Wednesday 29 March 2017

Tuesday 21 March 2017

CAKRAWALA DI PUNCAK MUTIS

Prolog
Masih ingat Cerita tentang “Cakrawala Di Muara Benenain? Silahkan tengok di MPC-NTT, Tahun III/Edisi 63/Vol.1/Desember-2016. Gunung Mutis, tersebut di dalamnya. Cerita sungai Benenain, akan hambar tanpa kehadiran gunung Mutis. Gunung tertinggi di Pulau Timor setelah gunung Lakaan. Sang penyair muda, Robert Fahik memuat hikayat tua dalam novelnya “Seperti Benenain Cintaku Terus Mengalir Untukmu” tentang cerita cinta berakhir sedih antara Raja Mutis dan gadis Malaka. Benenai terbentuk oleh air mata seorang raja dari gunung Mutis; gunung tertinggi di pulau Timor bagian Barat. Sang raja begitu mencintai seorang gadis Malaka. Namun suatu ketika keduanya harus berpisah. Sang raja yang kembali ke Mutis mengungkapkan kerinduannya kepada sang kekasih dengan menangis. Air mata sang saja itulah yang kemudian membentuk aliran sungai Benenai. 
“Walaupun jauh, perlahan-lahan air mataku ini akan sampai ke sana (Malaka),” kata sang raja, yang dalam bahasa Tetun diungkapkan seperti ini: “Kdok mos so’in. Be nai-naik to’o dei.” Kata “be nai-naik” (tapi perlahan-lahan) dalam perkembangannya mengalami perubahan menjadi “Benenai”, nama untuk sungai ini. (Hal ...)  ”
            Perjalanan menuju SMAN Mutis, tepatnya di Desa Naikake, Kecamatan Mutis A-Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) ditempuh dalam jumlah jam yang sulit ditebak. Tahu kenapa? Ruas jalannya sangat sempit, curam, licin-berlumpur. Luka, air mata dan darah mewarnai seluruh cerita perjalanan ke tempat ini. Sangat sulit dibayangkan jika ini adalah ruas jalan menuju istana tua bernama Mutis. Sungai Aplal terus mengalir dan cenderung banjir. Tidak ada jembatan penyemberangan. Puluhan nyawa hanyut begitu saja. Mereka adalah tumbal minimnya perhatian negara di tapal batas NKRI. 
           
Di Tepi Sungai Aplal
Tim Cakrawala membasuh raga yang letih dan berlumpur di sungai Aplal pukul 03.00 dini hari. Gelap dan dingin. Gervas Salu, formator Cakrawala wilayah TTU terus memberi semangat. Kalimat “dekat sa, sonde jauh” diucapkannya sejak pukul 10.00 siang tadi saat beranjak dari Kota Sari-Kefamenanu. Inilah Indonesia. Merah-Putih yang selalu kubanggakan. Hp oppo-ku bersiul. Kepala sekolah SMAN Mutis, Yohanas Donbosko Naif, S.Fil mengirim pesan. “Pak Gusty, saya mendapat kabar kalau tim Cakrawala sudah tiba di sungai Aplal. Sudah sepuluh menit yang lalu, beberapa orang guru dan siswa pergi menjemput. Maaf. Harus mendaki lagi untuk belasan kilometer menuju SMAN Mutis. Kami tetap setia menunggu di sini. Salam.”
 Memang benar. Dari kejauhan di puncak sana, beberapa titik cahaya lampu kendaraan roda dua terus mendekat. Jemputan akan segera datang. Sepuluh menit yang lalu saya terpaksa meminum air sungai ini karena kehausan. Hp oppo-ku bersiul lagi. Membacanya, hatiku bergetar. “Benar bahwa ada hikayat tua tentang adanya kerajaan di gunung Mutis ini. Tetapi itu adalah sebuah hikayat yang terlampau tua hingga jauh dari kebenaran. Pak Gusty, gunung Mutis hanyalah sebuah nama dari sebuah kata “tertinggal dan terpencil”. Jika ada guru yang datang bertugas di salah satu sekolah di tempat ini maka sudah pasti ia dilabeli sebagai guru buangan karena bermasalah. Kami ingin tetap di sini. Di tempat inilah kami lahir dan dibesarkan. Kami tetap mencintai tanah ini. Tetap setia menjaga tapal batas NKRI. Selamat datang tim cakrawala, penggerak literasi NTT di puncak Mutis.”
NTT butuh lebih banyak kepala sekolah visioner. Yohanas Donbosko Naif, S.Fil adalah satunya. Ia mengedepankan pelayanan dan profesionalisme. Mengutamakan kebutuhan peserta didik dan rekan guru. Bukan guru penunggu tunjangan dan sertifikasi. NTT juga butuh banyak guru yang layak untuk digugu dan ditiru. Bukan guru berpikiran politik praktis dan prakmatis sehingga cenderung menjadi “penjilat”. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat (STFK) Ledalero-Maumere ini sangat berharap dan “memaksa” Cakrawala NTT ke Mutis. Itu bukan karena kami dari rahim almamater yang sama. Tetapi cakrawala berpikir, spiritualitas dan mimpi kami sama. Memberi diri seutuhnya untuk generasi emas NTT 2050.
 “Pak Gusty ... para guru dan siswa/i SMAN Mutis merindukan kehadiran cakrawala. Cerita cakrawala di muara Benenain telah sampai di Mutis. Tidak ada jawaban tepat “tuk mengobati kerinduan itu, selain kehadiranmu sendiri. Tentang kehadiranmu telah kami jadwalkan di tanggal 19 Desember 2016. Kami ingin merayakan HUT Provinsi NTT tahun ini bersamamu di “kerajaan” Mutis,” ujar Donbosko sambil terkekeh.
Harapan dan kerinduan ini adalah sebuah kebanggaan bagi keluarga besar cakrawala. Artinya, kehadiran cakrawala tidak untuk disegani apalagi ditakuti tetapi justru sangat dirindukan. Bagi kami, ini sebuah prestasi. Namun, tanpa bermaksud angkuh, menetapkan jadwal tanpa sebuah proses konsultasi adalah sebuah kesalahan. Perjalanan tim formasi cakrawala terencana dan terjadwal. Hmm...belum lagi banyak yang memberi kesaksian kondisi jalan menuju tempat ini.
Mengapa tim cakrawala akhirnya memutuskan menuju Mutis? Ini sebuah pertanyaan abadi. Hingga kini saya sulit menjelaskannya. Ada sebuah getaran hati terdalam. Memaksaku untuk mengatur kembali jadwal yang sudah terencana. Terpaksa jadwal pendampingan menulis untuk beberapa sekolah di Alor dan Flores ditunda ke bulan Januari 2017. Hanya untuk mendapat kesempatan menuju SMAN Mutis. Yah...dalam konteks cerita hikayat tua itu, mungkin “gadis Malaka” telah bercerita banyak tentang hadirnya cakrawala dan segala yang diperbuatnya di muara Benenain kepada sang “raja Mutis”. Adakah getaran hati terdalam itu pratanda sang “raja Mutis” bertitah agar cakrawala segera mengunjungi wilayahnya? Saya tidak tahu.

