Saturday 4 December 2010

PELANGI ITU TELAH PERGI

Sebusur pelangi tampak indah melintang di atas langit senja yang manja, tepatnya di atas Perbukitan Kabor. Bayangan Kak Afri datang melintas bersama semilir angin yang berusaha menerobos pori-pori tubuhku. Namun bayangan itu segera pudar bersama rintik-rintik hujan yang kembali membasahi bumi. Aku hanya bisa terdiam dalam keheningan kamarku. Pelangi hatiku itu telah pergi.
Waktu membawaku berlari begitu cepat hingga akhirnya mempertemukan aku dengan Kak Afri. Seorang laki-laki yang mungkin tidak layak aku cintai. Dia adalah seorang mahasiswa pada sebuah sekolah tinggi di kota ini yang sedang berpraktek mengajar jurnalistik di sekolahku. Aku tahu bahwa sampai kapanpun aku tidak mungkin mendapatkan cintanya. Sebuah jurang yang sangat lebar. Bukan sebuah plastik transparan yang mudah kuterobosi dan bukan pula sebuah belantara yang mudah kutapaki. Jalan tak berujung dan laut yang tak bertepi. Kami dipisahkan oleh cita-cita dan panggilan hidup yang berbeda. Dia adalah seorang yang terpanggil. Seorang frater. Sementara aku, aku hanyalah gadis biasa dari ujung kota yang udik. Kini aku sadar kalau aku hanyalah seorang gadis yang rapuh dan berusaha tegar. Aku tidak lebih dari si pungguk yang merindukan rembulan. Setiap kali aku mencoba menghadirkan bayangan Wajah Kak Afri, pada saat yang sama suara-suara sumbang yang menyakitkan selalu terngiang di telingaku. Sebagai perempuan tidak tahu diri.
Singkat cerita, suatu hari Kak Afri memberi tugas kepada kami, untuk menulis sebuah berita apa saja asalkan unsur 5W + 1 H, harus tercakup di dalamnya. Sepanjang jam pelajaran itu, aku hanya terpesona menatap Kak Afri yang sedang duduk membaca menunggu hasil pekerjaan kami. Matanya yang tajam, cerdas dan manja selalu membuat hatiku bergetar. Wajahnya mongoloidnya kelihatan serasi saat berpaduan dengan kemeja biru tua dan jeans hitam serta sandal karvil yang melekat pada tubuhnya.
Tiga puluh menit berlalu tetapi penaku belum mampu menari di atas lembaran putih yang sudah dibagikan. Tiba-tiba butir-butir keringat bersemi perlahan pada dahiku saat pemikiran rasionalku berbenturan dengan naluri kewanitaan yang bergejolak di hatiku. Tetapi akhirnya aku sadar bahwa pemikiran rasionalku tidak dapat membendung perasaanku dan justru itulah yang kutulis dalam lembaran putih yang telah dibagikan itu. Namun...diluar perkiraanku ternyata hasil pekerjaan kami langsung diperiksa oleh kami sendiri dengan cara diacak. Kak Afri meminta seorang di antara kami untuk membacakan apa yang tertulis pada lembaran yang sekarang ini ada di tangannya. Nita yang selama ini sangat membenciku mengangkat tangan dan mulai membaca. “Kak...semenjak Kakak berdiri di depan kelas ini satu bulan yang silam, sebenarnya ada rasa dalam hatiku yang aku sendiri sulit untuk mengerti. Terserah kakak mau digolongkan jenis apa saja tulisanku ini, tapi yang pasti bahwa aku tidak bisa mendustai perasaanku sendiri bahwa aku sungguh mencintai Kakak. Dan...saat ini aku tidak membutuhkan berapa nilai yang Kakak berikan untukku tetapi yang kuharapkan hanyalah jawaban Kakak atas ungkapan perasaanku ini” Dari orang yang sangat mengagumi dan mencintaimu__Caritas__.
Teman-temanku spontan menertawai dan mencibirku. Suhu badanku drastis naik oleh rasa malu dan bersalah. Aku sungguh berada pada posisi yang terhina. Kak Afri tampak tenang dan mencoba untuk menetralkan suasana batinku dengan mengatakan bahwa tulisanku tergolong pada jenis prosa cinta yang belum sempurna.
Mungkin inilah jawaban yang kucari bersama waktu. Aku sudah gagal. Duniaku begitu gelap, tiada terang yang menyinari. Aku terdiam dan hanya berdoa pada Tuhan bersujud sambil menangis, mengingat peristiwa hari itu. Sejenak aku terpaku dalam ragu sampai aku benar-benar sadar bahwa pelangiku itu telah pergi. Mungkin langkahku harus terhenti sampai di sini karena aku tak tahu kemana lagi aku harus melangkah untuk mendapatkan cintaku. Kini aku hanya bisa menanyai awan, apakah ia tahu kalau aku di sini sedang menanti sebuah jendela yang mungkin akan terbuka bersama hantaman angin untuk dapat melihat pelangi hatiku.
Pelangiku....biarkan aku pergi…Biarkan aku meninggalkanmu bersama penderitaanku. Sekarang aku hanya ingin mencari secercah ketenangan sambil berharap semoga engkau muncul kembali esok hari..........
Share:

0 comments:

Post a Comment