Wednesday, 29 March 2017
Tuesday, 21 March 2017
CAKRAWALA DI PUNCAK MUTIS
Masih ingat Cerita tentang “Cakrawala Di Muara Benenain? Silahkan
tengok di MPC-NTT, Tahun III/Edisi 63/Vol.1/Desember-2016. Gunung Mutis,
tersebut di dalamnya. Cerita sungai Benenain, akan hambar tanpa kehadiran
gunung Mutis. Gunung tertinggi di Pulau Timor setelah gunung Lakaan. Sang
penyair muda, Robert Fahik memuat hikayat tua dalam novelnya “Seperti Benenain
Cintaku Terus Mengalir Untukmu” tentang cerita cinta berakhir sedih antara Raja
Mutis dan gadis Malaka. Benenai
terbentuk oleh air mata seorang raja dari gunung Mutis; gunung tertinggi di
pulau Timor bagian Barat. Sang raja begitu mencintai seorang gadis Malaka.
Namun suatu ketika keduanya harus berpisah. Sang raja yang kembali ke Mutis
mengungkapkan kerinduannya kepada sang kekasih dengan menangis. Air mata sang saja itulah yang kemudian membentuk
aliran sungai Benenai.
“Walaupun
jauh, perlahan-lahan air mataku ini akan sampai ke sana (Malaka),” kata sang
raja, yang dalam bahasa Tetun diungkapkan seperti ini: “Kdok mos so’in. Be
nai-naik to’o dei.” Kata “be nai-naik” (tapi perlahan-lahan) dalam
perkembangannya mengalami perubahan menjadi “Benenai”, nama untuk sungai ini. (Hal
...) ”
Perjalanan menuju SMAN Mutis,
tepatnya di Desa Naikake, Kecamatan Mutis A-Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU)
ditempuh dalam jumlah jam yang sulit ditebak. Tahu kenapa? Ruas jalannya sangat
sempit, curam, licin-berlumpur. Luka, air mata dan darah mewarnai seluruh
cerita perjalanan ke tempat ini. Sangat sulit dibayangkan jika ini adalah ruas
jalan menuju istana tua bernama Mutis. Sungai Aplal terus mengalir dan
cenderung banjir. Tidak ada jembatan penyemberangan. Puluhan nyawa hanyut
begitu saja. Mereka adalah tumbal minimnya perhatian negara di tapal batas
NKRI.
Di Tepi Sungai Aplal
Tim Cakrawala membasuh raga yang
letih dan berlumpur di sungai Aplal pukul 03.00 dini hari. Gelap dan dingin.
Gervas Salu, formator Cakrawala wilayah TTU terus memberi semangat. Kalimat
“dekat sa, sonde jauh” diucapkannya sejak pukul 10.00 siang tadi saat beranjak
dari Kota Sari-Kefamenanu. Inilah Indonesia. Merah-Putih yang selalu
kubanggakan. Hp oppo-ku bersiul.
Kepala sekolah SMAN Mutis, Yohanas Donbosko Naif, S.Fil mengirim pesan. “Pak
Gusty, saya mendapat kabar kalau tim Cakrawala sudah tiba di sungai Aplal.
Sudah sepuluh menit yang lalu, beberapa orang guru dan siswa pergi menjemput.
Maaf. Harus mendaki lagi untuk belasan kilometer menuju SMAN Mutis. Kami tetap
setia menunggu di sini. Salam.”
Memang benar. Dari kejauhan di puncak sana,
beberapa titik cahaya lampu kendaraan roda dua terus mendekat. Jemputan akan
segera datang. Sepuluh menit yang lalu saya terpaksa meminum air sungai ini
karena kehausan. Hp oppo-ku bersiul
lagi. Membacanya, hatiku bergetar. “Benar bahwa ada hikayat tua tentang adanya
kerajaan di gunung Mutis ini. Tetapi itu adalah sebuah hikayat yang terlampau
tua hingga jauh dari kebenaran. Pak Gusty, gunung Mutis hanyalah sebuah nama
dari sebuah kata “tertinggal dan terpencil”. Jika ada guru yang datang bertugas
di salah satu sekolah di tempat ini maka sudah pasti ia dilabeli sebagai guru
buangan karena bermasalah. Kami ingin tetap di sini. Di tempat inilah kami lahir
dan dibesarkan. Kami tetap mencintai tanah ini. Tetap setia menjaga tapal batas
NKRI. Selamat datang tim cakrawala, penggerak literasi NTT di puncak Mutis.”
NTT butuh lebih banyak kepala sekolah
visioner. Yohanas Donbosko Naif, S.Fil adalah satunya. Ia mengedepankan
pelayanan dan profesionalisme. Mengutamakan kebutuhan peserta didik dan rekan
guru. Bukan guru penunggu tunjangan dan sertifikasi. NTT juga butuh banyak guru
yang layak untuk digugu dan ditiru. Bukan guru berpikiran politik praktis dan prakmatis
sehingga cenderung menjadi “penjilat”. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat (STFK)
Ledalero-Maumere ini sangat berharap dan “memaksa” Cakrawala NTT ke Mutis. Itu
bukan karena kami dari rahim almamater yang sama. Tetapi cakrawala berpikir,
spiritualitas dan mimpi kami sama. Memberi diri seutuhnya untuk generasi emas
NTT 2050.
“Pak Gusty ... para guru dan siswa/i SMAN
Mutis merindukan kehadiran cakrawala. Cerita cakrawala di muara Benenain telah
sampai di Mutis. Tidak ada jawaban tepat “tuk mengobati kerinduan itu, selain
kehadiranmu sendiri. Tentang kehadiranmu telah kami jadwalkan di tanggal 19
Desember 2016. Kami ingin merayakan HUT Provinsi NTT tahun ini bersamamu di “kerajaan”
Mutis,” ujar Donbosko sambil terkekeh.