Cakrawala Di Puncak Mutis
            Kosmas Taninaf, guru komite SMPN Mutis memboncengiku. Menerjang arus sungai Aplal dan membawaku menuju SMAN Mutis. Jalan bertanjakan tajam, lumpur, licin dan berlubang dalam puluhan kilometer. Sok motornya telah lama tidak berfungsi. Ia lahir dan besar dari wilayah ini. Sepanjang perjalanan, Kosmas lebih banyak ber-“curhat”. Cerita berawal dari situasi dan kondisi jalan menuju tanah kelahirannya hingga nasibnya sebagai guru komite yang jauh dari perhatian pemerintah.
“Setiap tahun, selalu ada yang datang mengukur jalan ini. Orang yang berbeda dan jenis seragam berbeda membuat cat dipakai sebagai tanda pengukur jalan juga berbeda. Kami selalu antusias menyambut walau kami tahu itu hanyalah sandiwara. He....e...tentunya mereka beda dengan tim cakrawala yang kami sambut sekarang ini. Prinsip kami sekarang, biarlah kami tetap begini asal anak-cucu kami dibukakan cakrawala berpikirnya. Mereka harus sekolah. Ketrampilan menulis adalah salah satu cara agar nantinya mereka bercerita kepada dunia tentang kami dan daerah perbatasan ini. Di sini, di kampung ini ada kehidupan dan harapan. Sesungguhnya kami menunggu kehadiran Bapak sebulan yang lalu ketika Bapak Kepala Sekolah menginformasikan terkait kehadiran tim cakrawala di sini. Kami sangat bangga,”  ujar Kosmas sambil meliuk-liukkan sepeda motornya. Sesekali saya harus turun dan berjalan kaki jika ada tanjakan yang licin-berkumpur. Lalu bagaimanakah nasibnya sebagai guru komite? Ia hanya ingin mengabdi. Tanggungjawab moralnya jauh lebih tinggi dari hitungan rupiah.  “Kami lahir dan besar di sini. Ini tanah kami. Apapun bentuknya, kami berjuang agar Mutis dikenal, diperhatikan dan maju dalam berbagai bidang kehidupan. Termasuk pendidikan.” tandas Kos penuh haru. Untuk beberapa saat kami terdiam. Tanpa kata dan suara. Akhirnya Tim cakrawala tiba di puncak Mutis.
Bimtek Penulisan Karya Ilmiah, Upaya Peningkatan Mutu Guru Perbatasan. Itulah tema kegiatan ini. Sebuah kegiatan pendidikan yang profesional dan bermartabat. Puluhan guru dan siswa/i pilihan, hadir penuh antusias. Cakrawala bersinar terang. Awan hitam yang menyelimuti puncak Mutis pergi begitu saja. Tersisa hanyalah hembusan angin pegunungan yang sejuk penuh manja. Tidak ada suara. Hanya mata dan telinga tertuju saat saya selaku Pimpinan Umum Media Pendidikan Cakrawala NTT berbicara. Mereka seperti gelas kosong yang siap untuk diisi. Sebuah ketulusan dan keterbukaan hati yang patut dicontohi. Bagi mereka ilmu itu mahal. Orang-orang yang berjauhan datang untuk membagi ilmu adalah orang-orang kepunyaan Tuhan. Pada titik ini, saya terharus dan menitikkan air mata.
Seorang guru senior yang dalam dua tahun lagi pensiun angkat bicara. Dia adalah Emanuel Obe. Guru agama Katolik SMAN Mutis. “Mengapa cakrawala datang terlambat? Ke manakah cakrawala selama ini? Sekiranya dari dulu cakrawala datang dan mendampingi kami, tidak mungkin saya nanti pensiun di golongan rendah. Saya memang belum bisa menulis tetapi saya mau belajar. Tetapi siapakah yang mau mendampingi, menghargai dan mempublikasi karya tulis kami? Tapi...tidak apa-apa. Banyak teman-teman guru saya yang masih muda. Saya sangat yakin, ketika mereka trampil menulis, niscaya siswa/i kami pasti trampil menulis. Pak Gusty, jangan tinggalkan kami lagi. Datanglah lagi ke sini. Lihat, betapa siswa/i kami sangat merindukanmu.” ujar Emanuel. Selain itu, seorang Rofinus Elu, Kepsek SDK noelelo, Naikake B kembali berharap. Cakrawala NTT, jangan hanya hadir di SMA. Para guru dari belasan Sekolah Dasar (SD) yang ada di wilayah Mutis ini sangat mengharapkan pendampingan cakrawala NTT. Kami berharap, di awal tahun 2017 kita bertemu lagi. Kami sangat butuh. 

