Mobil traver Timor Oeste meluncur perlahan membelah bentara tanah Timor yang rata dan yang ditaburi bukit-bukit berpadang sabana. Dipinggir jalan selalu disirami wangi cendana yang harum semrbak. Perlahan-lahan matahari turun seakan hendak menciup kaki langit di ufuk barat, semantara remang senja merayap dan kurasa bagaikan tangan ajaib meraba kulitku dan tiba-tiba meremas hatiku. Alunan lagu Tetun-portu berdengung halus dan membuat aku terbuai untuk masuk ke alam mimpi sehingga tidak mengetahui kehadiran seseorang di sampingku. Lama aku tertidur sampai akhirnya aku tersadar ketika mobil mini itu di hadang oleh sebuah tikungan tajam dan membuat kepalaku menyentuh lembut bahu kanannya. Ketika mengangkat mata dan membuka mata, jantungku berdetak kencang oleh beragam perasaan yang menggerogoti hatiku. Untuk kedua kalinya aku menggosok kelopak mataku sampai aku sungguh yakin kalau yang berada di sampingku sungguh seorang anak manusia yang amat cantik dan manis. Dari sekian tempat yang kukunjungi, baru kali ini aku melihat gadis seperti bidadari yang turun dari khayangan. Kecantikannya seakan menjadi sempurna ketika kaca mata mungil berminus satu setengah bertengger di ats hidungnya yang mancung.
Namun ada seseuatu yang terpancar dari balik kaca bening itu, sayu dan hampa seakan menyimpan segudang duka, kecewa dan sakit hati yang amat dalam. Kuakui bahwa diriku seorang yang amat rileks dan dalam waktu sedetikpun aku dapat bergaul dengan seseorang meskipun belum kukenal sebelumnya. Tetapi kali ini aku sungguh tak mampu dan hampir menyerah untuk memperkenalkan diri padanya. Suasana dalam mobil itu sangat hening dan sesekali aku mendengar klaksosn mobil itu menyapa setiap tikungan yang dilewatinya. Aku berusaha untuk kembali memejamkan mata tetapi setiap kali aku mencobanya seketika itu juga muncullah niat untuk memandang matanya itu. Akhirnya dengan keberanian yang tersisa akau berani membuka percakapan dan di dahului dengan gesekan kaki dan batuk-batuk ringan sekadar menarik perhatiannya. “Hai...kamu hendak ke mana?” tanyaku sekenanya. Ia menatapku dengan tajam disertai raut wajah yang serius seperti mengganggu naga yang sedang tertidur pulas. “Apa urusanmu dengan aku? Ke mana aku pergi tidak terlalu penting buatmu. Atau mobil ini milik moyangmu sehingga harus mengetahui tujuanku?”. Demikian suaranya hadir dan membuat aku bingung dan cengar-cengir karena malu. Dengan pengetahuan yang ada aku berusaha tenang.
Keheningan kembali hadir dalam mobil itu, hingga kemudian ia melanjutkan lagi. “Mengapa kamu harus repot denganku? Apa kamu suadah tidak ada kerja lagi? Apa kamu berpikir kebebasan ini hanya milikmu?” Dengan sedikit membuang muka ia terus mengumpatku. “Semua laki-laki memnag sama, Tak berperasaan. Yang ada pada dirinya hamyalah keegoisan, kesombongan, keserakahan dan hatinya dibekukan oleh nafsu yang mengebu-ngebu”. Aku diam dan tenang tapi tetap menunjukkan sikap sebagai pendengar yang baik walau telingaku terasa panas seperti disiram arang api kusambi yang membara. Sekali lagi ia menatapku dan berkata “Mengapa engaku diam? Apaka engaku berpikir bahwa yang berbicra padamu hanyalah seorang perempuan dan boneka yang bisa dipermaikan kapan saja kamu mau?” Aku menarik nafas sejenak dan berusaha berbicara tanpa menamba luka yang ada di hatinya. “Hidup ini terasa singkat untuk memikirkan amarah, kebencian, kecewa dan dendam. Sebuah titik hitam tidak dapat mempengaruhi putihnya sebuah kertas. Dan bila orang membenci titik hitam itu dan berusaha menyangkalinya maka ia menyangkali kemanusiaannya sendiri. Aku hanya mau mengatakan kalau kamu jatuh pada generalisasi. Sejahat-jahatnya seseorang namun ia masih memiliki hati untuk mencinta sebab ia terlahir karena cinta dan setiap pribadi itu selalu unik dan berbeda”. Ia tunduk dan diam seakan tak punya kata-kata lagi sebab naluri perasaan kewanitaannya mengambil alih jalan pikirannya. Tak lama kemudia butiran bening meluncur dari kelopak matanya yang diiringi isak tangis yang membuat om sopir sesekali menoleh ke arah kami.
Aku menatapnya dan berusaha untuk tidak terbawa oleh perasaannya, kemudian melanjutkan lagi. “Setiap orang memiliki ziarah hidup. Memiliki pengalaman masa lalu yang pahit dan menyakitkan yang terbingkai dalam bentuk luka batin yang amat mendalam. Tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi termasuk suka batin itu sendiri. Semua itu akan berlalu asalkan kita membiarkan DIA yang adalah kekal dan Esa yakni Tuhan, untuk menjamah dan menyembuhkan kita dengan sikap penyerahan yang total pada penyelenggaraanNya dan dijadikanNya ziarah hidup kita sebagi Ziarah keselamatan”. Ia tetap tunduk kemudian membersihkan bola matanya dan mengangkat kepala serta mentapku denga tatapan mata yang berbinar-binar penuh ketenagan, kepuasan dan kedamaian. “Maaf yah? kalau aku harus melempiaskan kekecewaan dan sakit hatiku pada kamu. Aku sungguh merasa kepedihan yang amat dalam karena dikecewakan oleh orang yang sudah kurasa dekat dan amat mengerti aku dan kehidupanku. Dia adalah Willy, kekasih yang paling kucintai. Tatapi entah kenapa ia memutuskan hubungan yang terjalin selam lima tahun secara sepihak tanpa meberi alasan yang jelas padaku. Namun kini aku sadar, kalau aku telah membuat hidup ini menjadi sulit dan menyakitkan. Terima kasih yah....karena engaku telah menyadarkan aku”. ujarnya penuh keterbukaan.
Kini untuk prtama kalinya ia mempersembahkan padaku sebuah senyuman indah dan menakjubkan. “Oh yah.....namaku Echik. Mahasisiwi semester VI di Stikes Wirahusada, Yogyakarta. Untuk sementara aku kembali ke rumah oleh bencana yang mengguncang Yogya sebeminggu yang lalu”. Aku menyambut uluran tangannya dengan penuh persahabatan. “Aku Anis, sang pemburu berita”.
Ia kembali tersenyum dan makin akrab denganku sambil mensheringkan pengalaman-pengalaman terindah yang pernah kami alami. Ia semakin tenang dan rileks. Sebuah pojok di jantung kota Karang Kupang seakan menghadang mobil yang berukuran dua kali lima meter itu. Ia berdiri dan meraup tasnya sambil menatapku. Begitu dalam dan penuh arti. Ia menyodorkan sebuah kartu nama dan alamatnya padaku. “Aku bahagia bila selalu berada di sampingmu”. katanya lembut. Kemudian ia turun dan menyelusup masuk ke halaman rumah yang berlantai dua itu. Mobil mini itupun kembali meluncur setelah aku sempat membalas lambaian tangannya.
Namun ada seseuatu yang terpancar dari balik kaca bening itu, sayu dan hampa seakan menyimpan segudang duka, kecewa dan sakit hati yang amat dalam. Kuakui bahwa diriku seorang yang amat rileks dan dalam waktu sedetikpun aku dapat bergaul dengan seseorang meskipun belum kukenal sebelumnya. Tetapi kali ini aku sungguh tak mampu dan hampir menyerah untuk memperkenalkan diri padanya. Suasana dalam mobil itu sangat hening dan sesekali aku mendengar klaksosn mobil itu menyapa setiap tikungan yang dilewatinya. Aku berusaha untuk kembali memejamkan mata tetapi setiap kali aku mencobanya seketika itu juga muncullah niat untuk memandang matanya itu. Akhirnya dengan keberanian yang tersisa akau berani membuka percakapan dan di dahului dengan gesekan kaki dan batuk-batuk ringan sekadar menarik perhatiannya. “Hai...kamu hendak ke mana?” tanyaku sekenanya. Ia menatapku dengan tajam disertai raut wajah yang serius seperti mengganggu naga yang sedang tertidur pulas. “Apa urusanmu dengan aku? Ke mana aku pergi tidak terlalu penting buatmu. Atau mobil ini milik moyangmu sehingga harus mengetahui tujuanku?”. Demikian suaranya hadir dan membuat aku bingung dan cengar-cengir karena malu. Dengan pengetahuan yang ada aku berusaha tenang.
Keheningan kembali hadir dalam mobil itu, hingga kemudian ia melanjutkan lagi. “Mengapa kamu harus repot denganku? Apa kamu suadah tidak ada kerja lagi? Apa kamu berpikir kebebasan ini hanya milikmu?” Dengan sedikit membuang muka ia terus mengumpatku. “Semua laki-laki memnag sama, Tak berperasaan. Yang ada pada dirinya hamyalah keegoisan, kesombongan, keserakahan dan hatinya dibekukan oleh nafsu yang mengebu-ngebu”. Aku diam dan tenang tapi tetap menunjukkan sikap sebagai pendengar yang baik walau telingaku terasa panas seperti disiram arang api kusambi yang membara. Sekali lagi ia menatapku dan berkata “Mengapa engaku diam? Apaka engaku berpikir bahwa yang berbicra padamu hanyalah seorang perempuan dan boneka yang bisa dipermaikan kapan saja kamu mau?” Aku menarik nafas sejenak dan berusaha berbicara tanpa menamba luka yang ada di hatinya. “Hidup ini terasa singkat untuk memikirkan amarah, kebencian, kecewa dan dendam. Sebuah titik hitam tidak dapat mempengaruhi putihnya sebuah kertas. Dan bila orang membenci titik hitam itu dan berusaha menyangkalinya maka ia menyangkali kemanusiaannya sendiri. Aku hanya mau mengatakan kalau kamu jatuh pada generalisasi. Sejahat-jahatnya seseorang namun ia masih memiliki hati untuk mencinta sebab ia terlahir karena cinta dan setiap pribadi itu selalu unik dan berbeda”. Ia tunduk dan diam seakan tak punya kata-kata lagi sebab naluri perasaan kewanitaannya mengambil alih jalan pikirannya. Tak lama kemudia butiran bening meluncur dari kelopak matanya yang diiringi isak tangis yang membuat om sopir sesekali menoleh ke arah kami.
Aku menatapnya dan berusaha untuk tidak terbawa oleh perasaannya, kemudian melanjutkan lagi. “Setiap orang memiliki ziarah hidup. Memiliki pengalaman masa lalu yang pahit dan menyakitkan yang terbingkai dalam bentuk luka batin yang amat mendalam. Tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi termasuk suka batin itu sendiri. Semua itu akan berlalu asalkan kita membiarkan DIA yang adalah kekal dan Esa yakni Tuhan, untuk menjamah dan menyembuhkan kita dengan sikap penyerahan yang total pada penyelenggaraanNya dan dijadikanNya ziarah hidup kita sebagi Ziarah keselamatan”. Ia tetap tunduk kemudian membersihkan bola matanya dan mengangkat kepala serta mentapku denga tatapan mata yang berbinar-binar penuh ketenagan, kepuasan dan kedamaian. “Maaf yah? kalau aku harus melempiaskan kekecewaan dan sakit hatiku pada kamu. Aku sungguh merasa kepedihan yang amat dalam karena dikecewakan oleh orang yang sudah kurasa dekat dan amat mengerti aku dan kehidupanku. Dia adalah Willy, kekasih yang paling kucintai. Tatapi entah kenapa ia memutuskan hubungan yang terjalin selam lima tahun secara sepihak tanpa meberi alasan yang jelas padaku. Namun kini aku sadar, kalau aku telah membuat hidup ini menjadi sulit dan menyakitkan. Terima kasih yah....karena engaku telah menyadarkan aku”. ujarnya penuh keterbukaan.
Kini untuk prtama kalinya ia mempersembahkan padaku sebuah senyuman indah dan menakjubkan. “Oh yah.....namaku Echik. Mahasisiwi semester VI di Stikes Wirahusada, Yogyakarta. Untuk sementara aku kembali ke rumah oleh bencana yang mengguncang Yogya sebeminggu yang lalu”. Aku menyambut uluran tangannya dengan penuh persahabatan. “Aku Anis, sang pemburu berita”.
Ia kembali tersenyum dan makin akrab denganku sambil mensheringkan pengalaman-pengalaman terindah yang pernah kami alami. Ia semakin tenang dan rileks. Sebuah pojok di jantung kota Karang Kupang seakan menghadang mobil yang berukuran dua kali lima meter itu. Ia berdiri dan meraup tasnya sambil menatapku. Begitu dalam dan penuh arti. Ia menyodorkan sebuah kartu nama dan alamatnya padaku. “Aku bahagia bila selalu berada di sampingmu”. katanya lembut. Kemudian ia turun dan menyelusup masuk ke halaman rumah yang berlantai dua itu. Mobil mini itupun kembali meluncur setelah aku sempat membalas lambaian tangannya.
0 comments:
Post a Comment