Saturday 4 December 2010

PELANGI SENJA

Aku baru memejamkan mata, lalu bayangannya datang melintas. gadis kecil bergaun putih dengan sebuah buku dongeng di tangannya. Rambutnya ikal, matanya yang sipit bersinar tajam dan cerdas. Kulitnya kecoklatan dan halus. Bening. Ia tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Aku berdiri dan berlari hendak merangkul dan memeluknya, tetapi setiap kali aku berusaha mengapainya pada saat yang sama ia menjauh.
“Asty......” teriakku dalam kegelapan malam.
“Kemanakah engkau?” Ia telah menghilang. Aku sukar untuk memejamkan mata lagi. “Asty, mengapa engkau tiba-tiba muncul dalam pikiranku?” Gumamku dalam hati. Kuangkat kepala dan melirik weker mungil yang berada di sudut meja belajarku. Pukul dua belas lewat dua puluh menit, jam yang sama ketika Asty menghembuskan napasnya yang terakhir di pangkuanku. Butiran-butiran bening meluncur perlahan dari kelopak mataku. Tak pernah terlintas dalam benakku, seorang gadis kecil yang kukenal bersemangat, lincah, polos dan manis harus pergi di tengah kebahagiaan dan harapan serta impianku untuk merawat, menjaga dan mencintainya seperti anak kandungku sendiri.
“Oh Tuhan, mengapa hal ini terjadi dalam hidupku? Mengapa Engkau tidak membiarkan aku lebih lama lagi untuk merawat, menjaga dan mencintainya, sebagimana Engkau perbuat padaku. Tuhan....kutahu bahwa rencana-Mu bukanlah rencanaku dan kehendakku bukanlah kehendak-Mu, tetapi izinkanlah aku untuk menemukan kembali pelangi di hatiku”
Nafasku terasa sesak dan hatiku perih menahan duka dan ketidakpuasan dalam diriku. Asty bertumbuh dan berkembang dengan baik setelah kutemukan dirinya masih bayi di depan gerbang rumah kontrakku. Ia berbaring penuh kedamaian di dalam keranjang plastik dengan sebuah selimut yang agak kumal membaluti tubuhnya. Ia mengerak-gerakkan kaki dan tangannya sebagi tanda bahwa ia ada dan hidup. Matanya yang bening dan polos membuat aku terharu. Seoranganak yang belum mengerti arti sebuah kehidupan. Tak ada yang lain di situ kecuali seorang nenek tua yang sedang berdiri di persimpangan jalan dan sesekali memandang ke arahku dan keranjang plastik itu. Dan setelah kuangkat si Asty kecil, dia langsung menahan tukang ojek dan menghilang entah ke mana. Tak ada jalan lain bagiku selain melapor kepada ketua RT dan polisi. Dan atas izinan mereka, aku boleh mengangkat Asty menjadi anakku. Tetapi, aku masih muda dan belum ada pengelaman sedikitpun dalam merawat seorang bayi kecuali dalam hal teori. Karenanya, aku menitipkan si Asty kecil kep panti asuhan suster SSPS dan menanggung segala biaya perawatannya. Dua minggu sekali aku selalu mengunjunginya, sebagai bukti perhatian dan cintaku yang tulus kepadanya. Setelah menginjak usia tiga setengah tahun, aku membawa gadis kecil Asty ke rumahku dan kuberi nama Helena Astuty Ledong.
Suatu hari ia bertanya “Bapa....mamaku di mana?” Aku tidak langsung menjawab, tetapi memandangnya dengan penuh haru dan kagum. Kukecup keningnya dengan lembut.
“Kamu mau bertemu mama yah?” timpalku.
“Ia dong pa, abis teman-teman Asty selalu tanya mamaku di mana? Kenapa mama tidak mau menghantarku” katanya polos. Setelah ia masuk TKK Kuntum Bahagia itu, ia semakin pintar saja. “Nanti bulan depan kita bertemu dan menjemput mamamu, okey?” jawabku sekenanya walau masih bingung ke mana akan mencari mamanya. Apakah aku harus bersandiwara? ataukah aku harus mengecewakanya? Tidak! Asty masih kecil dan belum siap untuk mengetahui latar belakang kehidupannya. Ia belum pantas menerima semua itu. Lagi pula aku tidak ingin dia kecewa apalagi dilukai perasaannya. Aku memang sudah mempunyai pekerjaan tetap dan pengahasilan yang cukup untuk membangun sebuah kehidupan rumah tangga. tetapi, apakah dalam waktu sebulan aku dapat menemukan cinta? Jangankan untuk bertunangan, berpacaran saja, waktu sebualn itu tidak cukup. Itu berarti jalan satu-satunya adalah bersandiwara.
Keesokakan harinya aku menemui Anita, teman kuliahku dulu yang kini berprofesi sebagai dokter specialis kandungan di rumah sakit yang kupimpin. Kuceritakan semua yang terjadi dan Anita langsung tertawa geli, dikiranya aku sedang bercanda. Tetapi akhirnya dia mengangguk setuju setelah aku memohon dengan sangat walau terasa kurang enak hanya demi kebahagiaan Asty. Setelah tiba waktu yang kujanjikan, aku mengajak Asty untuk menjumpai “mamanya”. Mulailah adegan sandiwara ini. Anita bertindak penuh keramahan dan memelik Asty seperti seorang ibu yang berjumpa dengan anaknya setelah lama berpisah. Aku juga heran ketika Anita menangis sungguhan. Ia berakting sangat bagus. Sungguh sempurna. Tak seorangpun yang mengetahui skenario dari adegan sandiwara ini. Adegan demi adegan berlalu dan akhirnya menyimpang dari skenario yang ditetapkan. Anita bertindaka sebagai seorang ibu sungguhan. “Pa....mengapa setelah mama ada, bapa selalu tidus di ruang tamu” kata Asty suatu kesempatan ketika kami sedang shopping di pasar swalayan Pagi. aku berpura-pura tidak mendengar karena aku tidak tahu apa yang harus kujawab. Sampai ia bertanya lagi untuk kedua kalinya. “Mama kan baru datang, sehingga ingin tidur berdua denganmu tanpa harus bersama aku” jawabku meyakinkan. Dan siapa yang pernah menduga kalau awalnya biasa-biasa saja, hingga akhirnya benih cinta mulai bersemi di hati kami. Aku dan Anita saling mencintai. Kebahagiaanku bersama Asty telah menjadi sempurna setelah kehadiran Anita dalam hidup kami.
Tetapi pelangi itu hilang di tengah kepekatan, kedinginan dan kegelapan malam. Asty pergi untuk selamanya. Ia pergi ketika aku dan Anita bebrbicara soal pernikahan kami. Ia pergi meninggalkan puing-puing kehancuran di hatiku. seperti biasanya, sepulang sekolah ia tidak langsung ke rumah tetapi bermain di kantorku. Di rumah sakit. Tanpa sepengetahuanku, ia pergi ke kantin dan menyantap semangkok bakso. Sepulang dari sana ia mengeluh sakit perut padaku. Walau aku seorang dokter, tetapi menghadapi situasi ini aku langsung panik sebab mukanya langsung pucat dan badannya lemas serta detak jantung yang semakin tidak teratur.
“Pa...maafkan Asty” katanya dengan suara yang hampir hilang, kemudian perlahan-lahan menutup matanya dan mengehembuskan nafasnya yang terakhir di pangkuanku. Semenjak kepergianya benih-benih cinta yang sempat bersemi dan bertumbuh bersama Anita tiba-tiba sirna oleh sikap saling mempersalahkan. Asty mengalami leukimia. Pelangi itu telah hilang ditelan kegalauan dan kebekuan hatiku.
Besok adalah hari ulang tahu Anita sekaligus genap tiga tahun kepergian Asty. Apakah pelang itu akan mucul kembali walau tanpa kehadiran Asty? Aku belum tahu.......
Share:

0 comments:

Post a Comment