Saturday 4 December 2010

MEMBAKAR KEGELAPAN

Kurajut kata yang selama ini ada, bersembunyi dalam resah dan gunda, terselip diantara roda cinta, yang setiap saat mengusik dalam jiwa. Terkadang aku berpikir kalau aku adalah pejalan kaki yang rapuh karena aku berjalan di atas jalan yang terjal dan penuh duri. Aku adalah pengarung gelombang kehidupan dimana sirip-siripku terkikis oleh derasnya arus asmara, yang terus menyeret aku ke titik zero. Akupun mungkin seorang yang mencoba terbang dengan kedua sayap patahku, ‘tuk arungi langit mencapai singgahsana sang bidadari yang tak peduli akan diriku.
Saat debur ombak menghempas tepian pantai Waturia dan matahari turun hendak menciup kaki langit di ufuk barat, secepat kilat remang senja datang merayap dan kurasa bagaikan tangan ajaib meraba kulitku dan tiba-tiba meremas hatiku. Bayangan Elvi datang melintas. Seorang dara manis, berambut ikal dengan matanya yang sipit, bersinar tajam dan cerdas. Dalam dirinya mengalir darah campuran Manggarai-Maumere. Hatiku menggigil rindu mengenang saat pertama kali aku menjumpainya. Kini aku hanya bisa tersenyum tawar sebab semuanya itu hanyalah sebuah drama dari adegan yang belum berakhir.
Kutemukan diriku sebagai seorang pria dewasa dalam perjalanan dari rumah menuju kemungkinan baru di kota ini beberapa tahun silam. Kini aku berprofesi sebagai seorang pemburu berita. Sebagian besar waktuku berada di tempat berbeda, yang tentunya memiliki nuansa rasa dan kenangan yang berbeda pula. Walaupun melelahkan, aku sangat menikmati pekerjaan ini. Sebuah cita-cita masa lalu yang kini akhirnya terwujud. Aku selalu berprinsip bahwa untuk hidup orang mesti butuh kepastian. Pekerjaan ini adalah panggilan hidup yang mesti dipertanggungjawabkan. Aku selalu berusaha menjadi orang pertama untuk meliput peristiwa kehidupan sekaligus pengontrol sosial yang mungkin harus menaggung banyak resiko.
Singkat cerita, sekembali dari sebuah kampung di Pulau Lembata, badanku terasa lemah, kepalaku pening, sementara sekujur tubuhku basah oleh keringat. Aku sempat meminta temanku untuk meng-email-kan berita yang telah kutulis. Tetapi... beberapa saat kemudian aku merasa sebuah benda keras membenturi kepalaku hingga akhirnya aku tidak tahu apa-apa lagi. Aku merasa berada pada sebuah dunia yang serba samar-samar. Beragam suara, mulai dari yang sangat lembut hingga suara yang paling keras menyinggahi gendang telingaku. Tak lama berselang suara-suara itu perlahan-lahan menghilang dan aku sama sekali tidak mendengarkan apa-apa lagi. Dimanakah aku? Apakah ini yang namanya kematian??
Sungguh! pada saat-saat seperti ini manusia hanyalah debu dari sebuah kefanaan hidup. Yah...kelahiran itu hanyalah sebuah kebetulan dan kematian adalah sebuah kepastian. Beragam nama dari orang yang kita kenal hilang dan lenyap kecuali DIA yang senantiasa ada di hati kita. DIA adalah Tuhan yang selalu hadir menemani seluruh derap langkah perjalanan hidup manusia. Hanya kepada-Nyalah semua mahluk bersembah dan bersujud dan bukan kepada kekuatan dunia yang semu lagi sementara.
Tiba-tiba kepalaku terasa perih dan ternyata aku berada di sebuah kamar di Rumah Sakit Umum, dengan kepala yang diperban. Saat itu pukul tiga pagi. Disamping kiriku seseorang tertidur dalam posisi duduk sementara tangan kanannya tetap memegang tangan kiriku. Gerakkan lembut tanganku, membuat ia terbangun dan spontan memelukku. “Hampir sepuluh jam kamu tidak sadarkan diri. Loy, temanmu itu mengantar kamu ke sini setelah menemukanmu tergeletak di lantai kamarmu dengan kepala terluka. Sepertinya, kamu jatuh lemas dan kepalamu membenturi kaki meja” katanya sambil tersenyum ramah. Dari sudut matanya yang putih bersih mengalir butiran bening yang menggetarkan jiwaku dalam keharuan. Aku membalas senyumannya dengan tatapan kebahagiaan yang dicampuri keheranan. Belum sempat aku bertanya tentang siapa dirinya, dari balik pintu Loy, teman baikku datang menghampiri. Ia tersenyum bahagia dan memelukku. Kemudian ia memperkenalkan Elvi padaku. Seorang putri tunggal dari sebuah keluarga terpandang yang kini berprofesi perawat.
Semenjak itu, aku selalu bertandang ke rumah Elvi bahkan orangtuanya memperlakukan aku seperti anak kandung sendiri. Akupun selalu meluangkan waktu untuk berjalan bersama Elvi tuk saling berbagi cerita dan pengalaman. Aku memiliki potongan wajah mongoloid yang persis sama dengannya sehingga tidak heran banyak orang mengira kami ini kembaran. Lama kami bersahabat sampai akhirnya kami sadar bahwa di antara kami ada kesesuaian hati dan perasaan. Kami saling mencintai.
Kuingin akhiri kisah ini sebelum mentari berderai air mata. Kisah cintaku bersama Elvi hancur dan hilang tertelan semesta bahkan aku merasa dikhianati bulan yang tertawa di pantulan laut biru ini. Kini aku meringis seolah ribuan sembilu menusuk isi jiwa. Keterlibatan orangtua Elvi dalam penyelewengan dana pembangunan infrastruktur di kota ini ikut menyeret aku pada sebuah konflik batin yang menyiksa. Aku tak pernah menyangka kalau Pak Roly, bapanya Elvi terlibat sejauh itu. Elvi memintaku untuk berhenti dari pekerjaan yang sudah saya tekuni hampir empat tahun. Tanpa kusadari, pada saat inilah profesionalismeku dipertanggungjawabku. Namun aku bukanlah pengecut yang tertawa di balik kabut. Aku harus bangkit dari bara yang membakar kegelapan dengan cahaya kebenaran. Aku ingin mengungkapkan semuanya secara transparan kepada publik walau aku tahu kosekuensi logisnya bahwa aku harus kehilangan Elvi. Yah...biarkan lara ini kuanggap biasa, agar perih sirnah bersama mentari yang terbit esok hari. Biarkan cinta mencari jalannya sendiri. Bebas...tanpa ketakutan dan tanpa paksaan.... Seminggu lagi, Elvi akan menikah dengan seorang pengacara berbakat, pilihan orangtuanya. Elvi harus menerimanya sebagai bukti pengabdian dari anak yang berbakti kepada orangtua. Selamat jalan kekasih….. walau teramat sangat perih…… namun aku pasti coba untuk jalani semua …… semoga kau bahagia di sisinya.
Share:

0 comments:

Post a Comment