Dalam setiap bangsa dan budaya, salam merupakan kata sentral dalam sebuah relasi. Orang bisa dan lazim memberI salam dan menerima salam. Apapun cara dan gaya dalam hal memberi salam atau menerima salam semuanya bermuara pada sebuah pengertian tunggal bahwa kita adalah pribadi yang pantas untuk dihargai. Dengan demikian kita tiba pada sebuah kesadaran bahwa menghargai orang lain sama halnya menghargai diri sendiri. Memberi salam kepada orang lain adalah bentuk yang kelihatannya biasa dan sederhana. Mungkin karena hal itu bersifat sederhana dan biasa banyak orang justru melupakan atau mengabaikannya. Anggota keluarga dalam rumah misalnya, enggan untuk memberi salam atau menerima salam satu sama lain hanya karena selalu bertemu dan selalu ada bersama. Padahal salam adalah tanda atau simbol yang nampak jelas dari sebuah relasi yang hidup dan harmonis. Tentunya salam dalam hal ini bukan soal kepentingan atau prosedur yang mesti dibuat seperti salam seorang ajudan untuk seorang Bupati atau Gubernur, atau salam seorang perwira untuk pimpinannya ataupun salam seorang penjaga supermarket untuk para calon pembeli dan sebagainya. Salam dalam konteks ini adalah sebuah sikap bebas yang tulus dan spontan sebagai bukti eratnya rasa persaudaraan.
Penginjil Matius menampilkan cerita Yesus soal sikap yang mesti ditunjukkan pada murid saat pertama kali berkunjung pada sebuah rumah yakni memberi salam. Salam menjadikan kata awal yang terbilang kramat untuk sebuah relasi. Atau dengan bentuk lain, relasi dapat dibangun sejauh apakah salam itu diterima atau tidak. Yesus berpesan, apabila kamu masuk sebuah rumah berilah salam kepada seisi rumah itu, jika mereka layak menerimanya maka salammu itu turun ke atas mereka dan jika tidak salam itu akan kembali kepadamu. Apakah arti pernyataan ini? Terlihat jelas bahwa salam bukan sekadar kata hampa belaka. Salam adalah sebuah kalimat kramat yang berdaya guna dan bersifat mengikat. Lebih lanjut salam dilihat sebagai benih yang siap untuk ditaburkan. Lahan dan tanah yang adalah hati nurani tempat yang sepantasnya menerima benih atau salam tersebut. Semakin terbuka dan rendahnya sebuah hati maka salam itu akan ditaburkan dan berbuah dalam bentuk relasi yang hidup, rasa persaudaraan dan solidaritas. Namun jika salam itu tidak mendapat tempat atau ditolak maka yang ada hanyalah kekosongan, kecemasan abadi dan ketiadaan harapan serta kehilangan inspirasi. Kepada para muridnya Yesus berpesan agar jangan pernah berharap apalagi memaksa agar salam itu diterima. Salam itu hendaknya menjadi sebuah aliran air yang pantas mengalir pada sebuah huma yang rendah dan terbuka untuk diairi.
Setiap hari kita mendengar, memberi dan menerima salam tetapi sejauhmana kita memahami dan mekanai arti sepenggal kata salam. Apakah salam hanya dilihat sebagai sebuah kebiasaan yang semakin hambar dalam sebuah rutinitas harian yang sama dan monoton? Seberapa banyak kita memberi salam kepada semua orang tanpa harus melihat latar belakang kehidupannya. Apakah kita hanya memberi salam kepada orang yang sama status dengan kita atau memberi salam kepada orang yang berpengaruh baik dalam hal jabatan politis, keagamaan, kemakmuran ekonomi dan sebagainya ketimbang orang-orang biasa yang serba kekurangan dalam banyak hal? Dalam perayaan ekaristi kita selalu meberi salam damai kepada sesama di sekitar kita tetapi sejauhmana itu diaplikasikan dalam keseharian kita sehari-hari baik di rumah, di tempat kerja atau di tempat lain? Sesederhana apapun sepenggal kata salam sangat berarti bagi yang membutuhkannya. Berilah salam sebelum anda menerima salam. Ketahuilah, salammu adalah doamu dan juga dukunganmu. Semoga dihadapan terang Sabda Allah dan Roh pemberi akrunia lenyaplah kegelapan dosa dan kebutaan manusia tak beriman dan semoga hati Yesus hidup dalam hati semua orang. Amin
0 comments:
Post a Comment