Saturday, 4 December 2010

MENDAYUNG SAMPAN KEHIDUPAN

Ketika asa itu pergi, kelabu hati siap menanti, bersama mimpiku yang terkoyak lagi. Mungkin benar apa yang pernah didengungkan Heidegger bahwa kelahiranku sebagai manusia di bumi fana ini, hanyalah bentuk keterlemparan dari keabadian. Waktu menyeretku begitu cepat menuju titik zero bersama dengan hatiku yang melayang-layang dan tidak tahu harus berlabuh di mana. Aku belum selesai mengekalkan wajah mama dalam ingatanku setelah kemudian menguap bersama waktu dan perlahan namun pasti wajah nenek hadir sebagai pengganti. Kehadiran mama yang hanya sesaat di sampingku cukup menyadarkan aku bahwa aku hanyalah anak seorang perempuan.
Kutulis kisah ini dari suasana jiwaku yang kian rapuh. Aku selalu berpikir untuk dapat berharap bahwa kehadiran mama dalam perjalanan hidupku ini seperti sebuah matahari, hidup selalu terasa seperti pagi hari. Tapi aku juga sadar bahwa langit adalah sebuah misteri dan kini aku ditinggal sendiri. Sementara bapa, bapa hanyalah sebongkah bayang yang akan sirna bila sepotong cahaya mendadak lewat. Aku lebih senang apabila sepotong cahaya datang perlahan, melewati kegelapan yang mengamang dan dengan rasa cemas yang anggun melihat bayangan hitam bapa pudar dalam penglihatan. Sikap egois bapa adalah awal dari semua ini. Seandainya saja bapa menunjukkan sikap rasa bersalah dan insaf, mungkin mama mau memaafkannya. Akhirnya, semua harus terjadi. Bapa dan mama berpisah dan membiarkan aku sendiri menyusuri lembah kelam kehidupan ini. Sebentar lagi bayangan nenek ikut pudar dari ingatanku karena penyakit tifus telah menyeretnya ke alam maut sebulan yang lalu.
Aku terus mengenang peristiwa ini selama-lamanya. Yah... kenangan masa lalu tentang lenyapnya bayangan bapa dalam sepotong cahaya. Aku tidak pernah berpikir bahwa kenangan itu sebagai titik awal rangkaian hidupku. Aku lebih menganggapnya sebagai titik akhir. Aku bukanlah pemain sepak bola yang dilemparkan ke lapangan dengan seperangkat aturan. Dan aku, aku tidak tahu situasi hidup yang aku jalani pada masa tua nanti. Apakah pikiran-pikiranku dapat membuka serangkaian kegelapan, serangkaian tikungan yang berdiri acak dari banyaknya pengalaman? Aku tidak tahu. Aku hanya berpikir bahwa kenangan yang aku alami adalah semacam kitab suci, di mana aku tidak hanya melakukan apa yang tertera sebab kenangan itu tidak berisi apa-apa kecuali seberkas rasa takjub dan ketakberdayaan. Aku akan membuat serangkaian pengetahuan dari pengalaman yang sudah aku dapati ini dan dari kenangan yang aku hayati sehingga kitab suci itu akan menjadi sempurna. Bukan ketika kenangan itu berawal melainkan ketika aku menghirup udara terakhir kalinya, ketika aku merasa badanku timbul- tenggelam bertahun-tahun.
Kini aku berjalan sendiri seperti berada pada sebuah sampan di tengah arus sungai zaman yang sangat deras. Sampanku mendadak membelok tanpa aku duga, sehingga posisi badan sampan tidak lagi lurus ke depan sebagaimana yang aku harap sebelumnya melainkan ke samping, berhadapan dengan tebing sungai yang hanya menyerupai segerombol gelap. Aku divonis mengidap AIDS warisan orangtuaku. Namun aku tetap memegang badan sampan erat-erat sambil terus memandang ke depan, yang dalam tangkapan mataku hanyalah sebentuk gelap yang bergerak-gerak, tanpa suara. Gendang telingaku berisi lengkingan, nyanyian ratapan dan penyesalan. Aku tetap berpegang erat dan merasakan sampan hidupku naik turun dari ketinggian yang tertinggi hingga kerendahan yang terendah dan aku selalu berusaha percaya bahwa setiap hentakkan adalah nyata. Yah keadaanku sekarang ini. Aku yakin sungguh bahwa apabila sampan ini terus mengelogak, niscaya aku akan terlempar ke dalam sungai yang kelam ini. Aku tidak tahu, apakah yang terjadi selanjutnya. Mungkin saja aku terdampar di suatu tempat yang belum terjamah oleh manusia atau mengapung tak bernyawa di telaga yang maha luas. Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena aku bukanlah pembuat sampan ini. Aku hanya menjalankan sampan kehidupan ini.
Share:

0 comments:

Post a Comment