Memang dia pernah mendengar cerita “miring” dari masyarakat tentang nenek yang amat dicintainya ini tetapi itu sepintas lalu dan Anton tidak terlalu memikirkannya. Anton segera berlalu sebelum beberapa orang pembantu menyusul Lisi dan meninggalakan Lusi yang hanya menatapnya penuh keheranan. Meminta Anton untuk menjelaskan sikapnya itu tidak mungkin sebab para pembantu telah tiba dan segera mengantarnya pulang ke rumah. Anton yang selalu ceria dan bahagia seakan tak mengenal kesusahan itu lebih banyak diam, murung dan selalu meyendiri menarik perhatian cukup menarik perhatian keluarga hingga kemudia ayahnya mendekati dan menanyakan prihal sikapnya itu. Awalnya Anton merasa berat untuk menceritakannya tetapi karena selalu dibujuk akhirnya diapun menceritakan semuanya penuh nada kecewa, tidak puas dan sakit hati yang amat dalam. Dia menangis seperti seorang anak kecil yang merindukan belaian manja dan kata hiburan dari orang tuanya. Kemudia ayahnya menjelaskan : “Itulah susahnya menjadi orang kecil. Kita tidak bisa berbuat lebih bayak kecuali hanya bisa menunduk, mengangguk dan diam. Nenek kamu adalah korban keangkuhan dan ketidakadilan dari masyarakat lapisan atas. Dulu nenekmu dikenal sebagai orang yang pandai membantu semua ibu yang hendak melahirkan tanpa mengharapkan imbalan. Satu-satunya orang dari lapisan mendi yang memiliki kemampuan sebesar itu. Hal ini tentu saja membuat orang-orang dari lapisan Kraeng merasa iri hati. Berawal dari sikap ini maka mamanya Lusi tidak mau mengundang nenekmu untuk ikut membantu proses persalinannya dan karena tidak ada yang bisa membantu maka mamanya Lusi dan bayinya ( adik Lusi) meninggal. Ayah Lusi tentu saja merasa terpukul dengan pristiwa ini dan menjadikan nenekmu sebagai “kambing hidup” atas kematian istri dan anaknya. Nenekmu hampir dibunuh tetapi utunglah ada orang yang berhati baik untuk membelanya maka dia hanya diusir dan dikucilkan dari pergaulan masyarakat hingga sekarang”.
Dalam keadaan yang serba menentu itu akhirnya Anton memutuskan untuk pergi merantau sekadar menghilangkan kepenatan dalam pikirannya tanpa sepengetahuan Lusi, Lopo Gina dan orang tuanya. Dia pergi mebawa serta kehancuran di hatinya dan hanya bisa membiarkan roda waktu yang amat teratur itu untuk merangkainya kembali.
Enam tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Anton untuk menerima bisa menerima dan memahami kenyataan hidup yang dialaminya itu. Dalam waktu itu juga ia berhasil menemukan arti sebuah hidup sebagai sebuah roda yang senantiasa berputar. Dirnya yang dulu serba kekurangan kini memperoleh pekerjaan yang tetap dngan hasil yang sangat memuaskan. Segala sesuatu yang diinginkannya pasti didapat. Staus Mendi yang pernah melekat pada diri dan keluarganya kini telah menjadi certa masa lalu yang hanya perlu dikenang. Namun ditengah keberlimpahan harta dan kekayaan ada suatu ruang kosong yang terus memaksanya untuk diisi yakni Cinta. Cinta yang tulus dan sempurna dari seorang gadis. Maka disaat itulah bayangan dan kata-kata Lusi kembali melintas dalam benaknya “Kak... Yang aku tahu bahwa kekuatan cinta mampu mengalahkan semuanya termasuk jurang perbedaan diantara kita. Bukankan manusia itu terlahir oleh cinta, dari cinta dan untuk cinta? Hal inilah yang membuatnya ingin kembali ke kampung halamannya dan merajut kembali benang cinta yang pernah putus oleh pristiwa masa lalu. Betapa sedih hatinya ketika nenek yang dikasihinya telah meninggal dan yang ada hanyalah sebuah kuburan yang berukuran tiga kali lima meter. Lebih dari itu Anton seakan tak percaya bahwa akan apa yang dialami keluarga Lusi yang dulu memiliki harta yang berlimpah dengan pembantu yang banyak , kini hanya menempati sebuah bangunan tua yang reot di pinggir desa. Ayah lusi sang bangsawan itu kini diliti beban utang yang kian hari kian besar oleh sistim ijon yang tidak manusiawi dari beberapa pemilik modal di desanya. Dan bagaimanakah dengan Lusi? Lusi........yah Lusi hanya menjadi sebuah nama masa lalu yang mampu menebarkan jantung dari setiap pemuda yang memandangnya. Kini dia tidaklah lebih dari seorang