Kabut perlahan merangkak memeluk malam. Dingin dan sunyi. Suara jengkrik terdengar sayup ketika semua makhluk terlelap dalam selimut hening. Aku adalah sahabat dari hari yang berselimut kabut, bertabur awan gelap dan mendung yang menutup mentari. Aku berusaha menempuh setapak berliku, berdebu dan penuh krikil berduri. Madahku adalah madah kaum pengembara dengan irama yang tidak mengenal nada-nada sangsi. Di setiap tingkungan senja laut, hasrat cintaku luluh berlabuh. Pada jalan ini aku mengejarnya, berpacu dengan waktu menelan jarak yang tak pernah kanjang. Di jalan ini aku berdiri sembari menatap senja yang sengaja kupotong sebelum aku tenggelam didalamnya. Kini di atas puncak bukit sandaran matahari ini, bersama semilir angin yang berhembus, mengusik kembali cerita masa lalu dari tapak-tapak tak berbekas dihempas peluh-debu perjalanan bersama onggokan rasa yang lama terpendam.
Selama ini aku selalu mencoba untuk bertahan dan bersabar dengan keadaan yang kualami. Aku berusaha diam tanpa banyak kata dan nada terhadap realitas hidup yang sementara kualami. Tanggal empat belas Agustus yang lalu, untuk ketiga kalinya aku mengikrarkan kaul-kaul kebiaraanku. Sebuah keputusan yang kuambil setelah melewati refleksi yang panjang dan matang. Kusadari disepanjang perjalanan ini, cerita hidupku takkan pernah mati sebab aku masih menanti sebait janji yang kutuang di antara detak jantung dan nadi walau mesti kuakui kalau itu masih merupakan misteri yang tak pasti dalam teka-teki hati. Aku akan tetap sabar menanti, menyusun kata setia yang kurangkai abadi dari dasar nurani di atas pelipit bukit ini.
Namun aku bukanlah seorang yang berdiri angkuh dipuncak menara gading, bukan pula malaikat bersayap yang mengawan di atas awan. Aku adalah seorang laki-laki yang memiliki perasaan dan hasrat untuk mencintai dan dicintai oleh seorang Hawa. Terkadang aku berpikir, mungkinkah ini yang dinamakan transendesi diri, dimana ada kerinduan dasariah manusia untuk berusaha melampaui dirinya? Ataukah karena keberadaanku selalu mengandaikan keberadaan yang lain? Aku tidak tahu. Pengetahuan filsafat dan teologiku belum terlalu matang untuk merefleksikan realitas dan misteri kehidupan yang sumpil-rumit ini.
Kuakui saja bahwa perasaan dan pengalaman jatuh cinta bukanlah hal yang asing bagiku. Kini....perasaan itu bergetar kembali dan aku hampir kehilangan ide dan kretifitas untuk mengendalikannya. Getarannya terlampau dahsyat mengiring aku pada keraguan tentang kebenaran dari jalan yang sedang kupilih ini. Aku jatuh cinta dengan seorang perawat yang betugas di salah satu rumah sakit swasta di kota ini. Sebut saja namanya, Dewi. Sinar mata yang bersih nan lembut, mengapiti hidungnya yang mancung membuat hatiku selalu bergetar sementara potongan wajah mongoloid dan rambutnya yang terurai panjang kehitaman semakin mengyakinkan aku bahwa dia adalah gadis tercantik yang pernah kutemui.
Aku adalah anak tunggal dari seorang ibu yang berhati salju. Bapaku meninggal saat aku menginjak usia delapan bulan karena serangan jantung. Di antara gelapnya malam, mama adalah matahari yang datang terangi hariku. Dia semilir angin yang berhembus membawa sejuta sesal dan pedihku kemudian meninggalkan damai dalam hatiku. Mama adalah terangnya bintang yang menuntunku di antara sesatnya jalan dunia ini. Mama adalah malaikat indah yang datang membawa damai dalam hidupku. Wajahnya sudah tak semuda dulu, garis nasib telah memahatkan alur kehidupan di wajahnya. Duka tersirat di sana dan saat murampun bisa kubaca di sisa-sisa tetesan air matanya. Senyumnya mengukir sebuah garis di sudut bibirnya dan aku ikut andil atas semua garis di wajah mama. Tangannya tak sehalus dulu, remah-remah kerja keras menyisakan noda kasar, tapi elusannya tetap membuatku merasa nyaman. Tangannyapun tak sekuat dulu, kelemahan secara perlahan menggerogotinya tapi setiap kali kugenggam tangannya, aku masih merasakan kalau ia sedang menggendongku dan akupun ikut andil atas semua kelemahan tangannya. Awal Februari yang lalu, mama terpaksa rawat inap karena radang paru-paru yang telah lama dideritanya kambuh lagi. Pada saat itulah aku mengenal Dewi. Seorang perawat yang bekerja dengan penuh dedikasi. Ia sangat cantik dan ramah. Ia merawat mamaku seperti orangtuanya sendiri. Aku sungguh merasa kagum dan bangga dengannya. Tanpa kusadari benih cinta bertumbuh dalam hatiku bersama aliran waktu yang tidak kusadari.
Setelah tiga minggu keberadaan mama di rumah sakit, akhirnya ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dipangkuanku. Hanya sepenggal pesan yang dititipkannya padaku pada saat-saat terakhir hidupnya “Anakku...mama bangga dan bahagia dengan jalan hidup yang kau tempuh ini. Berdirilah dengan tegar. Jangan pernah pejamkan mata dan tidak boleh perlihatkan duka. Bila engkau sungguh mencintai mama, jalanilah dengan setia jalan yang sedang kau rintis ini sebagai calon pewarta cinta Tuhan. Lihatlah Dewi sebagai pengganti mama, saudari dalam perjalanan panggilanmu. Bila saatnya engkau merasa kecewa, diabaikan atau merasa ditinggalkan, pandanglah Salib Tuhan sebab di sana ada keabadian bagi cinta yang ditinggalkan”.
Setiap pagi semenjak kepergiaan mama, aku selalu menanti setitik embun mengalir untuk meninggalkan jejak di antara hati kecilku yang bisu. Aku hanya bisa berharap agar embun itu menetes untuk segala kesendirianku, untuk segala derita yang kutanggung. Namun aku hanya bisa menatap indahnya sesaat ketika spotong cahaya membawanya pergi. Dewipun pergi untuk selama-lamanya. Ia mengalami kecelakaan lalulintas saat dalam perjalanan menuju rumah sakit seminggu yang lalu. Kini...aku hanya bisa bersandar pada kekuatanku sendiri. Entah sampai kapan aku bertahan untuk mengyakinkan DIA yang telah memanggilku bahwa senandungku bukanlah fana. Bahwa janjiku bukanlah palsu. Mengapa Tuhan menutup mata dan menulikan telinga pada jerit hatiku? pada permintaan tolongku? pada sepi dunianya? Apakah ia rela aku bergumul sendirian dalam kelamnya dunia ini?
Dalam perjalananku sekarang, ada peluh yang belum menetes, ada teriakan yang belum terjawab, ada mimpi setengah sadar dan duka yang belum terobati. Biarlah kupertaruhkan semua harapan jiwa ini diantara gundukan kebebasan dan ketakberdayaan, kerinduan dan kecemasan, kepasrahan dan pemberontakan. Di dalam perjalanan ini, surga dan neraka tidak pernah kalah atau menang. Kebaikan dan keburukan, keuntungan dan kemalangan bersanding mesra dekat Salib Tuhan. Apakah di sana ada keabadian bagi cinta ditinggalkan??? Aku tidak tahu...
0 comments:
Post a Comment