Wednesday, 8 December 2010

MEMAHAMI KONSEP CINTA KAHLIL GIBRAN DALAM NOVEL SAYAP-SAYAP PATAH


BAB. 1 PENDAHULUAN
I.1. Pendahuluan
Sebagai mahluk berakal budi dan yang memiliki perasaan, manusia membutuhkan berbagai macam relasi. Entah antara dirinya dengan manusia lain, dengan lingkungan maupun dengan Tuhan sebagai penciptanya. Menurut Martin Buber, manusia mempunyai dua relasi fundamental yaitu relasi dengan benda (Ich-Es) serta relasi dengan sesama dan Tuhan (Ich-Du) . Salah satu motif dan mungkin menjadi makna terpenting dari hubungan itu adalah apa yang kita kenal dengan cinta. Cinta menjadi kata kehidupan karena dalam dan melalui cinta manusia dapat menyatukan dirinya dengan cipta lain termasuk penciptanya sendiri. Ada berbagai sarana yang digunakan oleh manusia untuk mengungkapkan arti cinta dalam hidupnya. Salah satu sarana yang diangkat penulis di sini adalah sastra.
Sastra sebagai produksi artistik, senantiasa memberikan kekhasan tersendiri bagi para pembacanya sebab selain kemampuan imajinasi murni penulis, karya sastra juga hadir sebagai hasil refleksi situasi zamannya. Apapun jenis dan bentuknya kehadiran sastra mampu memberi pencerahan bagi para pembacanya menuju suatu pemahaman tentang kebenaran yang hakiki. Hanya dengan mengungkapkan kebenaran sebuah karya sastra tetap aktual dan tidak hanyut ditelan waktu. Mengungkapkan cinta sebagai sebuah kebenaran adalah salah satu tujuan dari kehadiran sastra.
Mengangkat tema tentang cinta dalam sebuah karya sastra, secara tidak langsung kita telah masuk pada pembicaraan mengenai kehidupan itu sendiri sebab sadar atau tidak manusia pada dasarnya adalah seseorang pribadi yang terlahir dari cinta dan untuk cinta. Pada umumnya cinta dimengerti sebagai suatu relasi dengan paling kurang dua pihak yaitu yang mencinta (pecinta) dan yang dicintai, yang menjadi obyek cinta. Cinta merupakan perwujudan penyatuan yang esensial yang memberi kemungkinan pada manusia untuk menemukan “yang lain” dalam dirinya walaupun individualitasnya tetap terjaga. Penyatuan tanpa peleburan dimana yang ada bukan situasi saling memiliki tetapi keberadaan yang sejajar antara keduanya.
Kahlil Gibran adalah seorang penyair yang handal. Hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya yang banyak diminati orang dari seluruh belahan dunia. Menurut hemat saya, hal mendasar yang mempengaruhi minat orang terhdap karya-karya Gibran adalah kemampuan daya imajinatif Gibran yang berusaha mendeskripsikan secara jujur realitas konkrit zamannya secara bebas, spontan dalam sebuah pemilihan kata yang memikat. Novel Sayap-Sayap Patah merupakan salah satu dari sekian banyak karya Gibran. Novel ini mengisahkan sebuah cerita cinta Gibran yang menggetarkan, menarik dan mengesankan walau diakhir dengan perpisahan yang amat tragis bersama dengan seorang gadis yang dicintainya. Bagi kahlil, cinta adalah standing in (bertahan di dalam). Itu berarti cinta lebih pada sebuah tindakan aktif yang bersifat memberi ketimbang menerima.
Namun terhadap dua bentuk cinta, eros dan agape sebagaimana yang dikemukakan Plato, Gibran lebih memilih bersikap netral dan mengakui keduanya sekaligus. Ia tidak mengakui yang satu dan mengabaikan yang lain. Berhubungan dengan cinta eros dalam ”Sang Nabi” ia mencatat:
“Acapkali dalam penolakan diri terhadap kesenangan, kau hanya menimbun keinginan di ceruk kesadaranmu. Siapa tahu bahwa apa yang nampaknya hilang hari ini menanti di hari esok? Bahkan tubuhmu merupakan harpa jiwamu. Dan itu bergantung pada dirimu untuk membawa keluar musik manis daripadanya atau bunyi-bunyi yang membingungkan”.
Dalam tulisan ini, penulis hendak menggendepankan gagasan, konsep atau pikiran Gibran yang walaupun abstrak namun merupakan suatu sistim pemikiran yang runtut dan jelas tentang cinta sebagai makna kehidupan yang sesungguhnya ” Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia, sebab dengan demikian meninggikan roh sehingga hukum dunia dan fenomena alam tak dapat mengubah arahnya”. Di sini Kahlil melihat cinta sebagai hal pertama yang dapat menyadarkan manusia bahwa keberadaannya selalu mengadaikan kehadiran orang lain, yang dalam dirinya memiliki martabat yang luhur dan mulia. Prestasi, status dan kedudukan seseorang tidak menjadi alasan untuk dapat merendahkan martabat orang lain. Melihat pentingnya penghargaan terhadap martabat manusia maka penulis mengemas tulisan ini di bawah judul : MEMAHAMI KONSEP CINTA KAHLIL GIBRAN DALAM NOVEL SAYAP-SAYAP PATAH (Sebuah Upaya Meningkatkan Penghargaan Terhadap Martabat Manusia). Kiranya tulisan ini, berguna bagi pembaca sekalian agar bukan hanya bisa berkata-kata atau mendendangkan lagu-lagu tentang cinta tetapi juga mampu mengaplikasinya dalam kehidupan konkrit setiap hari sehingga dapat menemukan “yang lain” dalam diri kita sendiri.

I.2. Tujuan Penulisan
Tujuan utama dan pertama dari tulisan ini adalah agar penulis mengoptimalkan kemampuan berpikir secara konpherensip, kristis, analitis dan runtut dalam sebuah penulisan karya ilmiah berdasarkan metode penulisan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini penulis dituntut untuk merangsang kemapuan berpikir agar dapat menemukan benang merah dari semua konsep-konsep filsafat dan teologi dengan realitas konkrit masyarakat dalam hubungan dengan karya sastra (novel) dari Kahlil Gibran. Tulisan ini dibuat untuk memenuhi kerinduan penulis dalam usaha untuk memahami konsep cinta Kahlil Gibran dalam Sayap-Sayap Patah. Novel ini telah menjadi inspirasi berharga bagi penulis untuk lebih memahami cinta ke arah yang lebih sempurna. Selain itu, tulisan ini dibuat sebagai persyaratan untuk dapat menulis skripsi.

I.3. Metode Penulisan
Tulisan ini dibuat dengan mengunakan metode kepustakaan. Dari sekian karya Kahlil Gibran yang dutulis banyak bahasa, penulis hanya mengambil buku yang ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Lebih dari itu penulis juga berusaha untuk menemukan titil simpul dari sebuah konsep pemikiran yang hendak disampaikan Gibran dalam novelnya sebagai upaya peningkatan penghargaan terhadap martabat manusia.

I.4. Manfaat Penulisan
Penulis menyadari bahwa tulisan singkat ini tentu membawa beberapa manfaat praktis baik bagi penulis sendiri maupun pembaca sekalian. Adapaun manfaat itu yakni, dengan tulisan ini melatih ketajaman berpikir dalam usaha untuk menganalisa sebuah konsep yang bersifat abstrak kepada situasi konkrit masyarakat. Selain itu tulisan ini juga menghantar pembaca sekalian pada pemahaman yang lebih dalam dari novel Sayap-Sayap patah khusunya tentang hakikat cinta yang sebenarnya agar semakin meningkatkan pengahargaan terhadap martabat manusia.
Cinta adalah bahasa universal sebab manusia terlahir dari cinta, oleh cinta dan untuk cinta. Kiranya tulisan ini menyadarkan pembaca agar jangan hanya bisa berkata-kata tentang cinta tetapi berani mengaplikasikannya dalam kehidupan setiap hari.

BAB. II TAPAK-TAPAK KEHIDUPAN KAHLIL GIBRAN

2.I. Riwayat Hidup
Kahlil Gibran lahir di Lebanon Utara pada tanggal 6 Januari 1883 tepatnya di desa Bisharri, Libanon dari keluarga Katolik-Maronit. Ayahnya seorang pemungut pajak yang hanya jebolan Sekalah Dasar. Modal pendidikan formal yang terbilang rendah ini, akhirnya turut mempengaruhi penghasilannya. Namun sayangnya penghasilan yang sedikit itu dihabiskannya di meja-meja judi dan untuk membeli alkohol. Lain halnya dengan Kamileh Rahmeh, ibunya. Seorang ibu yang anggun, memiliki suara yang merdu, taat beribadah dan tekun bekerja. Walau tidak memiliki pendidikan formal namun Kamileh memiliki kebijaksanaan hidup yang menghayakinkan. Kualitas inilah yang kemudian mengalir dalam diri anak-anaknya, termasuk Kahlil.
Desa Bisharri merupakan daerah yang hijau, subur dan jauh dari kebisingan kota. Tak heran bila sejak kecil, mata Kahlil sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Hal ini pulallah yang kemudian banyak mempengaruhi tulisan-tulisan Kahlil tentang alam.
Kondisi kehidupan ekonomi yang tidak mendukung ditambah kenyataan sosial yang banyak diwarnai ketidakadilan dalam mayarakat Lebanon membuat keluarga Kahlil memutuskan untuk berimigrasi. Maka, ketika Kahlil berusia sepuluh tahun ia pindah ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, bersama ibu dan kedua adik perempuannya. Keceriaan Kahlil di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya sehingga bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Kahlil hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Beirut, dimana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat sejak tahun 1898 sampai 1901.
Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Kesultanan Usmaniyah yang sudah lemah, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karyanya yang berbahasa Arab yakni Sayap-Sayap Patah. Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya dan justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan dua pengalaman budaya yang berbeda menjadi satu. Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Saat itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan di New York City, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronit. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.
Masa-masa pembentukan diri selama di Paris tercerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC. Kahlil segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Kahlil dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan's Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Kahlil dapat meneruskan karier keseniman dan kesastraannya yang masih awal. Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua darinya dan memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.
Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Kahlil meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hepatis dan tuberkulosis, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di Greenwich Village. Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran. Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis, sebuah biara Karmelit di mana Gibran pernah melakukan ibadah.

2.2. Karya-Karya Kahlil Gibran
Gibran termasuk penulis-penyair yang amat produktif. Ada begitu banyak hasil karyanya selama ia hidup. Umumnya karya-karya tulis itu ditulis dalam dua bahasa yakni bahasa Arab dan bahasa Ingris.
2.2.1. Karya-karya dalam bahasa Arab
Karya-karya Gibran dalam bahasa Arab antara lain: al-Arwah al-Mutamarridah (1906), ‘Ara’is al muruj (1908), al-‘Ajnihah al-Mutakassirah (1912), Dama’ah wa Ibtisamah (1914) al Mawakib (1919), al-‘Awasif (1920), al-Badayi wa Taray’if (1925).

2.2.2. Karya-karya dalam bahsa Ingris
Karya-karya Gibran dalam bahasa Ingris antara lain: The Madman (1918), The Forerunner (1920), The Prophet (1923), Sand and Foam (1926), Jesus the Son of Man (1928), The earth Gods (1931), The Wanderer (1932), The garden of Prophet (1933), Prosa Poem (1934), Secret of the Heart (1947), Tears and Loughter (1949), Voice of the Master (1958), A Self-portrait (1997), Spirit Brides (1919).


BAB. III NOVEL “SAYAP-SAYAP PATAH : SEBUAH KISAH CINTA YANG MENGGETARKAN

3. I. Novel Sayap-Sayap Patah : Perpaduan Antara Realitas Dan Imajinasi
Kahlil Gibran memang bukan orang pertama yang mengemakan napas cinta dengan begitu indahnya. Telah ada Empedokles, seorang filsuf Yunani yang menyatakan bahwa cinta adalah sebuah kekuatan yang menyatukan empat unsur (air, udara, api dan tanah) untuk membentuk alam semesta. Selain itu, Plato seorang idealis menyatakan bahwa cinta merupakan kerinduan terdalam seseorang untuk sampai pada dunia ide dan merupakan tiket menuju keabadian. Lebih dari itu, cinta yang ada dalam diri manusia hanya merupakan pantulan dari cinta Allah yang sudah ada jauh sebelum manusia diciptakan. Dalam kitab suci khususnya kitab Kidung Agung melukiskan secara indah cinta seorang pria dan wanita sebagai simbol cinta Allah kepada umat-Nya. “Kita mencinta, karena Allah terlebih dahulu mencintai kita“.
Penulis melihat bahwa, Sayap-Sayap Patah merupakan jenis novel yang mengandung gaya artistik yang khas dan menarik untuk ditelaah lebih lanjut tentang makna sebuah cinta. Cerita cinta Kahlil Gibran dengan Salma Karami ditulis dengan gaya spontan, memiliki kronologis cerita yang jelas dan mengandung makna yang amat dalam. Kahlil Gibran menulis dari kedalaman hati yang amat dalam sebagai hasil refleksi kehidupan konkrit yang dialaminya sendiri. Dari kesepuluh tema berikut ini, dapat dilihat bagaimana seorang Kahlil memadukan secara harmonis antara realitas yang terjadi baik yang dialaminya secara langsung maupun kenyataan real masyarakat sekitarnya dengan dengan sebuah daya imajinasi yang tinggi dan memukau. Sastra dibangun menurut daya imajinasi yaitu daya batin yang secara intuitif memperoleh tanggapan atau visi yang benar dari pengalaman atau kenyataan konkret. Imajinasi membuat seseorang sanggup mendapatkan suatu visi mengenai kenyataan tanpa terlebih dahulu melalui langkah-langkah logis. Imajinasi adalah nyawa yang meresapi segala sesuatu. Imajinasi berkaitan langsung dengan manusia yang memiliki daya tersebut dan tidak berkaitan dengan gambaran yang membabi- buta dan semberawutan tentang suatu obyek. Di sini imajinasi erat kaitannya dengan arti, makna dan hasrat. Pada pendahuluan dari karyanya ini dia menulis:
“I was eighteen years of age when love opened my eyes with its magic rays and touched my spirit for the first time with its fiery fingers, and Selma Karamy was the first woman who awakened my spirit with her beauty and led me into the garden of high affection, where days like dreams and nights like weddings”.
Disini, Kahlil mau menegaskan kodrat manusiawinya sebagai laki-laki yang memiliki rasa tertarik dengan lawan jenis. Dalam diri Salma Karami ia menemukan rahasia cinta yang sempurna baik lahiriah maupun batiniah. Namun kebahagiaan itu bagaikan pelagi senja yang hadir untuk sementara waktu ketika kemudian lenyap dalam kegelapan dan kegalauan hatinya. Salma pergi untuk selamanya dan hanya meninggalkan puing-puing kehancuran di hati Kahlil. Ia terpekur dalam ketakberdayaan. Sayap-sayapnya telah patah dan tidak mempunyai kekuatan lagi untuk terbang menuju taman cinta yang indah penuh kebahagiaan.
Sayap-Sayap Patah dikemas dalam sepuluh tema yang seakan berdiri sendiri walau tetap terikat pada kronologis cerita yang jelas dan logis. Duka Yang Bisu, membuka babak awal kisah yang menggetarkan ini. Di dalamnya tergambar situasi batin Kahlil yang gundah gulana dimana rasa kecewa, cemas, khawatir berbaur menjadi satu. Ia seperti tawanan yang selalu dihantui jeruji dan belenggu-belenggu ketakutan dan cinta baginya tidak lebih dari sekadar bahasa dan air mata. Tema perdana ini seakan disiasati Kahlil untuk menarik rasa penasaran pembaca sekaligus menjadi dasar bagi cerita selanjutnya. Tiga buah tema yang menyusulnya yakni, Tangan Sangat Nasib, Di Gerbang Kuil dan Obor Putih, mengisahkan perjumpaan Kahlil dengan Faris Afandi Karami dan Salma Karami, putri tunggalnya. Ketiga tema ini menonjolkan keberanian Gibran dalam menjawabi panggilan cinta yang selalu bergetar di hatinya. Mengenai hal ini ditulisnya dalam buku Sang Nabi :
”Apabila cinta memanggilmu, ikutlah dengannya meski jalan yang akan kalian tempuh terjal dan berliku. Dan apabila sayap-sayapnya merengkuhmu, pasrahlah serta menyerahlah meski pedang yang tersembunyi di balik sayap itu akan melukaimu. Dan, jika dia bicara kepadamu, percayalah, walau ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara memporak-porandakan pertamanan. Sebagaimana ia memahkotaimu demikian cinta juga akan menyalibmu. Sebagimana ia menumbuhkan kuncup dedaunanmu, maka ia juga memotong akar-akarmu ....”.
Dalam tema kelima dan keenam, Prahara dan Telaga Api memunculkan ketegangan cerita tentang awal perpisahan Kahlil dan Salma Karami. Kekayaan Faris Afandi menghantar putri tunggalnya pada sebuah sangkar tradisi yang membelenggu. Uskup Bulos Ghalib menjodohkan Mansyur Bek Ghalib, kemenakannya dengan Salma tetapi bukan karena terpesona akan kecantikan dan kemurnian serta ketulusan hati Salma namun semata-mata demi harta warisan Faris Afandi. Terhadap permintaan Sang Uskup, baik Faris Afandi, Kahlil dan Salma tidak mengungkapkan kata ”tidak” apalagi menunjukkan sebuah sikap memberontak. Aliran arus tradisi yang deras akan kewibawaan seorang pemimpin agama membuat mereka diam seribu bahasa. Salma hanya bisa mengadu kepada Tuhan dan meratapi nasibnya sebagai seorang perempuan yang selalu direndahkan. Dengan sedih ia berdoa ”Oh, Lord God, have mercy on me and mend my broken wings.”
Tema ketujuh yang berjudul Di Hadapan Tahta Kematian. Dalam tema ini Kahlil membongkar kenyataan riil yang dialami perempuan pada zamannya. Perempuan dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan. Martabatnya dinjak-injak oleh sistim Patriarkat yang membelenggu dan membuat mereka menjadi asing dalam keluarga serta tanah kelahirannya sendiri. Mereka hanya memiliki kewajiban tanpa harus mempunyai hak. Dalam situasi seperti inilah Salma ada dan hidup. Iapun terbawa arus sosial yang keruh dan menjijikkan dalam diri Uskup Bulos Ghalib dan kemenakannya Mansur Bek Ghalib. Salma semakin tidak berdaya apalagi ditinggalkan Sang ayah untuk selamanya. Dalam situasi batas seakan tidak ada kata yang paling tepat selain kata ibu. Ibu adalah dia yang sungguh mengerti hidup dan kehidupan anaknya. Mengenai hal ini kahlil menulis, “ The most beautiful word on the lips of mankind is the word “Mother” and the most beautiful call is the call of “ My mother”. It is a word full of hope and love, a sweet and kind word coming from the depths of the heart ....
Tema kedelapan yang berjudul Antara Yesus Dan Isytar. Isytar adalah dewi cinta dan keindahan. Dua buah gambar yang disandingkan bersama untuk memaknai eksistensi perempuan antara cinta dan penderitaan. Gambar Yesus yang di salib dan Maria yang berdiri di bawah kaki salib dan Isytar yang duduk di atas singgasana dengan tujuh orang gadis yang tak berpakaian berdiri mengelilinginya. Laki-laki membeli kemegahan dan kemasyuran tetapi perempuanlah yang membayarnya. Sebuah kritikan tajam bagi sistim patriarkat masyarakat sezamannya. Namun di sini Kahlil hendak menyatukan segala deritanya bersama Salma, gadis pujaan hatinya ke dalam hati Kristus yang berkurban di salib demi cinta-Nya yang besar pada manusia. Tuhan adalah sumber segala cinta sedangkan cinta yang ada dalam hati manusia hanya merupakan biasan cinta Tuhan.
Tema kesembilan berjudul Pengorbanan. Menurut penulis, tema ini merupakan klimaks yang menegangkan dari Sayap-Sayap Patah. Salma Karami dengan tegas menolak ajakan Kahlil untuk segera meninggalkan situasi yang serba tidak menentu menuju suatu tempat yang baru untuk menghirup udara kebebasan. Ia memilih untuk menderita sebab cawan yang diberikan padanya harus diminum sampai tuntas dan perpisahan bukanlah akhir tetapi awal dan suatu adegan cinta yang murni dan tulus. “Aku datang kepadamu dan mengucapkan sepatah kata dan aku tidak akan mengatakannya sekarang. Namun bila kematian menghalangi pengucapannya, ia akan diucapkan oleh esok karena esok tidak pernah meninggalkan rahasia dalam buku keabadian”.
Tema yang terakhir adalah Sang Penyelamat . Tema ini merupakan akhir dari cerita cinta Kahlil. Salma Karami yang telah lama merindukan seorang buah hati akhirnya terwujud. Namun sayangnya bayi itu segera meninggal setelah beberapa saat menghirup napas kehidupan. Bagi Salma bayi itu merupakan penyelamat yang akan membawanya pergi dari sangkar yang telah mengukungnya selama bertahun-tahun. Beberapa saat kemudian ia juga menutup mata untuk selamanya mengikuti jejak penyelamat, dalam diri bayinya. Bagaimanakah dengan Kahlil? Kahlil tidaklah lebih dari mayat berjalan yang melayang tanpa dasar pijakan yang jelas. Kepada pengali kubur dia hanya berkata “In this ditch you have also buried my heart”.

3.2. Memahami Perwatakan Para Pelaku Dalam Sayap-Sayap Patah
3.2.1. Kahlil Gibran
Peran Kahlil dalam Sayap-Sayap Patah diwakili oleh tokoh “aku”. Dalam tulisan ini “aku” menjadi tokoh sentral yang berusaha mengungkapkan sesuatu yang dialaminya sendiri. “Aku” tidak banyak menunjukkan suatu aksi yang besar kecuali kemampuan untuk memahami persoalan dengan hati. Ia lebih banyak mendengar, merenung dan berusaha mengamati situasi hidup yang yang nyata. Namun dalam diamnya, tokoh “aku” sebenarnya berbicara banyak hal tentang cinta, kehidupan dan mengeritik situasi konkrit mengenai tradisi yang membelenggu.

3.2.2. Salma Karami
Tokoh Salma tidaklah lebih dari nasib perempuan sezamannya yang banyak mengalah, pasrah pada nasib, rela berkorban. Bagi mereka menangis adalah hiburan satu-satunya untuk mengungkapkan kegalauan hati. Selain itu tokoh Salma tampil sebagai seorang yang berwatak santun, patuh, lembut, tenang sabar dan memiliki iman yang sangat besar. Watak dari tokoh Salma telah mengikat hati Kahlil dalam tokoh aku. Baginya Salma adalah cahaya bintang yang mampu menerangi langkahnya dalam menapaki perjalanan hidupnya yang seakan tak punya arah dan tujuan yang jelas.

3.2.3. Faris Afandi
Tokoh Faris Afandi adalah figur ayah yang memiliki hati kebapaan yang lembut, pengertian dan memiliki iman yang teguh. Baginya masa lalu adalah batu pijakan untuk melangkah ke masa depan. Kenangan dan harapan tidak dapat dipisahkan. Namun satu hal yang dapat disayangkan dari watak tokoh Faris Afandi yakni ketidakmampuannya melihat realitas yang sedang dihadapi. Ketidakberanianya menolak permintaan lamaran Uskup Bulos, menjadi suatu titik hitam dari kelemahan jiwanya. Ia merelakan kebahagiaan Salma direnggut oleh laki-laki yang culas dalam diri Mansur Ghalib.

3.2.4. Uskup Bulos Ghalib
Di dalam tema Telaga api dan di Depan dan Di Depan Tahta Kematian, secara transpran Kahlil mengungkapkan watak dari Uskup Bulos Ghalib yang gila harta, kehormatan, status dan ketenaran. Ia melamar meminta Faris Afandi untuk menjadikan Salma, istri dari kemenakannya bukan karena kecantikan dan ketulusan hati Salma tetapi demi harta warisan dari Faris Afandi. Watak Uskup Bulos juga dipengaruhi oleh sikap hormat masyarakat Lebanon yang taat ”buta” terhadap otoritas pemimpin agama. Ia membungkus kebusukan hatinya di balik jubah putih yang dikenakannya sebagai seorang uskup. Baginya, harta, kehormatan dan ketenaran di atas segalanya.

3.2.5. Mansur Bek Ghalib
Menurut Kahlil, watak Mansur Bek Ghalib tidak terlalu berbeda jauh dengan pamannya, Uskup Bulos. Ia menikahi Salma hanya karena menginginkan harta warisan dari Faris Afandi, orangtua Salma. Hal ini bisa dilihat dengan sikap Mansur yang membiarkan Faris Afandi terkurung dalam kesepian sampai ajal menjemputnya. Lebih dari itu dia tidak menunjukkan ekspresi kehilangan saat mengetahui Salma menutup mata selamanya. Hal yang membedakan keduanya hanya soal cara dalam memerankan sifat tamak dan egois. Mengenai watak dari keduanya, Kahlil menulis:
”Mansour Bey’s character was imiliar to his uncle’s the only difference between the two was that the bishob got everything he wanted secretly, under the protection of his ecclesiastical robe and golden cross which he wore on his chest, while his nephew did everything publichy. The Bishob went to church in the morning and spent the rest of the day pilfering from the widows, orphan, and simple-minded people. But Mansour Bey spent his days in pursuit of sexual satisfaction. On Sunday, Bishob Bulos Galib preached his Gospel, but during week-days he never practised what he his practised, occupyng himself with the political intrigues of the locality. And, by means of his uncle’s prestige and influence. Mansour Bey made it his bussines to secure political plums for those who could offer a sufficient bribe”.

BAB IV. MEMAHAMI KONSEP CINTA KAHLIL GIBRAN DALAM NOVEL SAYAP-SAYAP PATAH
(Sebuah Upaya Meningkatkan Penghargaan Terhadap Martabat Manusia)

4.I Cinta : Jawaban Atas Eksistensi Manusia
Manusia dianugerahi kemampuan rasio untuk berpikir. Ia adalah mahluk yang sadar akan keberadaan dirinya. Ia mempunyai kesadaran tentang dirinya, sesama, masa lalu dan kemungkinan masa depannya. Kesadaran dirinya sebagai entitas yang terpisah, kesadaran akan jangka hidupnya yang pendek, akan fakta bahwa hidup dan mati bukan kehendaknya, kesadaran akan kesendirian dan keterpisahannya, akan ketidakberdayaan akan kekuatan alam dan masyarakat. Semua itu membuat eksistensi dirinya yang terpisah dan terpecah menjadi penjara yang tak tertahankan. Dunia seakan menyerap dirinya tanpa kemampuan memberi reaksi. Oleh karena itu ia harus membebaskan diri dari penjara itu dan keluar menyatukan diri dalam bentuk apapun dengan orang lain, dengan dunia di luar dirinya.
Keinginan akan perpaduan antar pribadi ini merupakan dorongan yang paling kuat dalam diri manusia. Perpaduan itu memungkinkan apa yang disebut cinta. Dorongan ini merupakan hasrat yang paling fundamental sebagai kekuatan yang dapat mempesatukan umat manusia, keluarga, suku dan masyarakat. Kegagalan dalam usaha untuk mencapai persatuan tersebut dapat membuat orang sakit jiwa atau perusakan diri sendiri maupun orang lain. Hanya dalam dan melalui cinta seorang dapat meralisasikan dirinya sebagai pribadi yang utuh. Cinta adalah daya aktif dalam diri manusia yang mampu mendobrak dinding antar seorang individu dengan orang lain dan suatu daya yang mempersatukannya dengan orang lain walau tanpa harus menghilangkan jati diri dan menyangkali integritas dirinya sendiri. Save M. Dagun dalam kamus besar ilmu pengentahuan mendefinisikan cinta sebagai sebuah kekuatan primodial dari mahluk ber-rohani dan berkehendak yang bisa mengukuhkan atau menciptakn nilai. Dengan cinta seorang keluar dari keterasingannya menuju perasaan kebersamaan dengan bermacam-macam bentuk pokok komunitas insani, bersatu dengan nilai-nilai obyektif membentuk eksistensi diri yang layak dan merealisasikan tatanan moral. Itu berarti Cinta adalah seni dalam kehidupan. Disebut seni karena manusia memerlukan kemampuan (untuk mencintai), ketelatenan, dan kedisiplinan sebagaimana cinta adalah “tindakan aktif” dan “produktif”, bukan hanya “menerima” tetapi juga “memberi”. Jadi sebagai sebuah seni, cinta membentuk suatu eksistensi yang produktif dan dapat menyambungkan cintanya dengan dunia sekitarnya. Eksistensi manusia adalah dasar untuk mengkontruksi bagaimana bentuk-bentuk cinta yang bisa dilihat dari cara manusia dalam menghadapi realitas dan hubungan sosial yang dihadapinya.

4.2. Cinta Dan Martabat manusia
Berbicara tentang martabat tidak akan pernah pernah terlepas dari pembicaraan tentang hakikat diri manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia sejak dilahirkan sudah terlahir secara utuh dalam dirinya sendiri. Keutuhan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa telah diamini juga oleh filsuf Imannuel Kant dan Gottfried Wilhelm Leinniz. Itu berarti martabat manusia merupakan hakikat diri manusia sebagai yang luhur dan mulia sebagaimana Tuhan yang menciptanya adalah luhur, agung dan mulia. Di sini manusia dicintai bukan karena sesuatu yang melekat pada dirinya seperti kekayaan, kedudukan atau keadaan fisik yang sehat, sempurna dan memukau tetapi terlebih karena hakikat dirinya sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Dalam novel Sayap-Sayap Patah Kahlil Gibran hendak mengungkapkan bahwa cinta itu melampaui segala sesuatu dan berada diluar konsep pemikiran masyarakat sezamannya yang cendrung egoistik, munafik dan penuh perhitungan untung rugi.
Pada kesempatan ini, ada empat hal yang akan dikemukan penulis sehubungan dengan sejauhmana konsep cinta yang hendak diungkapkan Kahlil Gibran dalam novel Sayap-Sayap Patah yang ditulisnya agar pembaca sungguh-sungguh memahami hakikat dirinya sendiri sebgai pribadi yang luhur dan mulia. Selain itu dalam novel ini muncul suatu upaya untuk semakin meningkatkan penghargaan terhadap martabat manusia.

4.2.1. Cinta Selalu berawal dan bermuara pada yang Ilahi
Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam riwayat hidupnya, Kahlil Gibran adalah seorang yang beragama Kristen Katolik-Moranit. Inti ajaran Kristen adalah cinta kasih. Tema kedelapan dalam Sayap-Sayap Patah menampilkan pribadi Jesus sebagai sumber cinta sejati. Ia berani menyerahkan nyawa-Nya di salib demi umat yang dikasihi-Nya. Kahlil merasa ”terganggu” ketika menyaksikan orang yang merupakan perpanjangan tangan Kristus di dunia bertindak lain dari yang diajarkan Kristus. Bulos Ghalib mengunakan statusnya sebagai Uskup untuk mencari kehormatan, pujian, dan harta duniawi yang fana dan sementara. Bagi Kahlil cinta yang hakiki adalah buah pemahaman rasa spiritual. Cinta selalu mengalir dari lubuk hati Allah dan akan tetap kembali kepada-Nya.
Kahlil mengambil sikap netral terhadap cinta agape dan eros dan berusaha memperdamaikan hal yang telah lama diperdebatkan para teolog dan ilmuwan. Cinta agape berarti ketulusan. Ia tidak mengharapkan tetapi sebaliknya memberi tanpa menghitung apa yang diterima. Cinta yang mengatasi waktu dan tempat termasuk maut sekalipun. Sebuah cinta yang universal mengatasi sekat perbedaan yang dibuat manusia. Sementara itu cinta eros adalah cinta antara seorang pria dan wanita. Menurut Kahlil, tubuh adalah kuil bagi jiwa. Di sini Kahlil menunjukkan bahwa cinta eros bukan sesuatu yang tabu, tercela dan rendah. Baik cinta agape maupun cinta eros semuanya adalah pemberian Allah yang Maha Agung bagi manusia.

4.2.2. Cinta dan Otonomi Diri Manusia
Cinta tidak pernah mengikat apa dan siapapun. Cinta mengalir dari hati yang lepas bebas tanpa tekanan dan paksaan dari orang lain. Hanya dalam dan melalui kebebasan seseorang mampu melihat keindahan sesungguhnya yang terpancar dari jiwa-jiwa yang paling suci, menghiasi jasmani yang luhur nan mulia. Kebebasan itu seperti burung yang terbang ke mana saja tanpa memilih-milih pohon untuk bertengger, memilih-milih bijian yang paling istimewa untuk dimakan tetapi selalu mempunyai kerinduan untuk menjalin relasi yang hidup dan membiarkan yang lain terbang menurut kata hati dan pikirannya.
Hidup tanpa kebebasan ibarat badan tanpa roh. Mengutip perkataan Kahlil bahwa ”kematian karena memperjuangkan kebebasan adalah lebih mulia dari pada hidup di dalam bayang-bayang kepasrahan yang lemah, sebab ia merangkul maut dengan pedang.... Sayap merupakan simbol kebebebasan yang sejati sebab seekor burung itu disebut burung hanya kalau ia dapat terbang sebagaimana manusia sungguh-sungguh manusia hanya kalau ia mecinta. Hanya dengan sikap lepas bebas seseorang dapat mengungkapkan diri secara utuh dan sempurna. Tentunya kebebasan yang dimaksudkan adalah kebebasan yang konstruktif dan dapat dipertanggungjawabkan. Sayap-Sayap Patah ditulis Kahlil sebagai bentuk protes atas struktur perkawinan di dunia Asia Timur yang selalu menomorduakan perempuan. Tokoh Salma mewakili kaum perempuan yang juga memiliki kebebasan untuk berbicara, mengungkapkan diri sebagai pribadi yang patut dicintai dan bukan barang dagangan yang bisa diperjualbelikan.

4.2.3. Cinta terealisasi dalam sikap penerimaan terhadap kekurangan dan kelebihan orang lain
Bagi Kahlil, cinta itu hadir secara ajaib dalam diri seseorang tanpa pernah ada usaha nyata untuk menghadirkannya. Oleh karenanya cinta itu mesti dilihat lebih dalam dan menyeluruh. Artinya cinta itu bertumbuh bukan karena terpesona oleh keindahan fisik semata tetapi juga hal-hal yang bersifat batiniah dari seseorang.
Selain itu cinta selalu mengadaikan adanya aksi timbal balik antara pribadi yang saling mencinta. Pemberian diri yang utuh dan sempurna maksudnya, ada sikap saling percaya dan rela berkorban. Melalui sikap saling percaya dan berkorban setiap pribadi tetap menampilkan diri apa adanya tanpa perasaan cemburu yang buta, egois dan saling mencurigai. Dalam tema Pengorbanan, Kahlil menampilkan sikap ini. Ia membiarkan Salma memutuskan apa yang terbaik baginya karena ia percaya bahwa cinta tak seharusnya memiliki. Berkorban demi kebahagiaan dari orang yang dicintai adalah hal lain yang hendak ditekankan Kahlil dalam tema ini.

4.2.4. Cinta tidak dapat diukur dengan harta benda dan kedudukan seseorang.
Harta dan kedudukan bukanlah jaminan untuk menemukan cinta sejati. Semua itu hanya merupakan sarana yang mesti digunakan manusia secara arif dan bijaksana demi kebahagiaan pribadinya sendiri, sesama dan Tuhan. Seseorang yang hanya tahu mengumpulkan harta tanpa tahu memberi sama halnya mengali kubur bagi jiwanya sendiri.
Uskup Bulos dan keponakannya, memanfaatkan harta kekayaan Faris Afandi untuk mencari kehormatan, nama besar dan harga diri. Mereka tidak menyadarinya kalau jiwanya telah lama terhimpit dalam kemilauan harta duniawi yang fana. Kahlil dan Salma merasakan itu sebab bagi mereka harta bukanlah segalanya. Jiwa adalah suatu keutamaan yang bersifat kekal dan abadi selamanya. Cinta yang ada dalam diri Kahlil dan Salma merupakan cinta yang berdiri di atas jiwa yang utuh, kuat dan sempurna. ”The boy’s soul undergoing the bufferting of sorrow is like a white lily just unfolding. It trembles before the breeze and opens its heart to daybreak and fods its leaves back when the shadow of night comes ...”. Jiwa yang dilanda derita adalah seumpama teratai putih yang sedang bersinar.

4.3. Catatan Kritis Terhadap Novel “Sayap-Sayap Patah”

4.3.1. Kelebihan Novel Sayap-Sayap Patah Untuk Diaplikasikan Dalam Kehidupan Konkrit
Menurut penulis, ada beberapa dasar yang menjadikan novel sayap-sayap patah menjadi buku yang menarik, segar dan tetap menjadi salah satu dari sekian buku yang diminati masyarakat dunia.
Sayap-Sayap Patah merupakan sebuah karya yang mengangkat martabat dan derajat perempuan di Asia Timur untuk keluar budaya patriarkat yang membelenggu. Tokoh Salma Karami ditampilkan sebagai tokoh perempuan yang memiliki kemurnian hati yang bersih, penuh pengertian, sabar, rela bekorban dan dengan naluri kewanitaanya, ia bisa membahasakan segala persoalannya dalam kacamata iman. Salma dan kaumnya adalah seorang pribadi yang tetap memiliki kebebasan untuk bersuara dan berekspresi.
Figur seorang pria seyogianya tampil seperti tokoh Faris Afandi dan tokoh ”aku” (Kahlil Gibran) sebagai seorang laki-laki yang lembut, penuh pengertian, mampu mendengarkan, bijaksana dan kebapaan serta memberikan kesempatan bagi seorang wanita untuk memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya. Seorang laki-laki harus bisa melindungi dan menjadi tempat naungan yang memberi rasa hangat dan kebahagiaan bagi seorang perempuan.
Selain itu, satu hal yang menarik perhatian penulis adalah perhatian yang besar bagi lingkungan alam sekitar. Karya-karya besar Kahlil tidak terlepas dari alam Libanon. Daerah asalnya menjadi inspirasi bagi tulisan-tulisannya. Menurut Kahlil, alam merupakan sesuatu yang terberi dan anugerah dari Allah yang mesti diperlakukan secara manusiawi. Hal ini tidak bisa dilepaspisahkan dari pengalaman masa kecil Kahlil di lembah Bisharri. Di sini, jiwa Kahlil ditempa oleh sebuah pengalaman yang membentuk sikap hormat dan penghargaan yang tinggi terhadap alam.
Oleh karena untuk mencintai alam sebagai bagian dari kehidupan merupakan suatu keharusan bagi manusia sebab manusia dan alam sekitar tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Keduanya saling memberi dan menerima. Kiranya teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan mesti digunakan secara bijaksana terhadap keutuhan alam ciptaan, jangan sampai mendatangkan kehancuran bagi keberlangsungan manusia. Isu ”Global Warming” mesti ditanggapi secara serius dalam hubungan dengan keharmonisan manusia dan alam lingkungan sekitar.
Sebagai insan yang beragama, Sayap-Sayap Patah menyadarkan semua orang bahwa untuk mengatakan ”saya percaya pada Tuhan” itu belum cukup tanpa diaplikasikan dan hidup konkrit setiap hari. Seseorang yang percaya kepada Tuhan, pertama-tama harus didahului dengan sebuah aktus cinta kepada sesama. Bagaimana kita dapat mencintai Tuhan yang tak dapat diinderai tanpa terlebih dahulu mencintai sesama yang ada di sekitar kita?
Bagi para pemimpin agama dan calon pemimpin agama harus menyadari diri sebagai seorang gembala yang melayani. Gembala adalah seorang yang mengenal kawanannya, ada bersama mereka, merasakan apa yang mereka rasakan dan setia mendengarkan rintihan hatinya, kecemasan, ketakutan dan harapan mereka. Hanya dengan itu ia dicintai kawanannya. Seorang pemimpin agama hendaknya sungguh mengenal apa yang menjadi tugasnya setiap hari. Bukan hanya berkata-kata tetapi juga menghidupkan kata-kata itu dalam tindakan konkrit setiap hari yaitu mencintai semua orang tanpa pilih kasih.

4.3.2. Kelemahan Sayap-Sayap Patah
Di samping memiliki kelebihan, estetika Kahlil Gibran dalam Sayap-Sayap Patah juga memiliki kelemahan. Pada kesempatan ini ada satu hal yang dilihat penulis sebagai kelemahan sayap-Sayap Patah adalah sikap Kahlil yang hanya mengupas persoalan dan membongkar ketidakberesan dalam kehidupan masyarakat dan budaya yang dihidupi didalamnya tanpa berani untk merakitnya kembali. Ia membiarkan pembaca berada dalam rasa penasaran, binggung bahkan bisa terprofokasi. Seyogianya setelah tema tentang Penyelamat mesti ditambah satu tema lagi dimana tokoh ”aku” mesti tampil ke depan umum dan menjelaskan kepada dunia bahwa cinta adalah segalanya dimana dalam dan melalui cinta martabat manusia semakin dihargai dan dijunjung tinggi. Terasa belum cukup kalau hanya disampaikan kepada seorang penggali kubur untuk mengungkapkan situasi batinnya. Penggali kubur hanyalah masyarakat sederhana yang hanya melakukan apa yang diperintahkan.
Sikap diam Kahlil dalam sayap-sayap Patah seakan memperlemah seruan kebenaran yang menjadi dasar bagi seluruh karya-karya besarnya khususnya dalam ”Sang Nabi”. Sayap-Sayap Patah menampilkan sikap Kahlil yang hanya dipengaruhi oleh perasaannya dan seakan mengabaikan kemampuan intelek sebagai landasan dasar sebuah tindakan revolusioner.

BAB. V PENUTUP

5.I. Kesimpulan
Keputusan untuk bertindak bagi seorang yang sehat secara mental selalu mengandaikan adanya gagasan, konsep atau pikiran mengenai intensitas dan kosekuensi dari sebuah tindakan sebelumnya. Sulit diterima secara rasional apabila seseorang bertindak mendahului kegiatan berpikir. Hanya dengan berpikir seseorang dapat mengetahui sasaran, tujuan dan konsekuensi logis dari tindakkannya entah melalui gerakkan fisik ataupun hanya sebuah pernyataan yang diungkapkan melalui bahasa tertentu.
Dalam Sayap-Sayap Patah Kahlil Gibran melukiskan sebuah kisah cinta yang mengetarkan, menegangkan dan memuaskan walau diakhiri dengan suatu tema perpisahan yang amat tragis. Sebagaimana yang pernah diucapkan Kahlil, bahwa hanya mereka yang kenal cinta yang berani berkurban dan bila engkau adalah seorang pencinta jangan ragu-ragu untuk mengurbankan dirimu. Kesepuluh tema dalam Sayap-Sayap Patah melukiskan secara menarik, runtut dan logis sebuah kisah cinta seorang Kahlil dan Salma, gadis yang amat dicintainya. Namun sayang, cinta itu akhirnya pupus seperti pelangi senja yang lenyap dalam kegelapan malam. Sayap-sayap yang merupakan simbol kebebasan itu patah terkulai diterjang arus tradisi Asia Timur yang menjujung tinggi adat istiadat, kehormatan dan sikap merendahkan perempuan sebagai mahluk yang memiliki kewajiban tanpa harus memiliki hak untuk bersuara dan berekspresi.
Dari kisah ini, penulis akhirnya dapat memahami konsep cinta Kahlil Gibran yang walaupun abstrak tetapi mengandung suatu nilai hidup dan makna yang amat dalam bagi perjalanan hidup penulis maupun bagi pembaca sekalian sebagai mahluk yang mencinta. Cinta itu selalu mengandaikan adanya kebebasan sejati, cinta antara manusia selalu bersumber pada cinta Allah, adanya sikap pemberian yang utuh dan sempurna dan cinta tidak dapat diukur oleh banyaknya harta kekayaan. Cinta hendaknya selalu terarah pada sikap penghargaan terhadap martabat manusia sebagai pribadi yang luhur dan mulia.
Dari beberapa kelebihan estetika Kahlil dalam saya-sayap patah ada juga kelemahannya. Hal ini menyadarkan kita bahwa siapa pun dan sehebat apa pun seseorang tetap memiliki kekekurangan. Dengan demikian kita mesti selalu membuka diri dibentuk dan disempurnakan oleh yang lain.

5.2. Saran
Novel Sayap-Sayap Patah merupakan salah satu karya Kahlil Gibran yang diminati banyak orang. Karya ini selain memiliki daya estetika yang tinggi juga mengandung makna yang amat dalam. Cinta yang dikisahakan Kahlil dalam karya ini, merupakan kisah yang tetap ada dalam zaman kita sekrang ini walau dalam bentuk yang berbeda.
Oleh karena itu, penulis menyarankan kepada pembaca sekalian untuk menganut jenis cinta yang murni dan utuh. Cinta tentu tidak dapat bertahan dalam situasi batin yang penuh kebencian, dendam, amarah dan saling mencurigai. Cinta selalu mengandaikan adanya kebebasan untuk memberi dan menerima, memahami dan memaafkan serta tidak dapat dibeli dengan harta duniawi, pangkat dan nama besar. Cinta selalu ,membutuhkan sikap pengorbanan. Selain itu cinta selalu terarah pada sebuah titik akhir dimana martabat manusia dihargai dan dijunjung tinggi. Tanpa sikap ini mustahil mencapai cinta yang utuh dan sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku:
Abdillah Adil dan Amin Nasihin M. (penterj.), TRILOGI HIKMAH ABADI: Taman Sang Nabi, Sang Nabi, Suara Sang Guru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Arvin Saputra (pentrj.). Hikamat Kahlil Gibran. Batam: Classic Press. 2003.
Douglas A. Morrison, Cristhoper P. Witt. Ferry Doringin (Penterj.). DARI KESEPIAN
MENUJU CINTA. Jakarta: Obor. 1997.
Erich Fromm, Agus Cremers (Penyunt.). Masyarakat Bebas Agresivitas. Maumere:
Ledalero, 2004.
Erich Fromm. Andry Kristiawan (Penterj.). the ART of LOVING, MEMAKNAI
HAKIKAT CINTA. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2005.
Gibran Kahlil, R. Ferris Anthony (Pentrj) . The Broken Wings. London: Heinemann, 1959.
Gibran Kahlil. Prihantoro Agung (penterj.). LASARUS dan KEKASIHNYA. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Jatman Darmanto. Sastra, Psikologi Dan Masyarakat. Bandung: Alumni. 1985.
Koen Willie (penterj.), TEOLOGI MISTIK, ILMU CINTA . Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Krishna Anand. Menyelami Samudera Kebijaksanaan SUFI . Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
------------------.BERSAMA Kahlil Gibran, MENYELAMI ABC KEHIDUPAN. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
------------------. Shambala. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
L. Tjahjadi Simon Petrus. Petualangan Intelektul. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Lucky Advertising. Kahlil Gibran: Tentang Cinta, Keindahan dan Kesunyian. Yogyakarta: Narasi. 2007.
Santas Gerasimos, Kebung Kondrad (penterj.). Plato Dan Freud, Dua Teori Tentang Cinta .Maumere: Ledalero, 2002.
S. H. Susanto Alexander. NABI SEGALA ZAMAN: Memahami Pemikiran Kahlil Gibran dalam Sang Nabi. Maumere: Ledalero, 2005.
(Tanpa Pengarang), Soffian Efendi, Sjahfri Sairin, M. Alwi Dahlan (Penyunt.).
MEMBANGUN MARTABAT MANUSIA. Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS. 1993.
(Tanpa Pengarang), Tony Kleden, Maria matildis banda, Dion DB. Putra (Editor). Pos
Kupang Suara Nusa Tenggara Timur. Kupang: PT Timor Media Grafika. 2007.
Internet:
http://www.sukainternet.com/?pilih=umum&id=1158142865
Share:

TUA KUMI

Hari terlihat mendung membentuk awan hitam yang bergumpal angkuh di puncak bukit itu. Bukit sandaran matahari tempat para dewa dan roh-roh orang yang telah meninggal berdiam. Rumah kami berada di pinggir kampung, sekitar seribu meter dari bukit itu. Beberapa butir hujan menjilat darah korban yang disiram di puncak bukit itu tadi pagi. Bapa dan mama masih berada di rumah adat dan menyuruh aku untuk menemani adikku yang hampir menginjak usia dua tahun yang sedikit “aneh” dari anak-anak lainnya. Terkadang dia tersenyum dan tertawa gembira, adakalanya pula ia menangis sedih bila membuka halaman buku yang muncul dan hilang begitu saja dari tangannya. Sekarang buku itu tidak ada di tangannya tapi ia selalu memandang bukit batu itu dan berbicara dengan suara yang tidak jelas. Bulu kudukku sempat merinding ketakutan saat kata-kata nenek terngiang kembali dalam telingaku. “Bukit batu itu sangat angker, tempat beragam roh berdiam termasuk roh dari mereka yang telah meninggal. Tidak boleh pergi ke sana kecuali atas ijinanTua Kumi”.
Tiba-tiba sebuah Pelangi melingkar di atas bukit itu dan secara spontan adikku menangis histeris. “tua mii...Tua mi..i...i.....” teriaknya dengan gementar. Aku memeluknya erat karena tidak tahu harus berbuat apa. Entah kekuatan apa yang merasuki tubuh mungilnya sehingga dengan satu gerakan saja, aku langsung terpendal jauh. Rasa binggungku belum hilang ketika buku itu tiba-tiba nongol di tanganku. Tius memandangku dengan sedih dan tidak lama berselang ia menangis dalam bisu, butiran bening menganak sungai, mengalir di pipinya yang montok. Tu..a...mi...i....i..., Tu..a...mi..i..mata, mata (Tua Kumi, meninggal). Teriaknya. Aku hanya bisa memandangnya dalam diam penuh keheranan. Bukan karena baru pertama kalinya aku mendengar adikku berbicara dengan jelas seperti ini tetapi lebih pada isi pembicarannya. Siapakah Tua Kumi itu?
Bunyi gong dan gendang bergaung dari rumah adat. Kali ini gaungnya sangat berbeda dengan yang kudengar tadi pagi ketika memulai acara adat. Begitu lembut dan mengalun pelan. Bukan ungkapan syukur dan suka-cita tapi tanda kehilangan dan duka-cita. Apakah memang Tua Kumi yang misterius itu sungguh sudah meninggal? Di mana ia meninggal dan apa sebabnya dia meninggal? Sekujur tubuhku gementar dan bermandikan keringat. Adikku terus membuka halaman buku itu satu demi satu. Bibir munggilnya terus bergerak seolah membaca sesuatu sementara air matanya terus mengalir. Aku kasihan melihatnya tetapi aku tidak mempunyai kekuatan sedikitpun untuk mengambil buku itu dari tangannya.
Hari belum terlalu gelap ketika bunyi gong dan gendang semakin bersahutan mengiringi langkah warga kampung menuju pinggir sungai yang dikabarkan tempat mayat Tua Kumi ditemukan. Mama datang dari balik pintu dan langsung mengangkat adikku menuju rumah adat tanpa menghiraukan buku yang jatuh dari tanganya. Ada perintah dari Lopo Gina untuk membawa semua anak kecil ke rumah adat agar tidak menjadi tumbal dari Tua Kumi. Aku memperhatikan buku itu dari jauh dan sempat membaca satu kalimat pada lembaran depan yang hampir terlepas yakni cinta yang terlibat. Ketika aku mendekat untuk mengambilnya sebuah tongkat memukul tanganku dengan keras. Aku mendapati Lopo Gina melototiku dari belakang. “Jangan pernah sentuh buku itu kalau tidak mau senasib dengan Tua Kumi” katanya sambil berlalu. Aku semakin penasaran tentang siapakah Tua Kumi.
Aku cukup mengenal Lopo Gina. Seorang nenek dari kampung sungai sebelah yang dikenal sebagai dukun yang memiliki kemampuan prana yang cukup hebat. Ia bahkan bisa meramal penyakit dan hari kematian seseorang. Tua Kumi pernah pernah diramalnya telah mengidap penyakit jantung yang akut. Menurutnya, adikku bertingkah aneh karena posisi pintu rumah kami langsung berhadapan dengan bukit angker itu. Terkadang aku terpengaruh untuk mempercayainya walaupun banyak ramalannya yang tidak tepat. Ayahku pernah diramalkan mati muda tanpa seorang istri dan anak.
Aku segera berdiri saat melihat lampu obor menyala dari arah sungai. Tua Kumi memang telah meninggal seperti yang disebutkan adikku tadi. Banyak warga kampung yang mengiringi mayatnya kecuali ibu-ibu yang memiliki anak di bawah usia tiga tahun, termasuk mamaku. Menurut adat kami mayat orang yang meninggal secara tiba-tiba tidak diperkenankan dimasukkan dalam rumah tetapi disemayamkan saja di atas tenda di halaman kampung. Aku melihatnya dari dekat. Seorang laki-laki tua yang berkumis dan berjengot. Garis-garis pada wajahnya dapat diperkirakan kalau ia sudah berumur lima puluh tahun lebih.
Di depan mayatnya, orang-orang yang sangat dekatnya meratapi dia oleh rasa kehilangan yang sangat mendalam, termasuk ayahku. Dia adalah satu-satunya orang yang mampu mendaki puncak bukit kramat itu untuk membawa sesajian kepada roh-roh nenek moyang kami. Orang tua berkumis yang kelihatannya memiliki hati kebapaan yang selalu merangkul, pemberi petuah, cinta dan perhatian kepada warga kampung. Sementara warga kampung yang lain termasuk Lopo Gina, hanya memandang mayatnya tanpa merasa apa-apa. Dia (Tua Kumi) dikenal sebagai orang aneh yang pernah mecari kucing kesayangannya yang berbulu hitam pada malam hari dan ia sangat yakin bahwa ia telah menemukannya. Ia juga pernah menyalakan pelita pada jam sebelas siang untuk mencari rahim ibunya, yang dengan blak-blakan menuduh orang-orang dari sungai sebelah telah mencurinya. Tidak sedikit pula yang mengerutu di depan mayat Tua kumi, penuh nada kekecewaan. Mengapa Tua Kumi meninggal begitu tiba-tiba padahal tadi pagi ia masih membawa sesajian di puncak bukit itu? Mengapa ia tidak pernah mempersiapkan orang untuk mengantinya membawa sesajian di atas bukit angker itu? Mengapa Tua Kumi meninggal pada waktu dan tempat yang salah. Mengapa ia harus meninggal di pinggir kali tempat orang mencuci pakaian dan membuang kotoran? Apa kata warga kampung sebelah nanti. Mengapa ia tidak meninggal di puncak bukit batu itu tempat di mana ia selalu mempersembahkan sesajian?
Sepeninggalan Tua Kumi, Lopo Gina, dukun peramal itu tidak berani meninggalkan jejak di kampung kami. Ada yang bersaksi kalau dia sudah gila dan berteriak-teriak di kaki bukit itu saat bulan purnama tiba. Ada pula yang bercerita kalau dia meninggal secara tragis. Mayatnya tidak sempat dikuburkan sehingga beberapa ekor anjing liar mencabik-cabik tubuhnya. Ia memang telah menaburkan benih kebencian dalam hati warga kampung. Kekeringan yang berkepanjangan, hama yang menyerang tanaman dan sakit penyakit yang diderita warga selama ini diduga karena tidak ada orang yang membawa bahan sesajian di puncak bukit itu. Beberapa tahun kemudia baru orang tahu kalau Lopo Gina adalah kaki tangan dari warga kampung sebelah sungai yang datang ke kampung kami sebagai dukun peramal sekaligus mata-mata. Mereka ingin menggali cadas yang berada di rusuk bukit keramat itu. Cadas hitam yang memiliki harga jual yang sangat tinggi. Satu-satunya cara untuk mendapatkanya adalah dengan menghabisi Tua Kumi, penjaga bukit keramat itu.
Kubiarkan buih ombak pelabuhan Sadang Bui menjilati jeans biruku saat bayangan masa lalu itu mengalir dan mengairi perasaanku. Dua belas tahun tahun terakhir ini, aku mengembara hanya mencari arti sebuah kalimat dari buku misterius itu. Cinta yang terlibat. Dalam jalan berliku yang kutapaki sekarang, apakah artinya cinta yang terlibat saat aku tidak mempunyai sedikit kemampuan untuk membawa sesajian di puncak bukit itu, tempat semua roh nenek moyangku berdiam? Beberapa hari yang lalu adikku menerima jubah putih kebiaraannya. Apakah ia masih ingat isi buku itu dan menemukan makna kalimat ini dalam panggilannya? Aku tidak tahu.
Share:

TEATER__MENEROBOS SUNYI----

MENEROBOS SUNYI
(Untuk Sang Sahabat)

By : Kiky Jura & Aloy Men
Efrata Gere, Medio Januari -100 AJ-


(Musik sendu - Tears in Heaven - dilantukan perlahan, dibacakan secara perlahan, mengiringan langkah Sang Pengembara)

Pengembara : Sahabatku....
Kemarin Engkau duduk menemaniku. Ketika Kau selesaikan tulisanku.
Pendar mata-Mu bagaikan bulan dalam remang-remang mimpiku tuk menjadi pewarta cinta-Mu
Narator : Sahabatku...
Pada sudut dinding yang retak, dalam remang cahaya Tabernakel
Tergugat rasa tak berdaya
Hasratkan hangat dekap-Mu kini,
Ku rindu bisik lembut pada kuping yang kalut oleh perang berkecamuk, dendam kesumat, penindasan, penganiayaan, keserakahan, dan...ohh...betapa kian menggurita... kuping-ku tak kuat lagi, seperti hendak lepas....
Ku cari Engkau...
Sahabatku...
Jauh sudah jalan yang kutempuh ini
Terbentur malam yang sia-sia
Ke setiap pelosok dunia ku jejaki
Beragam bukit-lembah ku lalui, pun tebing-ngarai ku takluki
Aku ditolak bahkan dibunuh, tetapi aku belum lagi mati...
Harapan seakan luruh
Engkau menjadi figur yang terlalu banyak untuk kupilih.
Sahabatku...
Dimanakah Engkau Kini?

(seorang berjalan dari belakang panggung dengan lentara di tangan seakan hendak mencari sesuatu)

Pengembara : Guru besar, katakan kepadaku di manakah sahabatku?
Guru besar : Pengembara...kita bersama berjalan jauh menuju langit tak terjangkau. Tentang Dia aku hanya bisa bertanya tetapi tidak punya jawaban final. Mungkin para rabi mengetahuinya.

(seorang yang berjubah masuk ke panggung dengan kitab suci di tangannya)

Pengembara : Salam bagimu Sang pewarta Firman. Tolong katakana padaku dimanakah sahabatku sekarang?
Rabi : Aku bukan nabi! Pewarta Sabda hanyalah suara yang beseru-seru di padang gurun. Siapkan jalan bagi-Nya. Luruskan lorong-lorong-Nya. Aku belum melihat wajah sahabatmu. Dia adalah cahaya yang memijari matahari dan menyinari lubuk hati. Ia menuntun orang buta, membimbing langkah pengembara, sedang mata kita tak mampu menangkap cahayanya.

(Seorang masuk sambil mengisap Rokok, dengan kertas dan pena ditangannya, gaya seorang penyair)

Pengembara : Penyair...katakan padaku dimanakah sahabatku...
Penyair : Pada mulanya adalah sunyi..... Sunyi itu melahirkan kata, kata itu menciptakan alam semesta dan alam semesta melahirkan madah.... Semua madah kembali kepada sunyi....(hening)...... maaf aku tak sanggup untuk melanjutkanya lagi...



Narator : Sahabatku....
Aku menanti dalam kegelapan yang terakhir, bagai kepompong dalam dahan yang kesepian. Aku berdiam dalam masa peralihan.
Antara hidup dan mati, terang dan gelap.
Tergantung tak berdaya...
Sahabatku....
Aku melawan kekosongan dan berjuang melawan kegagalan.
Ajari aku untuk menunggu sampai sayap-sayapku kuat
Tuk menjadi misionaris sejati-Mu....


(Saat narator membaca, pengembara berlutut penuh kepasrahan. Seorang berpakaian serba putih (Yesus) berjalan masuk dan berdiri di samping pengembara. Kemudian kembali keluar panggung tanpa disadari sang pengembara. Lagu “perjalanan ini...”

Narator : (mengiringi pengembara ke luar panggung):
Sunyi itu syahdu...
Sunyi itu ketenangan...
Sunyi itu kedamaian...
Sunyi itu keabadian...
Sahabat-ku ada dalam sunyi
Ia tidak bersembunyi pada kesunyian,
Karena Ia juga adalah kesunyian itu...


Selesai..........

Teks ini Terinspirasi dari puisi
P. Leo Kleden, SVD “ Surat Untuk Tuhan”
Share:

Tuesday, 7 December 2010

MUSAFIR

Penghuni perkampungan Ribang sudah terlelap setelah seharian berpacu dalam waktu dengan rutinitasnya masing-masing sesuai dengan kedudukan dan pangkat yang diemban. Kuturunkan laju sepeda motorku di persipangan jalan tepatnya di kaki tugu yang bertuliskan “Rumah pertapaan Karmel Nilo-----4km”. Kuperhatikan tulisan itu dengan saksama. Huruf pahatannya masih utuh semenjak keberangkatanku empat tahun yang lalu. Begitu rapi dan halus. Perpaduan warna cat yang serasi dan harmonis menambah indahnya tugu yang berdiri kokoh dekat tikungan halus tiga puluh derajat itu. Dari tempat ini kutatap bangunan kokoh dan megah berjejer rapi dan teratur seperti kota Sparta dan Athena pada zaman Romawi kuno. Indah dan tenang penuh kedamaian sehingga mampu membawa angan dan khayalku pada cerita masa lalu disaat aku masih berpredikat Frater. Kala itu, di dalam sebuah gedung teater yang berada di antara gedung yang kokoh nan megah lainnya, untuk pertama kalinya aku bertemu dan berkenalan dengan seorang dara manis yang berparas indah, bermata bening dengan rambutnya yang terurai panjang kehitaman. Dalam dirinya mengalir darah Manggarai-Lembata. Begitu cantik bagai bidadari yang turun dari kayangan apalagi ketika ia mengenakan kacamata bening berminus satu setengah dan bertengger di atas hidungnya yang mancung. Ia kusapa Elcy. Nama lengkapnya Anastasia Elcy Permatasa Sari. Saat itu berstatus mahasiswi semester tiga Sekolah Tinggi Filsafat di bukit sandaran matahari.
Awal perjumpaan kami terbilang singkat dan kebetulan saja. Aku dan dia memiliki minat yang sama dalam seni panggung. Kami bergabung dalam anggota teater Aletheia, sebuah kelompok teater papan atas di kota ini. Ia tak banyak berbicara. Namun dari dalam diamnya itu, dia selalu mengalirkan ide yang segar dan sangat kreatif sehingga mampu menghasilkan naskah-naskah yang menarik, padat berisi dan penuh makna. Walau demikian ia tetap rendah hati, sopan dan mau mendengarkan. ”Selamat sore insan-insan pencinta Aletheia (kebenaran) yang saya banggakan. Terdahulunya saya mengucapkan selamat bergabung buat anggota baru, Ade Elcy dan teman-teman. Yang kedua saya menyampaikan bahwa kita sementara dikejar waktu dalam latihan tetater ini.. Waktu kita hanya sepuluh hari. Oleh sebab itu keseriusan dan kosentrasi kita sangat dibutuhkan baik sebagi pemeran, pengatur musik, petugas layar dan penata lampu sangat dibutuhkan” ujar kak Endro sang moderator teater dengan tenang dan penuh wibawa. Sebagai pemeran utama, aku menjadi fokus yang sangat menentukan. Sekujur tubuhku basah oleh keringat bagai berada dekat perapian yang panas membara. “Kamu kelihatnnya gugup sekali. Apa kamu belum menghafal semua dialog dalam teks?” tanya Kak Endro spontan ketika aku berdiri kaku dengan pandangan hampa di sudut kanan panggung. “Tidak Kak, aku sementara berusaha menenangkan batinku saja”. jawabku sekenanya. “Baiklah.....saya sendiri bangga dengan kamu. Sebab dari sekian banyak anggota, hanya kamu yang berani mengatakan ya untuk menerima peran yang dinilai sangat sulit ini” kata kak Endro yang mampu membuat rasa percaya diriku pulih kembali.
Teater yang berjudul “Musafir” dengan durasi waktu satu jam dua puluh menit ini mengisahkan tentang “Andry”, anak tunggal seorang politikus yang amat terkenal dan disegani. Ia menolak segala bentuk indoktrinasi dan mengeritisi sepak terjang kebijakan politis ayahnya yang selalu mengorbankan hak kaum kecil yang tidak berdaya demi suatu kepentingan politik yang dangkal penuh kepalsuan. Dalam suatu kesempatan ia bergabung bersama kelompok kelas bawah untuk bersuara bagi mereka yang tidak bersuara, menyerukan penolakkan tambang dan segala bentuk militerisasi yang tidak beralasan apalagi melalui cara-cara yang sangat arogan dan otoriter. Lantas ia dijauhkan dari lingkungan keluarga birokrat bahkan diusir oleh orang tuanya sendiri dari rumah. Dalam kepahitan dan kemelaratan hidup ia ditampung oleh sebuah keluarga petani yang sederhana namun selalu ada canda dan tawa penuh kebahagiaan tanpa terlalu memikirkan apa yang harus dimakan dan dipakai. Mereka tidak membutuhkan barang-barang hiburan seperti TV, tape dan semacamnya sebab jiwa mereka sudah terhibur oleh sikap tegur sapa yang akrab dan penuh persaudaraan. Dalam perguliran waktu yang amat teratur itu, ia jatuh cinta dengan “Dewi”. Seorang gadis desa yang sederhana, santun dan lemah-lembut. Diakhir cerita Dewi, gadis kesayangannya itu, terserang leukimia dan menghembuskan nafas untuk terakhir di pangkuannya sendiri. Padahal mereka sudah merencanakan waktu dan acara pernikahan. Andry sungguh merasa kehilangan dan putus asa yang amat dalam. Dalam situasi desolasi demikian ia akhirnya memutuskan untuk mencari arti hidup dibalik tembok biara pertapaan. Kemudian meninggal sebagai seorang rahib.
Adegan pertama berlalu dan dinilai sempurna. Namun ketika memasuki adegan kedua saat aku (andry) dan Elcy (Dewi) berkenalan dan saling bertatapan, aku merasa seluruh tenagaku lenyap oleh seluruh tatapan mata “Dewi” yang tenang, dalam dan penuh makna. Semua dialog yang sudah kuhafal serentak sirna dari otak kiriku. Genggaman tangan “Dewi” semakin erat yang membuat jantungku berdebar tak menentu. “Kamu dari mana?” kataku setengah berbisik. Elcy tampak bingung sebab kalimat itu tidak tertera dalam teks. Kemudian ia tersenyum dan tertunduk malu. Aku tetap menggenggam tangannya, meremas dan terus memandangnya. “ Dari Manggarai, tapi bapa dan mama bertugas di dinas pendidikan di kota ini” jawabnya sambil berusaha untuk mengangkat kepala dan menatapku. “Stop.......stop..........! adegan mana yang sedang kalian ragakan ini. Sekali lagi saya ingatkan supaya apabila kamu sudah berada di atas panggung, tampilkan dirimu sebagai kamu yang dalam teks. Usahakan untuk tidak terbawa pada diri kamu yang sebenarnya di luar panggung. Tetap fokus dan jangan sekali-kali membias. Okey?” kata Kak Endro dengan cukup serius. Kuraih kembali teks yang tergeletak di sudut panggung dan membaca ulang adegan kedua ini. Namun setiap kali aku berusaha untuk mengingat kembali pada saat yang sama getaran aneh yang mengalir dari telapak tangan “Dewi” menghilangkan semuanya dari benakku. Pengatur musik, penata lampu dan petugas layar kelihatan sudah tidak bersemangat lagi. Beberapa orang lebih memilih bermain game dalam Hpnya ketimbang memberi masukkan. Sementara Kak Endro duduk di bangku paling belakang dari gedung teater itu sambil bertopang dagu dalam keputusasaan. Elcy datang menghampiri dan menatap ke arahku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Situasi tampak hening. Tak ada yang berani berbisik, menggesekkan kursi apalagi berbicara. Aku berdiri perlahan, meraih tangan tangan Elcy menuju ketengah panggung.
”Wi....apakah arti sebuah kebersamaan bagimu?” kataku tenang dan mengyakinkan sekaligus babak kedua segera dimulai. “Aku tidak tahu apa yang kamu katakan! tapi aku tahu apa yang tidak kamu katakan” jawab “Dewi” dengan tenang. Aku tersenyum. Kubelai rambutnya dengan mesra dan membiarkan tangannya melingkari pinggangku. “Semenjak pertama kali aku memandangmu, kamu sangat berbeda dengan “Dewi” lain yang merupakan pilihan orang tuaku. Mereka tampak cantik dengan senyuman yang memikat. Namun itu hanya bertahan beberapa waktu saja sebab setelahnya mereka menyodorkan beragam syarat yang sangat sulit kupenuhi. Mereka menjanjikan aku banyak harta, kedudukan dan kehormatan tapi tidak pernah membiarkan aku tampil seperti diriku sekarang ini. Makasih yah! Kamu telah mengajarkan aku arti cinta yang sesungguhnya. Kamu memberikan kebebasan yang besar bagiku agar boleh mencintai kamu dengan caraku sendiri. Aku sangat mencintai kamu Wi.” kataku dengan ekspresi yang sempurna. Semua Pengatur musik, penata lampu dan petugas layar tersentak dari lamunananya setelah pikiran dan perasaan mereka terbawa oleh akting yang kuperankan, kemudian bergegas menuju posisi mereka masing-masing, sementara Kak Endro mengumbarkan senyum kebanggaan. “Kamu salah kak...apalah arti cinta dari seorang gadis desa yang miskin seperti aku. Tidakkah kebahagiaan itu diidentikkan dengan uang? Aku takut kamu hanya mau mempermainkan perasaanku sebagaimana yang dibuat oleh orang kaya pada umumnya”. kata “Dewi” sambil tertunduk. Kuangkat dagunya dengan lembut dan meletakkan jariku pada bibinya yang tipis kemerahan. “Kamu terbawa oleh sebuah sikap generalisasi Wi! Setiap orang itu berbeda dan unik dalam dirinya masing-masing. Aku bukan mereka dan mereka bukan aku.” kataku setengah berbisik sambil mendaratkan sebuah ciuman lembut, penuh kasih yang mendalam di dahinya. Layar perlahan-lahan ditutup, lampu dipadamkan bersamaan dengan tepukan tangan kepuasan dari semua yang hadir. Adegan ketiga dan keempatpun berlanjut tanpa hambatan berarti.
“Kelihatannya kalian serasi sekali! Kalian rupanya memiliki bakat yang sama dalam hal seni panggung” komentar Kande, teman baikku. Ia adalah penyusun naskah dari Teater ini. Ia duduk disamping Elcy sambil menawarkan leluconnya yang khas dan unik sambil menikmati sneck yang telah disiapkan. Namun di tengah suasana rileks dan santai itu aku menemukan sesuatu yang terpancar dari raut wajah dan tatapan mata Elcy. Terasa tawar dan hampa. “Kamu kenapa Cy?” tanyaku dan menyadarkan ia dari lamunannya. “Tidak kenapa kak, aku cuma merasa kelelahan saja. Mungkin karena tadi malam terlambat tidur” jawabnya spontan sambil mengatur posisi duduknya. Aku hanya menatapnya dalam diam. Sesekali ia menatapku sehingga menimbulkan hasrat dalam diriku untuk bertanya lebih lanjut. “Maaf Cy, bukannya aku mau mengetahui urusanmu. Tapi paling tidak hal ini mungkin ada hubungannya dengan keberhasilan kegiatan kita ini. Kenapa harus tidur terlambat? Apa.... karena kamu merasa terbebani dengan banyaknya dialog dalam teks yang mesti kamu hafal? tanyaku sambil terus menatapnya. “Bapaku sedang sakit di rumah. Selama ini, ia batuk-batuk. Dan beberapa hari terakhir ia mengeluh sakit pada bagian kiri dekat ulu hatinya” kata Elcy melemah setelah lama terdiam untuk memilih kata yang cocok baginya. “Apa pernah diantar ke Dokter?” tanyaku lagi setelah ia memasukan naskah teater ke dalam tasnya. “Bapaku seorang yang tegar dan prinsipil. Ia tidak mau dibantu sebelum ia berusaha untuk menyelesaikan persoalan dengan kemampuannya sendiri” jawab Elcy sambil berlangkah dan berpamitan pada yang lain. “Boleh saya mengantarmu?” sahutku, menawarkan diri. Ia tersenyum, memberi sinyal tanda setuju padaku. Akupun memboncengi Elcy dengan sepeda motor Supra-X miliknya. Setiba di rumah, Ibu Mia, mamanya Elcy sedang sibuk memasukkan pakaian dalam tas sambil berbicara dengan seseorang melalui telpon genggamnya. Dari pembicaraan itu, jelas terdengar bahwa Ibu Mia sedang berbicara dengan Dokter Tegu dan meminta ambulans untuk membawa Pak Karman ayahnya Elcy ke rumah sakit yang terletak satu kilometer dari rumah. Elcy terlihat bingung dan tak tahu harus berbuat apa selain menangis. Bersama beberapa orang dari tim medis rumah sakit, aku membantu mengangkat Pak Karman yang sudah tak sadarkan diri ke dalam ambulans. Karena mobil terlalu sesak maka aku dan Elcy mengekori mobil itu dengan sepeda motor menuju rumah sakit. “Frater bisa kembali dan istrahat. Nanti saya ke biara dan menjelaskan semua ini pada Pater pendamping” kata Ibu Mia, setelah hampir sembilan jam kami bertiga duduk disamping tempat Pak Karman berbaring. Dan selama itu juga situasi terasa tegang sehingga tidak mengucapkan sepatah katapun. Hening dalam kegalauan hati yang tak menentu. Yang ada hanya isak tangis Elcy yang makin lama makin melemah. Aku mengangguk setuju, berpamitan dan segera berlalu dari ruangan Vip berukuan enam kali tujuh meter itu. Namun belum sempat aku menghidupkan mesin motor, tiba-tiba aku mendengar tangisan penuh pemberontakan dari Elcy. Tak lama berselang para perawat dan dokter datang untuk membantu dengan memberi nafas buatan kepada Pak Karman dan menguncangkan dadanya. Namun Tuhan berkehendak lain. Pak Karman sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir lima menit yang lalu. Ternyata ia menderita kanker jantung. Tanpa sadar air mata mengalir secara spontan dari kelopak mataku. Elcy menumpahkan semua kesedihannya dalam pelukanku. Aku merasakan bagaimana air matanya mengalir deras dan membasahi baju dan dadaku. Sepeninggalan ayahnya, Elcy hanya ditemani mama dan adiknya Roy yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Pertunjukan teater yang dihadiri banyak undangan dari berbagai kalangan dan beragam status sosial mulai dari pemulung hingga para birokrat papan atas menunai kesan sangat memuaskan. Rupanya latihan yang pernah kami buat sembilan hari yang lalu merupakan latihan pertama dan terakhir kali. Elcy melakonkan perannya dengan baik dan sempurna walaupun rasa duka belum hilang dari hatinya.
Sepeninggalan ayahnya, aku selalu bertandang ke rumah Elcy dengan membawa serta beragam kalimat peneguhan dan hiburan dalam canda dan tawa yang membuat Elcy semakin merasa dikuatkan, diperhatikan dan dicintai. Namun tanpa kusadari kedekatanku dengan Elcy dan keluarganya membuat aku merasa asing dengan komunitas biara, tempat aku menjalin relasi yang hidup dengan sama saudaraku yang berasal dari beragam latar belakag adat istiadat, kebudayaan dan tempat tinggal. Kami disatukan oleh sebuah cita-cita, pandangan dan panggilan hidup yang sama yakni ingin membaktikan seluruh diri hanya untuk Tuhan dan sesama. Ada banyak tugas yang terbengkelai, kegiatan penting yang menuntut keterlibatanku pun kuabaikan sementara itu hubunganku dengan teman-teman dan para pendamping tidak serileks dan seakrab sebelumnya. Aku lebih banyak mengurung diri dalam kamar. Setelah menyusun skripsi dan melalui refleksi yang matang bersama pembimbing rohaniku, maka kuputuskan untuk menanggalkan jubahku dan berada di luar tembok biara untuk sebuah kurun waktu yang tidak ditentukan. Keputusan yang kuanggap paling bijaksana sebab dalam hatiku berkata “Di luar tembok biara sama sekali tidak mengurangi cinta Tuhan padaku”. Awalnya keluargaku, Elcy dan mamanya sulit menerima keputusanku yang dinilai sangat gegabah itu. Namun aku mengetahui apa yang terbaik bagiku sebab akulah yang menjalankannya. Lagi pula aku meminta untuk memurnikan panggilanku bukan karena dan untuk Elcy. Aku memang sangat mencintainya tapi bukankah cinta tak selamanya harus memiliki?
Setelah diwisuda sebagai sarjana Filsafat, aku bekerja pada sebuah LSM terpercaya di Pulau Dewata. Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki jaringan kerja yang sangat luas di berbagai negara di belahan dunia ini. Dari segi penghasilan, gajiku melebihi gaji orang tua Elcy. Di tempat ini ada banyak pengalaman yang kudengar, kusaksikan dan kualami sendiri yang akhirnya membuat aku sadar bahwa perjuangan untuk mempertahankan panggilan hidup entah sebagai biarawan, kepala keluarga dan lain-lain adalah suatu kenyataan yang mesti dijalankan dan bukan untuk dihindari. Semuanya membutuhkan pengorbanan untuk kemudian dijalani dengan penuh kegembiraan dan dengan penuh rasa syukur. Beberapa bulan setelah aku memutuskan untuk melamar kembali menjadi seorang biarawan setelah berada di luar selama enam tahun, Elcy dipinang oleh seorang pemuda tampan berstatus dokter spesialis kandungan. Dia sangat ramah, santun dan bertanggung jawab. ”Teng....teng.....g.....” tiba-tiba sayup-sayup kudengar lonceng Anjelus dari Kapela biara tempat aku pernah hidup dan bertumbuh sebagai seorang frater berkaul sementara. Kuhapuskan beberapa butiran bening dari kelopak mataku oleh rasa duka yang masih tergores di hatiku. Elcy telah pergi untuk selamanya. Ia meninggal sebulan sebelum acara pernikahannya dalam kejadian tragis ketika pulang liburan dari Manggarai. Ia bersama kedelapan belas penumpang lainnya tertimbun tanah longsor bersama bus yang mereka tumpangi dan mati lemas didalamnya.
Warna merah tembaga menerangi kaki langit di ufuk timur, sementara angin pagi berhembus diantara dahan-dahan membawa galak tawa padang ilalang dan cucuran rahmat dari surga. Beberapa saat kemudian sayap-sayap mentari pagi mengembang pasti kemudian menemukan persinggahan klasik di pelipit bukit. Bukit sandaran matahari. Di sini dan di tempat ini aku pernah mengukir kisah dan mendaur realita untuk mengais makna dalam ziarah panggilanku. Aku berdiri perlahan penuh optimisme dari tugu itu dan mengarahkan sepeda motorku menuju taman yang masih menyisakan cerita cinta yang tak pernah suram. Apakah aku diterima kembali dan boleh mengenakan jubah putihku? Aku belum tahu!

......................sekian............................
Share:

WATU TIMBANG RAUNG

“Inilah kesempatan bagiku untuk berdua” Pikirnya. Ia mndekati gadis yang berada tak jauh darinya. Tampak Lusi begitu tenang Seakan telah menduga maksud dari laki-laki tampan berwajah mongoloid yang dicintainya itu. Anton memegang tangan Lusi dan memandang bibir yang sensual, wajahnya yang merah segar dan matanya tang tajam penuh kelembutan dan ketulusan yang dalam. Tiba-tiba debaran dada Anton melonjak-lonjak, seolah-olah jantungnya menjadi terlalu sempit hendak pecah, keringatnya perlahan-lahan mengalir dari sekujur tubuhnya. Tampak Lusi tetap berdiam dan menunggu walau sedikit terganggu oleh denyut jantungnya sendiri. Namun genggaman tangan Anton bukannya semakin erat tetapi malah mengendor dan Lusi merasakan itu.
“Ada apa anton?” tanya Lisi setengah berbisik.
“Aku takut Lus”
“Kenapa kamu takut?”
“Lus....sebenarnya jarak antara kau dan aku sangat lebar dan dalam. Bukan secuil bantara yang dengan mudah kutapaki. Bukan pula sebuah plastik transparan yang mudah kuterobosi. tetapi diantara kita terdapat jurang yang amat lebar dan dalam. Aku sungguh mengenal ketulusan hatimu dan kusadari bahwa aku memang sangat mencintai kamu. Tetapi aku tidak ingin kamu kecewa dan tersakini bila akhirnya cinta yang terbina itu akhirnya pudar oleh kerena banyaknya perbedaan diantara kita. Apalah artinya dari cinta seorang yang miskin dan melarat seperti aku”. sahut Anton sedikit serak. Lusi membisu seakan tak ada kata yang cocok untuk mengukapkan isi hatinya dan akhirnya ambruk dalam pelukan Anton. Ia menangis sejadi-jadinya dan tidak ingin lepas dari pelukan Anton. “Lus....kita ditakdirkan untuk lahir dalam budaya seperti ini, bahwa keturunan Kraeng seperti kamu tak mungkin bersanding dengan keturunan Mendi seperti saya. Masyarakat kita tidak mengenal banyak mengenal arti sebuah cinta. Bagi mereka cinta adalah harta dan harga diri. Kamu tahu itu kan? Lusi tetap membisu kemudian menatap Anton dan membiarkan butiran bening membasahi wajahnya yang putih bersih itu. “Kak... Yang aku tahu bahwa kekuatan cinta mampu mengalahkan semuanya termasuk jurang perbedaan diantara kita. Bukankan manusia itu terlahir oleh cinta, dari cinta dan untuk cinta?. Anton tersenyum bangga digenggamnya tangan Lusi sambil mendaratkan sebuah ciuman pertama yang sangat lembut dibibir Lusi. Ingin rasanya mereka berada lebih lama lagi ditempat lokasi mata air itu namun suara gogong membuat mereka segera berpisah. Luci menuju mata ait dan mencuci pakaian sementara Anton segera menghilang dibalik pepohonan seolah-olah hendak mencari kayu api. Akan menjadi sebuah berita yang heboh dan memalukan apabila mendapati dua orang berlawanan jenis berada bersama apalagi di tempat sunyi seperti ini sebab banyak masyarakat masih berada di kebun dan sekitar jam lima sore sepulang dari kebun baru datang menimba air atau mencuci. Bila kedapatan tak segan-segan mereka dicambuki di halaman kampung bahkan dikucilkn dari pergaulan masyarakat. Apalagi yang didapat itu adalah masyarakat yang berbeda status seperti Anton dan Lusi. Ada banyak perasaan mulai berkecambuk dihati lusi, jangan sampai ada orang yang menyaksikan adegan romantis yang ilegal itu. Tetapi bukanku sekarang baru pukul setengah tiga sore? Tiba-tiba bulu kuduknya merinding, sebab menurut cerita tempat ini sangat angker dan tak seorangpun berani datang pada jam dua belas hingga jam empat sore. Kalau bukan demi cintanya pada Anton dia tidak mungkin datang jam jam dua seperti ini dan mencuci pakaian. Oarang tuanya sangat memanjakan dia sebagai anak putri semata wayang dari keluarga. Belum hilang rasa takutnya tiba-tiba seorang nenek menyapanya dari arah belakang. “Eneng.........cuci ko? Dia langsung menoleh dengan sedikit berteriak karena kaget. Seandainya saja dia tidak kuat pasti langsung ambruk seketika ketika mendengar dan melihat wajah orang yang menyapanya. Lopo Gina. Seorang nenek yang dikenal masyarakat memiliki kekuatan gaib yang membahayakan (Suanggi). Memang dilihat dari wajahnya yang hitam terbakar sinar matahari ditambah dengan giginya yang hampir punah dan rambutnya yang memutih tak terawat dengan tatapan mata yang tajam sepertinya predikat suanggi amat cocok dilekatkan pada dirinya. Lopo Gina sangat mengagumi kecantikkan Lusi yang begitu cantik bagai bidadari yang turun dari kayangan. Memang selama hampir sepuluh tahun terakhir semenjak diusir warga desa karena dituduh memiliki suanggi ia jarang beretemu dengan orang lain kecuali anak laki-laki dan cucunya yang amat dicintainya. Dia sengaja datang menimba air pada jam seperti ini agar tidak bertemu dengan orang sebab ketika mayarakat melihatnya mereka spontan lari seperti dikejar harimau. Pandangan masyarakat terhadap diri terlampau hitam. Tidaklah heran apabila ia terus menatap Lusi yang dikenal waktu kecil ketika adik lusi yang kedua lahir melahirkan. Ada rasa bangga dan kagum dihatinya melihat anak bangsawan mencuci sendiri pakaiannya. Amat jarang dan hampir tidak pernah terjadi seperti itu sebelumnya. Mereka biasanya memiliki banyak pembantu. Jangan untuk mencuci pakaian, menimba air untuk mandi saja pembantu yang kerjakan semuanya. Namun sayang, Lusi sudah ikut dibentuk oleh pandangan umum mengenai lopo Gina. Sekujur tubuhnya dibanjiri oleh keringat oleh suhu badannya drastis naik oleh rasa takut yang amat dalam. “ Lus....Kamu belum selesai cuci ? sahut Anton yang datang dari balik dedaunan. Ingin rasanya Lusi melompat dan ingin memeluk Anton tapi akhirnya ia mampu menahan diri. Anton adalah penyelamatnya. Melihat kehadiran Anton Lopo Gina hanya tersenyum penuh pengertian dan setelah menimba air iapun segera berlalu dari hadapan kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu. Anton hendak mengyakinkan Lusi bahwa Lopo Gina adalah nenek yang paling menyayanginya dan hanya dialah kunci rahasia hubungan mereka, lusi berkata lirih dicekam rasa takut yang masih mencekap dalam dirinya
“Seandainya saja kamu tidak segera datang pasti aku langsung mati berdiri di sini”
“ Memangnya kamu takut dengan dia? Yah.....muka memang menakutkan.........”
“ Dan ia memiliki suanggi. Karena dialah Adikku meninggal beberapa tahun yang lalu”
“ Ka....a....mu..........” kata Anton terbata-bata dan telingga tersasa dibakar disambar petir disiang bolong ketika menedengar perkataan Lusi
“ Kenapa kamu kenal dia? tanya lusi ketika menangkap suatu yang aneh dari siakp Anton. Anton mengelengkan kepalanya walau Ingin rasanya segera menjawab “Ya” tetapi ia takut kehilangan Lusi hanya karena sebuah pengakuan. Lopo Gina yang ditakuti Lusi itu adalah nenek yang amat mencintai dan dicintai Anton. Nenek yang selama ini selalu mengajarnya dan menasihatinya untuk selalu hidup jujur, rajin berdoa dan mampu memaafkan orang lain. Sebagai anak tunggal, Anton menjadi anak emas keluarga khususnya dari Lopo Gina. Bahkan diusianya yang hampir dewasa ini Lopo Ginalah yang menjadi tempat curahan hati Anton ketimbang mamanya sendiri khususnya mengenai hubungannya yang khusus dengan Lusi anak bangsawan yang disegani di desanya. Maka ketika Anton mendengarkan apa yang dikatakan Lusi hatinya terasa hancur berkeping-keping. Memang dia pernah mendengar cerita “miring” dari masyarakat tentang nenek yang amat dicintainya ini tetapi itu sepintas lalu dan Anton tidak terlalu memikirkannya. Anton segera berlalu sebelum beberapa orang pembantu menyusul Lisi dan meninggalakan Lusi yang hanya menatapnya penuh keheranan. Meminta Anton untuk menjelaskan sikapnya itu tidak mungkin sebab para pembantu telah tiba dan segera mengantarnya pulang ke rumah. Anton yang selalu ceria dan bahagia seakan tak mengenal kesusahan itu lebih banyak diam, murung dan selalu meyendiri menarik perhatian cukup menarik perhatian keluarga hingga kemudia ayahnya mendekati dan menanyakan prihal sikapnya itu. Awalnya Anton merasa berat untuk menceritakannya tetapi karena selalu dibujuk akhirnya diapun menceritakan semuanya penuh nada kecewa, tidak puas dan sakit hati yang amat dalam. Dia menangis seperti seorang anak kecil yang merindukan belaian manja dan kata hiburan dari orang tuanya. Kemudia ayahnya menjelaskan : “Itulah susahnya menjadi orang kecil. Kita tidak bisa berbuat lebih bayak kecuali hanya bisa menunduk, mengangguk dan diam. Nenek kamu adalah korban keangkuhan dan ketidakadilan dari masyarakat lapisan atas. Dulu nenekmu dikenal sebagai orang yang pandai membantu semua ibu yang hendak melahirkan tanpa mengharapkan imbalan. Satu-satunya orang dari lapisan mendi yang memiliki kemampuan sebesar itu. Hal ini tentu saja membuat orang-orang dari lapisan Kraeng merasa iri hati. Berawal dari sikap ini maka mamanya Lusi tidak mau mengundang nenekmu untuk ikut membantu proses persalinannya dan karena tidak ada yang bisa membantu maka mamanya Lusi dan bayinya ( adik Lusi) meninggal. Ayah Lusi tentu saja merasa terpukul dengan pristiwa ini dan menjadikan nenekmu sebagai “kambing hidup” atas kematian istri dan anaknya. Nenekmu hampir dibunuh tetapi utunglah ada orang yang berhati baik untuk membelanya maka dia hanya diusir dan dikucilkan dari pergaulan masyarakat hingga sekarang”.
Dalam keadaan yang serba menentu itu akhirnya Anton memutuskan untuk pergi merantau sekadar menghilangkan kepenatan dalam pikirannya tanpa sepengetahuan Lusi, Lopo Gina dan orang tuanya. Dia pergi mebawa serta kehancuran di hatinya dan hanya bisa membiarkan roda waktu yang amat teratur itu untuk merangkainya kembali.
Enam tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Anton untuk menerima bisa menerima dan memahami kenyataan hidup yang dialaminya itu. Dalam waktu itu juga ia berhasil menemukan arti sebuah hidup sebagai sebuah roda yang senantiasa berputar. Dirnya yang dulu serba kekurangan kini memperoleh pekerjaan yang tetap dngan hasil yang sangat memuaskan. Segala sesuatu yang diinginkannya pasti didapat. Staus Mendi yang pernah melekat pada diri dan keluarganya kini telah menjadi certa masa lalu yang hanya perlu dikenang. Namun ditengah keberlimpahan harta dan kekayaan ada suatu ruang kosong yang terus memaksanya untuk diisi yakni Cinta. Cinta yang tulus dan sempurna dari seorang gadis. Maka disaat itulah bayangan dan kata-kata Lusi kembali melintas dalam benaknya “Kak... Yang aku tahu bahwa kekuatan cinta mampu mengalahkan semuanya termasuk jurang perbedaan diantara kita. Bukankan manusia itu terlahir oleh cinta, dari cinta dan untuk cinta? Hal inilah yang membuatnya ingin kembali ke kampung halamannya dan merajut kembali benang cinta yang pernah putus oleh pristiwa masa lalu. Betapa sedih hatinya ketika nenek yang dikasihinya telah meninggal dan yang ada hanyalah sebuah kuburan yang berukuran tiga kali lima meter. Lebih dari itu Anton seakan tak percaya bahwa akan apa yang dialami keluarga Lusi yang dulu memiliki harta yang berlimpah dengan pembantu yang banyak , kini hanya menempati sebuah bangunan tua yang reot di pinggir desa. Ayah lusi sang bangsawan itu kini diliti beban utang yang kian hari kian besar oleh sistim ijon yang tidak manusiawi dari beberapa pemilik modal di desanya. Dan bagaimanakah dengan Lusi? Lusi........yah Lusi hanya menjadi sebuah nama masa lalu yang mampu menebarkan jantung dari setiap pemuda yang memandangnya. Kini dia tidaklah lebih dari seorang gadis yang menjadi tumbal keangkuhan keluarganya. Badanya kurus bagai mayat hidup yang hanya menanti saat untuk dieksekusi mati. Dia berusaha tersenyum memandang Anton yang terus meneteskan air mata memandang keadaannya. Cintanya yang layu bersama impiannya yang hancur untuk hidup bersama dengan Lusi. Tiga hari hari lagi Lusi akan dieksekusi mati secara adat sebagai pelunas hutang keluarganya, Lusi berpesan “Kak....aku sangat bahagia memandangmu disaat-saat menjelang kepergianku. Aku hanya mau mengatakan kepada kamu bahwa kekuatan dapat mengalahkan perbedaan manusia. Sebab kita memang terlahir dari sumber cinta yakni Tuhan sendiri. Ada karena cinta dengan kehadiran sesama disekitar kita dan untuk cinta melalui sikap pengorbanan. Aku ingin ingin kakak menjadi saksi dari semua pernyataanku ini dan sekalipun kita tak dapat hidup bersama tetapi aku sungguh menyadari bahwa didunia ini tidak ada yang abadi kecuali sebuah cinta yang tulus tanpa dibatsi oleh apa dan siapapun. Aku sungguh mencintai kamu”. Anton memeluknya dengan penuh kasih dan tidak menghiraukan orang-orang disekitarnya “saya akan melunasi semua hutang keluarga kamu dan mebawa memperkarakan orang-orang yang telah menjerat keluargamu dengan ijon yang cukup tinggi” sahut Anton dengan tulus. “Aku sendiri bangga denga kamu Ton. Tapi apakah engkau pernah berpikir bahwa kekayaanmu itu bersifat sementaraa? tidak! kalau kamu mau bagikanlah hartamu itu pada orang-orang yang mebutuhkannya. Apakah engaku bisa membayar hutang keangkuhan dan ketidakadilan yang dibuat oleh keluargaku terhadap Lopo Gina. Palu sudah dijatuhkan” jawab Lusi tegas dan membuat Anton tersudut serentak ada rasa kagum dihatinya. “ Lus....aku juga bangga dengan kamu dan seperti yang kamu katakan bahwa kekuatan cinta dapat mengalahkan perbedaan tetapi kenapa kita harus berpisah? Kenapa yang satu dihukum dan yang lain menghirup napas kemerdekaan? Aku ingin pergi bersamamu dalam alam yang berbeda sekalipun” sahut Anton mengyakinkan. Lusipun kembali jatuh dalam pelukannya untuk terakhirkalinya ia kemali mengecup bibir Lusi dengan lembut.
Adapaun di bagian barat kampung itu terdapat gunung batu yang amat tinggi, kira-kira dua ribu kilo meter tingginya. dipuncaknya terdapat batu tempelan yang menjorot keluas dengan panjang mencapai dua puluh lima meter dengan lebar tiga meter. Lusi harus berjalan sebanyak tujuhkali di atas bati tempelan itu sambil membersihkan rambut dengan remah kelapa (rono). Dan bila ia berhasil maka seluruh hutang keluaganya dihapus. Semua orang tahu termasuk Anton bahwa dipuncak batu yang tinggi itu anginya sangat kencang dan jangankan dalam posisi berdiri apalagi berjalan merangkak saja pasti langsung dihempas angin dan jatuh berkeping-keping. Oleh karena itu bayangan kematian Lusi sudah melakat dibenak Anton. Ia pergi menuju pondok kecil temapt Lopo Gina berdiam dulu. Menikamkan dirinya dan langsung tewas seketika. Gong dan gendang ditaburkan pratanda saat-saat dieksekusi telah tiba. Lusi diantar beberapa orang tapi mereka tidak berani sampai dipuncak dan menyuruh hanya menyuruh Lusi untuk mendaki hingga mencapai puncak dan melakukan apa yang sudah diperintahkan. siapa yang pernah menduga ketika Lusi berhasil melakukan itu dan terluput dari bahaya maut itu. Tetapi ia tidak pernah turun kembali sebab yang berjalan diatas itu bukan Lusi tetapi seorang bidadari dan ketika semua warga desa menuju tempat eksekusi itu ia menyusuli Anton ke pondok Lopo Gina dan kembali menikam dirinya. Mereka akhirnya bergabung dalam kelompok bidadari dan tempat itu kini disebut “Watu Timbang Raung” (Batu untuk menimbang hutang).