gadis yang menjadi tumbal keangkuhan keluarganya. Badanya kurus bagai mayat hidup yang hanya menanti saat untuk dieksekusi mati. Dia berusaha tersenyum memandang Anton yang terus meneteskan air mata memandang keadaannya. Cintanya yang layu bersama impiannya yang hancur untuk hidup bersama dengan Lusi. Tiga hari hari lagi Lusi akan dieksekusi mati secara adat sebagai pelunas hutang keluarganya, Lusi berpesan “Kak....aku sangat bahagia memandangmu disaat-saat menjelang kepergianku. Aku hanya mau mengatakan kepada kamu bahwa kekuatan dapat mengalahkan perbedaan manusia. Sebab kita memang terlahir dari sumber cinta yakni Tuhan sendiri. Ada karena cinta dengan kehadiran sesama disekitar kita dan untuk cinta melalui sikap pengorbanan. Aku ingin ingin kakak menjadi saksi dari semua pernyataanku ini dan sekalipun kita tak dapat hidup bersama tetapi aku sungguh menyadari bahwa didunia ini tidak ada yang abadi kecuali sebuah cinta yang tulus tanpa dibatsi oleh apa dan siapapun. Aku sungguh mencintai kamu”. Anton memeluknya dengan penuh kasih dan tidak menghiraukan orang-orang disekitarnya “saya akan melunasi semua hutang keluarga kamu dan mebawa memperkarakan orang-orang yang telah menjerat keluargamu dengan ijon yang cukup tinggi” sahut Anton dengan tulus. “Aku sendiri bangga denga kamu Ton. Tapi apakah engkau pernah berpikir bahwa kekayaanmu itu bersifat sementaraa? tidak! kalau kamu mau bagikanlah hartamu itu pada orang-orang yang mebutuhkannya. Apakah engaku bisa membayar hutang keangkuhan dan ketidakadilan yang dibuat oleh keluargaku terhadap Lopo Gina. Palu sudah dijatuhkan” jawab Lusi tegas dan membuat Anton tersudut serentak ada rasa kagum dihatinya. “ Lus....aku juga bangga dengan kamu dan seperti yang kamu katakan bahwa kekuatan cinta dapat mengalahkan perbedaan tetapi kenapa kita harus berpisah? Kenapa yang satu dihukum dan yang lain menghirup napas kemerdekaan? Aku ingin pergi bersamamu dalam alam yang berbeda sekalipun” sahut Anton mengyakinkan. Lusipun kembali jatuh dalam pelukannya untuk terakhirkalinya ia kemali mengecup bibir Lusi dengan lembut.
Adapaun di bagian barat kampung itu terdapat gunung batu yang amat tinggi, kira-kira dua ribu kilo meter tingginya. dipuncaknya terdapat batu tempelan yang menjorot keluas dengan panjang mencapai dua puluh lima meter dengan lebar tiga meter. Lusi harus berjalan sebanyak tujuhkali di atas bati tempelan itu sambil membersihkan rambut dengan remah kelapa (rono). Dan bila ia berhasil maka seluruh hutang keluaganya dihapus. Semua orang tahu termasuk Anton bahwa dipuncak batu yang tinggi itu anginya sangat kencang dan jangankan dalam posisi berdiri apalagi berjalan merangkak saja pasti langsung dihempas angin dan jatuh berkeping-keping. Oleh karena itu bayangan kematian Lusi sudah melakat dibenak Anton. Ia pergi menuju pondok kecil temapt Lopo Gina berdiam dulu. Menikamkan dirinya dan langsung tewas seketika. Gong dan gendang ditaburkan pratanda saat-saat dieksekusi telah tiba. Lusi diantar beberapa orang tapi mereka tidak berani sampai dipuncak dan menyuruh hanya menyuruh Lusi untuk mendaki hingga mencapai puncak dan melakukan apa yang sudah diperintahkan. siapa yang pernah menduga ketika Lusi berhasil melakukan itu dan terluput dari bahaya maut itu. Tetapi ia tidak pernah turun kembali sebab yang berjalan diatas itu bukan Lusi tetapi seorang bidadari dan ketika semua warga desa menuju tempat eksekusi itu ia menyusuli Anton ke pondok Lopo Gina dan kembali menikam dirinya. Mereka akhirnya bergabung dalam kelompok bidadari dan tempat itu kini disebut “Watu Timbang Raung” (Batu untuk menimbang hutang).

Watu Timbang Raung, terdapat di desa Regho dan telah menjadi salah satu obyek wisata Kab. Manggarai Barat. Bersamaan denga meletusnya gunung Krakatau batu tempelan itupun patah. Tetesan air pencuci rambut telah menimbulkan mata air di bawahnya dan masih ada hingga sekarang.
Kraeng, Golongan bangsawan
Mendi, golongan hamba
Eneng, panggilan untuk seorang anak perempuan
Lopo, panggilan untuk seorang nenek yang sudah sangat berumur.
Share:

0 comments:

Post a Comment