Hari hampir siang. Tim cakrawala tiba di
halaman salah satu sekolah negeri menengah atas Kota Kupang. Beberapa siswa
masih sibuk “ngobrol ria” di halte yang tidak jauh dari halaman sekolah. Seorang
staf guru mendekat. Menegur lembut seraya memohon agar para siswa tersebut
segera masuk kelas. Jawaban tak biaya datang spontan dari salah satu siswa, “sante
saja pak”. Mereka bahkan terkekeh-kekeh saat sang guru membiarkan mereka begitu
saja. UU Perlindungan Anak yang secara yuridis melarang adanya tindakan
kekerasan terhadap peserta didik.
Ini adalah salah satu dari sekian banyak
cerita miris tentang nasib guru. Para guru berada pada persimpangan jalan
sebagai pengajar dan pendidik. Guru yang bertugas membantu mempersiapkan para
peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas dan berakhlak mulia seringkali
berada pada situasi dilema. Namun jika dibiarkan terus maka situasi dilema para
guru ini justru perlahan menghantar mereka pada sikap tidak peduli atau “cuek”.
“Mengapa harus pusing mengurus anak-anak
yang susah diatur. Toh, mereka juga bukan anak kandung saya. Tugas saya hanya masuk
kelas, menyajikan materi pelajaran dan memberi tugas. Tugas saya sebagai guru
selesai. Apakah mereka mengerjakan tugas, memproleh nilai rendah, tidak
disiplin, tidak tahu sopan-santun, malas dan sebagainya, itu bukan urusan saya.
Tugas saya hanya mengajar bukan mendidik. Dari pada harus kehilangan kesabaran
demi mendidik mereka, kita naik tangan sedikit, eh... pada akhirnya berurusan
dengan kepolisian. Persetan di situ, kau mau jadi baik bersyukur kalau tidak
terserah”, tegas seorang guru yang tidak mau menyebutkan namanya.
Mengenai situasi ini, pelaksana harian ketua
umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Unifah Rosyidi
mengatakan guru resah dan khawatir dalam menjalankan perannya sebagai pendidik.
Sejumlah guru yang beritikat mendidik anak tetapi dengan cara yang dinilai
melanggar hak anak dilaporkan ke polisi oleh orangtua siswa. Menurutnya, jika
ada guru yang khilaf atau kurang sabar dalam menjalankan tugas, mohon pekerjaan
guru tersebut dihormati. Mereka jangan langsung ditahan jika dilaporkan sepihak
oleh orang tua. (Kompas, 23 Juni
2016-hal.12)
Selaian itu, Prof. Dr. H Samsul Nizar MA,
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Pekan Baru menilai UU No 20/2003
menuntut pencapaian kualitas yang maksimal, menuntut pendidik menjadi
profesional, seyogyanya diiringi dengan adanya UU Profesi Pendidik. Meskipun
dalam UU No 14/2005 secara tegas telah melindungi profesi guru dan dosen, namun
dalam tataran implementasi kekuatan UU tersebut masih tak terlihat
berkontribusi terhadap nasib guru/dosen sebagai tenaga pendidik. Untuk itu,
sudah saatnya jika guru/dosen membangun kekuatan solidaritas untuk mendorong
pemerintah memperbaiki kondisi kerja guru/dosen dan melindungi profesi mereka dengan
kekuatan hukum yang jelas.
Alexandra Taus, S.Pd, selaku kepala SMPK
Putra Xaverius-Kefamenanu berkisah tentang pengalaman rekan gurunya yang
terpaksa berurusan dengan pihak kepolisian. Orangtua siswa melapor rekan
gurunya dan menuduh melakukan kekeran fisik kepada anaknya. Alexandra
menyayangkan sikap orangtua yang tidak terlebih dahulu menyampikan padanya
selaku kepala sekolah jika ada hal-hal yang berurusan dengan para siswa.
”Setiap kali penerimaan murid baru, pihak
sekolah selalu duduk bersama dengan para komite sekolah dan menandatangani
beberapa kesepakatan termasuk soal aturan penanganan pelanggaran mulai dari
pelanggaran ringan hingga pelanggaran yang berat. Bahkan ada orangtua yang
mengatakan untuk anak-anak yang susah diatur, silahkan bapa/ibu beri sangsi
asal jangan sampai berdarah atau bengkak. Namun, saya juga selalu ingatkan para
guru untuk mendidikan siswa dengan lembut dan sabar. Pukul mereka bukan karena
emosi tetapi supaya dia tahu apa yang menajdi kesalahannya”. tandas Alexandra.
Sikap orang tua/masyarakat yang mulai
mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru. Mereka terlalu banyak
menuntut guru agar dapat mengahantakan peserta didik sebagai masyarakat
terdidik namun tidak seiring dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan.
Padahal banyak orangtua yang tidak mengerti soal mengajar dan mendidik. Tugas
mengajar yang menjadi kapasitas guru akhirnya tersita untuk mendidik siswa yang
sebenarnya meruapakan kapasitas dan tugas orangtua. Seorang anak yang malas,
tidak tertib, tidak disiplin dan sebagainya adalah bentuk konkrit kegagalan orangtua.
Dia (orangtua) tidak ‘becus” mengurus dan mendidik anak.
Substansi UU No 14/2005 telah memuat
perlindungan terhadap guru atas profesinya Dalam UU No 14/2005. Hal ini
terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa Pemerintah,
masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan
perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Adapun maksud Perlindungan
Profesi yang diamanatkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen adalah
perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang tidak sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, pemberian imbalan yang tidak
wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan
pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan
tugasnya. Namun, implementasi terhadap UU tersebut masih belum terlaksana. UU
tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan
kesejahteraan guru/dosen, Sementara perlindungan keselamatan dan kesehatan
kerja meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan
kerja, kesehatan, dan/atau resiko lainnya.
Langkah Solutif
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan selalu
berproses dan bermuara pada peningkatan
kualitas intelektual dan karakter anak. Karenanya, dalam segala jenjang
pendidikan kegiatan intra-kurikuler selalu berimbang dengan kegiatan
ekstrakurikuler. Artinya guru membawa dua peran sekaligus yakni sebagai
pengajar dan pendidik. Dengan demikian revitalisasi UU No.14/2005 mutlak
diperlukan. Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang meliputi
perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja,
kesehatan, dan/atau resiko lainnya perlindungan hukum terhadap guru harus
dimplentasi secara adil dan benar. Kekompakan dan sikap solidaritas guru untuk
percepatan revitalisasi undang-undang tersebut sangat penting. Harus ada sebuah
“reaksi” bersama terhadap beberapa kasus yang menimpa nasib sesama guru.
Bukankah hukum itu diproduksi untuk kenyamanan dan ketertiban bersama?
Selain itu, ada beberapa langkah yang kiranya
diperhatikan guru dalam menghadapi murid yang bersalah. Pertama, perlu memberikan laporan kepada orang tua murid perihal
prilaku anak mereka dengan cara pemanggilan secara langsung. Tahapan ini
dilakukan sebanyak 2 kali dengan ikut melibatkan guru Bimbingan Konseling. Langkah
ini sangat penting dan mendasar. Bila perlu, kalau ada orangtua yang tidak
mengindahkan surat panggilan, maka siswa tersebut sebaiknya dikembalikan kepada
orangtuanya untuk beberapa waktu agar dididik dan diarahkan. Kedua, bila selama 2 kali pemanggilan
tidak menunjukan perubahan dan kerjasama yang baik, maka orangtua bersama pihak
sekolah menandatangani surat di atas materai untuk mengalihkan tugas mendidik
orangtua kepada pihak sekolah dengan mencantumkan beberapa butir kesepakan
seperti seorang guru bisa memberikan hukuman dengan beberapa syarat seperti, hukuman
tidak pada tempat yang vital, hukuman dilakukan dalam bentuk yang mendidik,
hukuman dilaksanakan secara adil dan ikut
mempertimbangkan aspek psikologis peserta didik. Ketiga, jika tidak ada
perubahan maka sebagaimana sebuah rumah sakit akan menolak seorang pasien yang
sakit parah dan dirujuk ke rumah sakit lain. Pihak sekolah dapat mengembalikan
anak tersebut ke pihak orangtua untuk dicarikan “pengobatan” altenatif. Hal-hal
teknis untuk langkah ini bisa berupa kriteria kenaikan kelas dan kelulusan
jangan hanya soal nilai yang tertera di atas kertas tetapi juga
mempertimbangkan sikap dan karakter anak. Dewan guru berhak memutuskan hal
tersebut.
0 comments:
Post a Comment