Friday, 22 July 2016

Darurat Hukum Perlindungan Guru


Hari hampir siang. Tim cakrawala tiba di halaman salah satu sekolah negeri menengah atas Kota Kupang. Beberapa siswa masih sibuk “ngobrol ria” di halte yang tidak jauh dari halaman sekolah. Seorang staf guru mendekat. Menegur lembut seraya memohon agar para siswa tersebut segera masuk kelas. Jawaban tak biaya datang spontan dari salah satu siswa, “sante saja pak”. Mereka bahkan terkekeh-kekeh saat sang guru membiarkan mereka begitu saja. UU Perlindungan Anak yang secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap peserta didik.
Ini adalah salah satu dari sekian banyak cerita miris tentang nasib guru. Para guru berada pada persimpangan jalan sebagai pengajar dan pendidik. Guru yang bertugas membantu mempersiapkan para peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan berakhlak mulia seringkali berada pada situasi dilema. Namun jika dibiarkan terus maka situasi dilema para guru ini justru perlahan menghantar mereka pada sikap tidak peduli atau “cuek”.
“Mengapa harus pusing mengurus anak-anak yang susah diatur. Toh, mereka juga bukan anak kandung saya. Tugas saya hanya masuk kelas, menyajikan materi pelajaran dan memberi tugas. Tugas saya sebagai guru selesai. Apakah mereka mengerjakan tugas, memproleh nilai rendah, tidak disiplin, tidak tahu sopan-santun, malas dan sebagainya, itu bukan urusan saya. Tugas saya hanya mengajar bukan mendidik. Dari pada harus kehilangan kesabaran demi mendidik mereka, kita naik tangan sedikit, eh... pada akhirnya berurusan dengan kepolisian. Persetan di situ, kau mau jadi baik bersyukur kalau tidak terserah”, tegas seorang guru yang tidak mau menyebutkan namanya.
Mengenai situasi ini, pelaksana harian ketua umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Unifah Rosyidi mengatakan guru resah dan khawatir dalam menjalankan perannya sebagai pendidik. Sejumlah guru yang beritikat mendidik anak tetapi dengan cara yang dinilai melanggar hak anak dilaporkan ke polisi oleh orangtua siswa. Menurutnya, jika ada guru yang khilaf atau kurang sabar dalam menjalankan tugas, mohon pekerjaan guru tersebut dihormati. Mereka jangan langsung ditahan jika dilaporkan sepihak oleh orang tua. (Kompas, 23 Juni 2016-hal.12)
Selaian itu, Prof. Dr. H Samsul Nizar MA, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Pekan Baru menilai UU No 20/2003 menuntut pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik menjadi profesional, seyogyanya diiringi dengan adanya UU Profesi Pendidik. Meskipun dalam UU No 14/2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan dosen, namun dalam tataran implementasi kekuatan UU tersebut masih tak terlihat berkontribusi terhadap nasib guru/dosen sebagai tenaga pendidik. Untuk itu, sudah saatnya jika guru/dosen membangun kekuatan solidaritas untuk mendorong pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru/dosen dan melindungi profesi mereka dengan kekuatan hukum yang jelas.
Alexandra Taus, S.Pd, selaku kepala SMPK Putra Xaverius-Kefamenanu berkisah tentang pengalaman rekan gurunya yang terpaksa berurusan dengan pihak kepolisian. Orangtua siswa melapor rekan gurunya dan menuduh melakukan kekeran fisik kepada anaknya. Alexandra menyayangkan sikap orangtua yang tidak terlebih dahulu menyampikan padanya selaku kepala sekolah jika ada hal-hal yang berurusan dengan para siswa.
”Setiap kali penerimaan murid baru, pihak sekolah selalu duduk bersama dengan para komite sekolah dan menandatangani beberapa kesepakatan termasuk soal aturan penanganan pelanggaran mulai dari pelanggaran ringan hingga pelanggaran yang berat. Bahkan ada orangtua yang mengatakan untuk anak-anak yang susah diatur, silahkan bapa/ibu beri sangsi asal jangan sampai berdarah atau bengkak. Namun, saya juga selalu ingatkan para guru untuk mendidikan siswa dengan lembut dan sabar. Pukul mereka bukan karena emosi tetapi supaya dia tahu apa yang menajdi kesalahannya”. tandas Alexandra.
Sikap orang tua/masyarakat yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru. Mereka terlalu banyak menuntut guru agar dapat mengahantakan peserta didik sebagai masyarakat terdidik namun tidak seiring dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan. Padahal banyak orangtua yang tidak mengerti soal mengajar dan mendidik. Tugas mengajar yang menjadi kapasitas guru akhirnya tersita untuk mendidik siswa yang sebenarnya meruapakan kapasitas dan tugas orangtua. Seorang anak yang malas, tidak tertib, tidak disiplin dan sebagainya adalah bentuk konkrit kegagalan orangtua. Dia (orangtua) tidak ‘becus” mengurus dan mendidik anak. 
Substansi UU No 14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya Dalam UU No 14/2005. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Adapun maksud Perlindungan Profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen adalah perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugasnya. Namun, implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. UU tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan guru/dosen, Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya.

Langkah Solutif
            Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan selalu berproses dan bermuara pada  peningkatan kualitas intelektual dan karakter anak. Karenanya, dalam segala jenjang pendidikan kegiatan intra-kurikuler selalu berimbang dengan kegiatan ekstrakurikuler. Artinya guru membawa dua peran sekaligus yakni sebagai pengajar dan pendidik. Dengan demikian revitalisasi UU No.14/2005 mutlak diperlukan. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya perlindungan hukum terhadap guru harus dimplentasi secara adil dan benar. Kekompakan dan sikap solidaritas guru untuk percepatan revitalisasi undang-undang tersebut sangat penting. Harus ada sebuah “reaksi” bersama terhadap beberapa kasus yang menimpa nasib sesama guru. Bukankah hukum itu diproduksi untuk kenyamanan dan ketertiban bersama?

Selain itu, ada beberapa langkah yang kiranya diperhatikan guru dalam menghadapi murid yang bersalah. Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua murid perihal prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan guru Bimbingan Konseling. Langkah ini sangat penting dan mendasar. Bila perlu, kalau ada orangtua yang tidak mengindahkan surat panggilan, maka siswa tersebut sebaiknya dikembalikan kepada orangtuanya untuk beberapa waktu agar dididik dan diarahkan. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, maka orangtua bersama pihak sekolah menandatangani surat di atas materai untuk mengalihkan tugas mendidik orangtua kepada pihak sekolah dengan mencantumkan beberapa butir kesepakan seperti seorang guru bisa memberikan hukuman dengan beberapa syarat seperti, hukuman tidak pada tempat yang vital, hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik, hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik. Ketiga, jika tidak ada perubahan maka sebagaimana sebuah rumah sakit akan menolak seorang pasien yang sakit parah dan dirujuk ke rumah sakit lain. Pihak sekolah dapat mengembalikan anak tersebut ke pihak orangtua untuk dicarikan “pengobatan” altenatif. Hal-hal teknis untuk langkah ini bisa berupa kriteria kenaikan kelas dan kelulusan jangan hanya soal nilai yang tertera di atas kertas tetapi juga mempertimbangkan sikap dan karakter anak. Dewan guru berhak memutuskan hal tersebut.
Share:

0 comments:

Post a Comment