Harapan dan kerinduan ini adalah
sebuah kebanggaan bagi keluarga besar cakrawala. Artinya, kehadiran cakrawala
tidak untuk disegani apalagi ditakuti tetapi justru sangat dirindukan. Bagi
kami, ini sebuah prestasi. Namun, tanpa bermaksud angkuh, menetapkan jadwal
tanpa sebuah proses konsultasi adalah sebuah kesalahan. Perjalanan tim formasi
cakrawala terencana dan terjadwal. Hmm...belum lagi banyak yang memberi
kesaksian kondisi jalan menuju tempat ini.
Mengapa tim cakrawala akhirnya
memutuskan menuju Mutis? Ini sebuah pertanyaan abadi. Hingga kini saya sulit
menjelaskannya. Ada sebuah getaran hati terdalam. Memaksaku untuk mengatur
kembali jadwal yang sudah terencana. Terpaksa jadwal pendampingan menulis untuk
beberapa sekolah di Alor dan Flores ditunda ke bulan Januari 2017. Hanya untuk mendapat
kesempatan menuju SMAN Mutis. Yah...dalam konteks cerita hikayat tua itu,
mungkin “gadis Malaka” telah bercerita banyak tentang hadirnya cakrawala dan
segala yang diperbuatnya di muara Benenain kepada sang “raja Mutis”. Adakah
getaran hati terdalam itu pratanda sang “raja Mutis” bertitah agar cakrawala
segera mengunjungi wilayahnya? Saya tidak tahu.
Cakrawala Di Puncak Mutis
Kosmas Taninaf, guru komite SMPN
Mutis memboncengiku. Menerjang arus sungai Aplal dan membawaku menuju SMAN
Mutis. Jalan bertanjakan tajam, lumpur, licin dan berlubang dalam puluhan
kilometer. Sok motornya telah lama tidak berfungsi. Ia lahir dan besar dari
wilayah ini. Sepanjang perjalanan, Kosmas lebih banyak ber-“curhat”. Cerita
berawal dari situasi dan kondisi jalan menuju tanah kelahirannya hingga
nasibnya sebagai guru komite yang jauh dari perhatian pemerintah.
“Setiap tahun, selalu ada yang datang
mengukur jalan ini. Orang yang berbeda dan jenis seragam berbeda membuat cat
dipakai sebagai tanda pengukur jalan juga berbeda. Kami selalu antusias
menyambut walau kami tahu itu hanyalah sandiwara. He....e...tentunya mereka
beda dengan tim cakrawala yang kami sambut sekarang ini. Prinsip kami sekarang,
biarlah kami tetap begini asal anak-cucu kami dibukakan cakrawala berpikirnya.
Mereka harus sekolah. Ketrampilan menulis adalah salah satu cara agar nantinya
mereka bercerita kepada dunia tentang kami dan daerah perbatasan ini. Di sini,
di kampung ini ada kehidupan dan harapan. Sesungguhnya kami menunggu kehadiran
Bapak sebulan yang lalu ketika Bapak Kepala Sekolah menginformasikan terkait
kehadiran tim cakrawala di sini. Kami sangat bangga,” ujar Kosmas sambil meliuk-liukkan sepeda
motornya. Sesekali saya harus turun dan berjalan kaki jika ada tanjakan yang
licin-berkumpur. Lalu bagaimanakah nasibnya sebagai guru komite? Ia hanya ingin
mengabdi. Tanggungjawab moralnya jauh lebih tinggi dari hitungan rupiah. “Kami lahir dan besar di sini. Ini tanah
kami. Apapun bentuknya, kami berjuang agar Mutis dikenal, diperhatikan dan maju
dalam berbagai bidang kehidupan. Termasuk pendidikan.” tandas Kos penuh haru.
Untuk beberapa saat kami terdiam. Tanpa kata dan suara. Akhirnya Tim cakrawala
tiba di puncak Mutis.
Bimtek Penulisan Karya Ilmiah, Upaya
Peningkatan Mutu Guru Perbatasan. Itulah tema kegiatan ini. Sebuah kegiatan
pendidikan yang profesional dan bermartabat. Puluhan guru dan siswa/i pilihan,
hadir penuh antusias. Cakrawala bersinar terang. Awan hitam yang menyelimuti
puncak Mutis pergi begitu saja. Tersisa hanyalah hembusan angin pegunungan yang
sejuk penuh manja. Tidak ada suara. Hanya mata dan telinga tertuju saat saya
selaku Pimpinan Umum Media Pendidikan Cakrawala NTT berbicara. Mereka seperti
gelas kosong yang siap untuk diisi. Sebuah ketulusan dan keterbukaan hati yang
patut dicontohi. Bagi mereka ilmu itu mahal. Orang-orang yang berjauhan datang
untuk membagi ilmu adalah orang-orang kepunyaan Tuhan. Pada titik ini, saya
terharus dan menitikkan air mata.
Seorang guru senior yang dalam dua
tahun lagi pensiun angkat bicara. Dia adalah Emanuel Obe. Guru agama Katolik
SMAN Mutis. “Mengapa cakrawala datang terlambat? Ke manakah cakrawala selama
ini? Sekiranya dari dulu cakrawala datang dan mendampingi kami, tidak mungkin
saya nanti pensiun di golongan rendah. Saya memang belum bisa menulis tetapi
saya mau belajar. Tetapi siapakah yang mau mendampingi, menghargai dan
mempublikasi karya tulis kami? Tapi...tidak apa-apa. Banyak teman-teman guru
saya yang masih muda. Saya sangat yakin, ketika mereka trampil menulis, niscaya
siswa/i kami pasti trampil menulis. Pak Gusty, jangan tinggalkan kami lagi.
Datanglah lagi ke sini. Lihat, betapa siswa/i kami sangat merindukanmu.” ujar
Emanuel. Selain itu, seorang Rofinus Elu, Kepsek SDK noelelo, Naikake B kembali
berharap. Cakrawala NTT, jangan hanya hadir di SMA. Para guru dari belasan
Sekolah Dasar (SD) yang ada di wilayah Mutis ini sangat mengharapkan
pendampingan cakrawala NTT. Kami berharap, di awal tahun 2017 kita bertemu
lagi. Kami sangat butuh.
Epilog
Air mata sang “raja Mutis” mengalir sudah.
Bukan air mata dalam bentuk sungai seperti digambarkan dalam hikayat tua itu.
Jika sang raja merubah air matanya dalam bentuk aliran air sungai yang masa
dahsyat, mungkin tidak untukku dan tim formasi cakrawala. Air mata ini tulus.
Bukan air mata para buaya. Air mata haru sekaligus segumpal komitmen.
Bersinergi membangun pendidikan NTT dengan berbagai pihak. Kiranya rintihan
hati para guru dan generasi muda NTT di tapal batas NKRI-Mutis, didengar dan
ditindaklanjuti pemerintah pusat dan daerah.
Aku ingin kembali ke Mutis,
sebagaimana aku ingin kembali ke Kananggar-Sumba Timur, Adonara Timur-Flotim,
Keo Tengah-Nagekeo dan seluruh sekolah binaan cakrawala NTT se-Nusa Tenggara
Timur. Air mata tertumpah sudah. Air mati ini akan menghapus stigmatisasi NTT sebagai
negeri miskin dan bodoh. Menghapus kenyataan, NTT sebagai gudang TKI yang
bermodal otot. Mari, bersinergi membangun pendidikan, menuju NTT yang hebat dan
Indonesia yang jaya. Salam Cakrawala.
Thursday, 29 December 2016
Cakrawala di Muara Benenain
Prolog.
Mengalir saja. Tanpa hambatan, tanpa
paksaaan. Itulah sungai Benenain. Sungai ini mengalir di sepanjang jarak 135
kilometer. Tentunya jauh lebih panjang dari Sungai Noelmina yang hanya 97
kilometer. Walau kedua sungai ini terdapat di pulau Timor, namun sungai
Benenain jauh lebih dikenal dari sungai Noelmina. Tahu kenapa? Mungkin bukan
soal panjang alirannya tetapi cerita tragis di dalam pusaran aliran itu. Sudah
beratus nyawa menghilang di sekitar muara Benenain. Cerita banjir dengan segala
kerugian di dalamnya adalah cerita klasik yang hampir dirasa biasa dan
biasa-biasa saja. Masyarakat di sekitar muara sungai Benenain terlihat betah
dan “enjoy”. Tidak heran penyair muda Malaka, Robert Fahik mengekalkan sunggai
Benenain dalam novel beraroma tragis sekaligus penuh romantis. “Seperti
Benenain, Cintaku Terus Mengalir Untukmu”. Aliran sungai yang terhitung ganas
itu, kenudian dilihat dalam aliran cinta. Ah... nanti akan kuceritakan makna
terdalam dari novel ini. Kali ini tentang Cakrawala di muara Benenain.
Tentang sungai Benenain selalu mendulang
cerita harapan sekaligus keputusasaan. Yah, mungkin bisa dilukiskan dalam
fondasi pemikiran masyarakat China. Alam semesta ini digolongkan menjadi dua
yaitu baik dan buruk. Baik mencerminkan sifat Yang dan buruk mencerminkan sifat
Yin seperti diungkap dalam kitab klasik Taoisme (Tao te Ching) sebagaimana
dikutip oleh McCreery (dalam Scupin, 2000:289).
Lalu bagaimanakah kosmologi Cina ini,
dipadukan dalam cerita Benenain? Benenain di musim kemarau, pasti bercerita tentang
tumpukan ribuan kubik pasir yang bisa diambil begitu saja dan dijual dengan
harga yang sangat menguntungkan. Di sisi lain, ada bagian cerita walaupun tidak
mewakili semua, tentang kekeringan yang meresahkan dan berdampak pada gagal
panen. Bagaimana bisa dibayangkan, kekeringan justru terjadi di muara sungai
besar seperti Benenain? Lain cerita di
musih hujan. Setiap menit, ribuan pasang mata terarah ke gunung Mutis. Jika ada
tumpukan awan gelap kehitaman di sana, maka tak lama lagi sebuah banjir badang
segera datang. Batu, kayu, rumput dan lumpur, pasti dibawa serta. Setiap orang dituntut
untuk berjaga-jaga. Minimal bisa menyelamatkan diri atau keluarganya. Saat
banjir datang dan berlalu, ratapan akan kehilangan keluarga atau harta adalah
suasana pilu yang menyayat hati. Sementara itu, dari kampung tetangga terdengar
cerita tentang hasil perkebunan yang berlimpah. Beragam jenis buah-buahan segar
dari daerah sekitar Benanai, dirasakan oleh masyarakat hampir seluruh daratan pulau
Timor bahkan hingga ke pulau Flores dan Alor. Mungkin ini pula yang menjadi
alasan mengapa, masyarakat setempat sulit untuk meninggalkan daerahnya. Mereka
ingin tetap berada di tanah leluhurnya.
Gemuruh banjir yang ganas dan menakutkan, terasa biasa dan biasa-biasa
saja.
Kota Betun, yang berjarak tak jauh
dari jembatan Benenain, ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Malaka. Pusat pemerintahan,
ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Sebagai ibukota Kabupaten termuda di Provinsi
NTT, Betun butuh waktu dan biaya untuk berbenah dan perlahan pembangunan terus
mengeliat. Menata pembangunan yang terencana dan tepat sasar demi mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat, memang salah satu maksud hadirnya UU otonomi
daerah. Malaka memang butuh waktu, energi dan biaya untuk membangun khususnya pembanguanan
di bidang pendidikan.
Cakrawala Datang
Pagi masih belia. Dari Kota Sari
Kefamenanu, saya didampingi wartawan Cakrawala Kabupaten Kupang, Yupiter
Lionati beranjak menuju Betun. Mobil APV
hitam sengaja dipilih untuk menaklukan medan jalan yang katanya, berlubang
banyak. Demi memotong jarak tempuh, jalur Nurobo adalah pilihan tepat. Di
sepanjang jalan, wajah masa depan bangsa banyak terlihat dalam seragam
merah-putih. Menatap wajah mereka yang polos, terbayang kembali masa kecilku
yang penuh semangat dan gairah. Sesaat melirik pin bertulisan “ I Love Guru”
yang melekat di dada, Handphond-ku
berdering. Bapak Paulus Nahak, S.Pd, selaku ketua panitia kegiatan pelatihan
menulis karya ilmiah guru memberi kabar. “Peserta sudah ada dan sedang menanti
kehadiran bapak”, katanya singkat. Tiba-tiba wajah guru-guruku dari semenjak
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas
(SMA) datang melintas. Kebanyakan dari mereka sudah berumur, ada yang pensiun
dan beberapa yang lainnya sudah meninggal dunia. Para guru yang telah mengajar
dan mendidikku. Akhir-akhir ini banyak yang mengeluh dan pasrah, ketika mereka
harus menunjukkan profesionalismenya sebagai guru dalam bentuk karya tulis. Pemerintah
tuangkan itu dalam Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PerMenPAN-RB) No. 16 /
2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Guru-guruku
kebanyakan kandas di golongan IV/A bahkan beberapa diantaranya masih terkantung-kantung
di golongan III/C. Belum lagi dengan nasib guru-guruku yang saat ini masih berstatus
honor daerah dan komite?
Di pelataran Kota Betun, kami disambut udara panas yang
menyengat. Padahal Betun berada di pesisir pantai. Kemanakah angin bertiup?
Berhenti sejenak dan menukar pakaian adalah keharusan sebelum menuju SDK Betun
1 tempat kegiatan yang dimaksud. Kami langsung diterima Kepala Kantor
Kementrian Agama Kabupaten Malaka, Dra. Yosefina Matilda. Puluhan peserta yang
ada, adalah para guru agama senior. Ada yang satu atau dua tahun lagi pensiun.
Mereka meminta bahkan memohon agar tim Media Pendidikan Cakrawala NTT bersedia
mendampingi mereka menulis. “Pak Gusty, kami hampir menyerah. Jika hanya
sekadar untuk kenaikan pangkat tanpa ada kosekuensi lanjut terkait tunjungan
dan sebagainya, mungkin sebaiknya kami begini saja. Kami harus akui kalau kami
jarang menulis sebentuk karya tulis ilmiah. Kami para guru agama apalagi sudah
berumur begini, lebih banyak membaca Alkitab dan beberapa jenis buku doa yang
lain. Itupun kalau tidak sibuk di sekolah atau di rumah. Adoh...pusing”, ungkap
seorang peserta.
Tanpa menunggu lama, Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten
Malaka, Dra. Yosefina Matilda membuka kegiatan dengan resmi. Dinamika
pendampingan penulisan karya ilmiah dimulai. Kali ini tentang Karya Ilmiah
Populer. Apa yang harus tulis, bagaimana harus memulai dan kapan harus diakhiri
adalah teori singkat dari proses pendampingan ini yang hanya menelan waktu dua
puluh menit. Puluhan jam tersisa adalah kegiatan menulis. Pendampingan dari
orang per orang untuk menghasilkan tulisan sebanyak 800 kata. Di hari pertama,
kebanyakan peserta hanya bisa mendapatkan judul dan sedikit pendahuluan. Kesabaran,
ketelitian dan strategi menciptakan suasana rileks dan nyama, sangat dibutuhkan
dalam proses pendampingan ini. Itulah gaya tim Media Pendidikan Cakrawala NTT.
Nada-nada keakraban terselib dalam humor kocak yang membuat peserta terbahak
dan untuk sesaat lupa menulis. Tiga hari penuh, dalam proses mendampingan ini
akhirnya menuai hasil yang mencengangkan. Para peserta yang adalah guru-guru
senior itu, bisa menulis karya ilmiah. Mereka bisa karena mereka adalah guru.
Mereka menulis persolaan yang ditemukannya saat mengajar siswa/siswinya di
kelas, mencari akar dari persoalan itu dan akhirnya menulis beragam
langkah-langkah konkrit atau metode sebagai sebuah solusi.
Hujan turun ke kota Betun. Lebat dan lama. Udara panas diawal
kedatangan Cakrawala berubah sejuk dan nyaman. Aroma ilmiah terasa sudah.
Beberapa sekolah menengah siap menjadi sekolah binaan Media Pendidikan
Cakrawala NTT. Kerinduan dan penantian yang panjang selama tiga tahun akan
hadir sang Cakrawala terjawab sudah. “Kami sangat bangga atas kesempatan
istimewa ini. Ternyata keraguan bahkan ketakutan kami selama ini tidak benar.
Kami bisa menulis. Media Pendidikan Cakrawala NTT datang dan menjawab kebutuhan
kami. Kami berharap, jangan biarkan kami sendiri lagi. Kami sudah tua tapi kami
masih mau belajar. Dalam waktu tidak lama di awal tahun 2017, kami mau
mengundang cakrawala. Dalam Alkitab, memang sudah tertulis. “Allah menaruh
semua itu di cakrawala untuk menerangi bumi (Kej, 1:17)”, ungkap Gaspar Ulu,
guru Agama Katolik SMPN 1 Malaka Timur.
Epilog
Mengalir saja dan biarkan semuanya
terinspirasi. Media Pendidikan Cakrawala NTT datang dan selalu siap bersinergi
dengan siapapun dan lembaga manapun. Tujuan dan maksud hanya satu yakni
bersinergi membangun pendidikan, menyambut generasi emas NTT 2050. Dengan
demikian sasaran bidik cakrawala jelas yakni literasi pendidik dan peserta
didik. Guru dan siswa harus biasa dan bisa menulis. Guru yang digugu dan ditiru
harus mampu memberi telada atau formator bagi siswa untuk membaca dan menulis.
Siswa jangan pernah berkata “saya masih muda, baca dan tulis nanti dulu.” Jika
itu yang dipikirkan maka dunia tidak akan pernah mau mengenalmu. Bukankah
dengan membaca kita mengenal dunia maka menulis adalah cara cerdas untuk
dikenal dunia? Jika Benenain itu ada dan mengalir dalam maksud ganda, baik dan
buruk seperti dalam kitab klasik Taoisme (Tao te Ching), maka cakrawala NTT
bukanlah demikian. Media Pendidikan Cakrawala NTT datang dan membawa hujan
harapan dan rasa optimis para guru dan anak-anak NTT. NTT bisa, Indonesia jaya.
