Arus transportasi dan komunikasi zaman ini telah membawa kemudahan bagi manusia dalam usaha dan karya. Dunia terasa begitu kecil bagai sebuah dusun mungil yang mudah dijangkau dan ditapaki. Kita semua pasti sangat berbangga dan puas walau ditaburi banyak kecemasan dan ketakutan. Arus transportasi dan komunikasi yang begitu pesat ternyata bukan hanya memberi banyak kemungkinan bagi manusia dalam berekspresi tetapi juga bisa menjauhkan yang dekat. Aktus kehadiran telah menjadi pristiwa langka dan sulit dibuat. Kehadiran diri personal dapat saja diwakili oleh selembar amplop berisi uang atau sebungkus kado hadiah. Bandingkan saja pengalaman berbagai kelompok arisan dalam masyarakat. Banyak anggota yang merasa tidak wajib hadir asalkan saja kewajibannya menyetor uang arisan dipenuhi atau yang sedikit lebih santu biasanya mengutus seseorang yang dapat mewakili. Atau juga soal keharan kita dalam ibadat atau misa kudus. Orang merasa tidak wajib hadir dengan sebuah alasan klasik dan murahan, toh Tuhan ada di mana-mana. Padahal kehadiran kita adalah tanda sekaligus merupakan berkat dsan kegembiraan bagi orang lain. Kehadiran tidak bisa diidentikkan dengan kado dan uang tetapi soal nilai sopan santu dan penghargaan. Kita diminta atau diharapkan hadir karena kita begitu berharga di mata sesama kita. Di hari pesta Maria mengunjungi Elisabet ini saya ingin mengajak kita untuk bercermin pada spiritualitas kehadiran seorang Bunda Maria. Apa dan bagaimanakah nilai kehadiran yang sejati?
Penginjil Lukas hari ini menampilkan cerita cinta tentang bagaimana Maria mengunjungi Elisabet saudaranya. Dua orang bersaudara ini sebenarnya dalam keadaan cerita hidup sama-sama unik dan menarik. Maria mengandung dari Roh Kudus sementara Elisabet mengandung seorang anak diusianya yang sudah usur. Secara ilmiah dan manusiawi status kandungan dari dua bersaudara ini sulit diterima. Bagaimana seorang perempuan mengandung tanpa kehadiran seorang laki-laki yang dapat disebut suami atau bagaimana mungkin bisa mengandung dalam usia yang sudah lanjut. Semuanya membingungkan tetapi sangat nyata dan real. Kunjungan Maria kepada saudaranya Elisabet merupakan cerita biasa dan lumrah. Sesama saudara biasa dan harus saling mengunjungi. Mungkin yang perlu didalami secara lebih mendalam yakni soal inisiatif dan esensi dari sebuah kunjungan. Tentunya yang menjadi penginisiatif dari cerita ini yakni Maria dan esensi dari kunjungan itu yakni soal kehadiran semata. Maria mengunjungi Elisabet dan bukan sebaliknya Elisabet mengunjungi Maria. Lebih dari itu salam kehadiran Maria menggetarkan jiwa Elisabet dan anak dalam kandungannyapun melonjak penuh kegirangan. Ada apa ini? Apakah sebuah kebetulan atau ada hal lain dari nilai sebuah kehadiran?
Mungkin kehadiran kita kita tidak seheboh seperti kehadiran seorang Maria sebagaimana yang dialami Elisabet, tetapi kita patut bertanya diri sejauhmana kita telah berinisiatif untuk mengunjungi orang lain dan bagaimanakah dampak lanjut dari kunjungan kita. Tentunya kunjungan kita tidak disambut meriah seperti lazimnya kunjungan kerja para pejabat pemerintah atau kunjungan kerja seorang pejabat gereja seperti Paus, Kardinal atau Uskup. Inti dari spiritualitas kehadiran Maria yakni kerelaan kita untuk mau mengnjungi dan memberi rasa aman, tenang dan gembira bagi orang yang kita kunjungi. Jangan sampai kehadiran kita membebankan orang lain atau bahkan membuat orang merasa tersakiti. Ketahuilah kunjungan tidak selalu diidentikkan dengan buah tangan atau oleh-oleh tetapi duduk mendengar keluh kesah dan rintihan hati sesama sudah merupakan bentuk dari sebuah spiritualitas kehadiran Maria. Hari ini kita menutup bulan Maria tetapi bukalah hatimu sebab Bunda Maria senantiasa datang dan merangkul jiwamu menuju hati terkudus Yesus.
0 comments:
Post a Comment