Saturday 4 December 2010

AKU KALAH ENJEL...........

Aku menulis nama seseorang di diary kesayanganku. Enjel...lengkapnya Angelina S. Santiana. Seorang gadis yang membuat aku merasa kalah ketika menatap keruntuhan perasaanku sendiri. Ia menggoreskan kuas-kuas cinta dengan nafas yang sarat warna saat memupuk asa pada kenyataan bagi hatiku yang hampir mati rasa. Saya kira, ini bukan tentang kelogisan berpikir dalam permainan kata-kata tapi tentang cinta yang hanya bisa dipahami tanpa harus dimengerti. Cinta yang kualami selama ini kurasa seperti sebuah tikaman dewa Zeus pada jantung Prometeus yang menembus tanpa harus melukai. Cinta yang akan membuatku menjadi pemenang yang sempurna.
Pada kisi-kisi dinding pondok bambu ini, saat alam mulai terlelap, aku termangu dalam sunyi dan tenggelam dalam kebisuan ketika mengenang sebuah kisah yang sengaja kuperam sejak setahun yang lalu. Aku diajak Sandro, temanku untuk mengunjungi adik angkatnya yang sedang sakit di rumah sakit Lela. Ajakan itu langsung kusambut dengan penuh antusias, betapa tidak, sudah hampir tiga tahun keberadaanku di kota ini, aku belum pernah mengunjungi rumah sakit tertua di daratan Flores ini. Kami mengendarai sebuah sepeda motor Supra-Vit yang kupinjam dari kakak sepupuku. Pada sebuah tikungan tajam tak bernama, kami ditabrak dari arah depan oleh sebuah sepeda motor yang dikendarai oleh seorang gadis berpenampilan rapi dan anggun. Kami tidak mengalami luka lecet sedikitpun kecuali sayap kiri motor yang retak. Setelah membersihkan luka gores di lutut kanannya ia mendekati dan menatapku dalam bisu. Walau cukup dramatis, adegan itu begitu cepat sehingga belum selesai kami berpikir siapa yang salah, ia segera berlalu tanpa menunggu sepenggal kata maaf dari kami. Aku semakin heran dan kagum dengannya. Apakah memang orang harus diam untuk sesuatu yang tidak bisa dikatakan, sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Wittgenstein?
Dia pergi, seperti bulan yang hilang bersembunyi dibalik awan yg gelap, butuh waktu yg sangat lama menunggunya kembali hingga beberapa minggu yang lalu aku bertemu dengannya di salah satu kantor BRI di jantung kota ini. Nama yang terpampang rapi di dadanya merangsang memori otak kiriku untuk mengingat kenangan masa lalu saat aku berada dibangku Seminari Menegah. Dia adalah teman kores yang sangat spesial di hatiku. Ia seorang perasa yang lebih banyak diam dan merenung. Ia tersenyum ramah sambil berusaha mendugai perasaan yang berkecambuk dalam dadaku. “Enjel” sapaku ragu. Kami saling bertatapan dalam diam hingga kutangkap senyuman di sudut bibirnya yang tipis. Ia belum sempat mengatakan sesuatu padaku, saat ia harus pergi menjawabi tuntutan pekerjaannya yang padat. Aku hanya memandangnya dalam bisu menahan gejolak rasa yang menikam sudut hatiku yang terdalam.
Semenjak itu aku tidak bertemu dia lagi. Beberapa kali aku mengunjungi kantor BRI itu tetapi jawaban yang kudapat selalu sama “dia sudah pergi ke tempat tugas yang baru”. Kapan dan kemana ia pergi rupanya hal yang tidak layak untuk diketahui. Tidak seorangpun yang berani mengatakannya. Akupun sudah berusaha menelusuri sudut demi sudut kota ini untuk mencari jejaknya dalam kelamnya malam. Kuabaikan gerimis yang turun bersama kedinginan yang merayapi bumi. Semburat lampu di lorong-lorong kota berpendar dalam permainan cahaya sementara suasana kota yang sunyi nan sepi seakan meratapi kepiluan yang tak biasa di hati ini. Aku pun terus berjalan tanpa arah dan kepastian, melewati seribu satu persinggahan untuk mencarinya, siapa tahu, esok malam atau entah kapan kami bertemu. Kulalui tempat-tempat yang pernah terlintas dalam kenangan, yang sukar hilang dilindas zaman tapi dia tetap menjadi misteri bagiku..
Aku merasa tercipta dengan sempurna, dilahirkan untuk menjadi pemenang. Banyak orang, termasuk Enjel, mengakui kecemerlangan daya nalarku untuk berpikir kritis dan analitis. Kuyakini saja kalau aku cukup terampil dalam mengolah kata-kata. Namun kini aku sadar, dibalik cita-cita bahasa ideal yang serba logis dan persis, sebenarnya tersembunyi tendensi rasionalistik yang hanya mengandalkan rasio, padahal perasaan, kerinduan, harapan dan kecemasan dan kegelisan lebih kuat diekspresikan bukan pada bahasa logis tapi pada bahasa simbolis dan analogis. Dari setiap kemenangan yang kualami selama ini ternyata aku selalu kalah. Cinta dan persahabatan kami berakhir ketika Enjel merasa bahwa aku sudah mengidap virus rasionalisasi barat yang lebih mengutamakan pemikiran daripada perasaan. Aku bukanlah laki-laki romantis yang didambakan Enjel. Ia lebih menyukai tindakan nyata ketimbang pertimbangan rasional yang penuh idealisme. Masih segar dalam ingatanku kata-kata awasannya “Ky.... gunakan nalarmu ketika engkau berinteraksi dengan dirimu sendiri tetapi untuk berinteraksi dengan orang lain, gunakanlah hatimu”
Enjel.......
Kita bertemu diantara sempitnya waktu dan terbatasnya harapanku. Andai saja masih ada waktu tersisa mungkin aku bisa merombak kembali sikapku selama ini padamu. Aku bahagia mendapati kenyataan bahwa engkau masih cantik seperti dulu. Tak ada yang berubah, selain kenyataan bahwa kita bukan pasangan jiwa. Aku lebih mendahului aktus berpikir sebelum bertindak. Tapi aku kagum dengan kamu dan dibalik kekaguman itu, jauh kusimpan kerinduan yang ingin sekali rasanya bisa kucurahkan di pertemuan kita yang terakhir. Sayang, semuanya harus terpuaskan dalam impian. Hanya dapat kukagumi dan kuresapi semua rasa yang terasa.
Enjel…..
Dari hati ke hati aku mengembara. Sendirian dan resah. Aku ingin mengakhiri pengembaraan ini tanpa perlu menunggu apa atau siapa lagi..
Pada hati yang pernah kusinggahi, aku hanya memohon pamit dan berharap
sedikit kerelaan melepaskan, untuk bisa membuatku tenang
dalam hati Yesus, muara akhir pengembaraan sunyi ini.
Share:

0 comments:

Post a Comment