Epilog
            Air mata sang “raja Mutis” mengalir sudah. Bukan air mata dalam bentuk sungai seperti digambarkan dalam hikayat tua itu. Jika sang raja merubah air matanya dalam bentuk aliran air sungai yang masa dahsyat, mungkin tidak untukku dan tim formasi cakrawala. Air mata ini tulus. Bukan air mata para buaya. Air mata haru sekaligus segumpal komitmen. Bersinergi membangun pendidikan NTT dengan berbagai pihak. Kiranya rintihan hati para guru dan generasi muda NTT di tapal batas NKRI-Mutis, didengar dan ditindaklanjuti pemerintah pusat dan daerah.
Aku ingin kembali ke Mutis, sebagaimana aku ingin kembali ke Kananggar-Sumba Timur, Adonara Timur-Flotim, Keo Tengah-Nagekeo dan seluruh sekolah binaan cakrawala NTT se-Nusa Tenggara Timur. Air mata tertumpah sudah. Air mati ini akan menghapus stigmatisasi NTT sebagai negeri miskin dan bodoh. Menghapus kenyataan, NTT sebagai gudang TKI yang bermodal otot. Mari, bersinergi membangun pendidikan, menuju NTT yang hebat dan Indonesia yang jaya. Salam Cakrawala.


Share:

Thursday 29 December 2016

Cakrawala di Muara Benenain

Prolog. 
Mengalir saja. Tanpa hambatan, tanpa paksaaan. Itulah sungai Benenain. Sungai ini mengalir di sepanjang jarak 135 kilometer. Tentunya jauh lebih panjang dari Sungai Noelmina yang hanya 97 kilometer. Walau kedua sungai ini terdapat di pulau Timor, namun sungai Benenain jauh lebih dikenal dari sungai Noelmina. Tahu kenapa? Mungkin bukan soal panjang alirannya tetapi cerita tragis di dalam pusaran aliran itu. Sudah beratus nyawa menghilang di sekitar muara Benenain. Cerita banjir dengan segala kerugian di dalamnya adalah cerita klasik yang hampir dirasa biasa dan biasa-biasa saja. Masyarakat di sekitar muara sungai Benenain terlihat betah dan “enjoy”. Tidak heran penyair muda Malaka, Robert Fahik mengekalkan sunggai Benenain dalam novel beraroma tragis sekaligus penuh romantis. “Seperti Benenain, Cintaku Terus Mengalir Untukmu”. Aliran sungai yang terhitung ganas itu, kenudian dilihat dalam aliran cinta. Ah... nanti akan kuceritakan makna terdalam dari novel ini. Kali ini tentang Cakrawala di muara Benenain.
Tentang sungai Benenain selalu mendulang cerita harapan sekaligus keputusasaan. Yah, mungkin bisa dilukiskan dalam fondasi pemikiran masyarakat China. Alam semesta ini digolongkan menjadi dua yaitu baik dan buruk. Baik mencerminkan sifat Yang dan buruk mencerminkan sifat Yin seperti diungkap dalam kitab klasik Taoisme (Tao te Ching) sebagaimana dikutip oleh McCreery (dalam Scupin, 2000:289).
Lalu bagaimanakah kosmologi Cina ini, dipadukan dalam cerita Benenain? Benenain di musim kemarau, pasti bercerita tentang tumpukan ribuan kubik pasir yang bisa diambil begitu saja dan dijual dengan harga yang sangat menguntungkan. Di sisi lain, ada bagian cerita walaupun tidak mewakili semua, tentang kekeringan yang meresahkan dan berdampak pada gagal panen. Bagaimana bisa dibayangkan, kekeringan justru terjadi di muara sungai besar seperti Benenain?  Lain cerita di musih hujan. Setiap menit, ribuan pasang mata terarah ke gunung Mutis. Jika ada tumpukan awan gelap kehitaman di sana, maka tak lama lagi sebuah banjir badang segera datang. Batu, kayu, rumput dan lumpur, pasti dibawa serta. Setiap orang dituntut untuk berjaga-jaga. Minimal bisa menyelamatkan diri atau keluarganya. Saat banjir datang dan berlalu, ratapan akan kehilangan keluarga atau harta adalah suasana pilu yang menyayat hati. Sementara itu, dari kampung tetangga terdengar cerita tentang hasil perkebunan yang berlimpah. Beragam jenis buah-buahan segar dari daerah sekitar Benanai, dirasakan oleh masyarakat hampir seluruh daratan pulau Timor bahkan hingga ke pulau Flores dan Alor. Mungkin ini pula yang menjadi alasan mengapa, masyarakat setempat sulit untuk meninggalkan daerahnya. Mereka ingin tetap berada di tanah leluhurnya.  Gemuruh banjir yang ganas dan menakutkan, terasa biasa dan biasa-biasa saja.
Kota Betun, yang berjarak tak jauh dari jembatan Benenain, ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Malaka. Pusat pemerintahan, ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Sebagai ibukota Kabupaten termuda di Provinsi NTT, Betun butuh waktu dan biaya untuk berbenah dan perlahan pembangunan terus mengeliat. Menata pembangunan yang terencana dan tepat sasar demi mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, memang salah satu maksud hadirnya UU otonomi daerah. Malaka memang butuh waktu, energi dan biaya untuk membangun khususnya pembanguanan di bidang pendidikan. 

