Saturday, 4 December 2010

BUAT SAHABATKU ANJELO


                 

Anjelo Sahabatku...
Kuingin engkau duduk bersamaku malam ini, mengahadap DIA dengan pena, kertas dan sederet nilai hidup. Dalam pusaran arus dilema zaman, lampu di depan auditorium II berpendar menerangi langkah seekor jangkrik yang sedang merangkak. Pada sudut kamar mandi yang retak, engkau pernah melukis seekor burung yang bertenger di atas dahan yang kering. Sunyi dan sepi. Jauh sudah jalan yang kutempuh ini, terbentur antara angan dan kenyataan. Harapanku seakan luruh sebab DIA yang telah memanggilku menjadi sosok yang terlalu banyak untuk kupilih.

Anjelo Sahabatku...
Dua hari yang lalu aku bertemu Feby di halaman Barata Mall. Dia menyalamiku dengan ramah dan semakin cantik dengan kacamata berminus satu setengah bertengger di atas hidungnya yang mancung. Dia kelihatanya segar dan bersemangat. Rambutnya yang terurai panjang kehitaman yang pernah memikat hatimu masih terawat baik. Dia memintaku untuk menemaninya berbelanja sambil menceritakan kisah terindah yang pernah kalian rajut bersama. Jam tangan sebagai hadiah ulang tahun darimu, masih meliliti pengelangan tangan kanannya yang putih bersih. Oh....yah? katanya, kalian pernah berencana untuk menghabiskan waktu liburan Paskah  tahun ini di Labuah Bajo. Dia ingin pergi berdua denganmu ke Pulau Komodo, menikmati pemandangan saat matahari terbenam di Pulau Rinca, dan merasakan lembutnya pasir putih Pulau Bidadari. Dia ingin rencana itu dapat terwujud An! Dia sangat merindukanmu. Namun...saat ia menanyakan keadaanmu padaku, napasku terasa sesak dan tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menjelaskan semua peristiwa yang telah menimpa dirimu. Ia meneteskan air mata, setelah aku lama berdiri mematung tanpa sepatah kata menjawab pertanyaannya. Ia segera pergi dalam kekecewaan dan rasa penasaran yang mendalam. Aku tidak tahu, sampai kapan aku harus menjaga rahasia ini dan sampai kapan Feby berada dalam perasaan kecewa dan sakit hati padamu.

Anjelo sahabatku...
Tujuh bulan yang lalu engkau memutuskan untuk menanggalkan jubah kebiaraanmu sekadar untuk menambah separuh usia Feby yang menderita kangker jantung. Engkau pernah bilang padaku bahwa di luar tembok biara  cinta Tuhan tidak pernah berkurang padamu. Katamu, engkau menarik diri bukan karena Feby tapi demi panggilan cinta yang bergetar di hatimu. Kamu bilang cinta itu adalah segalanya tetapi mengapa di saat Feby hendak keluar dari penyakit yang membelenggunya engkau malah pergi dan melarangku untuk memberitahu semuanya itu pada Feby. Kenapa An? Apakah engkau takut kehilangan Feby?
Ibu Anita, mamanya Feby menelponku tadi malam bahwa penyakit Feby kambuh lagi sehingga terpaksa diantar ke rumah sakit kemarin sore. Mereka sangat mengharapkan kehadiranmu karena engkau adalah seorang di antara ribuan pemuda yang ada di hati Feby, putri tunggal mereka. Akupun terlanjur berjanji untuk mengantar kamu besok sore ke rumah sakit walau aku tak tahu apa yang harus kubuat.

 Anjelo sahabatlku...
                                    Kemarin pagi sewaktu ibadat, aku mengenakan jubah yang pernah kamu gunakan dulu, ketika kamu masih berpredikat  Frater. Memang sudah agak sesak sih! Beberapa teman memintaku untuk segera membuat proposal agar bisa mendapatkan yang baru. Itu tidak akan kuturuti sebab bagiku jubah itulah yang selalu mengingatkan aku bahwa kamu selalu ada di sampingku. Aku merindukan kamu sebagai sahabat yang sungguh mengenal hidup dan kehidupanku semenjak kita masuk seminari kecil dulu. Kita berdua memiliki bakat yang sama dalam tulis-menulis, theater, musik dan sebagi pemain bola kaki. Awalnya aku memberontak ketika engkau memutuskan untuk menarik diri dari panggilan hidup ini enam bulan silam. Namun kemudian aku sadar bahwa kita hanya dapat disatukan tetapi bukan untuk disamakan. Aku menerima dan menghargai keputusanmu sebagai seorang pribadi yang memiliki kebebasan untuk memilih sebab apalah artinya sebuah kebersamaan tanpa memilki orientasi hidup yang jelas.
                                    Sebagai sahabat aku sangat bangga dan kagum denganmu karena  sekalipun kamu telah menjadi Mahasiwa awam namun sikap dan tutur katamu tidak pernah luntur, terseret arus massa di luar tembok biara. Engkau masih seperti dulu bahkan mampu mengumpulkan kaum muda untuk dapat mengembangkan diri sebagai pribadi yang dapat membangun gereja dan negara. Engkau telah berkontemplasi dalam aksi Sobat!

