Friday, 22 July 2016

Mengakarkan Literasi di NTT



Tanggal 5-9 Maret 1990 di Jomtien-Thailand, 115 negara dan 150 organisasi bertemu dan menggelar  Konferensi  Dunia membahas Education for All (EFA) atau Pendidikan Untuk Semua (PUS). Koalisi besar berkolaborasi datang pemerintah nasional, masyarakat sipil, kelompok pemerhati pendidikan maupun lembaga pembangunan seperti UNESCO dan Bank Dunia. Semuaya berkomitmen meningkatkan semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulan semua.
Moment Hardiknas 2 Mei 2016, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Anies Baswedan mencoba menawarkan konsep PUS tersebut kepada masyarakat Indonesia. Menurutnya, pemerintah tidak bisa sendirian dalam menuntaskan masalah pendidikan. Dalam seluruh kebijakan  pembangunan pendidikan, pemerintah atau birokrasi harus terbuka untuk belajar dari masyarakat. Kementrian pendidikan dan Kebudayaan, memilih untuk merayakan kebangkitan pendidikan Indonesia dengan semua pihak. Banyak sekali kelompok masyarakat yang sudah dan sementara berkreasi memajukan pendidikan. Tidaklah berlebihan jika birokrasi belajar dari masyarakat. (Kompas, edisi 30 Mei 2016)

Konsep PUS di NTT Masih “Abu-Abu”
            Dari tahun ke tahun, masyarakat NTT selalu mengelus dada menahan malu. Hasil kelulusan Ujian Nasional (UN) tahun 2016 jenjang SMP/MTs berada pada urutan 31 dari 34 provinsi dan jenjang SMA/MA berada pada urutan 34 dan jenjang SMK pada urutan 26.  Kualitas pendidkan NTT masuk dalam kategori “Zona Merah”. Dosa siapakah ini? Siapa yang pantas menjadi ”kambing hitam”. Apakah pemerintah pusat yang hanya menganggarkan dana hanya 1,56 persen atau setara dengan Rp 36.700 per-siswa untuk setiap tahunnya? Apalah artinya Rp. 36.700 untuk sebuah kualitas pendidikan. Untuk membeli tas sekolah saja tidak cukup.
Ataukah dosa pemerintah Provinsi NTT yang seolah “memandang sebelah mata” pembangunan pendidikan NTT? Bagaimanakah kelanjutan program revitalisasi Gong Belajar? Apakah ini hanya sebatas sebuah seruan moral? Konsep revitalisasi Gong Belajar dalam bentuk pemusatan jam belajar peserta didik seyogianya harus dipertegas sesuai konteks lingkungan sekolahnya. Selain itu, memaksimalkan peran guru melalui Kelompok Kerja Guru (KKG), MGMP, Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S), dan pengembangan model pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAIKEM) di sekolah dan mengelola sekolah dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS) tidak boleh sebatas seruan. Harus ada regulasi yang diikuti dengan sangsi yang jelas.
Ataukah dosa para guru? Hasil Ujian Kompetensi Guru (UKG) yang berlangsung secara nasional, banyak guru  termasuk para guru di Provinsi NTT memiliki peringkat di bawah rata-rata nasional. Bagaimana bisa keluar dari zona merah kalau gurunya saja tidak berkualitas? Ataukah ini dosa orangtua dan masyarakat? Apakah tugas mendidik anak yang seharusnya menjadi tugas orangtua dilimpahkan kepada guru? Bagaimana mungkin orangtua serta-merta mem-polisikan guru yang sedang menjalankan tugasnya untuk mendidik anak? Hmm...Teruslah mencari “kambing hitam” dan kita tetap berada pada posisi “Zona Merah”.
            Saya menilai, pemerintah, sekolah, komite dan masyarakat masih berjuang dan bekerja sendiri. Belum ada kolaborasi yang jelas dan tegas. Dinas P dan K Provinsi dan dinas PPO Kabupaten/Kota jarang mengadakan rapat koordinasi kecuali waktu menjelang UN. Tidak heran jika revitalisai program Gong Belajar tidak sampai ke tingkat satuan pendidikan. Selain itu, pihak sekolah dan komite jarang berjalan bersama. Dari hasil investigasi Cakrawala, masih ada sebagian pihak sekolah belum melihat komite sebagai mitra. Pihak komite dibutuhkan jika ada hal yang berhubungan dengan uang. Ini adalah cerita kita sekaligus derita kita. Konsep PUS di NTT masih ‘abu-abu”.

Mengakarkan Konsep PUS, Wujudkan Program Literasi Masuk Sekolah
            Kementerian Pendidikan dan Kebuadayaan (Kemendikbud), melalui Dijen Guru Tenaga Kependidikan (GTK) memberi contoh bagaimana mengakarkan PUS di NTT. Para kepala bidang TK-Paud, SD-SMP dan SMA/SMK dari seluruh dinas PPO Kabupaten/Kota se-NTT. Para kepala bindang ini diajak untuk berkreasi dan berkolaborasi untuk mendapatkan para guru hebat. Guru profesional, kreatif dan inovatif. Tutor sebaya dalam lingkungan para guru wajib diterapkan melalui program Guru Pembelajar. Konkritnya, guru mendampingi guru. Oleh karenanya, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten berkolaborasi wujudkan mimpi yang sama yakni menigkatkan mutu-kualitas pendidikan di NTT.
            Lalu bagaimanakah mengakarkan PUS dalam konteks gerakan literasi masuk sekolah? “Roh” kurikulum 2013 mengamanatkan guru sebagai fasilitator. Guru harus berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran. (Bdk, Wina Senjaya (2008). Dengan demikian, banyak ilmu pengetahuan diperoleh dari kebiasaan membaca.  Ketrampialan dan ketajaman daya analisis seseorang tercermin dari keseringan membaca. Karena itu, salah satu upaya meningkatkan mutu-pendidikan NTT sekaligus membawanya keluar dari zona merah, gerakan literasi masuk sekolah mutlak diperlukan.
            Media Pendidikan Cakrawala NTT sebagai sebuah lembaga independen dan salah satu kelompok masyarakat peduli pendidikan NTT telah berpikirr, bekerja dan berjuang berkolaborasi, wujudkan gerakan literasi masuk sekolah. Media yang bernaung di bawah Lembaga Cakrawala NTT ini telah memiliki lima divisi yakni divisi informasi, formasi, penyiaran, jurnal dan website. Dari divisi informasi, kami mencetak majalah pendidikan yang terbit dua minggu. Saat ini, setiap edisinya, mencetak ribuan eksemplar yang berisi berita pendidikan, tulisan para guru dan siswa/i se-NTT. Puji Tuhan, dari divisi ini telah membantu sekian banyak guru dan memperoleh SK kenaikan pangkat. Selain itu, dari divisi formasi kami membantu sekian banyak guru, para mahasiswa dan siswa/i menulis. Materi pelatihan berupa penulisan karya ilmiah (Tulisan ilmiah populer & PTK) serta jurnalistik dan sastra. Hingga kini tercatat 102 sekolah binaan media ini yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota se-Provinsi NTT. Demikian halnya dari divisi jurnal, website (www.cakrawalantt.com) dan penyiaran. Khusus untuk divisi penyiaran, kami bekerjasama dengan Lembaga Penyiaran Publik RRI Kupang. Program acara “Bedah Editorial Media Pendidikan Cakrawala NTT” mau mengajak seluruh kompenen masyarakat untuk berpikir dan berbuat sesuatu demi meningkatkan mutu pendidikan di NTT.
            Media Pendidikan Cakrawala NTT telah bekerjasama dengan pihak sekolah, universitas, lembaga keuangan seperti koperasi dan pihak pemerintah baik pemerintah provinsi maupun kabupaten kota. Artinya kami sudah bekerja. Namun pengalaman pahit mengajarkan kami banyak hal. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta dinas terkait, belum semuannya menyadari tentang pentingnya kolaborasi program pembangunan pendidikan khususnya dalam hubungan gerakan literasi masuk sekolah. Gerakan kami adalah sunyi. Jawaban yang sama dan membosankan muncul saat “Mengemis” kerjasama. “Tidak ada anggaran” atau “anggaran tidak cukup”. Bahkan ada yang spontan menjawab “Kami belum berpikir soal itu. Literasi itu apa?” Apakah benar tidak tahu soal literasi, Tidak ada anggaran atau kalaupun ada, tetapi bentuknya bagaimana? Kami tidak tahu.

Sederetan Rekomendasi Sebagai Solusi
            Membangun pendidikan adalah tugas semua komponen masyarakat. Pemerintah, sekolah, komite dan masyarakat umum harus berpikir dan ber-aksi memajukan dunia pendidkan NTT. Mencari “kambing hitam” adalah pekerjaan seorang “dungu”. Kreatifitas dalam sebuah kolaborasi yang matang adalah adalah solusi cerdas dan bijaksana. Pendidikan jangan pernah dijadikan sebagai kendaraan politik yang hanya berusia lima tahunan. Tentang bagaimana kualitas manusia NTT lima puluh tahun dari sekarang ditentukan oleh kebijakan seorang Gubernur, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, Bupati/Walikota, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi NTT, Kepala Dinas PPO kabupaten/kota, kepala LPMP yang sedang berada di tampuk pimpinan saat ini.  Berkacalah dari pesan Menteri Anies Baswedan dimana pemerintah tidak bisa sendirian dalam menuntaskan masalah pendidikan. Dalam seluruh kebijakan  pembangunan pendidikan, pemerintah atau birokrasi harus terbuka untuk belajar dari masyarakat.
            Dalam konteks mengakarkan PUS demi wujudkan program literasi masuk sekolah, saya menyarankan beberapa hal :
            Pertama, Gubernur harus mengelurkan Pergub soal wajib baca satu jam setiap hari atau dua jam dalam seminggu di lembaga pendidikan. Para guru dan siswa/i wajib membaca. Oleh karena itu, sebagai urutannya, dinas P dan K provinsi dan dinas PPO kabupaten/kota menghimbau bahkan mewajibkan pihak sekolah berlangganan dengan majalah pendidikan sebagai mitra promosi atau sosilaisasi berbagai program pemerintah dan sekolah. Selain itu, mendorong para guru untuk meningkatkan profesionalismenya dengan kegiatan pelatihan penulisan karya ilmiah.
            Kedua, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan NTT berkoordinasi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk mengangkat seorang Duta Literasi NTT. Bersama pemerintah, beliau mengkampanyekan literasi dalam beragam bentuk kegiatan seperti seminar, pelatihan menulis dan sebagainya. Mutu pendidikan harus ditingkatkan dalam bentuk kerjasama dan kolaborasi yang memiliki arah dan tujuan yang sama. Anak NTT butuh orang-orang yang mampu memberi motivasi dan dorongan untuk terus melangkah maju menuju generasi melek literasi.
Ketiga, Pihak sekolah dan komite mendorong kesadaran anak untuk mencintai almamater dengan menyumbangkan satu judul buku di setiap tahun ajaran baru. Buku-buku tersebut disumbangkan ke pepustakaan sekolah. Dengan demikian, sumber bacaan atau refrensi menulis semakin banyak di perpustakaan sekolah. (*)


Share:

0 comments:

Post a Comment