Watu Timbang Raung, terdapat di desa Regho dan telah menjadi salah satu obyek wisata Kab. Manggarai Barat. Bersamaan denga meletusnya gunung Krakatau batu tempelan itupun patah. Tetesan air pencuci rambut telah menimbulkan mata air di bawahnya dan masih ada hingga sekarang.
Kraeng, Golongan bangsawan
Mendi, golongan hamba
Eneng, panggilan untuk seorang anak perempuan
Lopo, panggilan untuk seorang nenek yang sudah sangat berumur.
Share:

GERHANA DI MATAMU

Mobil traver Timor Oeste meluncur perlahan membelah bentara tanah Timor yang rata dan yang ditaburi bukit-bukit berpadang sabana. Dipinggir jalan selalu disirami wangi cendana yang harum semrbak. Perlahan-lahan matahari turun seakan hendak menciup kaki langit di ufuk barat, semantara remang senja merayap dan kurasa bagaikan tangan ajaib meraba kulitku dan tiba-tiba meremas hatiku. Alunan lagu Tetun-portu berdengung halus dan membuat aku terbuai untuk masuk ke alam mimpi sehingga tidak mengetahui kehadiran seseorang di sampingku. Lama aku tertidur sampai akhirnya aku tersadar ketika mobil mini itu di hadang oleh sebuah tikungan tajam dan membuat kepalaku menyentuh lembut bahu kanannya. Ketika mengangkat mata dan membuka mata, jantungku berdetak kencang oleh beragam perasaan yang menggerogoti hatiku. Untuk kedua kalinya aku menggosok kelopak mataku sampai aku sungguh yakin kalau yang berada di sampingku sungguh seorang anak manusia yang amat cantik dan manis. Dari sekian tempat yang kukunjungi, baru kali ini aku melihat gadis seperti bidadari yang turun dari khayangan. Kecantikannya seakan menjadi sempurna ketika kaca mata mungil berminus satu setengah bertengger di ats hidungnya yang mancung.
Namun ada seseuatu yang terpancar dari balik kaca bening itu, sayu dan hampa seakan menyimpan segudang duka, kecewa dan sakit hati yang amat dalam. Kuakui bahwa diriku seorang yang amat rileks dan dalam waktu sedetikpun aku dapat bergaul dengan seseorang meskipun belum kukenal sebelumnya. Tetapi kali ini aku sungguh tak mampu dan hampir menyerah untuk memperkenalkan diri padanya. Suasana dalam mobil itu sangat hening dan sesekali aku mendengar klaksosn mobil itu menyapa setiap tikungan yang dilewatinya. Aku berusaha untuk kembali memejamkan mata tetapi setiap kali aku mencobanya seketika itu juga muncullah niat untuk memandang matanya itu. Akhirnya dengan keberanian yang tersisa akau berani membuka percakapan dan di dahului dengan gesekan kaki dan batuk-batuk ringan sekadar menarik perhatiannya. “Hai...kamu hendak ke mana?” tanyaku sekenanya. Ia menatapku dengan tajam disertai raut wajah yang serius seperti mengganggu naga yang sedang tertidur pulas. “Apa urusanmu dengan aku? Ke mana aku pergi tidak terlalu penting buatmu. Atau mobil ini milik moyangmu sehingga harus mengetahui tujuanku?”. Demikian suaranya hadir dan membuat aku bingung dan cengar-cengir karena malu. Dengan pengetahuan yang ada aku berusaha tenang.
Keheningan kembali hadir dalam mobil itu, hingga kemudian ia melanjutkan lagi. “Mengapa kamu harus repot denganku? Apa kamu suadah tidak ada kerja lagi? Apa kamu berpikir kebebasan ini hanya milikmu?” Dengan sedikit membuang muka ia terus mengumpatku. “Semua laki-laki memnag sama, Tak berperasaan. Yang ada pada dirinya hamyalah keegoisan, kesombongan, keserakahan dan hatinya dibekukan oleh nafsu yang mengebu-ngebu”. Aku diam dan tenang tapi tetap menunjukkan sikap sebagai pendengar yang baik walau telingaku terasa panas seperti disiram arang api kusambi yang membara. Sekali lagi ia menatapku dan berkata “Mengapa engaku diam? Apaka engaku berpikir bahwa yang berbicra padamu hanyalah seorang perempuan dan boneka yang bisa dipermaikan kapan saja kamu mau?” Aku menarik nafas sejenak dan berusaha berbicara tanpa menamba luka yang ada di hatinya. “Hidup ini terasa singkat untuk memikirkan amarah, kebencian, kecewa dan dendam. Sebuah titik hitam tidak dapat mempengaruhi putihnya sebuah kertas. Dan bila orang membenci titik hitam itu dan berusaha menyangkalinya maka ia menyangkali kemanusiaannya sendiri. Aku hanya mau mengatakan kalau kamu jatuh pada generalisasi. Sejahat-jahatnya seseorang namun ia masih memiliki hati untuk mencinta sebab ia terlahir karena cinta dan setiap pribadi itu selalu unik dan berbeda”. Ia tunduk dan diam seakan tak punya kata-kata lagi sebab naluri perasaan kewanitaannya mengambil alih jalan pikirannya. Tak lama kemudia butiran bening meluncur dari kelopak matanya yang diiringi isak tangis yang membuat om sopir sesekali menoleh ke arah kami.
Aku menatapnya dan berusaha untuk tidak terbawa oleh perasaannya, kemudian melanjutkan lagi. “Setiap orang memiliki ziarah hidup. Memiliki pengalaman masa lalu yang pahit dan menyakitkan yang terbingkai dalam bentuk luka batin yang amat mendalam. Tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi termasuk suka batin itu sendiri. Semua itu akan berlalu asalkan kita membiarkan DIA yang adalah kekal dan Esa yakni Tuhan, untuk menjamah dan menyembuhkan kita dengan sikap penyerahan yang total pada penyelenggaraanNya dan dijadikanNya ziarah hidup kita sebagi Ziarah keselamatan”. Ia tetap tunduk kemudian membersihkan bola matanya dan mengangkat kepala serta mentapku denga tatapan mata yang berbinar-binar penuh ketenagan, kepuasan dan kedamaian. “Maaf yah? kalau aku harus melempiaskan kekecewaan dan sakit hatiku pada kamu. Aku sungguh merasa kepedihan yang amat dalam karena dikecewakan oleh orang yang sudah kurasa dekat dan amat mengerti aku dan kehidupanku. Dia adalah Willy, kekasih yang paling kucintai. Tatapi entah kenapa ia memutuskan hubungan yang terjalin selam lima tahun secara sepihak tanpa meberi alasan yang jelas padaku. Namun kini aku sadar, kalau aku telah membuat hidup ini menjadi sulit dan menyakitkan. Terima kasih yah....karena engaku telah menyadarkan aku”. ujarnya penuh keterbukaan.
Kini untuk prtama kalinya ia mempersembahkan padaku sebuah senyuman indah dan menakjubkan. “Oh yah.....namaku Echik. Mahasisiwi semester VI di Stikes Wirahusada, Yogyakarta. Untuk sementara aku kembali ke rumah oleh bencana yang mengguncang Yogya sebeminggu yang lalu”. Aku menyambut uluran tangannya dengan penuh persahabatan. “Aku Anis, sang pemburu berita”.
Ia kembali tersenyum dan makin akrab denganku sambil mensheringkan pengalaman-pengalaman terindah yang pernah kami alami. Ia semakin tenang dan rileks. Sebuah pojok di jantung kota Karang Kupang seakan menghadang mobil yang berukuran dua kali lima meter itu. Ia berdiri dan meraup tasnya sambil menatapku. Begitu dalam dan penuh arti. Ia menyodorkan sebuah kartu nama dan alamatnya padaku. “Aku bahagia bila selalu berada di sampingmu”. katanya lembut. Kemudian ia turun dan menyelusup masuk ke halaman rumah yang berlantai dua itu. Mobil mini itupun kembali meluncur setelah aku sempat membalas lambaian tangannya.
Share:

DRAMA RADIO___AIR MATA SENJA___

Narator: Berdirilah dengan tegar…seperti karang terjal yang dihantam ombak lautan..jangan pernah pejamkan mata…jangan pernah perlihatkan duka…lihatlah bintang gemintang yang berkerlip dengan terang…di sana ada keabadian bagi cinta yang ditinggalkan..di sana ada keindahan …bagi jutaan kesedihan…..

Adegan I

Trisna : Eh, Mas...tumben hari ini kembali lebih awal. Apa ada yang lupa?
Ricky : Enggak kok sayang, hari ini aku ingin mengajak kamu dan Rino untuk makan di luar.
Trisna : Apa? maksud mas makan di Restauran?
Ricky : Ia dong sayang. Hari ini adalah hari yang paling bahagia buat kita sekelurga soalnya.....aku....aku dinyatakan lulus.......
Trisna : Apa? lulus PNS? Mas tidak bercanda kan?
Ricky : Sayang..... sejak kapan sih, aku boong sama kamu. Suer deh!
Trisna : Mas......(memeluk dan menangis terharu) Kini Tuhan... telah menjawab semua doa dan harapan kita selama ini!
Ricky : Ia sayang.....Aku juga bersyukur pada Tuhan karena mempunyai istri sebaik dan secantik kamu. Kesuksesan ini tidak terlepas dari dukungan kamu
sayang.
Trisna : Aku juga Mas. Aku sangat beruntung dan berbangga memiliki seorang suami seperti kamu. Kamu tuh orang yang selalu membuat hari-hariku
ditaburi rasa bangga dan bahagia. Mas?....
Ricky : Ya sayang?
Trisna : Aku sayang kamu....ha......ha....
Ricky : Hmmmm.....m....ha....ha.....Sayang...sepertinya kamu belum memberi jawaban atas ajakan saya.
Trisna : Em.....ya boleh dong, lagi pula sejak lama aku tidak merasakan pedasnya masakan padang.... Oh ya Mas.... kita hampir lupa jemput Rino di sekolah.
Ricky : Oh iya.... biar aku saja yang jemput Rino, sekaligus juga memberi kejutan soalnya selama ini kan aku jarang menjemput Ino di sekolah.
Trisna : Hm ....m....


(suasana di sebuah Taman Kanak-kanak. Pak Ricky mengetuk ruangan Kepala sekolah Rino)

Guru : Eh...Pak Ricky, Selamat siang Pak, silahkan duduk. Tumben baru kali ini datang jemput Rino.
Ricky : Iya Bu, soalnya selama ini aku selalu pulang terlambat dari Kantor. Lagi pula hari ini aku ingin mengajak Rino dan mamanya makan di luar
Guru : Oh yah? Ada kejutan apa ni? ...
Ricky : Enggak kok bu, sekadar mencari variasi saja. Oh ya bu, Rinonya mana?
Guru : Tunggu sebentar ya pak. Saya pergi panggil..............Rino.....Bapa datang jemput ni...mari.....!
Rino : Mat siang papa..........
Ricky : Mat siang juga No. Oe....anak bapa paling keren ni. Tas kamu dimana?
Rino : Tidak bawa pak...
Ricky : Napa?
Rino : Mama bilang sementara dicuci.
Ricky : Oh gitu ya,
Guru : Oh yah Pak? Aku juga mau beritahu kalau Rino dipilih mewakili sekolah ini untuk membacakan puisi tentang lingkungan hidup pada hari pendidikan nasional bulan Mei nanti. Kami berharap agar bapak mengijinkan Rino. Rino anak yang pintar dan berbakat sehingga dialah yang kami harapkan untuk mengharumkan nama baik sekolah ini.
Ricky : Baik bu nanti saya akan bicarakan hal ini dengan mamanya di rumah. Kami sebagai orang tua patut mengucapkan terima kasih yang berlimpah atas perhatian ibu terhadap anak kami selama ini.
Ricky : Baik bu, kami permisi dulu.....ayo pamitan dong sama ibu guru.
Rino : Permisi bu, selamat siang.
Guru : Selamat siang juga No, hati-hati di jalan ya?
Rino : Iya, bu Guru.
Ricky : Permisi bu, kami pulang dulu.
Guru : Iya... pak.....


Adegan II

(Suasana jam lima pagi)

Kring...............Kring........................(Bunyi alarm Hp)
Trisna : Siapa sih yang telepon pagi-pagi begini (berbicara sendiri) Halo, selamat pagi ini siapa yah?
Pak Vandry : Tris....ini bapa..........
Trisna : Bapa?
Pak Vandry : Maafkan bapa Tris, bapa seakan melupakan kamu.
Tris : Maaf pa, aku terlanjur benci sama bapa. (plak; handphone dimatikan)
Ricky : Siapa tu sayang.
Trisna : Tau tu? Orang salah sambung barangkali.

Kring.........kring..............7x
Ricky : Sayang angkat dong Hpnya?
Trisna : Saya....saya.....saya tidak bisa mas (menangis)
Ricky : sayang, kamu...kamu kenapa? Memangnya siapa tuh yang telpon? Dia bilang apa?
Trisna : Nggak siapa-siapa kok mas?
Ricky : Terus napa kamu menangis?
Trina : (menangis semakin besar) Bapa mas....
Ricky : Maksud kamu bapa yang telpon?
Trisna : Ia Mas....sampai kapanpun saya tidak akan memaafkan bapa?
Ricky : Sayang....Sebuah titik hitam, tidak bisa menghapus putihnya sebuah kertas dan bila kita menolak titik hitam itu maka dengan sendirinya kita menolak kemanusiaan kita sebagai pribadi yang tidak luput dari kesalahan. Apa yang telah dilakukan bapa terhadap kita memang sulit untuk dilupakan tetapi bukan berarti kita menutup hati untuk memberi sepatah kata maaf. Bukankah aku pernah bilang kalau hidup ini terlalu singkat untuk memikirkan kebencian, marah dan dendam. Seburuk apapun sikap orangtua kepada kita, mereka tetaplah orangtua yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Kita adalah darah daging mereka sayang.


Kring................kring...............kring.............
Ricky : Halo selamat pagi........
Pak Vandry : He...kamu tu ya? Selalu ngelarang Trisna berbicara dengan saya. Apa kamu tidak sadar kalau Trisna itu anak saya, putri tunggal saya. Kau sudah memisahkan dia dari keluarga sekarang kamu ingin memutuskan hubungan kami sebagai bapa dan anak.....Kadang saya tidak mengerti megapa Trisna mau dengan orang yang tidak memiliki perasaan seperti kamu. Sudah hidup melarat, sombong lagi.
Ricky : Bapa...kalau bapa telpon, hanya untuk marah, sepertinya saya tidak punya waktu untuk bapa. Apa bapa kira, saya tidak bosan dengan semua ini? Saya tidak pernah ngelarang Tris untuk berbicara dengan bapa, mungkin saja dia sudah terlanjur sakit hati atas semua yang telah bapa perbuat pada kami.
Pak Vandry : Tetapi ada hal penting yang ingin saya bicarakan. Bukan mengenai saya tetapi mamanya. jangan lupa kamu beritahu dia (plak. Hp dimatikan)

------------------
Ricky : Bapa mau omong dengan kamu soal mama, katanya penting sekali. Sayang... kita mesti mulai semuanya secara baru....bagaimanapun juga bapa tu sangat mencintai kamu walau caranya terlalu sulit untuk kita pahami. Saya minta kamu untuk menelpon bapa sebentar. ok?


...................................

(Bulan Februari yang kelam)

Trisna : Kak…tadi bapa telpon, kalau sakit paru-paru yang pernah diderita mama kambuh lagi. Apa boleh kakak minta cuti agar bisa pulang unuk menjenguk mama.
Ricky : Tris…sebelumnya saya minta maaf. Bukannya aku menolak, kamu tahu sendiri kan, kalau sekarang musim hujan, sangat berbahaya bagi semua orang yang melakukan perjalanan jauh. Lagi pula, aku kan baru diangkat menjadi pegawai negeri, apa kata orang nanti kalau belum kerja apa-apa aku sudah minta cuti, lagi pula minggu depan Rino mengikuti lomba Puisi tingkat kabupaten, mewakili sekolahnya.
Trisna : Kak…kenapa sih kakak tidak mau mengerti perasaan saya. Keadaaan kesehatan mama makin memburuk. Pada saat-saat seperti ini dia sangat membutuhkan kehadiran saya. Aku sangat khawatir kak.
Ricky : Tris…bagaimana kalau persoalan ini kita bicarakan sebentar saja, soalnya saya sudah terlambat ni. (terdengar Rino memanggil---“Pa cepat dong Ino udah terlambat ni”) Ya…ya…tunggu sebentar…..Bagaimana Tris?
Trisna : Yah... baiklah (sambil menghapus air matanya)

(Terdengar suara motor distater)

Ricky : Da…sayang?
Ino : Da…mama?
Trisna : Hati-hati yah?

..............................................

Kring…..Kring…..Kring……
Pak Vandry : Halo Tris,
Trisna : Halo pa, bagaimana keadaan mama?
Pak Vandry : Sudah agak mendingan sekarang. Dokter bilang, mama kamu, butuh istirahat dan jangan membuat dia kepikiran. Yah......sejak kepergian kamu dari sini enam bulan silam, mama kamu sering ngelamun dan selalu tidur larut malam. Dia sangat merindukan kehadiran kamu Tris…
Trisna : Ia pa, tadi pagi saya meminta kak Ricky untuk cuti dan pulang menjengguk mama. Mudah-mudahan atasannya mengijinkannya soalnya dia baru diangkat menjadi pegawai negeri.
Pak Vandry: Suami kamu tu, memang sulit untuk memahami orang. Dia hanya memikirkan diri sendiri....
Trisna : Sudahlah pa, jangan ungkit-ungkitkan lagi masa lalu. Kak Ricky itu, mempunyai hati yang sangat mulia, buktinya dia selalu memaafkan bapa atas segala hinaan dan kata-kata kasar dari bapa. Hidup ini terlalu singkat untuk memikirkan amarah dan dendam.
Pa Vandry : Bukannya gitu Tris, seandainya dia mau mengikuti ajakanku untuk bekerja di pertambangan yang aku pimpin, pasti sekarang kamu tidak melarat seperti ini. Aku tidak yakin gaji seorang pegawai negeri bisa memenuhi semua kebutuhan kamu. Padahal di sini segala yang kamu inginkan pasti aku penuhi. Aku hanya tidak enak orang menilai saya tidak bertanggungjawab terhadap keluarga.
Trisna : Sudahlah Pa, kami bahagia kok dengan keadaan seperti ini. Biar gaji kecil dan hidup apa adanya yang penting kita tidak bermewah-mewah di atas penderitaan orang lain.
Pak Vandry : Apa maksud kamu Tris?
Trisna : Papa… tidak pernah sadar, kalau pertambangan mangan yang bapa kerjakan telah merusakkan lingkungan dan menyengsarakan banyak orang. Pernahkah bapa berpikir, apa yang terjadi bila lahan pertanian mereka digusur. Sekarang mereka sangat menderita kekurangan air dan makanan pak! Kalau bukan karena kak Ricky, sampai mati pun aku tidak akan memaafkan bapa.
Pak Vandry : Tris…itu bukan urusan aku. Yang penting aku tidak melupakan kewajibanku untuk memberikan sejumlah uang untuk kas daerah. Lagi pula aku kan sudah mengantongi surat ijinan dari pemerintah. Tris…bapa kecewa dengan kamu, kamu lebih memilih suamimu yang adalah nabi dadakan itu, ketimbang saya, ayah kandungmu sendiri.
Trisna : Sudah Pa, jangan menyinggung-nyinggung nama kak Ricky lagi. Bapa pikir bapa dewa? Manusia pun tidak.....(Plak, Hp dimatikan)

-------------------------------------

(Bunyi sepeda motor)

Ricky : Selamat siang sayang…
Trisna : Mas…kok pulang lebih awal sih?
Ricky : Tris…aku pernah berjanji untuk selalu membahagiakan kamu dan aku sama sekali tidak ingin melihat kamu sedih. Saya tidak bisa bekerja dengan tenang kalau ada persoalan di rumah, makanya saya meminta ijin untuk pulang mendahului pegawai lain agar kita mempunyai banyak waktu untuk berbicara perihal sakit yang diderita mama.
Trisna : Ia mas, barusan aku menelepon bapa, katanya dokter bilang kalau sakit mama kambuh lagi karena kurang istirahat. Terlalu banyak pikiran katanya.
Ricky : Tris…saya mengerti perasaan mama setelah kita memutuskan untuk pindah dari rumah. Dia sangat kehilangan kamu. Tetapi kita tidak ada pilihan lain. Ambisi dan ketamakan bapa untuk mengumpulkan harta sebanyak mungkin sangat bertolak belakang dengan hati nurani kita. Bukan maksudku untuk mengatakan hati nurani bapa sudah tumpul tetapi...aku hanya tidak tega melihat banyak orang semakin menderita dengan sikap bapa.
Trisna : Tetapi bukankah apa yang dibuat bapa, tidak ada hubunganya dengan membatalkan niat kita untuk menjenguk mama. Mama tidak ada urusan dengan pertambangan kak.
Ricky : Tris…bukannya aku menolak tetapi…
Trisna : Sudahlah kak….kakak tidak pernah mengerti perasaan saya (berjalan menuju kamar sambil menagis)
Ricky : Tris….Tris……(terdengar pintu kamar dibanting)
Ricky : (sedikit berbisik) Tris…aku tidak ingin terjadi pada kita Tris. Aku sangat mencintai kamu. Masyarakat Lengkololok di Reo-Manggarai sudah melakukan upacara adat untuk meminta leluhur membuat perhitungan atas segala sikap tamak dan keserakahan bapa kamu. Mereka hendak mencari tumbalnya Tris....Kamu tidak akan pernah percaya karena kamu tidak akan pernah mengerti adat leluhur kami. Tumbal itu mesti dilunasi Tris....Tuhan…berikan aku kekuatan untuk menghadapi semua cobaan ini.

-------------------

Ricky : Tris….buka pintunya dong. Aku belum selesai bicara dengan kamu.
Trisna : Tidak….aku benci kakak, kakak itu tidak mau mengerti perasaan saya. Kakak egois….(sambil menangis)
Ricky : Sayang kamu buka dulu pintunya, baru kita bicarakan kapan kamu bisa membeli tiket pesawatnya. Ok?

(Hening sejenak baru terdengar kunci pintu kamar dibuka)

Ricky : Baiklah sayang, Tadi aku tidak bermaksud untuk menghalang-halangi kamu untuk bertemu mama dan bapa. Tetapi kalau itu sudah menjadi keputusan kamu dan merasa tenang serta membuat kamu bahagia, aku tidak punya alasan untuk menolak. Aku sangat mencintai kamu....
Trisna : Makasih ya kak, aku janji kalau sudah bertemu mama dan pasti’in dia baik- baik saja, aku segera pulang. Aku tidak mampu berpisah dengan kakak sampai berhari-hari. Aku juga sangat mencintai kakak. Lagi pula aku ingin menyaksikan anakku tampil gemilang dalam perlombaan nanti.
Ricky : Baiklah! Sayang....kamu kan, akan segera pulang sehingga biar Rino tetap di sini dngan saya, biar dia tetap fokus pada persiapan lomba nanti. Ok?
Trisna : Ehe…kakak pasti cemas aku tidak kembali dan lari ke lain hati, betul kan? ayo ngaku.....
Ricky : He……e…….e………
Trisna : he…….eh…….e……….
Ricky : Ehe……..e……
Trisna : He…….e………..
Ricky : Kalau begitu mumpung semua kantor belum ditutup, biar aku pergi beli’in tiket dan kamu bisa pikirkan ole-ole yang pas buat mama, sehingga sepulang saya kita langsung ke mall untuk berbelanja, biar mama terhibur dan cepat sembuh.
Trisna : Iya kak……..

.......................................

Trisna : Ino sayang….Kamu mau mama hadiain apa bila mama pulang?
Rino : Ino mau dibeli’in mobil, pistol dan…..sepeda.........
Trisna : Pasti mama beli’in asal Ino tidak nakal, rajin ke sekolah, dan rajin berdoa, ok?
Rino : Baik ma, tapi…mama jangan lama-lama ya? cepat pulang!
Trisna : Ok de sayang, mama pasti segera pulang kok.
Ricky : Sayang… aktifkan terus bar aku tidak cemas....
Trisna : Baik mas….jangan lupa beri susu buat Rino tiap pagi dan sore. Saya ingin dia kelak menjadi anak pintar dan sukses serta mempunyai perhatian yang besar terhadap lingkungan hidup seperti kita berdua.
Ricky : Ia sayang………..
Trisna : Saya berangkat dulu ya mas (berpelukkan dan menangis) Sayang... mama pergi dulu ya? Ingat pesan mama. (menciumnya sambil menangis)
Rino : Iya ma jangan lupa mobil, pistol dan sepeda buat Ino
Trisna : Iya…….……….


Adegan III

Kring-----kring---------------kring--------------
Ricky : Halo sayang, kamu di mana sekarang?
Trisna : Saya sudah tiba di Jakarta sayang. Di sini lagi hujan deras, sehingga penerbangan menuju Singapura ditunda empat jam dari sekarang. Aku sekarang dijemput Nita dan mau istirahat di rumahnya. Ni dia mau bicara dengan Mas.
Nita : Halo....orang Flores, apa kabar?
Ricky : Hai...kabar baik Nit, kalau kamu gimana di situ. udah dapat pekerjaan?
Nita : Puji Tuhan Mas, saya sekarang kerja di LSM
Ricky : Syukurlah Nit, Aku titip, sayang aku ya? he....e....
Nita : Tentu saja Mas, mbak Trisna makin cantik dan segar.
Ricky : Iya dong, siapa dulu pendampingnya.....
Nita : Mas Rich, ni....ayang kamu sudah tidak tahan mau bicara dengan kamu, takut saya macam-macam sama kamu. ha..........a........a ......
Trisna : Mas...bagaimana keadaan Rino?
Ricky : Dia baik-baik saja. Dia sekarang lagi tidur. Kalau memang masih hujan biar kamu istrahat saja dulu di rumah Nita.
Trisna : Mas jangan khawatir, saya yakin semuanya baik-baik saja. Jaga diri mas baik- baik ya? Kecup manisku buat Ino dan mas sendiri....
Ricky : Kecup balik juga sayang, dari aku dan Rino. Sebentar kalau mau berangkat telpon lagi ya?
Trisna : Mas...saya takut sekali mas.......
Ricky : Takut kenapa?
Trisna : Saya ..........(suara tidak jelas)
Ricky : Halo...Halo....Tris....(Plak....jaringan terputus. mencoba menelpon Trisna tetapi selalu dijawa “ nomor yang anda tuju tidak aktif atau berada di luar jangkauan”)

--------------
Ricky : Tuhan...lindungilah Trisna dan jauhkan aral dan rintangan agar bisa sampai di rumah dengan selamat. Aku sangat mengkhawatirkannya. Aku sangat mencintainya. Amin.
.................................

Kring-----kring-----kring-----
Ricky : Halo? Halo?
Pak Vadry : Trisna sudah berangkat?
Ricky : Eh Bapa....sudah pa. Sudah sejak tadi pagi. Barusan dia telpon kalau sekarang dia sudah tiba di Jakarta dan harus istrahat di rumah temannya. Penerbangan ke Singgapore ditunda empat jam lagi karena cuacanya tidak memungkinkan.
Pak Vandry : Cepat telpon dia sekarang jangan dulu berangkat karena bapa dengar, ada satu pesawat jurusan Jakarta-Sulawesi kehilangan kontak dan mungkin mengalami kecelakaan.

(Terdengar rintik hujan menikam bumi sementara guntur mengelegar tak terkendali bersama tiupan angin yang mengecutkan jiwa. Kecemasan, kekhawatiran, ketakutan dan kerinduan Ricky semakin memuncak)

Kring------Kring------
Nita : Halo selamat sore....
Ricky : Selamat sore Nit, Tris di mana sekarang?
Nita : Sudah berangkat tiga puluh menit yang lalu mas.
Ricky : Oh Tuhan...
Nita : Kenapa mas?
Ricky : Nit tadi dia ikut pesawat apa? (dengan sedikit gugup)
Nita : Pesawat Adam Air. Sebenarnya langsung ke Singapura tetapi karena cuaca tidak memungkinkan mungkin singgah dulu ke Sulawesi. Memangnya kenapa mas? Halo? 3x.
Ricky : (suara sedikit berat menahan tangis) Barusan ba...pa telpon kalau beberapa menit yang lalu pesawat jurusan Jakarta-Sulawesi kehilangan kontak. kemungkinan ke...ke...celakaan.
Nita : Mas tenang dulu, soalnya sore ini, banyak pesawat singgah di Sulawesi karena di sana cuacanya sedikit cerah.
Ricky : Iya Nit, tolong kamu cari informasi lagi ya? soalnya jaringan di sini kurang terlalu lancar.
Nita : Baik mas...
Rino : Pa...kapan mama pulang, Ino rindu ama mama.
Ricky : Sayang? Kamu sudah bangun? Mama pasti kembali kok. Mama juga akan bawa mobil, pistor dan sepeda buat Ino. Oh ya? Bagaimana kalau Ino bapa mandi’in dulu setelah itu bapa ajarin untuk membaca puisinya Ok?
Rino : Hmm....Iya. Pa....kenapa papa menangis?
Ricky : Ngak apa-apa kok sayang, ada binatang kecil masuk di mata bapa. Sayang...kalau udah besar nanti, Ino mau jadi apa?
Rino : Mau jadi seperti bapa...
Ricky : Ha....a....kenapa?
Tino : Mama bilang, bapa itu orangnya baik, ramah dan pintar.
Ricky : O...ya? Hmm...

-------------------
Nita : (sedikit terisak) Mas....mmm....bak....Tris.....mbak Tris mas...
Ricky : Ada apa Nit. Kenapa dengan Tris?
Nita : Pesawat yang kecelakaan itu, adalah pesawat yang ditumpangi mabak Tris mas.
Ricky : Tidak............ini tidak mungkin..........( Lagu Tears In Heaven mengalun perlahan).
Nita : Benar Mas, pesawat itu jatuh di sebelah selatan dari lokasi pertambangan Nikel yang di pimpin oleh Pak Vandry.
Ricky : Tidak....??????


Narator : Tirai kehidupan telah membuka selubungnya. Kini pelangi itu telah pergi bersama senja yang terlepas dalam kegelapan yang membingkai langit. Tanah yang terluka akibat keserakahan Pak Vandry telah menagih darah. Tetapi apakah kepergian pelangi itu merupakan akhir dari semuanya tuk menyambut hari esok yang cerah dalam kemilauan sinar kasih dan pertobatan?

Ricky : (sambil terisak) Trisna....Aku bersimpuh menatap hati yang runtuh, hancur terbelah dialiri anak sungai dari air mataku. Kidung duka mulai bergema seiring nada cinta yang berlari ke arahmu. Perjalanan cinta dalam bahtera rumah tangga yang telah kita rajut bersama selama ini hanyalah sebuah episode napak tilas tentang rentang waktu yang telah hilang, yang terbungkus oleh kangkuhan, ambisi dan gila harta orang tua kita.
Tadinya aku berharap pencarianku atasmu adalah akhir bahagia, tapi wujudmu telah berubah, aku menemukanmu hanya sebuah nama dalam kekelaman jiwaku. Pelangi hatiku….. kulabuhkan cinta yang tak pernah surut membingkai indah wajah lembutmu. Kepergianmu ini telah membawa sebelah hatiku. Dan aku…..aku sendiri dengan sebelah hati yang tersisa melanjutkan hidup yang tak pernah terhenti bersama Rino buah hati kita. Kutulis lembaran baru dengan tinta darah pada sebuah harapan semoga harapan dan cintamu pada lingkungan hidup terpatri indah di hati semua orang khusunya di hati anak kita, Rino bersama mentari yang berisnar esok hari.

Thats all
Share: