Saturday, 4 December 2010

BATU HITAM YANG TERKOYAK



S
etiap kali aku duduk di atas bukit ini, aku selalu teringat pada sebait sajak, tentang kesepian dan perih yang menyelinap di antara dinding-dinding kesakitanku. Di atas bukit ini, matahari selalu bangkit dari sanubari, menyentuh separuh dirgantara yang terbentang luas dihadapanku. Matahari cakra jingga yang dilepaskan dari  hati yang lemah-lembut, selalu siap merangkul semua jiwa yang letih dan berbeban berat. Yah...bukit Nilo tempat orang melempar harapan pada rahim Sang Bunda. Malam ini....kurasakan kegersangan hati yang menuntut jiwa menjamah kelam dan sepi. Aku seperti jelata yang berkhayal banyak, ingin mememeluk purnama dan membisikkan kata agar langit paham hingga dapat kubaca musim dan cuaca. Hanya angin yang mampu menyadarkanku dalam sunyi sambil membuaiku tapi kemudian menghempaskanku kembali pada ketakberdayaan.
Aku selalu berusaha untuk tegap berdiri di bawah matahari sampai akhirnya penantian menjadi bagian dari takdir. Apakah benar apa yang pernah didenggungkan oleh Hobes bahwa manusia adalah neraka bagi sesamanya? Mengapa dunia ini begitu kejam saat aku mencoba memahami arti sebuah kebenaran? Mengapa di tanah ini lampu-lampu berlomba di tempat terang sementara kegelapan menyembunyikan nista setiap orang? Desah malam menemaniku di sini, di bukit kelam yang telah mati. Aku mengigau dalam khayalan dan berpuisi dalam ilusi. Hatiku merintih-rintih penuh  harap pada dewa keadilan namun yang ada hanyalah kesunyian yang hampa..
Bukit Nilo ini selalu membawa anganku pada sebuah bukit yang pernah ada di tanah kelahiranku. Bukit yang berdiri angkuh di tengah kanvas biru pulau Flores, sekitar satu mil dari bibir pantai kota pariwisata Labuan Bajo. Pulau Gosok namanya. Sebuah bukit batu berwarna hitam yang selalu memberi kedamaian bagi setiap orang yang merasa dihidupkan dari rahim bumi yang penuh cinta. Memandang ke bawah, debur ombak menghempas bibir pantai dan mengirim buih-buih putih yang bening nan sejuk. Bila  matahari hendak mencium kaki langit di ufuk barat, semua insan yang berada di atas bukit batu itu, akan terbawa pada suasana senja yang ramah dan damai. Akupun pernah berjanji untuk tidak akan menyerah pada angin yang menyisir tepi hari. Aku akan tetap diam terbaring di atasnya dan mempercayakan bulan yang mengintip pada sela ranting akasia tuk menemaniku.
Kini...bukit batu hitam itu telah luluh ditangan para investor. Bukit batu itu adalah mangan permukaan yang memiliki nilai jual yang sangat tinggi walau untuk mengambilnya rahim bumi mesti dikoyak dan dihancurkan. Batu hitam ini mesti dihancurkan untuk menghilangkan stigma kemiskinan masyarakat Flobamora dan mengejar ketertinggalan masyarakat Manggarai. Apakah batu hitam itu hanyalah tumbal agar sang pemimpin daerah ini dikenang sebagai bapak pembangunan?
Khayalan dan kenyataan tidak dapat dibedakan lagi didalam peradaban dunia yang memiliki banyak wajah. Akhir-akhir ini di setiap sudut kampung, namaku selalu menjadi poros pembicaraan, seakan aku telah menabur virus yang mesti dijauhkan dan sedapat mungkin dimusnahkan. Aku adalah manusia durhaka yang pantas dirajam. Aku dituding sebagai profokator yang hanya datang membawa keresahan. Yah... aku adalah keberanian yang menciptakan keresahan bagi manusia yang merasa aman dalam suasana ketidakadilan. Aku adalah sumber yang menghasut orisinalitas pikiran dari mereka yang selalu menjadi korban penipuan para kapitalis yang serakah. Aku adalah tangan yang mengerakkan tangan-tangan yang tertindas. Aku adalah setan untuk selama-lamanya bagi mereka yang gemar mengumbar janji-janji kesejahteraan sebab bukankah kebenaran itu satu keutuhan dari sekian banyak sisi?
Oh…Bunda. Oh...persada cinta. Apakah aku adalah pualam retak yang mengores luka dan kecewa pada hati semua orang? Bukankah aku insan lemah yang menyerukan nafas untuk bernadar agar dapat memberi arti atas semua yang hanya dipandang sebelah mata oleh penguasa negeri ini?
Aku menyapamu dalam kesunyian malam ini untuk menuntunku dalam  memperjuangkan hak-hak masyarakatku dari ketamakan para pengusaha dan penguasa. Desau rinduku kutitipkan padamu agar selalu  setia menemaniku sebab aku yakin  bahwa ketika langkahku rapuh terhimpit waktu dan saat kelam melumpuhkan hati dan jantungku, saat itulah  engkau selalu datang untukku. Dengan tanganmu yang lembut, kau usap jiwaku dari ketakutan dan keputusasaan. Kau senandungkan berbagai bait-bait lagu, agar aku tak terpatahkan oleh asa nansemu.


Share:

0 comments:

Post a Comment