Benenain dan Cakrawala tetap ada dan terus
mengalir. Namun Benenain tidak akan pernah merubah wajah cakrawala yang
bertengger di atasnya. Benenain adalah realitas alam yang “bergantung” pada
posisi cakrawala. Itu artinya, merubah wajah Malaka bukan oleh sunggai Benenai
tetapi oleh cakrawala pendidikan. Generasi muda Malaka yang cakrawala (cakap,
kritis dan berwawasan luas) adalah penentunya. Hemat saya, pendidikan adalah
fundasi utama penggerak pembangunan daerah. Pemerintah, sekolah, orangtua dan
stakeholders pendidikan lainya, harus bersinergi membangun pendidikan.
Cakrawala telah datang dan ingin selalu bertengger indah di muara Benenain.
Salam Cakrawala.
Monday, 25 July 2016
Cakrawala NTT, Kami Rindu
Media Pendidikan Cakrawala NTT telah memberi aroma ilmiah di lembaga pendidikan NTT. Media ini memberi model dan konsep yang tepat dalam rangka mengakarkan literasi (baca-tulis) di kalangan guru dan siswa-siswi. Untuk kedua kalinya media ini mengunjungi sekolah kami. Terus terang kami rindu. Kami rindu untuk terus didampingi dan kami rindu tulisan para guru dan anak-anak termuat di majalah pendidikan kebanggaan masyarakat NTT ini. Pernyataan ini datang dari kepala sekolah SMA Kristen Payety, Maria Yuliana Galla, S.Pd saat membuka kegiatan pelatiahan jurnalistik dan karya ilmiah guru tahap II di aula SMA Kristen Payeti (25/7/2016).
Menurut
Yuliana, kegiatan pelatihan penulisan karya ilmiah bagi guru dan jurnalistik
bagi siswa-siswi sangat penting karena bersentuhan langsung dengan kebutuhan
guru dan siswa. ”Atas nama dewan guru dan komite sekolah, saya mengucapkan
selamat datang kepada tim Cakrawala NTT. Dalam rangka membumikan budaya
literasi di sekolah ini, kami menyambut baik dan mendukung penuh bagi
kelangsungan dan keberlanjutan kegiatan ini. Saya berharap, para siswa dan guru
dapat mengunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Memang saya sedikit kecewa karena
dari berbagai edisi yang diterbitkan, belum ada karya anak-anak dari sekolah
ini. Saya sangat yakin, ini bukan kesalahan
media tetapi kekurangan anak-anak kami. Saya berharap, akan banyak karya yang
muncul setelah pelatihan tahap II ini”, tanda Maria Yuliana.
Sementara
itu, Nimrot Ndjunkambani selaku koordinator divisi formasi Media Pendididkan
Cakrawala NTT wilayah Sumba Timur menjelaskan keseluruhan proses kegiatan pelatihan
karya ilmiah dan jurnalistik di wilayah Sumba Timur. Menurutnya, kegiatan ini
didukung penuh oleh pemerintah khususnya dari dinas P dan K Provinsi dan dinas
PPO Kabupaten Sumba Timur. “Dalam proses pelatihan tahap II, banyak sekolah di
Sumba Timur yang berniat untuk bergabung. Kami akan memulai kegiatan pelatihan
ini dari sekolah-sekolah dalam kota untuk selanjutnya menyebar ke sekeolah lain
di luar kota seperti sekolah-sekolah di wilayah timur dari Kabupaten Sumba
Timur. Tim yang datang kali ini adalah pak Gusty Rikarno selaku pemimpin umum
dan pak Robert Fahik selaku editor dan kepala divisi jurnal. Kita berharap
makin banyak guru yang naik pangkat dan siswa/i semakin terampil dalam hal
menulis”, ujar Nimrot.
Kegiatan
pelatihan karya ilmiah dan jurnaliatik di SMA Kristen Payety, berlangsung penuh
semangat dan antusias baik dari siswa-siswi maupun para guru. Sebagaimana yang
tertera dalam MoU antara Media Pendidikan Cakrawala NTT dan SMA Kristen Payety
berlangsung selama dua hari. Untuk pelatihan menulis tahap II ini berlangsung
dari tanggal 25-26 Juli 2016. Friday, 22 July 2016
Mengakarkan Literasi di NTT
Tanggal 5-9 Maret 1990 di
Jomtien-Thailand, 115 negara dan 150 organisasi bertemu dan menggelar
Konferensi Dunia membahas Education for All (EFA) atau Pendidikan Untuk
Semua (PUS). Koalisi besar berkolaborasi datang pemerintah nasional, masyarakat
sipil, kelompok pemerhati pendidikan maupun lembaga pembangunan seperti UNESCO
dan Bank Dunia. Semuaya berkomitmen meningkatkan semua aspek kualitas
pendidikan dan menjamin keunggulan semua.
Moment Hardiknas 2 Mei
2016, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Anies Baswedan
mencoba menawarkan konsep PUS tersebut kepada masyarakat Indonesia. Menurutnya,
pemerintah tidak bisa sendirian dalam menuntaskan masalah pendidikan. Dalam
seluruh kebijakan pembangunan
pendidikan, pemerintah atau birokrasi harus terbuka untuk belajar dari masyarakat.
Kementrian pendidikan dan Kebudayaan, memilih untuk merayakan kebangkitan
pendidikan Indonesia dengan semua pihak. Banyak sekali kelompok masyarakat yang
sudah dan sementara berkreasi memajukan pendidikan. Tidaklah berlebihan jika birokrasi
belajar dari masyarakat. (Kompas, edisi 30 Mei 2016)
Konsep
PUS di NTT Masih “Abu-Abu”
Dari tahun ke
tahun, masyarakat NTT selalu mengelus dada menahan malu. Hasil kelulusan Ujian
Nasional (UN) tahun 2016 jenjang SMP/MTs berada pada urutan 31 dari 34 provinsi
dan jenjang SMA/MA berada pada urutan 34 dan jenjang SMK pada urutan 26. Kualitas pendidkan NTT masuk dalam kategori
“Zona Merah”. Dosa siapakah ini? Siapa yang pantas menjadi ”kambing hitam”.
