SOAL KETIDAKWARASAN
Penampilan dan gaya bicara yang tidak biasa dan melewati batas normal, biasanya langsung dituding sebagai orang yang tidak waras atau gila. Sikap orang terhadap yang tidak waras atau gilapun sangat beragam. Ada yang tega menyakitinya, mengolok-olok dan menertawainya. Tapi tidak sedikit orang memilih jalan untuk menghindar walau ada yang datang menjamah dan menolongnya. Dari berbagai sumber yang terpercaya, dapat diketahui bahwa hampir sembilan puluh persen orang yang tidak waras atau gila diakibatkan bukan karena faktor gen atau bawaan sejak lahir tetapi puncak tekanan batin oleh beragam persoalan dan kesulitan hidup seperti kemiskinan, kegagalan usaha dan karier, putus cinta, kekerasan seksual, kalah dalam percaturan politik dan sebagainya.
Dalam konteks cerita Yesus hari ini mengenai tudingan sanak keluarga Yesus bahwa Yesus sudah tidak waras lagi terasa perlu untuk dipahami bahwa dalam bangsa Israel, tindakan seseorang adalah gambaran sikap dan cara pandang sebuah keluarga besar bahkan satu bangsa. Nama baik kelaurga besar menjadi tanggungjawab setiap pribadi. Oleh karena itu, setiap pribadi harus benar-benar menjaga bibir dalam berbicara dan mengatur langkah dalam bertingkah laku agar jangan sampai mencemarkan nama keluarga. Sepak terjang Yesus dalam masyarakat khususnya mukjizat atau tanda-tanda heran yang dibuatnya membuat banyak orang terkagum-kagum termasuk keluarga besar Yesus karena kehormatan dan harga diri mereka diangkat. Namun apa yang terjadi ketika Yesus selalu membuat soal dengan pemimpin Yahudi dan ahli-ahli taurat? Bukan Yesus saja yang disindir dan dibenci oleh pemimpin agama Yahudi dan pengagum setia hukum taurat tetapi juga sanak keluarganya. Maka dengan mengatakan bahwa Yesus tidak waras lagi maka sanak kelaurga Yesus tidak terseret dalam persoalan Yesus dan harga diri mereka sebagai keluarga tetap terjaga.
Terlihat jelas bahwa seseorang dikatakan tidak waras atau gila bukan karena ia sungguh tidak waras atau gila tetapi hanya karena penampilan, gaya bicara dan tingkah lakunya tidak sesuai dengan kebiasaan umum. Perlu diketahui bahwa kebenaran, kelogisan dan kebaikan tidak ditentukan oleh seberapa banyak orang mengakuinya tetapi terletak pada akal sehat dan hati nurani. Ketakutan terbesar dalam masyarakat kita adalah apa yang dinamakan banalisasi kejahatan. Kejahatan yang dilakukan dengan tahu dan mau oleh sebagian besar masyarakat maka pada gilirannya diakui sebagai tindakan biasa, wajar bahkan dinilai sebagai tindakan yang baik. Sebagai contoh, ketika korupsi diperankan oleh sebagian besar pejabat publik maka tindakan korupsi akan menjadi banal, biasa dan wajar sehingga sulit untuk dikendalikan lagi. Bandikan sikap seorang Sokrates, bapak filsafat yang menyalakan pelita di tengah pasar pada siang siang hari sebagai simbol bagimana kebenaran itu sulit dicari dalam sebuah lingkup masyarakat yang acuh tak acuh terhadap ketimpangan sosial.
Yesus tampil dalam sebuah masyarakat Yahudi para ahli taurat dan pemimpin agama Yahudi yang salah menjabarkan hukum taurat. Yesus mau agar hukum taurat bukan menjadi hukum yang kaku tetapi mesti dijabarkan dalam konteks kehidupan masyarakat. Pemimpin agama dan ahli taurat, merasa terganggu dan menuding Yesus sebagai pembangkang tradisi dan merendahkan kewibawaan bangsa Yahudi. Maka tidak ada cara lain bagi keluarga Yesus agar terluput dari kemarahan publik selain mengatakan bahwa Yesus tidak waras lagi. Dengan mengatakan demikian maka keamanan dan posisi mereka terjaga termasuk keamanan diri Yesus sendiri. Lalu bagaimanakah dengan kita. Apakah kita terseret dalam gaya dan arus masa walau harus kehilangan hati nurani dan jati diri. Ketahuilah memperjuangkan sebuah kebenaran dan memproklamasikan kebaikan mesti dimulai dalam diri sendiri. Kebenaran dan kebaikan itu mesti ada dalam diri sendiri sehingga dapat terpancar dalam tutur kata dan tindakan kita.
0 comments:
Post a Comment