Cakrawala Datang
Pagi masih belia. Dari Kota Sari Kefamenanu, saya didampingi wartawan Cakrawala Kabupaten Kupang, Yupiter Lionati beranjak  menuju Betun. Mobil APV hitam sengaja dipilih untuk menaklukan medan jalan yang katanya, berlubang banyak. Demi memotong jarak tempuh, jalur Nurobo adalah pilihan tepat. Di sepanjang jalan, wajah masa depan bangsa banyak terlihat dalam seragam merah-putih. Menatap wajah mereka yang polos, terbayang kembali masa kecilku yang penuh semangat dan gairah. Sesaat melirik pin bertulisan “ I Love Guru” yang melekat di dada, Handphond-ku berdering. Bapak Paulus Nahak, S.Pd, selaku ketua panitia kegiatan pelatihan menulis karya ilmiah guru memberi kabar. “Peserta sudah ada dan sedang menanti kehadiran bapak”, katanya singkat. Tiba-tiba wajah guru-guruku dari semenjak Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) datang melintas. Kebanyakan dari mereka sudah berumur, ada yang pensiun dan beberapa yang lainnya sudah meninggal dunia. Para guru yang telah mengajar dan mendidikku. Akhir-akhir ini banyak yang mengeluh dan pasrah, ketika mereka harus menunjukkan profesionalismenya sebagai guru dalam bentuk karya tulis. Pemerintah tuangkan itu dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PerMenPAN-RB) No. 16 / 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Guru-guruku kebanyakan kandas di golongan IV/A bahkan beberapa diantaranya masih terkantung-kantung di golongan III/C. Belum lagi dengan nasib guru-guruku yang saat ini masih berstatus honor daerah dan komite?
Di pelataran Kota Betun, kami disambut udara panas yang menyengat. Padahal Betun berada di pesisir pantai. Kemanakah angin bertiup? Berhenti sejenak dan menukar pakaian adalah keharusan sebelum menuju SDK Betun 1 tempat kegiatan yang dimaksud. Kami langsung diterima Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten Malaka, Dra. Yosefina Matilda. Puluhan peserta yang ada, adalah para guru agama senior. Ada yang satu atau dua tahun lagi pensiun. Mereka meminta bahkan memohon agar tim Media Pendidikan Cakrawala NTT bersedia mendampingi mereka menulis. “Pak Gusty, kami hampir menyerah. Jika hanya sekadar untuk kenaikan pangkat tanpa ada kosekuensi lanjut terkait tunjungan dan sebagainya, mungkin sebaiknya kami begini saja. Kami harus akui kalau kami jarang menulis sebentuk karya tulis ilmiah. Kami para guru agama apalagi sudah berumur begini, lebih banyak membaca Alkitab dan beberapa jenis buku doa yang lain. Itupun kalau tidak sibuk di sekolah atau di rumah. Adoh...pusing”, ungkap seorang peserta.
Tanpa menunggu lama, Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten Malaka, Dra. Yosefina Matilda membuka kegiatan dengan resmi. Dinamika pendampingan penulisan karya ilmiah dimulai. Kali ini tentang Karya Ilmiah Populer. Apa yang harus tulis, bagaimana harus memulai dan kapan harus diakhiri adalah teori singkat dari proses pendampingan ini yang hanya menelan waktu dua puluh menit. Puluhan jam tersisa adalah kegiatan menulis. Pendampingan dari orang per orang untuk menghasilkan tulisan sebanyak 800 kata. Di hari pertama, kebanyakan peserta hanya bisa mendapatkan judul dan sedikit pendahuluan. Kesabaran, ketelitian dan strategi menciptakan suasana rileks dan nyama, sangat dibutuhkan dalam proses pendampingan ini. Itulah gaya tim Media Pendidikan Cakrawala NTT. Nada-nada keakraban terselib dalam humor kocak yang membuat peserta terbahak dan untuk sesaat lupa menulis. Tiga hari penuh, dalam proses mendampingan ini akhirnya menuai hasil yang mencengangkan. Para peserta yang adalah guru-guru senior itu, bisa menulis karya ilmiah. Mereka bisa karena mereka adalah guru. Mereka menulis persolaan yang ditemukannya saat mengajar siswa/siswinya di kelas, mencari akar dari persoalan itu dan akhirnya menulis beragam langkah-langkah konkrit atau metode sebagai sebuah solusi.
Hujan turun ke kota Betun. Lebat dan lama. Udara panas diawal kedatangan Cakrawala berubah sejuk dan nyaman. Aroma ilmiah terasa sudah. Beberapa sekolah menengah siap menjadi sekolah binaan Media Pendidikan Cakrawala NTT. Kerinduan dan penantian yang panjang selama tiga tahun akan hadir sang Cakrawala terjawab sudah. “Kami sangat bangga atas kesempatan istimewa ini. Ternyata keraguan bahkan ketakutan kami selama ini tidak benar. Kami bisa menulis. Media Pendidikan Cakrawala NTT datang dan menjawab kebutuhan kami. Kami berharap, jangan biarkan kami sendiri lagi. Kami sudah tua tapi kami masih mau belajar. Dalam waktu tidak lama di awal tahun 2017, kami mau mengundang cakrawala. Dalam Alkitab, memang sudah tertulis. “Allah menaruh semua itu di cakrawala untuk menerangi bumi (Kej, 1:17)”, ungkap Gaspar Ulu, guru Agama Katolik SMPN 1 Malaka Timur. 

Epilog
Mengalir saja dan biarkan semuanya terinspirasi. Media Pendidikan Cakrawala NTT datang dan selalu siap bersinergi dengan siapapun dan lembaga manapun. Tujuan dan maksud hanya satu yakni bersinergi membangun pendidikan, menyambut generasi emas NTT 2050. Dengan demikian sasaran bidik cakrawala jelas yakni literasi pendidik dan peserta didik. Guru dan siswa harus biasa dan bisa menulis. Guru yang digugu dan ditiru harus mampu memberi telada atau formator bagi siswa untuk membaca dan menulis. Siswa jangan pernah berkata “saya masih muda, baca dan tulis nanti dulu.” Jika itu yang dipikirkan maka dunia tidak akan pernah mau mengenalmu. Bukankah dengan membaca kita mengenal dunia maka menulis adalah cara cerdas untuk dikenal dunia? Jika Benenain itu ada dan mengalir dalam maksud ganda, baik dan buruk seperti dalam kitab klasik Taoisme (Tao te Ching), maka cakrawala NTT bukanlah demikian. Media Pendidikan Cakrawala NTT datang dan membawa hujan harapan dan rasa optimis para guru dan anak-anak NTT. NTT bisa, Indonesia jaya.

Benenain dan Cakrawala tetap ada dan terus mengalir. Namun Benenain tidak akan pernah merubah wajah cakrawala yang bertengger di atasnya. Benenain adalah realitas alam yang “bergantung” pada posisi cakrawala. Itu artinya, merubah wajah Malaka bukan oleh sunggai Benenai tetapi oleh cakrawala pendidikan. Generasi muda Malaka yang cakrawala (cakap, kritis dan berwawasan luas) adalah penentunya. Hemat saya, pendidikan adalah fundasi utama penggerak pembangunan daerah. Pemerintah, sekolah, orangtua dan stakeholders pendidikan lainya, harus bersinergi membangun pendidikan. Cakrawala telah datang dan ingin selalu bertengger indah di muara Benenain. Salam Cakrawala.
Share:

Monday 25 July 2016

Cakrawala NTT, Kami Rindu



Media Pendidikan Cakrawala NTT telah memberi aroma ilmiah di lembaga pendidikan NTT. Media ini memberi model dan konsep yang tepat dalam rangka mengakarkan literasi (baca-tulis) di kalangan guru dan siswa-siswi. Untuk kedua kalinya media ini mengunjungi sekolah kami. Terus terang kami rindu. Kami rindu untuk terus didampingi dan kami rindu tulisan para guru dan anak-anak termuat di majalah pendidikan kebanggaan masyarakat NTT ini. Pernyataan ini datang dari kepala sekolah SMA Kristen Payety,  Maria Yuliana Galla, S.Pd saat membuka kegiatan pelatiahan jurnalistik dan karya ilmiah guru tahap II di aula SMA Kristen Payeti (25/7/2016).
                Menurut Yuliana, kegiatan pelatihan penulisan karya ilmiah bagi guru dan jurnalistik bagi siswa-siswi sangat penting karena bersentuhan langsung dengan kebutuhan guru dan siswa. ”Atas nama dewan guru dan komite sekolah, saya mengucapkan selamat datang kepada tim Cakrawala NTT. Dalam rangka membumikan budaya literasi di sekolah ini, kami menyambut baik dan mendukung penuh bagi kelangsungan dan keberlanjutan kegiatan ini. Saya berharap, para siswa dan guru dapat mengunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Memang saya sedikit kecewa karena dari berbagai edisi yang diterbitkan, belum ada karya anak-anak dari sekolah ini. Saya sangat yakin, ini  bukan kesalahan media tetapi kekurangan anak-anak kami. Saya berharap, akan banyak karya yang muncul setelah pelatihan tahap II ini”, tanda Maria Yuliana.
                Sementara itu, Nimrot Ndjunkambani selaku koordinator divisi formasi Media Pendididkan Cakrawala NTT wilayah Sumba Timur menjelaskan keseluruhan proses kegiatan pelatihan karya ilmiah dan jurnalistik di wilayah Sumba Timur. Menurutnya, kegiatan ini didukung penuh oleh pemerintah khususnya dari dinas P dan K Provinsi dan dinas PPO Kabupaten Sumba Timur. “Dalam proses pelatihan tahap II, banyak sekolah di Sumba Timur yang berniat untuk bergabung. Kami akan memulai kegiatan pelatihan ini dari sekolah-sekolah dalam kota untuk selanjutnya menyebar ke sekeolah lain di luar kota seperti sekolah-sekolah di wilayah timur dari Kabupaten Sumba Timur. Tim yang datang kali ini adalah pak Gusty Rikarno selaku pemimpin umum dan pak Robert Fahik selaku editor dan kepala divisi jurnal. Kita berharap makin banyak guru yang naik pangkat dan siswa/i semakin terampil dalam hal menulis”, ujar Nimrot.
                Kegiatan pelatihan karya ilmiah dan jurnaliatik di SMA Kristen Payety, berlangsung penuh semangat dan antusias baik dari siswa-siswi maupun para guru. Sebagaimana yang tertera dalam MoU antara Media Pendidikan Cakrawala NTT dan SMA Kristen Payety berlangsung selama dua hari. Untuk pelatihan menulis tahap II ini berlangsung dari tanggal 25-26 Juli 2016.  

Share:

Friday 22 July 2016

Mengakarkan Literasi di NTT



Tanggal 5-9 Maret 1990 di Jomtien-Thailand, 115 negara dan 150 organisasi bertemu dan menggelar  Konferensi  Dunia membahas Education for All (EFA) atau Pendidikan Untuk Semua (PUS). Koalisi besar berkolaborasi datang pemerintah nasional, masyarakat sipil, kelompok pemerhati pendidikan maupun lembaga pembangunan seperti UNESCO dan Bank Dunia. Semuaya berkomitmen meningkatkan semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulan semua.
Moment Hardiknas 2 Mei 2016, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Anies Baswedan mencoba menawarkan konsep PUS tersebut kepada masyarakat Indonesia. Menurutnya, pemerintah tidak bisa sendirian dalam menuntaskan masalah pendidikan. Dalam seluruh kebijakan  pembangunan pendidikan, pemerintah atau birokrasi harus terbuka untuk belajar dari masyarakat. Kementrian pendidikan dan Kebudayaan, memilih untuk merayakan kebangkitan pendidikan Indonesia dengan semua pihak. Banyak sekali kelompok masyarakat yang sudah dan sementara berkreasi memajukan pendidikan. Tidaklah berlebihan jika birokrasi belajar dari masyarakat. (Kompas, edisi 30 Mei 2016)

Konsep PUS di NTT Masih “Abu-Abu”
            Dari tahun ke tahun, masyarakat NTT selalu mengelus dada menahan malu. Hasil kelulusan Ujian Nasional (UN) tahun 2016 jenjang SMP/MTs berada pada urutan 31 dari 34 provinsi dan jenjang SMA/MA berada pada urutan 34 dan jenjang SMK pada urutan 26.  Kualitas pendidkan NTT masuk dalam kategori “Zona Merah”. Dosa siapakah ini? Siapa yang pantas menjadi ”kambing hitam”. Apakah pemerintah pusat yang hanya menganggarkan dana hanya 1,56 persen atau setara dengan Rp 36.700 per-siswa untuk setiap tahunnya? Apalah artinya Rp. 36.700 untuk sebuah kualitas pendidikan. Untuk membeli tas sekolah saja tidak cukup.
Ataukah dosa pemerintah Provinsi NTT yang seolah “memandang sebelah mata” pembangunan pendidikan NTT? Bagaimanakah kelanjutan program revitalisasi Gong Belajar? Apakah ini hanya sebatas sebuah seruan moral? Konsep revitalisasi Gong Belajar dalam bentuk pemusatan jam belajar peserta didik seyogianya harus dipertegas sesuai konteks lingkungan sekolahnya. Selain itu, memaksimalkan peran guru melalui Kelompok Kerja Guru (KKG), MGMP, Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S), dan pengembangan model pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAIKEM) di sekolah dan mengelola sekolah dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS) tidak boleh sebatas seruan. Harus ada regulasi yang diikuti dengan sangsi yang jelas.
Ataukah dosa para guru? Hasil Ujian Kompetensi Guru (UKG) yang berlangsung secara nasional, banyak guru  termasuk para guru di Provinsi NTT memiliki peringkat di bawah rata-rata nasional. Bagaimana bisa keluar dari zona merah kalau gurunya saja tidak berkualitas? Ataukah ini dosa orangtua dan masyarakat? Apakah tugas mendidik anak yang seharusnya menjadi tugas orangtua dilimpahkan kepada guru? Bagaimana mungkin orangtua serta-merta mem-polisikan guru yang sedang menjalankan tugasnya untuk mendidik anak? Hmm...Teruslah mencari “kambing hitam” dan kita tetap berada pada posisi “Zona Merah”.
            Saya menilai, pemerintah, sekolah, komite dan masyarakat masih berjuang dan bekerja sendiri. Belum ada kolaborasi yang jelas dan tegas. Dinas P dan K Provinsi dan dinas PPO Kabupaten/Kota jarang mengadakan rapat koordinasi kecuali waktu menjelang UN. Tidak heran jika revitalisai program Gong Belajar tidak sampai ke tingkat satuan pendidikan. Selain itu, pihak sekolah dan komite jarang berjalan bersama. Dari hasil investigasi Cakrawala, masih ada sebagian pihak sekolah belum melihat komite sebagai mitra. Pihak komite dibutuhkan jika ada hal yang berhubungan dengan uang. Ini adalah cerita kita sekaligus derita kita. Konsep PUS di NTT masih ‘abu-abu”.

Mengakarkan Konsep PUS, Wujudkan Program Literasi Masuk Sekolah
            Kementerian Pendidikan dan Kebuadayaan (Kemendikbud), melalui Dijen Guru Tenaga Kependidikan (GTK) memberi contoh bagaimana mengakarkan PUS di NTT. Para kepala bidang TK-Paud, SD-SMP dan SMA/SMK dari seluruh dinas PPO Kabupaten/Kota se-NTT. Para kepala bindang ini diajak untuk berkreasi dan berkolaborasi untuk mendapatkan para guru hebat. Guru profesional, kreatif dan inovatif. Tutor sebaya dalam lingkungan para guru wajib diterapkan melalui program Guru Pembelajar. Konkritnya, guru mendampingi guru. Oleh karenanya, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten berkolaborasi wujudkan mimpi yang sama yakni menigkatkan mutu-kualitas pendidikan di NTT.
            Lalu bagaimanakah mengakarkan PUS dalam konteks gerakan literasi masuk sekolah? “Roh” kurikulum 2013 mengamanatkan guru sebagai fasilitator. Guru harus berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. (Bdk, Wina Senjaya (2008). Dengan demikian, banyak ilmu pengetahuan diperoleh dari kebiasaan membaca.  Ketrampialan dan ketajaman daya analisis seseorang tercermin dari keseringan membaca. Karena itu, salah satu upaya meningkatkan mutu-pendidikan NTT sekaligus membawanya keluar dari zona merah, gerakan literasi masuk sekolah mutlak diperlukan.
            Media Pendidikan Cakrawala NTT sebagai sebuah lembaga independen dan salah satu kelompok masyarakat peduli pendidikan NTT telah berpikirr, bekerja dan berjuang berkolaborasi, wujudkan gerakan literasi masuk sekolah. Media yang bernaung di bawah Lembaga Cakrawala NTT ini telah memiliki lima divisi yakni divisi informasi, formasi, penyiaran, jurnal dan website. Dari divisi informasi, kami mencetak majalah pendidikan yang terbit dua minggu. Saat ini, setiap edisinya, mencetak ribuan eksemplar yang berisi berita pendidikan, tulisan para guru dan siswa/i se-NTT. Puji Tuhan, dari divisi ini telah membantu sekian banyak guru dan memperoleh SK kenaikan pangkat. Selain itu, dari divisi formasi kami membantu sekian banyak guru, para mahasiswa dan siswa/i menulis. Materi pelatihan berupa penulisan karya ilmiah (Tulisan ilmiah populer & PTK) serta jurnalistik dan sastra. Hingga kini tercatat 102 sekolah binaan media ini yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota se-Provinsi NTT. Demikian halnya dari divisi jurnal, website (www.cakrawalantt.com) dan penyiaran. Khusus untuk divisi penyiaran, kami bekerjasama dengan Lembaga Penyiaran Publik RRI Kupang. Program acara “Bedah Editorial Media Pendidikan Cakrawala NTT” mau mengajak seluruh kompenen masyarakat untuk berpikir dan berbuat sesuatu demi meningkatkan mutu pendidikan di NTT.
            Media Pendidikan Cakrawala NTT telah bekerjasama dengan pihak sekolah, universitas, lembaga keuangan seperti koperasi dan pihak pemerintah baik pemerintah provinsi maupun kabupaten kota. Artinya kami sudah bekerja. Namun pengalaman pahit mengajarkan kami banyak hal. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta dinas terkait, belum semuannya menyadari tentang pentingnya kolaborasi program pembangunan pendidikan khususnya dalam hubungan gerakan literasi masuk sekolah. Gerakan kami adalah sunyi. Jawaban yang sama dan membosankan muncul saat “Mengemis” kerjasama. “Tidak ada anggaran” atau “anggaran tidak cukup”. Bahkan ada yang spontan menjawab “Kami belum berpikir soal itu. Literasi itu apa?” Apakah benar tidak tahu soal literasi, Tidak ada anggaran atau kalaupun ada, tetapi bentuknya bagaimana? Kami tidak tahu.