Apakah pemerintah pusat yang hanya menganggarkan dana hanya 1,56 persen atau
setara dengan Rp 36.700 per-siswa untuk setiap tahunnya? Apalah artinya Rp.
36.700 untuk sebuah kualitas pendidikan. Untuk membeli tas sekolah saja tidak
cukup.
Ataukah
dosa pemerintah Provinsi NTT yang seolah “memandang sebelah mata” pembangunan
pendidikan NTT? Bagaimanakah kelanjutan program revitalisasi Gong Belajar? Apakah
ini hanya sebatas sebuah seruan moral? Konsep revitalisasi Gong Belajar dalam
bentuk pemusatan jam belajar peserta didik seyogianya
harus dipertegas sesuai konteks lingkungan sekolahnya. Selain itu,
memaksimalkan peran guru melalui Kelompok Kerja Guru (KKG), MGMP, Kelompok Kerja
Kepala Sekolah (K3S), dan pengembangan model pembelajaran aktif, inovatif,
kreatif, efektif dan menyenangkan (PAIKEM) di sekolah dan mengelola sekolah
dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS) tidak boleh
sebatas seruan. Harus ada regulasi yang diikuti dengan sangsi yang jelas.
Ataukah dosa para guru? Hasil Ujian
Kompetensi Guru (UKG) yang berlangsung secara nasional, banyak guru termasuk para guru di Provinsi NTT memiliki
peringkat di bawah rata-rata nasional. Bagaimana bisa keluar dari zona merah
kalau gurunya saja tidak berkualitas? Ataukah ini dosa orangtua dan masyarakat?
Apakah tugas mendidik anak yang seharusnya menjadi tugas orangtua dilimpahkan
kepada guru? Bagaimana mungkin orangtua serta-merta mem-polisikan guru yang
sedang menjalankan tugasnya untuk mendidik anak? Hmm...Teruslah
mencari “kambing hitam” dan kita tetap berada pada posisi “Zona Merah”.
Saya menilai, pemerintah, sekolah,
komite dan masyarakat masih berjuang dan bekerja sendiri. Belum ada kolaborasi
yang jelas dan tegas. Dinas P dan K Provinsi dan dinas PPO Kabupaten/Kota
jarang mengadakan rapat koordinasi kecuali waktu menjelang UN. Tidak heran jika
revitalisai program Gong Belajar tidak sampai ke tingkat satuan pendidikan.
Selain itu, pihak sekolah dan komite jarang berjalan bersama. Dari hasil
investigasi Cakrawala, masih ada sebagian pihak sekolah belum melihat komite
sebagai mitra. Pihak komite dibutuhkan jika ada hal yang berhubungan dengan
uang. Ini adalah cerita kita sekaligus derita kita. Konsep PUS di NTT masih
‘abu-abu”.
Mengakarkan
Konsep PUS, Wujudkan Program Literasi Masuk Sekolah
Kementerian Pendidikan dan Kebuadayaan
(Kemendikbud), melalui Dijen Guru Tenaga Kependidikan (GTK) memberi contoh
bagaimana mengakarkan PUS di NTT. Para kepala bidang TK-Paud, SD-SMP dan
SMA/SMK dari seluruh dinas PPO Kabupaten/Kota se-NTT. Para kepala bindang ini
diajak untuk berkreasi dan berkolaborasi untuk mendapatkan para guru hebat.
Guru profesional, kreatif dan inovatif. Tutor sebaya dalam lingkungan para guru
wajib diterapkan melalui program Guru Pembelajar. Konkritnya, guru mendampingi
guru. Oleh karenanya, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten berkolaborasi
wujudkan mimpi yang sama yakni menigkatkan mutu-kualitas pendidikan di NTT.
Lalu bagaimanakah mengakarkan PUS
dalam konteks gerakan literasi masuk sekolah? “Roh” kurikulum 2013
mengamanatkan guru sebagai fasilitator. Guru harus berperan memberikan
pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. (Bdk,
Wina Senjaya (2008). Dengan demikian, banyak ilmu pengetahuan diperoleh dari
kebiasaan membaca. Ketrampialan dan
ketajaman daya analisis seseorang tercermin dari keseringan membaca. Karena
itu, salah satu upaya meningkatkan mutu-pendidikan NTT sekaligus membawanya
keluar dari zona merah, gerakan literasi masuk sekolah mutlak diperlukan.
Media Pendidikan Cakrawala NTT sebagai
sebuah lembaga independen dan salah satu kelompok masyarakat peduli pendidikan NTT
telah berpikirr, bekerja dan berjuang berkolaborasi, wujudkan gerakan literasi
masuk sekolah. Media yang bernaung di bawah Lembaga Cakrawala NTT ini telah
memiliki lima divisi yakni divisi informasi, formasi, penyiaran, jurnal dan
website. Dari divisi informasi, kami mencetak majalah pendidikan yang terbit dua
minggu. Saat ini, setiap edisinya, mencetak ribuan eksemplar yang berisi berita
pendidikan, tulisan para guru dan siswa/i se-NTT. Puji Tuhan, dari divisi ini
telah membantu sekian banyak guru dan memperoleh SK kenaikan pangkat. Selain
itu, dari divisi formasi kami membantu sekian banyak guru, para mahasiswa dan
siswa/i menulis. Materi pelatihan berupa penulisan karya ilmiah (Tulisan ilmiah
populer & PTK) serta jurnalistik dan sastra. Hingga kini tercatat 102
sekolah binaan media ini yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota se-Provinsi
NTT. Demikian halnya dari divisi jurnal, website
(www.cakrawalantt.com) dan penyiaran. Khusus untuk divisi penyiaran, kami
bekerjasama dengan Lembaga Penyiaran Publik RRI Kupang. Program acara “Bedah
Editorial Media Pendidikan Cakrawala NTT” mau mengajak seluruh kompenen
masyarakat untuk berpikir dan berbuat sesuatu demi meningkatkan mutu pendidikan
di NTT.
Media Pendidikan Cakrawala NTT telah
bekerjasama dengan pihak sekolah, universitas, lembaga keuangan seperti
koperasi dan pihak pemerintah baik pemerintah provinsi maupun kabupaten kota. Artinya
kami sudah bekerja. Namun pengalaman pahit mengajarkan kami banyak hal.
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta dinas terkait, belum semuannya
menyadari tentang pentingnya kolaborasi program pembangunan pendidikan
khususnya dalam hubungan gerakan literasi masuk sekolah. Gerakan kami adalah
sunyi. Jawaban yang sama dan membosankan muncul saat “Mengemis” kerjasama. “Tidak
ada anggaran” atau “anggaran tidak cukup”. Bahkan ada yang spontan menjawab
“Kami belum berpikir soal itu. Literasi itu apa?” Apakah benar tidak tahu soal
literasi, Tidak ada anggaran atau kalaupun ada, tetapi bentuknya bagaimana?
Kami tidak tahu.
Sederetan
Rekomendasi Sebagai Solusi
Membangun
pendidikan adalah tugas semua komponen masyarakat. Pemerintah, sekolah, komite
dan masyarakat umum harus berpikir dan ber-aksi memajukan dunia pendidkan NTT.
Mencari “kambing hitam” adalah pekerjaan seorang “dungu”. Kreatifitas dalam
sebuah kolaborasi yang matang adalah adalah solusi cerdas dan bijaksana.
Pendidikan jangan pernah dijadikan sebagai kendaraan politik yang hanya berusia
lima tahunan. Tentang bagaimana kualitas manusia NTT lima puluh tahun dari
sekarang ditentukan oleh kebijakan seorang Gubernur, DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota, Bupati/Walikota, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NTT, Kepala Dinas
PPO kabupaten/kota, kepala LPMP yang sedang berada di tampuk pimpinan saat ini.
Berkacalah dari pesan Menteri Anies
Baswedan dimana pemerintah tidak bisa sendirian dalam menuntaskan masalah
pendidikan. Dalam seluruh kebijakan
pembangunan pendidikan, pemerintah atau birokrasi harus terbuka untuk
belajar dari masyarakat.
Dalam konteks mengakarkan PUS demi
wujudkan program literasi masuk sekolah, saya menyarankan beberapa hal :
Pertama,
Gubernur harus mengelurkan Pergub soal wajib baca satu jam setiap hari atau dua
jam dalam seminggu di lembaga pendidikan. Para guru dan siswa/i wajib membaca.
Oleh karena itu, sebagai urutannya, dinas P dan K provinsi dan dinas PPO
kabupaten/kota menghimbau bahkan mewajibkan pihak sekolah berlangganan dengan
majalah pendidikan sebagai mitra promosi atau sosilaisasi berbagai program
pemerintah dan sekolah. Selain itu, mendorong para guru untuk meningkatkan
profesionalismenya dengan kegiatan pelatihan penulisan karya ilmiah.
Kedua,
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan NTT berkoordinasi dengan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk mengangkat seorang Duta Literasi NTT.
Bersama pemerintah, beliau mengkampanyekan literasi dalam beragam bentuk
kegiatan seperti seminar, pelatihan menulis dan sebagainya. Mutu pendidikan
harus ditingkatkan dalam bentuk kerjasama dan kolaborasi yang memiliki arah dan
tujuan yang sama. Anak NTT butuh orang-orang yang mampu memberi motivasi dan
dorongan untuk terus melangkah maju menuju generasi melek literasi.
Ketiga,
Pihak sekolah dan komite mendorong kesadaran anak untuk mencintai almamater
dengan menyumbangkan satu judul buku di setiap tahun ajaran baru. Buku-buku
tersebut disumbangkan ke pepustakaan sekolah. Dengan demikian, sumber bacaan
atau refrensi menulis semakin banyak di perpustakaan sekolah. (*)
Darurat Hukum Perlindungan Guru
Hari hampir siang. Tim cakrawala tiba di
halaman salah satu sekolah negeri menengah atas Kota Kupang. Beberapa siswa
masih sibuk “ngobrol ria” di halte yang tidak jauh dari halaman sekolah. Seorang
staf guru mendekat. Menegur lembut seraya memohon agar para siswa tersebut
segera masuk kelas. Jawaban tak biaya datang spontan dari salah satu siswa, “sante
saja pak”. Mereka bahkan terkekeh-kekeh saat sang guru membiarkan mereka begitu
saja. UU Perlindungan Anak yang secara yuridis melarang adanya tindakan
kekerasan terhadap peserta didik.
Ini adalah salah satu dari sekian banyak
cerita miris tentang nasib guru. Para guru berada pada persimpangan jalan
sebagai pengajar dan pendidik. Guru yang bertugas membantu mempersiapkan para
peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan berakhlak mulia seringkali
berada pada situasi dilema. Namun jika dibiarkan terus maka situasi dilema para
guru ini justru perlahan menghantar mereka pada sikap tidak peduli atau “cuek”.
“Mengapa harus pusing mengurus anak-anak
yang susah diatur. Toh, mereka juga bukan anak kandung saya. Tugas saya hanya masuk
kelas, menyajikan materi pelajaran dan memberi tugas. Tugas saya sebagai guru
selesai. Apakah mereka mengerjakan tugas, memproleh nilai rendah, tidak
disiplin, tidak tahu sopan-santun, malas dan sebagainya, itu bukan urusan saya.
Tugas saya hanya mengajar bukan mendidik. Dari pada harus kehilangan kesabaran
demi mendidik mereka, kita naik tangan sedikit, eh... pada akhirnya berurusan
dengan kepolisian. Persetan di situ, kau mau jadi baik bersyukur kalau tidak
terserah”, tegas seorang guru yang tidak mau menyebutkan namanya.
Mengenai situasi ini, pelaksana harian ketua
umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Unifah Rosyidi
mengatakan guru resah dan khawatir dalam menjalankan perannya sebagai pendidik.
Sejumlah guru yang beritikat mendidik anak tetapi dengan cara yang dinilai
melanggar hak anak dilaporkan ke polisi oleh orangtua siswa. Menurutnya, jika
ada guru yang khilaf atau kurang sabar dalam menjalankan tugas, mohon pekerjaan
guru tersebut dihormati. Mereka jangan langsung ditahan jika dilaporkan sepihak
oleh orang tua. (Kompas, 23 Juni
2016-hal.12)
Selaian itu, Prof. Dr. H Samsul Nizar MA,
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Pekan Baru menilai UU No 20/2003
menuntut pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik menjadi
profesional, seyogyanya diiringi dengan adanya UU Profesi Pendidik. Meskipun
dalam UU No 14/2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan dosen, namun
dalam tataran implementasi kekuatan UU tersebut masih tak terlihat
berkontribusi terhadap nasib guru/dosen sebagai tenaga pendidik. Untuk itu,
sudah saatnya jika guru/dosen membangun kekuatan solidaritas untuk mendorong
pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru/dosen dan melindungi profesi mereka dengan
kekuatan hukum yang jelas.
Alexandra Taus, S.Pd, selaku kepala SMPK
Putra Xaverius-Kefamenanu berkisah tentang pengalaman rekan gurunya yang
terpaksa berurusan dengan pihak kepolisian. Orangtua siswa melapor rekan
gurunya dan menuduh melakukan kekeran fisik kepada anaknya. Alexandra
menyayangkan sikap orangtua yang tidak terlebih dahulu menyampikan padanya
selaku kepala sekolah jika ada hal-hal yang berurusan dengan para siswa.
”Setiap kali penerimaan murid baru, pihak
sekolah selalu duduk bersama dengan para komite sekolah dan menandatangani
beberapa kesepakatan termasuk soal aturan penanganan pelanggaran mulai dari
pelanggaran ringan hingga pelanggaran yang berat. Bahkan ada orangtua yang
mengatakan untuk anak-anak yang susah diatur, silahkan bapa/ibu beri sangsi
asal jangan sampai berdarah atau bengkak. Namun, saya juga selalu ingatkan para
guru untuk mendidikan siswa dengan lembut dan sabar. Pukul mereka bukan karena
emosi tetapi supaya dia tahu apa yang menajdi kesalahannya”. tandas Alexandra.
Sikap orang tua/masyarakat yang mulai
mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru. Mereka terlalu banyak
menuntut guru agar dapat mengahantakan peserta didik sebagai masyarakat
terdidik namun tidak seiring dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan.
Padahal banyak orangtua yang tidak mengerti soal mengajar dan mendidik. Tugas
mengajar yang menjadi kapasitas guru akhirnya tersita untuk mendidik siswa yang
sebenarnya meruapakan kapasitas dan tugas orangtua. Seorang anak yang malas,
tidak tertib, tidak disiplin dan sebagainya adalah bentuk konkrit kegagalan orangtua.
Dia (orangtua) tidak ‘becus” mengurus dan mendidik anak.
Substansi UU No 14/2005 telah memuat
perlindungan terhadap guru atas profesinya Dalam UU No 14/2005. Hal ini
terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah,
masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan
perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Adapun maksud Perlindungan
Profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen adalah
perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak
wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan
pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan
tugasnya. Namun, implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. UU
tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan
kesejahteraan guru/dosen, Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan
kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan
kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya.
Langkah Solutif
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan selalu
berproses dan bermuara pada peningkatan
kualitas intelektual dan karakter anak. Karenanya, dalam segala jenjang
pendidikan kegiatan intra-kurikuler selalu berimbang dengan kegiatan
ekstrakurikuler. Artinya guru membawa dua peran sekaligus yakni sebagai
pengajar dan pendidik. Dengan demikian revitalisasi UU No.14/2005 mutlak
diperlukan. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang meliputi
perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja,
kesehatan, dan/atau resiko lainnya perlindungan hukum terhadap guru harus
dimplentasi secara adil dan benar. Kekompakan dan sikap solidaritas guru untuk
percepatan revitalisasi undang-undang tersebut sangat penting. Harus ada sebuah
“reaksi” bersama terhadap beberapa kasus yang menimpa nasib sesama guru.
Bukankah hukum itu diproduksi untuk kenyamanan dan ketertiban bersama?
Selain itu, ada beberapa langkah yang kiranya
diperhatikan guru dalam menghadapi murid yang bersalah. Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua murid perihal
prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini
dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan guru Bimbingan Konseling. Langkah
ini sangat penting dan mendasar. Bila perlu, kalau ada orangtua yang tidak
mengindahkan surat panggilan, maka siswa tersebut sebaiknya dikembalikan kepada
orangtuanya untuk beberapa waktu agar dididik dan diarahkan. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan
tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, maka orangtua bersama pihak
sekolah menandatangani surat di atas materai untuk mengalihkan tugas mendidik
orangtua kepada pihak sekolah dengan mencantumkan beberapa butir kesepakan
seperti seorang guru bisa memberikan hukuman dengan beberapa syarat seperti, hukuman
tidak pada tempat yang vital, hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik,
hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut
mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik. Ketiga, jika tidak ada
perubahan maka sebagaimana sebuah rumah sakit akan menolak seorang pasien yang
sakit parah dan dirujuk ke rumah sakit lain. Pihak sekolah dapat mengembalikan
anak tersebut ke pihak orangtua untuk dicarikan “pengobatan” altenatif. Hal-hal
teknis untuk langkah ini bisa berupa kriteria kenaikan kelas dan kelulusan
jangan hanya soal nilai yang tertera di atas kertas tetapi juga
mempertimbangkan sikap dan karakter anak. Dewan guru berhak memutuskan hal
tersebut.