Anjelo Sahabatku...
                                    Di hari ulang tahunku yang ke sembilan belas engkau pernah bersyair,
“Cinta Tuhan itu bagaikan pohon.
 Bertumbuh dalam kecemerlangan cinta, bertunas dalam cahaya keindahan, berbunga dalam kemilauan kasih dan berbuah dalam nyanyian nurani murni”.
                                    Kamu benar An! Tuhan adalah sumber cinta sejati. Cinta itulah yang pernah menyentuh hati kecil kita untuk masuk Seminari kecil sepuluh tahun silam. Cinta itu pula yang menggerakkan hati kita menaruh janji di depan altar sebagai Frater yang sedang mengikrarkan kaul sementara. Cinta itu pula yang mempertemukan kamu  dengan Feby sehingga menanamkan rasa bangga dihatinya karena merasa  dicintai dan diperhatikan.  Engkau telah menumbuhkan rasa optimisme kepadanya saat ia merintih kesakitan karena penyakit yang dideritanya. Namun...apakah cinta yang sama yang menggetarkan hatimu untuk menanggalkan jubah dan membuat aku beserta teman-teman yang lain merasa kehilangan? Apakah cinta yang sama yang membuat kamu harus pergi di saat semua orang membutuhkan kehadiramu terutama Feby yang belum sembuh total dari penyakitnya?
                                    Andai aku diberi kesempatan untuk memilih, maka aku memilih untuk pergi bersamamu. Aku tak sanggup menerima semua ini. Engkau adalah sayap kananku dan dengan kepergianmu membuat aku hanya bisa merangkak dalam ketakberdayaan. Tanggal satu Desember silam engkau  digigit anjing rabies dan pada tanggal dua belas Desember engkau menghembuskan nafas terakhir. Tak ada rintihan kesakitan yang keluar dari mulutmu saat aku berkunjung di kosmu kecuali melarangku untuk tidak memberitahu kepada Feby. ”Aku tidak mau Feby kepikiran” katamu saat itu. Begitu singkat dan menyakitkan. Setiap kali aku ke kos, bekas kontrakkanmu, aku merasa engkau masih ada. Namun ketika melihat orgel kesayanganmu tak berbunyi lagi, baru saat itu aku menyadari bahwa engaku telah pergi untuk selamanya. Syair yang pernah kau persembahkan untukku waktu itu terasa hampa dan tak bermakna.
“Kalau aku bernyanyi, nyanyianku adalah angin. Kalau aku menangis aku menangis di malam sepi. Nyanyian angin senandung rindu, digetar sepi ilalang merantau. Ratapan iman rintihan sakti, di lengking lumat Gereja terpencil. Kalau aku bermadah, aku bermadah di sayap angkasa.
 Kalau aku semadi, semadiku meranting langit. Madah angkasa, madah kembara.
Sahabat...jauh sudah kembara ini, terseret harapan terus merantai.

Anjelo sahabatku...
                                    Besok adalah tanggal sepuluh Maret, hari ulang tahunmu yang kedua puluh satu. Besok adalah hari yang kujanjikan kepada ibu Anita untuk membawamu ke hadapan Feby. Adakah engkau di sana mengerti perasaanku? Kutahu aku tak sanggup melakukan sesuatu sebesar yang pernah kau lakukan pada Feby karena aku tidak mungkin memberi dari sesuatu yang tidak ada padaku. Yah...kalaupun aku bisa melakukanya  tentu tidak akan kubuat seperti apa yang pernah kau tunjukkan.
                                    Besok siang, setelah menyalakan lilin ulang tahunmu di kamar, aku akan pergi ke rumah sakit. Aku akan memberitahu Feby dengan caraku sendiri bahwa engkau telah pergi untuk selamannya. Aku akan mengatakan satu hal padanya, aku sudah lama membenamkan rasa di hatiku yakni aku juga mencintainya jauh sebelum kamu. Yah, satu hal yang kupegang bahwa cinta tak selamanya harus memiliki. Aku akan menempatkan Feby pada ruang kosong hatiku semnenjak kepergianmu. Feby akan kujadikan sahabat yang mampu menyanyikan lagu padaku walau aku lupa kata-katanya. Biarkan aku terbang melintasi angkasa untuk mengubah lukisanmu di tembok kamar mandi yang retak itu. Selamat ulang tahun sahabatku. Doaku mengiringi langkahmu menuju  DIA yang adalah sumber cinta abadi.

Salam dan doaku
Sahabatmu
Ledalero, akhir Februari 2008
Share:

2 comments: