Saturday 4 December 2010

UNTUKMU SHERLY

PAHATAN CINTA DI PUNCAK KEAJAIBAN


Gerimis kecil belum sepenuhnya mereda, saat aku dan Serly memahat janji pada dinding tugu di puncak Kelimutu ini. Kami sepakat untuk menjadikan telaga berwarna biru yang ada di hadapan kami sebagai saksi. Yah...kalaupun suatu saat, danau itu berubah warna ataupun mengering, namun kami sangat yakin kalau cinta yang kami pahatkan itu tetap utuh dan sempurna dalam keabadian.
Namun... kini langkahku terasa berat menuju tugu itu lagi. Air mata sudah membendung di pelupuk mata tapi rasanya malu untuk kutumpahkan di tempat keramat ini. Apa kata air mataku nanti, yang menetes dan jatuh? Mereka pasti akan menertawaiku. Ah...tidak. Aku tak ingin telaga berwarna biru itu tahu, kalau aku sedang menangis. Awalnya aku berpikir, bahwa sampai kapanpun, aku tak ingin orang lain merasakan kepedihan hatiku, sebab mereka tak akan tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Bagiku, lebih baik menangis dalam hati saja. Biar aku sendiri yang merasakan kepedihan hati yang mungkin sudah menjadi tulisan takdirku.
Rupanya aku sedang bermain dengan perasaanku sendiri. Apakah sekarang aku harus percaya bahwa dibalik tangisan ada senyuman kebahagiaan? Apakah aku harus menangis sebelum ditangisi orang lain? Tidak! Ketika aku masih kecil, bapaku pernah bilang, haram bagi seorang laki-laki untuk menangis. Menangis adalah ungkapan dari jiwa yang lemah.

Ingin rasanya aku menjerit dan terus menjerit.
Namun itu tidak ada gunanya karena di puncak keajaiban ini hanya kesunyianlah yang mau mendengarkan jeritan hatiku. Bayangan wajah Serly selalu hadir saat aku sedang memejamkan mata. Hati kecilku selalu bertanya, apakah Serly tidak merasakan kekuatan sebuah kata yang pernah kami pahatkan di tempat ini? Ataukah ia sengaja meragukan makna sebuah kata janji sehingga keberadaanku di hatinya seperti sebuah kabut putih yang hanya menyinggahi kawah itu kemudian dalam sekejap lenyap tertiup angin?
Kini jiwaku tidak sekokoh tugu di puncak keajaiban itu lagi. Di luar kendaliku, aku menitikkan air mata ketika melantunkan perasaanku. Bukan sekali saja, melainkan sudah berkali–kali dan akhirnya akupun menangis sejadi-jadinya, memikirkan kenangan indah bersama Serly. Aku tidak tahu sampai kapan kesendirianku ini berakhir. Telaga berwarna itu meriak, menghembuskan aroma belerang yang seakan meyakinkan aku bahwa pencarianku sudah selesai. Di kaki tugu ini aku hanya bisa bersimpul menatap hati yang runtuh, hancur terbelah dialiri anak sungai dari kelopak mataku. Kidung duka mulai bergema, seiring nada cinta yang terus berlari. Perjalanan cinta yang telah kurajut bersama Serly hanyalah sebuah episode napak tilas tentang rentang waktu yang hilang oleh sikap munafik, egois dan gila harta. Tadinya aku berharap bahwa pahatan janji yang pernah kami kukuhkan bersama di atas puncak keajaiban ini, adalah akhir bahagia. Tetapi ternyata semua itu hanyalah fatamorgana. Aku hanya menemukan sebuah nama dalam kekelaman jiwaku.
* * * * * * * * *

Singkat cerita, aku berkenalan dengan Serly dari sebuah studio penyiaran radio swasta yang mengudara di gelombang 102,9 MHZ. Sebagai penyiar pemula, tentunya aku mesti banyak belajar dari para seniorku, termasuk Sherly. Dia mahluk Tuhan yang selalu menaburkan inspirasi dan alasan bagiku untuk bersujud pada keindahan abadi. Seorang wanita cantik yang kukenal ramah dan rendah hati. Ingin rasanya aku memandang sepasang bola mata bersih nan sayu dari balik lensa bening yang bertengger angkuh di atas hidungnya yang mancung. Aku selalu mencari alasan, untuk ada bersamanya dan memandang dari dekat kedua bola matanya. Yah...bagiku, mata adalah pintu hati.
Terkadang, aku kurang percaya diri saat berdua dengannya, sebab yang duduk di hadapanku bukan hanya seorang wanita cantik dan penyiar kawakan tetapi juga seorang dosen, jurusan psikologi pada salah satu Universitas di kotaku. Aku hanyalah seorang lelaki biasa, dengan sedikit modal keberanian dan tekat untuk merubah garis nasib di dunia wirausaha. Awalnya aku berbisnis rotan di pulau Dewata-Bali, namun beberapa tahun kemudian harga rotan anjlok di pasaran dan menuntut aku untuk beralih profesi. Setelah setahun menganggur, akhirnya aku memberanikan diri untuk terjun di dunia mekanik dan bekerja di perbengkelan sepeda motor. Dengan dukungan dan uluran kasih dari teman-teman dan kenalanku, akhirnya untuk memberanikan diri untuk membuka bengkel sepeda motor. Sebuah pekerjaan yang unik bahkan aneh untuk kebanyakan orang dengan melihat latar belakang pendidikanku sebagai jebolan Sarjana filsafat. Bagiku, filsafat itu akan tetap hidup, ketika aku mampu membawanya dalam kehidupan praktis dan berdiri kokoh di tengah arus dunia yang semakin profan dan majemuk.
Waktu terus mengalir, bersama gelora rasa yang semakin bergemuruh dalam hatiku. Aku mencintai Sherly. Di studio penyiaran yang berukuran empat kali tujuh meter, aku mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Ia tersenyum tanpa memberi sepatah kata pun. “Biarkan waktu yang menjawabnya”. Kataku sekedar membangkitkan rasa percaya diri. Yah..mungkin aku harus puas dengan mengungkapkan perasaanku pada Sherly tanpa harus mendapat jawaban penerimaan atau penolakkan darinya. Satu minggu berlalu hingga handphoneku berdering. Sherly memintaku menemuinya di studio. Ia meraih tanganku dan berkata lembut, “Aku juga mencintai kamu”. Saat itu, aku merasa orang paling bahagia di dunia. Di hari ulangtahunya yang ke dua puluh enam, kami merayakan cinta di puncak kelimutu sambil memahat janji pada matahari untuk sehidup dan semati.
Bahtera cinta yang kami rangkai bersama, telah melewati seribu satu kenangan dalam kurun waktu hampir dua puluh lima bulan. Suatu hari, Sherly memberitahuku bahwa ia dipercayakan oleh kampusnya untuk mengikuti pelatihan di Surabaya, selama sepekan. Dan...semenjak itu, aku tidak bisa menghubungi Sherly lagi. Nomor simpati kepunyaannya selalu sibuk atau berada di luar jangkauan. Namun tidak sedikitpun rasa curuiga dalam hatiku. Aku percaya pada janji yang telah kami pahatkan bersama. Sekembali dari Kupang, Sherly tiba-tiba berubah. Ia sangat sensitif saat aku menanyakan handphonnya selalu tidak aktif selama berada di Surabaya. “Kenapa, kamu tidak mempercayai aku. Belum apa-apa kaku sudah mulai mengatur dan menganggap aku seperti anak kecil. Aku benci kamu”. Katanya dengan nada marah, sambil berlalu. Dua hari kemudian, dia memutuskan hubungan kami secara sepihak.

“Oh....Kelimutu, puncak keajaiban, ke cakrawala manakah engkau membawa sebelah hatiku? Mengapa engkau membiarkan hatiku yang tersisa melanjutkan hidup yang tak pernah berhenti? Apakah aku harus menulis kembali lembaran baru dengan tinta darah pada sebuah harapan untuk menemukan Serly dalam keindahan telaga berwarna ini?

Awal Agustus lalu, secara kebetulan, aku bertemu Serly di rumah sakit umum. Ketika pertama kali melihatku, Serly tampak keget dan sedikit gugup. Aku menyapanya ramah walau sangat terpukul saat melihatnya sudah berbadan dua. Ia menangis tersedu-sedu dan aku tidak tahu apakah itu adalah ungkapan penyesalan atau ketakberdayaan. Beberapa minggu lalu, Serly pergi untuk selamanya. Ia menghembuskan nafasnya yang terakhir saat berusaha melahirkan bayinya, tanpa ditemani oleh seorang laki-laki yang bisa disapa suami atau ayah bagi bayinya. Ternyata perjalanan Sherly ke Kupang bukan untuk pelatihan tetapi mengejar cintanya dengan seorang laki-laki tampan yang berprofesi pengusaha mangan yang sukses. Sekarang aku sadar kalau hidup ini seperti sajak, sebaris demi sebaris, sebait demi sebait hingga aku menemukan akhir yang tak terduga. Hidup ini adalah sebuah metafor, penuh misteri. Sebuah teka-teki yang tersembunyi dalam hati setiap insan.
Share:

2 comments:

  1. Kisah kamu merupakan kisah yg penuh makna ... "Cinta & Kesetiaan diuji ketika jarak memisahkan. Sedangkan Kepercayaan yg mampu mempertahankannya (~_^)"
    Hidupmu msh panjang, jalani semuanya dengan penuh harapan yg indah :) GBU

    ReplyDelete
  2. makasi Inggrit....komentarmu meneguhkan dan penuh inspiratif...

    ReplyDelete