Sinar kemuning senja itu, menggores kanvas sang maha Agung saat perahu yang kutumpangi menari indah di atas samudra biru. Kubiarkan buih-buih ombak menjilati jeans biruku saat berada dekat tanjung, yang berada sekitar sepuluh mil dari peabuhan Sadang Bui menuju istana harapan bernama, Palu’e. Aku segera merapatkan jaket hitamku saat angin senja mengigit tulang-tulangku dengan manja. Aku sadar kalau aku hanyalah segelembung ombak yang kapan saja musnah. Hatiku kering meronta-ronta. Pedih dan getir kubawa semua dalam perjalanan ini. Kudekap kesendirianku dalam nestapa bersembunyi dalam selimut kesepian. Aku sungguh tak ingin begini sendiri, sunyi dan sepi di atas perahu bisu ini. Merajam tubuhku sendiri dalam kebingungan, menjamah empedu dalam tumpuan ketakberdayaan. Apakah mungkin ada sebuah kata cinta yang tersisa dari kepingan jiwa yang terluka?
Terkadang aku selalu bingung apa sebenarnya arti hadirku dan untuk apa sebenarnya aku mencoba selalu tegar. Aku bukanlah embun pagi yang selalu sabar mengumpal disudut dinding saat dia membuka jendela kamar dikala pagi. Aku bukanlah lagu penuntun tidurnya dikala dia mulai terlelap.. Tapi aku hanyalah daun yang terhempas tanpa arah dan tujuan. Aku adalah lelaki yang memiliki batas ketahanan jiwa. Kini aku pergi seperti bulan yang hilang bersembunyi dibalik awan yang gelap dan butuh waktu yang sangat lama untuk berusaha memahaminya.
Setiap detik dikala sepi mendekam dalam perenungan, aku sudah berusaha melakukan yang terbaik untuknya menjadi sesempurna mungkin dihadapannya. Tapi aku sadar segala yang terbaik bagiku, segala sesuatu yang tersempurna yang telah kulakukan, belum tentu terbaik dan tersempurna untuknya. Ketika aku adalah aku, aku merasa bukan yang terbaik untuknya. Bukankah setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan? Aku sadar akan kelebihan serta kekurangan dan keterbatasanku. Akupun sadar kalau dia sudah melakukan yang terbaik untukku. Dia banyak melakukan hal-hal terindah yang dapat menyanjungku, membuat diriku merasa tinggi, membuat diriku menjadi lebih baik.
Waktu diantara kami bukan aturan yang mengukur tentang kewajaran akan cinta. Bila benar hati adalah kunci dalam buah pemikiran, izinkan aku sejenak merenung tentang rasa yang ada dalam diriku. Setahun yang lalu, tepatnya tanggal dua belas September, untuk pertama kalinya aku bertemu Fany. Seorang perawat yang bekerja pada sebuah rumah sakit swasta yang berada di ujung timur kota ini.. Saat itu ia kelihatan sibuk dan muak mendengar beragam pertanyaan yang meluncur spontan dari bibirku. Saat itu aku hendak mendonorkan darahku kepada seorang yang mengalami kecelakaan motor. Bertanya dan terus bertanya sudah menjadi kebiasaan yang sulit kuhilangkan. Ia mungkin berpikir kalau aku sedang menguji keahlian yang didapatnya dengan susah payah bertahun-tahun di ruang kuliah. Aku hanya bisa tertunduk malu dengan sedikit rasa bersalah saat ia membentakku seperti halnya sikap seorang ibu pada anaknya yang rewel. Dan aku tidak pernah merasa kecil dengan semua itu.
Diluar perkiraanku, ternyata sikapnya itu telah menyeret dia pada rasa bersalah yang berkepanjangan. Ia selalu berusaha untuk bertemu denganku sekadar melantunkan sepenggal kata maaf. Seringkali sebuah nomor baru nonggol di layar handphonku. Beberapa kalimat basa-basi yang selalu diakhiri kata maaf. Hingga suatu hari aku bertemunya di lapangan Samador ketika menyaksikan pertandingan bola voly putra untuk memperebutkan piala bergilir Ledalero cup. Ia menyapaku ramah dengan tatapan penyesalan yang terpancar dari sudut matanya. Sejak saat itu, ditengah kesibukanku sebagai pegawai pada sebuah LSM dan mahasiswa strata satu teologi, aku selalu besedia untuk berkunjung dan dikunjung olehnya sekadar berbagai cerita dan rasa dalam hatiku. Akhirnya kami sadar kalau diantara kami mempunyai kesesuaian hati dan perasaan. Kami saling mencintai.
Beberapa minggu yang lalu, aku memutuskan untuk menyudahi hubungan kami. Memang keputusanku ini terkesan egois tetapi itulah cara terakhir yang mesti ditempuh agar keutuhan diri kami sebagai mahluk yang bebas tetap terjaga. Kami memiliki keyakinan dan mimpi yang berbeda. Aku tidak akan memaksanya untuk sekeyakinan dan semimpi denganku dan akupun sulit menerima tawarannya untuk sekeyakinan dan semimpi denganya. Mimpi adalah gambaran masa depan yang sulit ditebak tapi pantas untuk diperjuangkan. Bagiku, usaha untuk mempersatukan sebuah mimpi dalam keyakinan yang berbeda adalah kmustahilan.
Fany.....
Kau pernah meyakinkan aku pada kenyataan tentang kata yang kau tenggelamkan dalam senyum lembutmu. Tiada yang berubah di sini kecuali angin yang masih menyimpan aroma tubuhmu di lautan biru yang kita bangun di pesisir rindu.
Ketika sepi mendekam dalam perenungan, ketika sakit mencela kala kenyataan bersinggungan dan ketika aku adalah aku,
aku merasa aku bukan seseorang yang kamu cari. Sampai sejauh ini pengembaraanku di pulau cintamu, hingga aku tak tahu lagi harus berjalan kemana. Sampai sejauh itupun belum kutemukan tempat yang teduh atau mata air yang ‘kan menghapuskan kehampaan jiwaku.
Entahlah, aku tak tahu. Aku merasa aku bukanlah seseorang yang kamu cari.
Memang, mulanya memang aku tidak memiliki rasa itu. Hanya ada rasa untuk mengerti keberadaanmu disampingku, hingga akhirnya semua menjadi lain dan aku merasa jalanku semakin gelap bila tetap bertahan bersamamu. Ingin rasanya aku menjauhimu sejak lama, namun jarak selalu saja membuat kita tidak pernah bisa cukup jauh untuk terpisah. Selalu saja ada rasa yang tertinggal. Rasa yang tidak pernah aku mengerti. Selamat tinggal Fany… kejarlah hidupmu. Mungkin perpisahan ini memberi syarat bahwa mimpi dan keyakinan itu hanya bisa bersatu dalam sikap saling menerima dan memberi. Yakini saja itu.
0 comments:
Post a Comment