Sederetan Rekomendasi Sebagai Solusi
            Membangun pendidikan adalah tugas semua komponen masyarakat. Pemerintah, sekolah, komite dan masyarakat umum harus berpikir dan ber-aksi memajukan dunia pendidkan NTT. Mencari “kambing hitam” adalah pekerjaan seorang “dungu”. Kreatifitas dalam sebuah kolaborasi yang matang adalah adalah solusi cerdas dan bijaksana. Pendidikan jangan pernah dijadikan sebagai kendaraan politik yang hanya berusia lima tahunan. Tentang bagaimana kualitas manusia NTT lima puluh tahun dari sekarang ditentukan oleh kebijakan seorang Gubernur, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, Bupati/Walikota, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NTT, Kepala Dinas PPO kabupaten/kota, kepala LPMP yang sedang berada di tampuk pimpinan saat ini.  Berkacalah dari pesan Menteri Anies Baswedan dimana pemerintah tidak bisa sendirian dalam menuntaskan masalah pendidikan. Dalam seluruh kebijakan  pembangunan pendidikan, pemerintah atau birokrasi harus terbuka untuk belajar dari masyarakat.
            Dalam konteks mengakarkan PUS demi wujudkan program literasi masuk sekolah, saya menyarankan beberapa hal :
            Pertama, Gubernur harus mengelurkan Pergub soal wajib baca satu jam setiap hari atau dua jam dalam seminggu di lembaga pendidikan. Para guru dan siswa/i wajib membaca. Oleh karena itu, sebagai urutannya, dinas P dan K provinsi dan dinas PPO kabupaten/kota menghimbau bahkan mewajibkan pihak sekolah berlangganan dengan majalah pendidikan sebagai mitra promosi atau sosilaisasi berbagai program pemerintah dan sekolah. Selain itu, mendorong para guru untuk meningkatkan profesionalismenya dengan kegiatan pelatihan penulisan karya ilmiah.
            Kedua, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan NTT berkoordinasi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk mengangkat seorang Duta Literasi NTT. Bersama pemerintah, beliau mengkampanyekan literasi dalam beragam bentuk kegiatan seperti seminar, pelatihan menulis dan sebagainya. Mutu pendidikan harus ditingkatkan dalam bentuk kerjasama dan kolaborasi yang memiliki arah dan tujuan yang sama. Anak NTT butuh orang-orang yang mampu memberi motivasi dan dorongan untuk terus melangkah maju menuju generasi melek literasi.
Ketiga, Pihak sekolah dan komite mendorong kesadaran anak untuk mencintai almamater dengan menyumbangkan satu judul buku di setiap tahun ajaran baru. Buku-buku tersebut disumbangkan ke pepustakaan sekolah. Dengan demikian, sumber bacaan atau refrensi menulis semakin banyak di perpustakaan sekolah. (*)


Share:

Darurat Hukum Perlindungan Guru


Hari hampir siang. Tim cakrawala tiba di halaman salah satu sekolah negeri menengah atas Kota Kupang. Beberapa siswa masih sibuk “ngobrol ria” di halte yang tidak jauh dari halaman sekolah. Seorang staf guru mendekat. Menegur lembut seraya memohon agar para siswa tersebut segera masuk kelas. Jawaban tak biaya datang spontan dari salah satu siswa, “sante saja pak”. Mereka bahkan terkekeh-kekeh saat sang guru membiarkan mereka begitu saja. UU Perlindungan Anak yang secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap peserta didik.
Ini adalah salah satu dari sekian banyak cerita miris tentang nasib guru. Para guru berada pada persimpangan jalan sebagai pengajar dan pendidik. Guru yang bertugas membantu mempersiapkan para peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan berakhlak mulia seringkali berada pada situasi dilema. Namun jika dibiarkan terus maka situasi dilema para guru ini justru perlahan menghantar mereka pada sikap tidak peduli atau “cuek”.
“Mengapa harus pusing mengurus anak-anak yang susah diatur. Toh, mereka juga bukan anak kandung saya. Tugas saya hanya masuk kelas, menyajikan materi pelajaran dan memberi tugas. Tugas saya sebagai guru selesai. Apakah mereka mengerjakan tugas, memproleh nilai rendah, tidak disiplin, tidak tahu sopan-santun, malas dan sebagainya, itu bukan urusan saya. Tugas saya hanya mengajar bukan mendidik. Dari pada harus kehilangan kesabaran demi mendidik mereka, kita naik tangan sedikit, eh... pada akhirnya berurusan dengan kepolisian. Persetan di situ, kau mau jadi baik bersyukur kalau tidak terserah”, tegas seorang guru yang tidak mau menyebutkan namanya.
Mengenai situasi ini, pelaksana harian ketua umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Unifah Rosyidi mengatakan guru resah dan khawatir dalam menjalankan perannya sebagai pendidik. Sejumlah guru yang beritikat mendidik anak tetapi dengan cara yang dinilai melanggar hak anak dilaporkan ke polisi oleh orangtua siswa. Menurutnya, jika ada guru yang khilaf atau kurang sabar dalam menjalankan tugas, mohon pekerjaan guru tersebut dihormati. Mereka jangan langsung ditahan jika dilaporkan sepihak oleh orang tua. (Kompas, 23 Juni 2016-hal.12)
Selaian itu, Prof. Dr. H Samsul Nizar MA, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Pekan Baru menilai UU No 20/2003 menuntut pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik menjadi profesional, seyogyanya diiringi dengan adanya UU Profesi Pendidik. Meskipun dalam UU No 14/2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan dosen, namun dalam tataran implementasi kekuatan UU tersebut masih tak terlihat berkontribusi terhadap nasib guru/dosen sebagai tenaga pendidik. Untuk itu, sudah saatnya jika guru/dosen membangun kekuatan solidaritas untuk mendorong pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru/dosen dan melindungi profesi mereka dengan kekuatan hukum yang jelas.
Alexandra Taus, S.Pd, selaku kepala SMPK Putra Xaverius-Kefamenanu berkisah tentang pengalaman rekan gurunya yang terpaksa berurusan dengan pihak kepolisian. Orangtua siswa melapor rekan gurunya dan menuduh melakukan kekeran fisik kepada anaknya. Alexandra menyayangkan sikap orangtua yang tidak terlebih dahulu menyampikan padanya selaku kepala sekolah jika ada hal-hal yang berurusan dengan para siswa.
”Setiap kali penerimaan murid baru, pihak sekolah selalu duduk bersama dengan para komite sekolah dan menandatangani beberapa kesepakatan termasuk soal aturan penanganan pelanggaran mulai dari pelanggaran ringan hingga pelanggaran yang berat. Bahkan ada orangtua yang mengatakan untuk anak-anak yang susah diatur, silahkan bapa/ibu beri sangsi asal jangan sampai berdarah atau bengkak. Namun, saya juga selalu ingatkan para guru untuk mendidikan siswa dengan lembut dan sabar. Pukul mereka bukan karena emosi tetapi supaya dia tahu apa yang menajdi kesalahannya”. tandas Alexandra.
Sikap orang tua/masyarakat yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru. Mereka terlalu banyak menuntut guru agar dapat mengahantakan peserta didik sebagai masyarakat terdidik namun tidak seiring dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan. Padahal banyak orangtua yang tidak mengerti soal mengajar dan mendidik. Tugas mengajar yang menjadi kapasitas guru akhirnya tersita untuk mendidik siswa yang sebenarnya meruapakan kapasitas dan tugas orangtua. Seorang anak yang malas, tidak tertib, tidak disiplin dan sebagainya adalah bentuk konkrit kegagalan orangtua. Dia (orangtua) tidak ‘becus” mengurus dan mendidik anak. 
Substansi UU No 14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya Dalam UU No 14/2005. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Adapun maksud Perlindungan Profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen adalah perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Namun, implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan guru/dosen, Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya.

Langkah Solutif
            Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan selalu berproses dan bermuara pada  peningkatan kualitas intelektual dan karakter anak. Karenanya, dalam segala jenjang pendidikan kegiatan intra-kurikuler selalu berimbang dengan kegiatan ekstrakurikuler. Artinya guru membawa dua peran sekaligus yakni sebagai pengajar dan pendidik. Dengan demikian revitalisasi UU No.14/2005 mutlak diperlukan. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya perlindungan hukum terhadap guru harus dimplentasi secara adil dan benar. Kekompakan dan sikap solidaritas guru untuk percepatan revitalisasi undang-undang tersebut sangat penting. Harus ada sebuah “reaksi” bersama terhadap beberapa kasus yang menimpa nasib sesama guru. Bukankah hukum itu diproduksi untuk kenyamanan dan ketertiban bersama?

Selain itu, ada beberapa langkah yang kiranya diperhatikan guru dalam menghadapi murid yang bersalah. Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan guru Bimbingan Konseling. Langkah ini sangat penting dan mendasar. Bila perlu, kalau ada orangtua yang tidak mengindahkan surat panggilan, maka siswa tersebut sebaiknya dikembalikan kepada orangtuanya untuk beberapa waktu agar dididik dan diarahkan. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, maka orangtua bersama pihak sekolah menandatangani surat di atas materai untuk mengalihkan tugas mendidik orangtua kepada pihak sekolah dengan mencantumkan beberapa butir kesepakan seperti seorang guru bisa memberikan hukuman dengan beberapa syarat seperti, hukuman tidak pada tempat yang vital, hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik, hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik. Ketiga, jika tidak ada perubahan maka sebagaimana sebuah rumah sakit akan menolak seorang pasien yang sakit parah dan dirujuk ke rumah sakit lain. Pihak sekolah dapat mengembalikan anak tersebut ke pihak orangtua untuk dicarikan “pengobatan” altenatif. Hal-hal teknis untuk langkah ini bisa berupa kriteria kenaikan kelas dan kelulusan jangan hanya soal nilai yang tertera di atas kertas tetapi juga mempertimbangkan sikap dan karakter anak. Dewan guru berhak memutuskan hal tersebut.
Share: